• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Saraf Pusat 2.1.1. Embriologi

Menurut Sadler (2010), sistem saraf pusat (SSP) terbentuk pada awal minggu ketiga sebagai lempeng neuralis (neural plate) pada daerah middorsal di depan nodus primitif. Tepi-tepi lateralnya bergerak naik untuk membentuk lipatan-lipatan neuralis (neural folds). Seiring perkembangannya, lipatan-lipatan neuralis ini terus menaik, saling mendekati satu sama lain di garis tengah, dan akhirnya menyatu membentuk tuba neuralis. Fusi dimulai di daerah servikal dan begitu dimulai, ujung-ujung tuba neuralis yang terbuka membentuk neuroporus kranialis dan kaudalis yang berhubungan dengan rongga amniotik. Penutupan akhir neuroporus kranial terjadi pada tahap 18-20 somit (hari ke-25), sedangkan penutupan akhir neuroporus kaudal terjadi kira-kira dua hari kemudian.

Ujung sefalik dari tuba neuralis menunjukkan tiga pelebaran, yaitu vesikel-vesikel otak primer: (a) prosensefalon, atau otak depan; (b) mesensefalon, atau otak tengah; dan (c) rhombensefalon, atau otak belakang. Secara bersamaan akan terbentuk dua fleksura: (a) fleksura servikalis pada pertemuan otak belakang dan medula spinalis, dan (b) fleksura sefalik di daerah otak tengah. Ketika embrio berumur lima minggu, prosensefalon terdiri dari dua bagian: (a) telensefalon dan (b) diensefalon (Sadler, 2010).

Rhombensefalon dipisahkan dari mesensefalon oleh isthmus rhomboensefalikus. Rhombensefalon juga terdiri dari dua bagian: (a) metensefalon, yang nantinya membentuk pons dan serebelum, dan (b) mielensefalon. Kedua bagian ini dibatasi oleh fleksura pontin. Lumen medula spinalis, yaitu kanalis sentralis, berkesinambungan dengan vesikel-vesikel otak. Rongga pada rhombensefalon merupakan ventrikel keempat, rongga pada diensefalon merupakan ventrikel ketiga, dan rongga pada hemisfer serebri merupakan ventrikel-ventrikel lateral. Lumen mesensefalon menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat. Lumen ini menjadi sangat sempit dan kemudian

(2)

disebut aqueduct of Sylvius. Ventrikel-ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel ketiga melalui interventricular foramina of Monro (Sadler, 2010).

Pada mulanya sel-sel neuroektoderm yang membatasi tuba neuralis berdiferensiasi menjadi neuroblas dan spongioblas. Neuroblas merupakan cikal bakal neuron, sedangkan spongioblas berdiferensiasi menjadi spongioblas yang sebagian menetap dan membentuk jaringan epitel yang membatasi langsung tuba neuralis sebagai spongioblas ependim. Sebagian lagi menjadi spongioblas yang bebas meninggalkan jajaran epitel dan berkembang menjadi berbagai bentuk sel glia seperti astrosit protoplasmatik, astrosit fibrosa, dan oligodendrosit (Subowo, 1989).

2.1.2. Anatomi

Gambar 2.1. Potongan otak secara sagital

(Sumber: Netter, F.H., 2011. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. United States of America: Saunders Elsevier, 105)

Menurut Hansen (2010), otak dan medula spinalis dikelilingi oleh tiga lapisan jaringan ikat membranosa yang disebut meninges, yang meliputi:

(3)

1. Dura mater, yaitu lapisan terluar yang kaya akan serabut saraf sensoris. Dura mater terutama disarafi oleh cabang-cabang sensoris meningeal dari nervus trigeminus, nervus vagus, dan saraf-saraf servikal atas. Dura mater juga membentuk lipatan atau lapisan jaringan ikat tebal yang memisahkan berbagai regio otak seperti falks serebri, falks serebeli, tentorium serebeli, dan diafragma sella.

2. Araknoid mater, yaitu lapisan di bawah dura mater yang avaskular. Ruang di antara araknoid mater dan pia mater disebut spatium subarachnoideum dan mengandung cairan serebrospinalis.

3. Pia mater, yaitu lapisan jaringan ikat yang langsung membungkus otak dan medula spinalis. Araknoid mater dan pia mater tidak memiliki serabut saraf sensoris.

Bagian yang paling menonjol dari otak manusia adalah hemisfer serebri. Beberapa regio korteks serebri yang berhubungan dengan fungsi-fungsi spesifik dibagi atas lobus-lobus. Lobus-lobus tersebut dan fungsinya masing-masing antara lain:

1. Lobus frontal memengaruhi kontrol motorik, kemampuan berbicara ekspresif, kepribadian, dan hawa nafsu

2. Lobus parietal memengaruhi input sensoris, representasi dan integrasi, serta kemampuan berbicara reseptif

3. Lobus oksipital memengaruhi input dan pemrosesan penglihatan 4. Lobus temporal memengaruhi input pendengaran dan integrasi ingatan 5. Lobus insula memengaruhi emosi dan fungsi limbik

6. Lobus limbik memengaruhi emosi dan fungsi otonom (Hansen, 2010) Komponen-komponen otak lainnya antara lain:

1. Talamus merupakan pusat relai di antara area kortikal dan subkortikal.

2. Serebelum mengkoordinasikan aktivitas motorik halus dan memproses posisi otot.

3. Batang otak (otak tengah, pons, dan medula oblongata) menyampaikan informasi sensoris dan motorik dari somatik dan otonom serta informasi motorik dari pusat yang lebih tinggi ke target-target perifer (Hansen, 2010).

(4)

Otak mengandung empat ventrikel, yaitu dua ventrikel lateral serta ventrikel ketiga dan keempat yang terletak di sentral. Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroideus, beredar melalui ventrikel-ventrikel, dan kemudian memasuki ruang subaraknoid melalui foramen Luschka atau foramen Magendie di ventrikel keempat. Otak terutama diperdarahi oleh arteri vertebral yang berasal dari arteri subklavia, naik melalui foramen transversum dari vertebra C1-C6, dan memasuki foramen magnum tengkorak; dan arteri karotid internal yang berasal dari arteri karotis komunis di leher, naik di leher, dan memasuki kanalis karotis dan melintasi foramen laserum sehingga berakhir sebagai arteri serebral anterior dan medial yang beranastomosis dengan sirkulus Willisi (Hansen, 2010).

2.1.3. Histologi

Menurut Eroschenko (2008), otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang, jaringan ikat, dan cairan serebrospinalis. Di dalam kranium dan foramen vertebrale terdapat meninges, yaitu suatu jaringan ikat yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Di antara araknoid mater dan pia mater terdapat spatium subarachnoideum, tempat beredarnya cairan serebrospinalis yang membasahi dan melindungi otak dan medula spinalis.

Sel struktural dan fungsional jaringan saraf adalah neuron. Setiap neuron terdiri dari soma atau badan sel, banyak dendrit, dan satu akson. Badan sel atau soma mengandung nukleus, nukleolus, berbagai organel, dan sitoplasma atau perikarion. Dari badan sel muncul tonjolan-tonjolan sitoplasma yang disebut dendrit yang membentuk percabangan dendritik. Neuron dikelilingi oleh sel yang lebih kecil dan lebih banyak yaitu neuroglia, yaitu sel penunjang nonneural yang memiliki banyak percabangan di SSP dan mengelilingi neuron, akson, dan dendrit. Sel ini tidak terangsang atau menghantarkan impuls karena secara morfologis dan fungsional berbeda dari neuron. Sel neuroglia dapat dibedakan dari ukurannya yang jauh lebih kecil dan nukleus yang berwarna gelap dan jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat lebih banyak daripada neuron (Eroschenko, 2008).

(5)

Gambar 2.2. Bagian-bagian neuron (X100, H&E)

(Sumber: Mescher, A.L., 2009. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. United States of America: The McGraw-Hill Professional)

Empat jenis sel neuroglia adalah astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependimal. Astrosit adalah sel neuroglia terbesar dan paling banyak ditemukan di substansia grisea. Astrosit terdiri dari dua jenis, yaitu astrosit fibrosa dan astrosit protoplasmik. Oligodendrosit membentuk selubung mielin akson di SSP. Mikroglia berasal dari sumsum tulang dan fungsi utamanya mirip dengan makrofag jaringan ikat. Sel ependimal adalah sel epitel kolumnar pendek atau selapis kuboid yang melapisi ventrikel otak dan kanalis sentralis medula spinalis (Eroschenko, 2008).

Otak dan medula spinalis mengandung substansia grisea dan substansia alba. Substansia grisea terdiri dari neuron-neuron, dendrit-dendritnya, dan neuroglia, sedangkan substansia alba tidak mengandung badan sel neuron dan terutama terdiri dari akson bermielin, sebagian akson tidak bermielin, dan oligodendrosit penunjang (Eroschenko, 2008).

(6)

Gambar 2.3. Astrosit fibrosa dan kapiler di otak. Pewarnaan: metode Cajal. Pembesaran sedang.

(Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiore’s Atlas of Histology with Functional

Correlations. 11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U. Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi

Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC, 159)

Gambar 2.4. Oligodendrosit otak. Pewarnaan: metode Cajal. Pembesaran sedang. (Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiore’s Atlas of Histology with Functional

Correlations. 11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U. Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi

(7)

Gambar 2.5. Mikroglia otak. Pewarnaan: metode Hortega. Pembesaran sedang. (Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiore’s Atlas of Histology with Functional

Correlations. 11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U. Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi

Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC, 159)

Gambar 2.6. Sel ependimal pada kanalis sentralis medula spinalis (X200, H&E) (Sumber: Mescher, A.L., 2009. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. United States of America: The McGraw-Hill Professional)

2.1.4. Fisiologi

Menurut Sherwood (2011), sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan medula spinalis. Tidak ada bagian otak yang bekerja sendiri dan terpisah dari bagian-bagian otak lain karena anyaman neuron-neuron terhubung secara anatomis oleh sinaps, dan neuron-neuron di seluruh otak berkomunikasi secara

(8)

ekstensif satu sama lain dengan cara listrik atau kimiawi. Akan tetapi, neuron-neuron yang bekerja sama untuk melaksanakan fungsi tertentu cenderung tersusun dalam lokasi yang terpisah. Karena itu, meskipun merupakan suatu keseluruhan yang fungsional, otak tersusun menjadi bagian-bagian yang berbeda. Bagian-bagian otak dapat dikelompokkan dalam berbagai cara bergantung pada perbedaan anatomik, spesialisasi fungsi, dan perkembangan evolusi.

Medula spinalis memiliki lokasi strategis antara otak dan serat aferen dan eferen susunan saraf tepi. Lokasi ini memungkinkan medula spinalis memenuhi dua fungsi primernya, yaitu sebagai penghubung untuk transmisi informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya dan mengintegrasikan aktivitas refleks antara masukan aferen dan keluaran eferen tanpa melibatkan otak. Jenis aktivitas refleks ini disebut refleks spinal (Sherwood, 2011).

Tabel 2.1. Fungsi komponen utama otak

KOMPONEN OTAK FUNGSI UTAMA

Korteks serebri 1. Persepsi sensorik 2. Kontrol gerakan sadar 3. Bahasa

4. Sifat kepribadian

5. Proses mental canggih (fungsi luhur), misalnya berpikir, mengingat, mengambil keputusan, kreativitas, dan kesadaran diri

Nukleus basalis 1. Inhibisi tonus otot

2. Koordinasi gerakan lambat, menetap

3. Menekan pola gerakan yang tidak bermanfaat Talamus 1. Stasiun pemancar untuk semua masukan sinaps

2. Kesadaran kasar akan sensasi 3. Berperan dalam kesadaran 4. Berperan dalam kontrol motorik

Hipotalamus 1. Regulasi banyak fungsi homeostatik, misalnya kontrol suhu, haus, pengeluaran urin, dan asupan makanan

2. Penghubung penting antara sistem saraf dan endokrin

3. Banyak terlibat dalam emosi dan pola perilaku dasar Serebelum 1. Mempertahankan keseimbangan

2. Meningkatkan tonus otot

3. Mengkoordinasikan dan merencanakan aktivitas otot sadar terampil

(9)

Batang otak (otak tengah, pons, dan medula)

1. Asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer

2. Pusat kontrol kardiovaskular, respirasi, dan pencernaan

3. Regulasi refleks otot yang berperan dalam keseimbangan dan postur

4. Penerimaan dan integrasi semua input sinaps dari medula spinalis; pengaktifan korteks serebri dan keadaan terjaga

5. Peran dalam siklus tidur-bangun

(Sumber: Sherwood, L. 2007. Human Physiology: From Cells to Systems. 6th ed. Singapore: Cengange Learning Asia Pte Ltd. Terjemahan Brahm U. Pendit.

Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2011. Edisi Ke-6. Jakarta: EGC, 155)

2.2. Tumor Otak 2.2.1. Definisi

Menurut Hakim (2005), tumor otak adalah lesi ekspansif jinak atau ganas yang membentuk massa di intrakranial atau medula spinalis. Tumor otak dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu tumor otak primer dan tumor metastasis. Tumor otak primer merupakan tumor yang muncul sebagai akibat dari pertumbuhan abnormal jaringan otak itu sendiri. Tumor metastasis berasal dari organ-organ lain seperti paru-paru, payudara, prostat, dan ginjal (Sagar dan Israel, 2010).

Menurut Kumar (2013), tumor otak memiliki karakteristik unik yang membedakannya dengan tumor-tumor lain, di antaranya adalah:

1. Tumor otak tidak memiliki tahap premaligna atau in situ yang dapat dideteksi seperti pada karsinoma.

2. Tumor low-grade sekalipun dapat menginfiltrasi regio otak sehingga menyebabkan defisit klinis yang serius, tidak dapat direseksi, dan prognosis yang buruk.

3. Lokasi anatomis tumor dapat memengaruhi perjalanan penyakit tanpa memandang tipe histopatologis karena efek lokal yang ditimbulkan atau tumor tidak dapat direseksi.

(10)

2.2.2. Etiologi dan Faktor Risiko

Menurut Cancer Research UK (2013), tumor otak tidak memiliki etiologi yang pasti, namun melibatkan faktor-faktor risiko seperti:

1. Umur

Umur memegang peran penting karena sebagian besar tumor otak terjadi pada anak-anak dan orang dewasa tua meskipun setiap kelompok usia memiliki peluang yang sama untuk mengidap tumor otak (American Society of Clinical

Oncology, 2013; Cancer Research UK, 2013).

2. Jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih mungkin menderita tumor otak daripada perempuan, namun beberapa jenis tumor otak yang spesifik seperti meningioma lebih umum terjadi pada perempuan (American Society of Clinical Oncology, 2013).

3. Industri dan pekerjaan

Zat-zat karsinogenik dan neurotoksik seperti pelarut organik, minyak pelumas, akrilonitril, formaldehida, hidrokarbon aromatik polisiklik, dan fenol dapat menginduksi tumor otak pada hewan coba. Pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan operasi mesin kendaraan bermotor, pengolahan karet, dan penggunaan pestisida berkaitan dengan insidensi tumor otak (El-Zein, 2013). 4. Radiasi ionisasi

Radiasi ionisasi dosis tinggi diketahui dapat meningkatkan risiko meningioma, glioma, dan nerve sheath tumor (Deangelis dan Rosenfeld, 2009; El-Zein, 2013). 5. Makanan dan diet

Konsumsi senyawa N-nitrosourea diduga berperan sebagai neurokarsinogen dengan mekanisme-mekanisme yang melibatkan kerusakan pada DNA (deoxyribonucleic acid) (El-Zein, 2013).

6. Pemakaian telepon selular

Telepon selular memiliki sebuah transmiter kecil yang memancarkan radiasi frekuensi radio berenergi rendah tepat di samping kepala sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa individu yang terpapar radiasi memiliki risiko untuk mengidap tumor otak. Namun, penelitian-penelitian yang sudah ada belum

(11)

menunjukkan adanya hubungan antara pemakaian telepon dengan tumor otak atau tumor lainnya (El-Zein, 2013).

7. Supresi imun

Supresi sistem imun yang didapat seperti pada infeksi HIV (human

immunodeficiency virus) atau terapi imunosupresif kronis setelah transplantasi

organ meningkatkan risiko limfoma SSP primer. Risiko glioma juga meningkat pada individu yang terinfeksi HIV (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

8. Obat-obatan dan bahan kimia lainnya

Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan antara tumor otak pada anak-anak dengan paparan prenatal terhadap obat fertilitas, kontrasepsi oral, obat tidur, obat antinyeri, antihistamin, dan diuretik. Pada orang dewasa, obat sakit kepala, antinyeri, dan obat tidur memiliki efek protektif yang tidak signifikan terhadap tumor otak (El-Zein, 2013).

9. Sindrom genetik

Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), sejumlah sindrom herediter berhubungan dengan peningkatan risiko tumor otak. Misalnya, neurofibromatosis tipe 1 meningkatkan risiko glioma, neurofibromatosis tipe 2 meningkatkan risiko schwannoma vestibular dan meningioma, dan sindrom Li-Fraumeni yang berkaitan dengan mutasi pada gen supresor tumor p53 menyebabkan glioma dan meduloblastoma.

2.2.3. Epidemiologi

Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), tumor intrakranial dapat terjadi pada usia manapun, tetapi histopatologi dan insidensi tumor bervariasi menurut usia. Kasus tumor otak lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita, kecuali meningioma yang sangat didominasi oleh wanita. Pada anak-anak, meduloblastoma dan astrositoma low-grade lebih mendominasi, sedangkan pada orang dewasa, astrositoma maligna dan meningioma adalah tumor otak yang paling umum terjadi. Tabel 2.2. menunjukkan epidemiologi tumor otak di Medan, Indonesia, pada tahun 2003-2004.

(12)

Tabel 2.2. Distribusi tumor otak berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik dan RS Haji Medan tahun 2003-2004

No Umur (tahun) Jenis kelamin Jumlah (N) Persentas e (%) Laki-laki Perempuan n % n % 1 0-10 1 2,08 1 2,08 2 4,17 2 11-20 2 4,17 1 2,08 3 6,25 3 21-30 4 8,33 2 4,17 6 12,50 4 31-40 3 6,25 1 2,08 4 8,33 5 41-50 7 14,58 3 6,25 10 20,83 6 51-60 7 14,58 2 4,17 9 18,75 7 >60 11 22,92 3 6,25 14 29,17 Jumlah total 35 72,92 13 27,08 48 100,00 (Sumber: Hakim, A.A., 2005. Kasus-Kasus Tumor Otak di Rumah Sakit H. Adam

Malik dan Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2003-2004. Medan: Universitas

Sumatera Utara. Tersedia di: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/15584) 2.2.4. Patogenesis

Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor dapat berasal dari sel-sel embrionik yang tertinggal di otak selama proses perkembangan. Tumor juga dapat muncul dari transformasi neoplastik sel-sel dewasa yang matang seperti astrosit, oligodendrosit, mikroglia, atau sel ependimal. Selama sel-sel ini memperbanyak diri, sel-sel anakan menjadi anaplastik dan derajat keganasan semakin bertambah.

Terbentuknya tumor didasarkan atas anggapan bahwa lapisan sel tuba neuralis bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi meduloblas yang kemudian berdiferensiasi menjadi dua bagian, yaitu golongan neuron menjadi neuroblas dan neuron, dan golongan glia melalui spongioblas menjadi astrosit dan oligodendrosit. Lapisan sel tuba neuralis juga dapat menjadi sel ependimal. Setiap tipe sel ini dapat berubah menjadi neoplastik sehingga meduloblas menjadi meduloblastoma, neuroblas menjadi neuroblastoma dan ganglioneuroma, astrosit menjadi astrositoma, oligodendrosit menjadi oligodendroglioma, dan sel ependimal menjadi ependimoma. Tumor yang berasal dari sel-sel glia ini dinamakan glioma (Sobirin, 2001).

Identifikasi penyimpangan kromosom tertentu yang timbul pada sel-sel tumor sistem saraf memberi kesan bahwa biogenesis dan perkembangan tumor

(13)

otak disebabkan oleh gangguan kendali siklus sel. Sebagian defek molekuler memengaruhi terbentuknya tumor, sedangkan sebagian yang lain mendasari perkembangan berikutnya, mempercepat transformasi menjadi ganas, dan menimbulkan sensitivitas atau resistansi terhadap kemoterapi. Mutasi pada gen-gen yang normalnya menekan proliferasi sel, yaitu gen-gen supresor tumor, dapat memicu perkembangan tumor, contohnya mutasi berupa delesi gen supresor tumor p53 pada kromosom 17p yang ditemukan pada 50% kasus astrositoma (Ropper dan Samuels, 2009).

Perubahan lainnya adalah ekspresi berlebihan faktor-faktor pertumbuhan atau reseptornya. Perkembangan menjadi keganasan dapat dipicu oleh defek pada jalur signaling gen p16-retinoblastoma, hilangnya kromosom 10, atau ekspresi berlebihan gen faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor). Contohnya antara lain ekspresi berlebihan (overexpression) atau bentuk mutan dari EGFR (epidermal growth factor receptor) dan PDGFR (platelet-derived

transforming growth factor receptor) pada sekitar 50% kasus glioma. Konsentrasi

yang tinggi dari VEGF (vascular endothelial growth factor) ditemukan pada meningioma yang secara alamiah kaya akan pembuluh darah. Namun, belum jelas apakah penemuan ini menunjukkan suatu hubungan sebab-akibat atau hanya suatu penyimpangan proses genetik yang menyertai pertumbuhan dan perkembangan tumor (Ropper dan Samuels, 2009).

Saat ini, teori yang umum dianut adalah kanker berkembang melalui akumulasi dari perubahan genetik yang memungkinkan sel-sel untuk tumbuh di luar kendali mekanisme regulasi yang normal dan lolos dari proses penghancuran oleh sistem imun. Perubahan-perubahan genetik tersebut mencakup agregasi familial, sindrom-sindrom herediter, faktor-faktor metabolik, sensitivitas mutagen, serta instabilitas kromosom (El-Zein, 2013).

2.2.5. Patofisiologi

Menurut Ropper dan Samuels (2009), kavum kranii memiliki volume yang terbatas dan memiliki tiga unsur yang relatif tidak dapat terkompresi, yaitu otak (sekitar 1.200-1.400 mL), cairan serebrospinalis (70-140 mL), dan darah (150

(14)

mL). Hukum Monro-Kellie menyatakan volume total ketiga unsur ini selalu konstan dan penambahan volume salah satu unsur mengurangi volume unsur lainnya. Tumor yang tumbuh di salah satu bagian otak akan menekan jaringan otak di sekitarnya dan mengurangi volume cairan serebrospinalis dan darah. Begitu batas akomodasi ini telah dicapai, tekanan intrakranial (TIK) akan meningkat.

Seiring pertumbuhan tumor, venula-venula di jaringan otak yang berdekatan dengan tumor akan tertekan sehingga tekanan kapiler meningkat, terutama pada jaringan substansia alba di mana edema lebih mencolok. Pertumbuhan tumor yang lambat memungkinkan otak untuk menyesuaikan diri dengan perubahan aliran darah otak dan peningkatan TIK. Pada stadium pertumbuhan tumor yang lebih lanjut, mekanisme kompensasi gagal serta tekanan cairan serebrospinalis dan TIK meningkat. Pada awalnya, tumor mulai menggeser jaringan di sekitarnya dan kemudian menggeser jaringan pada jarak tertentu dari tumor, menimbulkan tanda-tanda lokalisasi yang palsu (Ropper dan Samuels, 2009).

2.2.6. Gejala Klinis

Menurut Hansen (2010), gejala klinis tumor otak bergantung pada lokasi dan derajat peningkatan TIK. Tumor-tumor yang tumbuh dengan lambat di daerah-daerah yang relatif tenang seperti lobus frontalis mungkin saja tidak terdeteksi dan dapat menjadi cukup besar sebelum memunculkan gejala. Tumor-tumor kecil di daerah-daerah penting dapat menimbulkan kejang, hemiparesis, atau afasia.

Tumor otak biasanya muncul dengan salah satu dari tiga sindrom: (1) progresi subakut dari suatu defisit neurologis fokal, (2) kejang, atau (3) kelainan neurologis nonfokal. Adanya gejala sistemik seperti malaise, penurunan berat badan, anoreksia, atau demam cenderung menunjukkan suatu metastasis dibandingkan suatu tumor otak yang primer. Defisit neurologis fokal yang progresif muncul dari kompresi neuron dan jaras-jaras pada substansia alba oleh karena perkembangan tumor dan edema di sekitarnya. Tumor otak jarang muncul

(15)

dengan defisit neurologis fokal yang bersifat tiba-tiba seperti pada stroke. Kejang dapat disebabkan oleh gangguan pada sirkuit kortikal. Kelainan neurologis nonfokal biasanya menunjukkan peningkatan TIK, hidrosefalus, atau penyebaran tumor yang difus. Peningkatan TIK dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih luas dengan mengkompresi struktur otak yang kritis. Gejala-gejala yang umum dijumpai adalah penurunan kesadaran, malaise, sakit kepala, mual/muntah, dan papiledema. Sakit kepala pada tumor otak, selain disebabkan oleh peningkatan TIK, dapat juga diakibatkan oleh iritasi fokal atau pergeseran dari struktur-struktur yang sensitif terhadap nyeri (Sagar dan Israel, 2010).

Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor otak seringkali muncul tanpa adanya gejala yang berarti seperti gangguan kapasitas aktivitas mental, sedangkan tanda-tanda fokal lainnya tidak muncul. Pada kelompok pasien yang lain, terdapat indikasi awal adanya tumor otak berupa hemiparesis yang progresif, kejang yang muncul pada orang yang sebelumnya sehat, dan gejala-gejala lainnya. Kelompok pasien yang lainnya memiliki gejala berupa peningkatan TIK dengan atau tanpa tanda-tanda lokalisasi tumor. Beberapa pasien juga memiliki gejala-gejala yang sangat khas yang jarang muncul oleh karena penyakit yang lainnya sehingga dapat ditegakkan diagnosis bukan hanya eksistensi tumor otaknya saja, namun juga tipe dan lokasi tumor tersebut.

Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), gejala klinis tumor otak bervariasi menurut lokasinya, seperti:

1. Tumor lobus oksipitalis menyebabkan hemianopia dan gangguan penglihatan. 2. Tumor lobus frontalis sering menyebabkan perubahan kepribadian, demensia, kelainan cara berjalan, seizure, hemiparesis, dan afasia ekspresif dari hemisfer serebri yang dominan.

3. Tumor lobus temporalis menyebabkan perubahan kepribadian, termasuk gangguan berbahasa dari hemisfer serebri yang dominan, kejang parsial kompleks, dan defisit lapangan pandang.

4. Tumor pada korpus kalosum dapat menyebabkan demensia apabila kalosum anterior terlibat, perubahan kepribadian dan kehilangan ingatan yang berat

(16)

dengan sindrom amnestik apabila splenium terlibat, atau tanpa gejala sama sekali.

5. Tumor pada sudut serebelopontin dapat menyebabkan ketulian ipsilateral, mati rasa pada wajah, kelemahan, dan ataksia.

6. Tumor basis kranii umumnya memengaruhi saraf kranialis.

7. Tumor pineal menyebabkan hidrosefalus dan sindrom Parinaud dengan upgaze yang terganggu dan kelainan pada pupil.

8. Tumor serebelum menyebabkan sakit kepala, ataksia, nistagmus, dan nyeri leher.

9. Tumor hipofisis menyebabkan hemianopia bitemporal dari kompresi kiasma optikum.

2.2.7. Diagnosis

Menurut Sobirin (2001), tidak selalu mudah untuk menduga dan membuat suatu diagnosis tumor otak karena gejala klinis yang dihasilkan dapat bervariasi tergantung pada histopatologi dan lokasinya. Misalnya, glioma tahap dini, yaitu astrositoma grade I dan II, dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan manifestasi klinis apapun. Selain itu, gejala klinisnya sukar dibedakan dengan penyakit-penyakit lainnya, sehingga dugaan yang mengarah ke tumor otak sering terlewatkan. Padahal, tumor otak merupakan penyakit yang serius dan kesuksesan pengobatannya bergantung pada diagnosis yang lebih dini. Diagnosis tumor otak ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan penunjang, di antaranya pemeriksaan EEG, CT scan, arteriografi, dan patologi anatomi.

Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya massa intrakranial antara lain: 1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI merupakan pilihan utama dalam mengevaluasi tumor intrakranial. MRI lebih sensitif daripada CT scan untuk menggambarkan detail anatomis dan tumor-tumor di fossa posterior. Functional MRI (fMRI) dapat menunjukkan hubungan tumor dengan struktur intrakranial yang lain seperti pusat motorik atau berbicara

(17)

sehingga dokter bedah dapat memastikan keamanan reseksi komplit sebelum pasien dibawa ke ruang operasi (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

2. Computed tomography scan (CT scan)

CT scan berguna dalam mendeteksi erosi tulang pada tumor metastasis atau hiperostosis pada meningioma, namun kurang sensitif untuk tumor yang terletak di fossa posterior. Administrasi kontras pada CT scan dan MRI dapat mendeteksi defek pada sawar darah-otak dan tumor ekstraaksial. Baik CT scan maupun MRI dapat menvisualisasikan perdarahan (hemorrhage) pada suatu tumor (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

3. Positron-emission tomography (PET)

PET dengan 18F-fluoro-deoxyglucose (FDG) digunakan untuk mengukur metabolisme tumor dan membedakan tumor dari nekrosis radiasi (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

4. Single-photon emission computed tomography (SPECT)

SPECT melibatkan administrasi zat radioaktif dan digunakan untuk fungsi yang sama dengan FDG-PET (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

5. Elektroensefalografi (EEG)

EEG hampir tidak berguna untuk mendiagnosis tumor otak, namun dapat bermanfaat apabila pasien tidak responsif dan dicurigai menderita status epileptikus nonkonvulsif (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

6. Angiografi

Angiografi digunakan untuk menetapkan anatomi pembuluh darah sebelum pembedahan seperti menggambarkan patensi sinus venosus, dan untuk embolisasi preoperatif untuk mengurangi vaskularitas tumor sebelum reseksi, seperti pada tumor glomus jugularis (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

7. Analisis cairan serebrospinalis

Analisis cairan serebrospinalis umumnya tidak diperlukan untuk kebanyakan neoplasma intrakranial. Tes ini bermanfaat hanya untuk staging neurologis yang dibutuhkan dalam diagnosis limfoma SSP primer, tumor germ cell intrakranial, meduloblastoma, atau pineoblastoma (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

(18)

2.2.8. Klasifikasi

Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor otak diklasifikasikan berdasarkan sel asal tumor dan tingkat keganasan untuk menilai laju pertumbuhan dan perilaku klinis tumor. Perbedaan antara tumor otak varian klasik dan anaplastik penting untuk penatalaksanaan pascapembedahan di lokasi-lokasi otak tertentu dan prognosis tumor. Menurut American Brain Tumor Association (2014), karakteristik beberapa tumor otak secara umum menurut gambaran histopatologi adalah sebagai berikut:

1. Glioma

Glioma merupakan tumor yang berasal dari sel glia. Ada tiga jenis sel glia yang dapat menghasilkan tumor, yaitu astrosit yang menghasilkan astrositoma, oligodendrosit yang menghasilkan oligodendroglioma, dan sel ependimal yang menghasilkan ependimoma. Tumor yang menampilkan campuran dari berbagai jenis sel ini disebut mixed glioma (American Brain Tumor Association, 2012). 2. Astrositoma

Astrositoma berasal dari astrosit, yaitu sel-sel berbentuk bintang yang membentuk jaringan penyokong otak. Berdasarkan normal atau tidaknya penampakan sel-selnya, dikenal adanya astrositoma low-grade yang umum pada anak-anak dan

high-grade yang umum pada orang dewasa. Astrositoma paling sering dijumpai

pada usia 45 tahun ke atas, meskipun jenis astrositoma tertentu seperti astrositoma pilositik lebih sering muncul pada anak-anak dan dewasa muda. Tumor ini lebih sering muncul pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (American Brain

Tumor Association, 2012). Contoh gambaran histopatologi astrositoma antara lain

astrositoma pilositik, astrositoma well-differentiated, dan astrositoma anaplastik. Astrositoma pilositik seringkali bersifat kistik, dan jika padat, biasanya berbatas tegas. Tumor ini terdiri dari sel-sel bipolar dengan prosesus-prosesus yang panjang dan tipis. Rosenthal fibers, badan-badan granul eosinofilik, mikrokista sering dijumpai, sedangkan nekrosis dan mitosis jarang dijumpai. Astrositoma

well-differentiated dicirikan oleh peningkatan jumlah nukleus sel glia yang ringan

sampai sedang, pleomorfisme nukleus yang bervariasi, dan prosesus-prosesus sel astrosit yang memberikan penampilan seperti fibril. Astrositoma anaplastik

(19)

menunjukkan kelompok sel-sel yang lebih padat, pleomorfisme nukleus yang lebih berat, dan dijumpai mitosis (Kumar, 2013).

3. Glioblastoma multiforme (GBM)

Glioblastoma multiforme merupakan tumor dari astrosit yang sangat ganas karena sel-selnya bereproduksi dengan cepat dan disokong oleh jaringan pembuluh darah yang luas. Tumor ini biasanya mengandung campuran dari berbagai jenis sel, mineral kistik, deposit kalsium, dan pembuluh-pembuluh darah (American Brain

Tumor Association, 2012). Glioblastoma multiforme memiliki tampilan

histopatologis yang sama dengan astrositoma anaplastik, disertai nekrosis dengan nukleus yang pseudopalisading atau proliferasi pembuluh darah (Kumar, 2013). 4. Ependimoma

Ependimoma berasal dari sel-sel ependimal yang melapisi ventrikel-ventrikel otak dan kanalis sentralis medula spinalis. Ependimoma adalah tumor yang lembek dan berwarna keabu-abuan atau merah yang mungkin mengandung kista atau kalsifikasi mineral (American Brain Tumor Association, 2012). Sel-sel ependimoma terdiri dari sel-sel dengan nukleus yang bulat hingga oval, reguler, dan penebalan kromatin granular. Di antara nukleus-nukleus terdapat latar belakang fibrilaris yang padat. Sel-sel tumor dapat membentuk struktur seperti

rosette yang menyerupai kanalis ependimalis yang terdapat pada embrio dengan

prosesus-prosesus yang menjorok ke dalam lumen. Ependimoma anaplastik menunjukkan peningkatan kepadatan sel, laju mitosis yang tinggi, nekrosis, dan diferensiasi sel-sel ependimal yang kurang jelas (Kumar, 2013).

5. Oligodendroglioma

Oligodendroglioma berasal dari oligodendrosit. Oligodendroglioma umumnya tampak sebagai tumor yang lembek, berwarna merah muda keabu-abuan, dan sering mengandung deposit kalsifikasi mineral, area perdarahan, dan/atau kista. Oligodendroglioma kadang-kadang bercampur dengan tipe-tipe sel lainnya, seperti oligoastrositoma, yaitu tumor yang mengandung sel astrositoma dan oligodendroglioma (American Brain Tumor Association, 2012). Pada pemeriksaan mikroskopis, terdapat sel-sel tumor yang tersusun reguler dengan nukleus berbentuk sferis yang berisi kromatin-kromatin granular, dikelilingi oleh

(20)

sitoplasma jernih berbentuk halo. Tumor ini biasanya memiliki jaringan anastomosis kapiler yang halus. Kalsifikasi yang dijumpai pada tumor beragam ukurannya mulai dari fokus-fokus mikroskopis hingga deposisi yang masif, dan aktivitas mitosis biasanya sulit dideteksi. Oligodendroglioma anaplastik adalah subtipe tumor yang lebih agresif dengan kepadatan sel, anaplasia nukleus, dan aktivitas mitosis yang lebih tinggi (Kumar, 2013).

Gambar 2.7. Gambaran histopatologi dari astrositoma pilositik (WHO grade I) Sumber: Brain Tumor Research, 2008. Tumors We Work On: Pediatric

Low-Grade Gliomas. Maryland: John Hopkins University. Tersedia di:

http://pathology.jhu.edu/pma/what.php)

Gambar 2.8. Gambaran histopatologi dari glioblastoma multiforme

(Sumber: Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 843)

(21)

Gambar 2.9. Gambaran histopatologi dari ependimoma

(Sumber: Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 844)

Gambar 2.10. Gambaran histopatologi dari oligodendroglioma

(Sumber: Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 844)

6. Meningioma

Meskipun diklasifikasikan sebagai tumor otak, meningioma tidak berasal dari jaringan otak, namun berasal dari meninges (American Brain Tumor Association, 2012). Menurut Kumar (2013), meningioma dapat mengkompresi jaringan otak namun tidak menginvasinya. Meningioma dapat juga meluas hingga ke tulang di dekatnya. Menurut Riemenscheider (2006), meningioma diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu benigna (WHO grade I), atipikal (WHO grade II), dan anaplastik (WHO grade III). Menurut American Brain Tumor Association (2012) dan

(22)

American Society of Clinical Oncology (2013), meningioma lebih umum terjadi

pada perempuan dengan tingkat insidensi dua kali lipat lebih sering dibandingkan pada pria. Hubungan antara jenis kelamin dengan insidensi meningioma diduga disebabkan oleh pengaruh hormon, meskipun belum terdapat bukti yang konsisten (Riemenschneider, 2006; Wiemels, 2010). Menurut Kumar (2013), pola-pola histopatologi meningioma yang sering dijumpai adalah:

a. Meningioma sinsitial (meningotelial), berupa kluster sel-sel yang

whorling tanpa terlihat adanya membran sel yang tersusun rapat.

b. Meningioma fibroblastik, dengan sel-sel yang elongasi dan deposisi kolagen yang melimpah di antara sel-sel tersebut.

c. Meningioma transitional, yang memiliki tampilan berupa campuran dari meningioma sinsitial dan fibroblastik.

d. Meningioma psammomatosa, berupa sel-sel dengan psammoma bodies yang jumlahnya banyak.

e. Meningioma sekretori, dengan sekresi eosinofilik seperti kelenjar yang disebut pseudopsammoma bodies.

f. Meningioma atipikal dicirikan dengan nukleolus yang mencolok, selularitas yang meningkat, pertumbuhan yang tak berpola, dan laju mitosis yang lebih tinggi. Tumor ini lebih agresif dan tingkat rekurensinya lebih tinggi.

g. Meningioma anaplastik adalah tumor yang sangat agresif yang menyerupai sarkoma atau karsinoma high-grade, meskipun dapat terlihat adanya asal sel meningotelial secara histopatologis.

7. Meduloblastoma

Meduloblastoma adalah tumor yang berasal dari sel-sel embrional pada saat tahap awal perkembangan. Tumor ini terlihat seperti massa berwarna abu-abu keunguan atau merah muda. Gambaran klasik histopatologisnya berupa sel-sel bulat kecil padat dengan nukleus yang besar. Sel-sel tumor memiliki sitoplasma yang sedikit, nukleus yang hiperkromatik, dan laju mitosis yang meningkat. Namun, sel-sel tumor juga dapat memiliki pola-pola lain, seperti meduloblastoma anaplastik yang

(23)

mengandung sel-sel tumor yang besar (American Brain Tumor Association, 2012; Kumar, 2013).

8. Metastasis

Lesi-lesi metastatik, sebagian besar berupa karsinoma, mencakup kira-kira seperempat hingga setengah dari jumlah tumor intrakranial. Lesi-lesi tersebut membentuk massa yang berbatas jelas antara sel-sel tumor dengan parenkim otak disertai dengan gliosis reaktif di sekelililing lesi (Kumar, 2013). Tumor otak yang berupa metastasis berasal dari sel-sel tumor dari bagian tubuh yang lain, di antaranya kanker paru-paru, kanker payudara, melanoma, kanker kolon, dan kanker ginjal (American Brain Tumor Association, 2012).

Gambar 2.11. Gambaran histopatologi berbagai varian meningioma WHO grade I: meningioma meningotelial (A), fibroblastik (B), transisional (C), psammomatosa (D), angiomatosa (E), mikrokistik (F), sekretori (G), limfoplasmasit (H), dan metaplastik (I). Pewarnaan: A-D, F, H, I: hematoksilin-eosin, E: immunostaining dengan antibodi anti-CD34; G: periodic acid Schiff stain.

(Sumber: Riemenschneider M. J., Perry A., and Reifenberger G., 2006.

Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet

Neurology. 5: 1045-54. Tersedia di:

(24)

Gambar 2.12. Gambaran histopatologi berbagai varian meningioma WHO grade II: meningioma atipikal (A), clear-cell (B), dan chordoid (C). Pewarnaan: hematoksilin-eosin.

(Sumber: Riemenschneider M. J., Perry A., and Reifenberger G., 2006.

Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet

Neurology. 5: 1045-54. Tersedia di:

http://www.unilim.fr/campus-neurochirurgie/IMG/pdf/LancetNe.pdf)

Gambar 2.13. Gambaran histopatologi berbagai varian meningioma WHO grade III: meningioma anaplastik (A), rhabdoid (B), dan papillary (C). Pewarnaan: A-C: hematoksilin-eosin; B: toluidine biru.

(Sumber: Riemenschneider M. J., Perry A., and Reifenberger G., 2006.

Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet

Neurology. 5: 1045-54. Tersedia di:

http://www.unilim.fr/campus-neurochirurgie/IMG/pdf/LancetNe.pdf)

Gambar 2.14. Gambaran histopatologi dari meduloblastoma

(Sumber: Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 845)

(25)
(26)

(Sumber: Louis, D.N. et al., 2007. The 2007 WHO Classification of Tumours of

(27)

2.2.9. Staging

Menurut National Cancer Institute (2014), tumor otak juga dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat keganasannya. Tumor otak tidak dikelompokkan berdasarkan staging TNM oleh karena ukuran tumor (T) kurang relevan dibandingkan dengan histopatologi dan lokasi tumor, otak dan medula spinalis tidak memiliki jaringan limfatik (N), dan tumor otak jarang bermetastasis (M) dan pasien tumor otak kebanyakan tidak hidup cukup lama untuk mengalami metastasis.

Tabel 2.4. Staging tumor otak menurut WHO 2007

Staging Deskripsi Contoh

Grade I Tampilan tumor hampir mirip dengan jaringan otak yang normal, tumbuh dengan lambat, dan efektif disembuhkan dengan pembedahan. Biasanya tumor grade ini dihubungkan dengan kelangsungan hidup yang cukup panjang.

Astrositoma pilositik,

kraniofaringioma

Grade II Tumor tumbuh dengan lambat dan terlihat sedikit abnormal di bawah mikroskop dibandingkan dengan tumor grade I.

Oligodendroglioma, ependimoma

Grade III Tumor bersifat ganas dan memiliki tampilan nuklear yang atipik dan aktivitas mitotik yang meningkat. Tumor memiliki gambaran histopatologis yang anaplastik.

Astrositoma anaplastik

Grade IV Tumor bersifat paling ganas. Sel-selnya bereproduksi dengan cepat dan memiliki tampilan yang aneh di bawah mikroskop. Tumor ini membentuk pembuluh darah yang baru untuk mempertahankan pertumbuhannya yang cepat dan terdapat juga area nekrosis.

Glioblastoma multiforme

(Sumber: American Brain Tumor Association, 2012. Tumor Grading and Staging. Chicago: American Brain Tumor Association; National Cancer Institute, 2014.

Classification of Adult Brain Tumors. United States of America: National Cancer

Institute; Ropper, A.H. and Samuels, M.A., 2009. Adams & Victor’s Principles of

Neurology. 9th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies) 2.2.10. Penatalaksanaan

Menurut National Cancer Institute (2014), penatalaksanaan tumor otak bervariasi menurut histopatologi dan lokasi anatomis. Bahkan untuk tumor-tumor

(28)

seperti meningioma low-grade yang asimtomatis, observasi saja sudah cukup dan terapi dilakukan apabila telah terdeteksi pertumbuhan tumor atau munculnya gejala. Adapun pilihan penatalaksanaan tumor otak secara umum mencakup: 1. Pembedahan

Untuk sebagian besar tumor otak, usaha pembedahan komplit atau hampir komplit umumnya direkomendasikan, apabila mungkin, dengan pemeliharaan fungsi neurologis dan kesehatan pasien. Tujuan pembedahan adalah untuk menegakkan diagnosis histopatologi dan mengurangi TIK (National Cancer Institute, 2014). 2. Terapi radiasi

Pasien yang menjalani terapi radiasi pascaoperasi baik tumor low-grade maupun

high-grade dinilai dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan dengan yang

tidak menjalani terapi radiasi. Terapi radiasi yang berulang harus diberikan dengan hati-hati karena adanya risiko defisit neurokognitif dan nekrosis yang timbul akibat radiasi (National Cancer Institute, 2014).

3. Kemoterapi

Selama beberapa tahun, kemoterapi sistemik yang digunakan adalah nitrosourea carmustine (BCNU) yang merupakan kemoterapi standar sekaligus dengan pembedahan dan radiasi untuk glioma maligna. Namun saat ini, temozolomide sudah menggantikan carmustine sebagai kemoterapi standar. Kemoterapi bukan terapi utama bagi kebanyakan pasien, namun dapat bermanfaat bagi pasien dengan metastasis tumor yang kemosensitif (National Cancer Institute, 2014).

4. Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat meredakan gejala tumor otak dengan cepat dengan cara mengurangi edema di sekitar tumor dan mengurangi TIK. Obat standar yang digunakan adalah deksametason. Deksametason dapat memperbaiki sawar darah otak yang terganggu pada tumor otak yang ganas. Kortikosteroid diindikasikan pada seluruh pasien tumor otak yang simtomatis, khususnya pasien dengan edema peritumoral yang terlihat pada pencitraan, kecuali pada pasien dengan limfoma SSP primer di mana kortikosteroid dapat meregresi tumor sehingga menyulitkan penegakan diagnosis apabila diberikan sebelum tumor dibiopsi. Meskipun bermanfaat, pemberian kortikosteroid jangka panjang dapat mengakibatkan

(29)

toksisitas klinis, sehingga apabila gejala yang dialami pasien sudah terkontrol dan terapi yang spesifik untuk tumor telah dilakukan, dosis kortikosteroid harus dikurangi (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

5. Antikonvulsan

Antikonvulsan diberikan pada seluruh pasien tumor otak yang mengalami kejang. Namun, kebanyakan pasien tumor otak tidak mengalami kejang sebagai gejala awal. Pemberian antikonvulsan profilaksis tidak dianjurkan bagi pasien tumor otak yang belum mengalami kejang karena diteliti tidak bermanfaat. Yang lebih penting, banyak antikonvulsan berinteraksi dengan obat-obatan yang lain, misalnya dapat meningkatkan metabolisme agen kemoterapi sehingga kadarnya menurun ke level subterapetik (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

Gambar

Gambar 2.1. Potongan otak secara sagital
Gambar 2.2. Bagian-bagian neuron (X100, H&E)
Gambar 2.3. Astrosit fibrosa dan kapiler di otak. Pewarnaan: metode Cajal.
Gambar 2.6. Sel ependimal pada kanalis sentralis medula spinalis (X200, H&E)  (Sumber: Mescher, A.L., 2009
+6

Referensi

Dokumen terkait

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan

pengembangan ini dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, pada penelitian ini hanya terdiri dari empat tahapan yaitu : Tahap analisis , tahap desain, pengkodean dan

2.2.1 Disiplin dalam waktu dan peraturan yang diterapkan dalam berdiskusi maupun presentasi dalam mempelajri materi peluang4. 2.2.2 Jujur dalam perkataan, tindakan dan

Pada masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun) umumnya anak sedang duduk dibangku sekolah menengah. Remaja mengembangkan konsep diri sesuai dengan cara pandang diri

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa metode Think Pair Share dengan media komik dapat meningkatkan hasil belajar IPS materi jenis usaha dan kegiatan ekonomi pada

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa fungsi dari Public Relations adalah membina hubungan yang harmonis, baik itu dengan publik intern maupun publik ekstern

Melalui program ini diharapkan akan mampu meningkatkan jiwa wirausaha dikalangan masyarakat khususnya mahasiswa dalam rangka mengatasi masalah

Sayangnya, jarak jangkau kendaraan tidak diimbangi dengan ketahanan fisik manusia yang mengendarainya. Tingkat kelelahan manusia, disamping juga faktor kerusakan kendaraan,