PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS IPA
SISWA KELAS V
Ni Wyn. Sri Widyantari
1, Dsk. Pt. Parmiti
2, Dw. Nym. Sudana
31,3
Jurusan PGSD,
2Jurusan TP, FIP
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: sri.widyantari@yahoo.co.id
1, dskpt_parmiti@yahoo.co.id
2,
sudanadewanyomanpgsd@yahoo.co.id
3Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis siswa kelompok eksperimen yang belajar menggunakan model pembelajaran berbasis proyek, (2) mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis siswa kelompok kontrol yang belajar dengan model pembelajaran konvensional, (3) mengetahui perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis proyek dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran IPA di kelas V SD di Gugus IV Kecamatan Buleleng. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dengan rancangan non-equivalent post test only control group design. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas V SD di Gugus IV Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 132 orang. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik random sampling dan diperoleh siswa SD No. 2 Penglatan sebanyak 38 orang sebagai kelompok eksperimen dan siswa SD No. 2 Alasangker sebanyak 40 orang sebagai kelompok kontrol. Data kemampuan berpikir kritis siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes uraian dan dianalisis menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial (uji-t). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) kemampuan berpikir kritis siswa kelompok eksperimen berada pada kategori tinggi; (2) kemampuan berpikir kritis siswa kelompok kontrol berada pada katagori sedang; (3) terdapat berbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis proyek dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis proyek berpengaruh signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.
Kata kunci: pembelajaran berbasis proyek, berpikir kritis.
Abstract
This study was aimed to (1) describe an ability of critical thinking of students from experimental group who were treated by project based learning model, (2) describe an ability of critical thinking of students from control group who were treated by conventional technique (3) to know a significant different of ability of critical thinking between students who were treated by project based learning model and students who were treated by conventional technique in natural science course in the fifth grade of elementary school in Gugus IV Buleleng district. This research was a quasi experimental research with using non-equivalent post test only of control group design. The population of this research was all students of fifth grade elementary school in Gugus IV Buleleng district in academic year 2014/2015 who involved 132
people. The sample of this research was determined through random sampling technique and chosen 38 people as experimental group and 40 students of SD No. 2 Alasangker as control group. The data of critical thinking ability of students was collected by using essay and analyzed through using descriptive analysis and inferential statistic (T-test). The result of this study showed that: (1) an ability of critical thinking of students from experimental group was in the high category; (2) an ability of critical thinking of students from control group was in the middle category; (3) there was a significant different of critical thinking between group of students who were treated by project based learning model and group of students who were treated by conventional technique. It can be concluded that the project-based learning model a significant effect on students' critical thinking skills in science subjects compared to conventional learning model.
Keywords : project based learning, critical thinking PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi dan
komunikasi di era globalisasi begitu pesat.
Perkembangan ini mengakibatkan
perubahan di berbagai bidang mulai dari bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Indonesia sebagai bagian dari komunitas
dunia harus dapat bersaing dan
menyesuaikan diri dengan perubahan yang
ada. Supaya dapat bersaing dan
beradaptasi, dibutuhkan sumber daya
manusia yang berkualitas. Salah satu
wahana untuk membentuk dan
mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah adanya pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pendidikan perlu adanya kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah dan guru.
Adapun upaya yang telah dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia, antara lain sebagai berikut. (a) Melakukan penyempurnaan
kurikulum, dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan disempurnakan kembali menjadi Kurikulum 2013. (b) Peningkatan kompetensi guru melalui sertifikasi. (c) Pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana sekolah.
Namun pada kenyataannya, sampai
sekarang mutu pendidikan di Indonesia
dianggap masih rendah dibandingkan
dengan negara-negara lain di dunia.
Berdasarkan data The United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2011 melaporkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) atau Human Development
Index (HDI) Indonesia mengalami
penurunan dari peringkat 108 pada 2010
menjadi peringkat 124 pada tahun 2012 dari 180 negara. Senada dengan hal tersebut, UNESCO pada tahun 2012 melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 berdasarkan penilaian Education Development Index
(EDI) atau Indeks Pembangunan
Pendidikan. Total nilai EDI itu diperoleh dari
rangkuman perolehan empat kategori
penilaian, yaitu angka partisipasi
pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi
menurut kesetaraan gender, angka
bertahan siswa hingga kelas V Sekolah
Dasar. Dalam studi Programme for
International Student Assessment (PISA) tahun 2003 khusus pada bidang literasi sains atau IPA Indonesia berada di peringkat ke-38 dari 41 negara peserta survei (Kompasiana, 2013).
Rendahnya mutu pendidikan salah satunya disebabkan oleh metode atau strategi yang digunakan oleh guru saat mengajar. Karena telah kita sadari bahwa
sebaik apapun kurikulum pendidikan
apabila tidak diimbangi oleh
pengimplementasian yang maksimal dan tepat guna yang dilakukan guru maupun
siswa maka hasil pendidikan yang
diharapkan tidak akan tercapai secara maksimal. Agar tujuan maupun hasil pendidikan dapat tercapai secara maksimal maka diperlukan adanya pengemasan pembelajaran yang beragam dan dimulai dari pendidikan di sekolah dasar.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
merupakan salah satu mata pelajaran pokok dalam kurikulum di Indonesia termasuk pada jenjang sekolah dasar dan
pengetahuan yang memegang peranan
penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Menurut
Susanto (2013), IPA memiliki tiga bagian utama yaitu: (1) proses ilmiah, misalnya mengamati, mengklasifikasi, memprediksi,
merancang, dan melaksanakan
eksperimen, (2) produk ilmiah, misalnya prinsip, konsep, hukum, dan teori, (3) sikap
ilmiah, misalnya ingin tahu, sikap
kerjasama, bertanggungjawab, dan berpikir bebas. Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran IPA diharapkan berdasarkan pronsip-prinsip, proses, dan memberikan kesempatan penuh kepada peserta didik agar mampu berpikir dan bersikap terhadap alam melalui kegiatan pengamatan, diskusi, dan penyelidikan sederhana sehingga dengan demikian peserta didik akan mendapatkan pengalaman belajar.
Pengalaman belajar yang lebih
bermakna dan menarik diharapkan dapat membantu perserta didik memahami dan mengingat pengetahuan yang didapat
dalam waktu yang lama, karena
pemahaman dasar IPA di SD sangat penting sebagai cikal bakal mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi yang akan
didapatkan pada jenjang pendidikan
selanjutnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa jika pemahaman IPA sudah baik di tingkat sekolah dasar maka akan berimplikasi pada jenjang berikutnya. Mengingat pentingnya peran IPA bagi peserta didik khususnya pada jenjang sekolah dasar maka sudah seyogyanya dalam pembelajaran guru merancang pembelajaran inovatif agar
dapat mengembangkan kemampuan
berpikir dan kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Namun, pada kenyataannya harapan ini sulit untuk direalisasikan.
Tidak dapat dipungkiri, pembelajaran yang berlangsung di sekolah saat ini masih didominasi oleh penerapan pembelajaran konvensional. Hal ini ditandai dengan pembelajaran yang masih berpusat kepada guru (teacher centered) dan menganggap guru adalah satu-satunya sumber belajar. Pembelajaran yang berlangsung seperti ini akan membuat peserta didik pasif, karena
tugas mereka hanya mendengarkan
berbagai informasi tanpa menuntut mereka untuk menerapkannya dalam kehidupan
nyata. Hal ini mengakibatkan pembelajaran
yang berlangsung kurang bermakna
sehingga lulusan yang dihasilkan akan sulit bersaing di dunia kerja karena hanya kaya dengan pemahaman teoritis.
Berdasarkan hasil observasi, hal inilah yang terjadi di SD yang berada di Gugus IV Kecamatan Buleleng. Pembelajaran yang berlangsung di gugus tersebut masih
didominasi oleh penerapan model
pembelajaran konvensional khususnya
pada mata pelajaran IPA. Pembelajaran yang berlangsung yaitu guru menjelaskan
materi di depan kelas dan siswa
mendengarkan kemudian guru memberikan latihan soal pada LKS, siswa menjawab
dan mengumpulkan tugas tersebut.
Pembelajaran yang berlangsung demikian
adalah pembelajaran yang lebih
mengedepankan IPA sebagai produk dan mengabaikan IPA sebagai proses dan sikap ilmiah. Hal ini mengakibatkan peserta didik
kurang mendapat kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikirnya sehingga berdampak pada rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa.
Rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa dalam mata pelajaran IPA dapat dilihat dari minimnya siswa yang
bertanya dan memberikan pendapat,
kesulitan untuk memecahkan masalah, serta siswa kurang mampu menentukan solusi dan kesimpulan terhadap suatu permasalahan. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus maka akan berdampak kurang baik bagi siswa yaitu siswa menjadi
kurang terlatih dalam bertanya,
memberikan pendapat, memecahkan
masalah, dan menarik kesimpulan.
Beberapa kemampuan tersebut harus dilatih dan dikembangkan pada peserta
didik karena kemampuan tersebut
merupakan indikator kemapuan berpikir kritis.
Pada dasarnya bepikir kritis
merupakan suatu kecakapan nalar secara
teratur, kecakapan sistematis dalam
menilai, memecahkan masalah, menarik
keputusan, memberikan keyakinan,
menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah (Sukmadinata dan Syaodih, 2012). Adapun keutungan yang diperoleh dari proses
belajar mengajar yang menekankan
ekonomis, artinya bahwa pengetahuan yang diperoleh dari proses pembelajaran akan bertahan lama dalam benak siswa, 2) cenderung menambah semangat belajar, baik pada guru maupun pada siswa, 3) siswa diharapkan mempunyai sikap ilmiah, dan 4) siswa mempunyai kemampuan pemecahan masalah, baik pada saat pembelajaran di kelas maupun dalam menghadapi permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari (Lasmawan, 2010).
Berpikir kritis penting untuk
dikembangkan terutama dalam mata
pelajaran IPA karena pembelajaran akan lebih ekonomis, cenderung menambah semangat belajar, siswa mempunyai sikap ilmiah, dan dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan (Lasmawan, 2010). Di samping
itu, IPA merupakan pelajaran yang
membantu siswa mengembangkan
kemampuan berpikir kritis melalui
penyelesaian masalah-masalah IPA atau masalah nyata yang bersifat kompleks (Susanto, 2013). Oleh karena itu, berpikir
kritis perlu dikembangkan dengan
menerapkan berbagai metode, strategi, atau model pembelajaran inovatif dalam pembelajaran IPA yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.
Salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan menerapkan model pembelajaran berbasis proyek (projec-based learning/ PjBL). Projec-based learning adalah model pembelajaran yang berfokus pada konsep dan prinsip utama dari suatu disiplin,
melibatkan siswa dalam kegiatan
pemecahan masalah dan tugas,
memberikan peluang kepada siswa untuk
bekerja secara otonom mengkonstruk
belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa yang bernilai dan realistik (Thomas dalam Agustiana dan Tika, 2013).
Pembelajaran berbasis proyek
merupakan pembelajaran yang memiliki potensi yang amat besar untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk peserta didik (Santyasa, 2012). Produk yang dihasilkan selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh fasilitator di dalam
pembelajarannya. Oleh sebab itu, peran guru tidak lebih aktif daripada siswa.
Menurut Kurniasih dan Sani (2014), model pembelajaran proyek dilakukan melalui enam tahap utama yaitu sebagai berikut. (1) Membentuk kelompok dan orientasi tema, pada tahap ini siswa membentuk kelompok dan mencatat bahan bacaan yang ditugaskan oleh guru. (2)
Perencanaan kegiatan penyelesaian
proyek, pada tahap ini siswa membuat rincian terhadap tahapan proses atau memahami tahapan penyelesaian proyek yang telah disiapkan guru atau yang dirancang sendiri oleh siswa. (3) Melakukan investigasi, pada tahap ini siswa melakukan investigasi untuk mencari penyelesaian
terhadap suatu permasalahan (4)
Merencanakan laporan, siswa menyusun laporan hasil investigasi. (5) Presentasi laporan, siswa mempresentasikan laporan kegiatan proyek secara berkelompok. (6)
Evaluasi, siswa mendokumentasikan
masukan-masukan guru yang berhubungan
dengan proyek. Melalui tahapan
pembelajaran tersebut, siswa diberi ruang untuk melatih kemampuan berpikirnya dalam hal merencanakan dan memecahkan masalah, pembuatan keputusan, dan inkuiri sains (scientific inquiry) secara cermat. Namun apakah keadaan ini mempengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa?
Untuk mengetahui sejauh mana
pengaruh model pembelajaran berbasis proyek terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, penting dilakukan suatu penelitian. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) untuk mengetahui deskripsi kemampuan berpikir kritis IPA siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis proyek; (2) untuk mengetahui deskripsi kemampuan berpikir kritis IPA siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional; dan (3) untuk mengetahui perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran berbasis
proyek dan kelompok siswa yang
dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di Gugus IV Kecamatan Buleleng.
METODE
Jenis penelitian yang dilakukan
adalah eksperimen semu (quasi
experiment), karena tidak semua variabel yang muncul dalam penelitian dapat diatur
dan dikontrol secara ketat. Rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Non Equivalent Post-Test Only Control Group Design. Disain ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Non Equivalent Post-Test Only Control Group Design
Kelas Treatment Post-test
(Eks) (X) O1
(Kontrol) - O2
(Sukardi, 2012:173) Penelitian ini dilaksanakan di Gugus
IV Kecamatan Buleleng pada rentangan waktu semester II (genap) tahun pelajaran 2014/2015. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD di Gugus IV Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2014/2015 yang terdiri dari enam SD, yaitu SD No. 1 Penglatan, SD No. 2 Penglatan, SD No. 3 Penglatan, SD No. 1 Alasangker, SD No. 2 Alasangker, SD No. 3 Alasangker. Sebelum menentukan sampel penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji kesetaraan
terhadap populasi penelitian dengan
menggunakan rumus ANAVA satu jalur. Uji kesetaraan populasi dilakukan dengan menganalisis nilai ulangan akhir semester I siswa kelas V SD di Gugus IV Kecamatan
Buleleng tahun pelajaran 2014/2015.
Berdasarkan hasil analisis pada taraf
signifikansi 5%, diperoleh nilai Fhitung= 1,05.
Nilai Ftabel pada dbantar = 5 dan dbdal= 176
adalah 2,26. Ini berarti bahwa harga Fhitung
lebih kecil daripada Ftabel (1,06 < 2,26),
sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Jadi,
tidak terdapat perbedaan yang signifikan hasil Ulangan Akhir Semester I pada mata pelajaran IPA kelas V SD di Gugus IV
Kecamatan Buleleng tahun pelajaran
2014/2015. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan siswa kelas V SD di Gugus IV
Kecamatan Buleleng tahun pelajaran
2014/2015 dinyatakan setara.
Pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik simple random sampling. Berdasarkan hasil pengundian didapatkan dua kelas sebagai sampel yaitu siswa kelas V SD No. 2 Penglatan yang berjumlah 38 orang dan siwa kelas V SD No. 2 Alasangker yang berjumlah 40 orang. Kedua sampel tersebut kemudian diundi
kembali untuk menentukan kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil pengundian menunjukkan bahwa siswa kelas V SD No. 2 Penglatan sebagai kelompok eksperimen dan siswa kelas V SD No. 2 Alasangker sebagai kelompok
kontrol. Kelompok eksperimen akan
diterapkan model pembelajaran berbasis proyek sedangkan pada kelompok kontrol model pembelajaran konvensional.
Penelitian ini menggunakan dua
variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah satu atau lebih dari variabel-variabel yang sengaja dipelajari pengaruhnya terhadap variabel
tergantung sedangkan variabel terikat
adalah variabel yang keberadaanya atau munculnya bergantung pada variabel bebas (Agung, 2012). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran
berbasis proyek sedangkan variabel
terikatnya adalah kemampuan berpikir kritis.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data kemampuan berpikir kritis menggunakkan metode tes dengan instrumen berupa tes uraian. Sebelum dipergunakan dalam mengambil
data, terlebih dahulu instrumen
diujicobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik analisis statistik deskriptif dan analisis inferensial (uji-t). Sebelum melakukan uji hipotesis dengan uji-t, terlebih dahulu melakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dengan menggunakan rumus chi-kuadrat dan uji homogenitas varians dengan menggunakan uji F.
0 2 4 6 8 10 12 27-31 32-36 37-41 42-46 47-51 52-56 F rek u ensi Interval 0 2 4 6 8 10 12 14 18-22 23-27 28-32 33-37 38-42 43-47 Fr e ku e n si Interval
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rangkuman hasil analisis deskriptif data kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA kelompok eksperimen
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran berbasis proyek dan
kelompok kontrol yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Statistik Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Mean 44,13 33,40 Modus 47,75 30,83 Median 45,40 32,08 Varians 57,68 52,04 Standar deviasi 7,60 7,21 Skor maksimum 55 46 Skor minimum 27 18
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa skor rata-rata kemampuan berpikir kritis kelompok eksperimen = 44,13 lebih tinggi daripada rata-rata skor kemampuan berpikir kritis kelompok kontrol = 33,40. Skor rata-rata kemampuan berpikir kritis setelah dikonversikan ke dalam PAP skala 5, dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis IPA kelompok eksperimen berada pada kategori tinggi sedangkan kemampuan berpikir kritis IPA kelompok kontrol berada pada kategori sedang. Data kemampuan
berpikir kritis kelompok eksperimen
selanjutnya disajikan ke dalam kurva poligon seperti Gambar 1.
Gambar 1. Kurva Poligon Kemampuan Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen
Berdasarkan hasil perhitungan mean, median, dan modus kemudian digambarkan
dalam kurva poligon tampak bahwa
sebaran data kelompok eksperimen yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis proyek membentuk kurva juling
negatif karena modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo = 47,5 > Md = 45,40 > M =44,13). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar skor kemampuan berpikir kritis kelompok eksperimen cenderung tinggi. Selanjutnya adalah kurva poligon kemampuan berpikir kritis IPA kelompok kontrol yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva Poligon Kemampuan Berpikir Kritis Kelompok Kontrol Skor mean, median, dan modus digambarkan seperti Gambar 2, tampak bahwa kurva sebaran data kelompok siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran konvensional membentuk kurva juling positif karena modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo = 30,83 < Md = 32,08 < M =
33,40). Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar skor kemampuan berpikir kritis kelompok kontrol cenderung rendah. Sebelum melakukan ui hipotesis, maka
terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui sebaran data kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran IPA berdistribusi normal atau tidak, dan untuk menyelidiki
frekuensi observasi dari gejala yang
diselidiki tidak menyimpang secara
signifikan dari frekuensi harapan dalam distribusi normal. Ringkasan hasil uji
normalitas kelompok eksperimen dan
kontrol dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
No Sampel Penelitian χ2hitung Nilai Kritis dengan Taraf
Signifikansi 5%
Status
1 Kelompok eksperimen 5,59 11,07 Normal
2 Kelompok kontrol 2,90 11,07 Normal
Adapun kriteria pengujian, yaitu jika
χ2
hitung <χ2tabel dengan taraf signifikansi 5%
(dk = jumlah kelas dikurangi 1) maka sebaran data berdistribusi normal, tetapi
jika χ2
hitung > χ2tabel , maka sebaran data tidak
berdistribusi normal. Berdasarkan hasil
perhitungan menggunakan rumus Chi
Kuadrat, diketahui bahwa hasil χ2
hitung hasil
post-test kelompok eksperimen adalah 5,59. Nilai tersebut kemudian dibandingkan
dengan harga χ2tabel dengan dk = 5 dan
taraf signifikansi 5% sehingga harga χ2tabel
= 11,07. Hal ini berarti, χ2
hitung lebih kecil
dari χ2tabel (χ2hitung < χ2tabel ) sehingga
sebaran data kemampuan berpikir kritis
pada mata pelajaran IPA kelompok
eksperimen berdistribusi normal.
Sedangkan pada kelompok kontrol
diperoleh nilai χ2
hitung = 2,90. Nilai tersebut
kemudian dibandingkan dengan harga
χ2
tabel dengan dk = 5 dan taraf signifikansi
5% sehingga harga χ2tabel = 11,07. Hal ini
berarti, χ2
hitung lebih kecil dari χ2tabel (χ2hitung
<χ2
tabel) sehingga sebaran data kemampuan
berpikir kritis pada mata pelajaran IPA kelompok kontrol berdistribusi normal. Setelah melakukan uji prasyarat pertama yaitu uji normalitas, selanjutnya silakukan
uji prasyarat yang kedua yaitu uji
homogenitas. Uji ini dilakukan terhadap
varians pasangan antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol dengan menggunakan uji F dengan kriteria dari
homogen jika Fhitung < Ftabel. Rangkuman
hasil pengujian homogenitas varians antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Varians antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Sampel Varians (S2) Fhitung Ftabel Status
Kelompok eksperimen 57,60
1,11 1,69 Homogen
Kelompok kontrol 52,04
Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa Fhitung kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol adalah 1,11, sedangkan Ftabel pada
taraf signifikansi 5% dengan dengan dbpembilang = 37, dbpenyebut = 39 adalah 1,69.
Hal ini berarti Fhitung lebih kecil dari Ftabel
(Fhitung < Ftabel), sehingga dapat disimpulkan
bahwa varians data hasil post-test
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah homogen.
Berdasarkan hasil uji prasyarat
diketahui bahwa data kemampuan berpikir kritis kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol berdistribusi normal dan varians homogen. Pengujian hipotesis dilakukan
dengan menggunakan uji-t sampel
independent dengan rumus polled varians karena jumlah siswa pada kelompok eksperimen tidak sama dengan jumlah siswa pada kelompok kontrol serta varians kedua kelompok homogen. Adapun kriteria
pengujiannya yaitu H0 ditolak jika thitung >
ttabel dan H0 diterima jika thitung < ttabel.
Rangkuman hasil perhitungan uji-t antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Perhitungan T-tes Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol No Kelompok N
X
s2 Thitun g Ttabel (t.s. 5%) Keterangan 1 Eksperimen 38 44,39 57,60 6,65 1,98 H0 ditolak 2 Kontrol 40 33,40 52,04Berdasarkan Tabel 5, diperoleh thitung
sebesar 6,65, sedangkan ttabel dengan dk =
38+40-2 = 76 dan taraf signifikansi 5%
adalah 1,98. Hal ini berarti, thitung lebih besar
dari ttabel (thitung > ttabel), sehingga H0 ditolak
dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat
diinterpretasikan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis proyek dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V SD di Gugus IV Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2014/2015.
Deskripsi hasil penelitian pada
kelompok eksperimen menunjukkan rata-rata data kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA sebesar 44,13 berada pada katagori tinggi dengan kurve juling negatif yang ditunjukkan oleh nilai Mo (47,75) > Md (45,40) > M (44,13), sehingga skor kemampuan berpikir kritis siswa kelompok eksperimen cenderung tinggi. Hal
ini disebabkan oleh perlakuan yang
diberikan kepada kelompok eksperimen
yaitu penerapan model pembelajaran
berbasis proyek.
Model pembelajaran berbasis proyek telah sesuai dengan karakteristik IPA, karena Susanto (2013) menyatakan IPA bukan saja sebagai produk ilmiah yang berupa kumpulan prinsip-prinsip, konsep-konsep, dan hukum saja tetapi IPA juga merupakan proses ilmiah melalui kegiatan mengamati, memprediksi, merancang, dan melaksanakan eksperimen. Hal ini sejalan
dengan pandangan Thomas (dalam
Agustiana dan Tika, 2013) yang
menyatakan bahwa project based learning adalah pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan memberikan peluang kepada siswa untuk bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri.
Adapun tahap-tahap pembelajaran
dengan model pembelajaran berbasis
proyek menurut Kurniasih dan Sani (2014) yaitu, (1) membentuk kelompok dan orientasi tema, (2) merencanakan kegiatan,
(3) melakukan investigasi, (4)
merencanakan laporan, (5) presentasi
laporan, dan (6) evaluasi. Dengan
melibatkan siswa dalam kegiatan
pemecahan masalah yaitu mulai dari
kegiatan merencanakan, melakukan
investigasi, menemukan solusi dari suatu permasalahan, sampai penyusunan laporan dan mempresentasikan laporan di depan
kelas akan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengasah kemampuan berpikirnya.
Pada tahap pembentukan kelompok dan orientasi tema, siswa diinstruksikan untuk membentuk kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 orang kemudian tugas guru adalah mengawasi siswa agar kelompok yang terbentuk heterogen. Guru kemudian mengajak siswa bertanya jawab tentang
materi yang akan dipelajari dengan
menghubungkan materi dengan masalah di dalam dunia nyata. Kegiatan ini berfungsi untuk menarik keinginan siswa untuk belajar dan mengeksplore kemampuan yang dimiliki siswa. Pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk berpendapat
dan menanggapi pertanyaan guru.
Keadaan ini akan menuntun siswa
menghubungkan pertanyaan guru dengan hal yang dialaminya langsung dalam kehidupan nyata. Memberikan pendapat
dan menyampaikan pertanyaan akan
melatih siswa untuk menggunakan bahasa yang baik dan jelas karena menurut
Sukmandinata dan Syaodih (2012)
penggunaan bahasa yang jelas dalam merumuskan dan mengkaji masalah akan
membantu meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa.
Pada tahap merencanakan kegiatan, guru membagikan LKS tentang kegiatan
percobaan kepada masing-masing kelompok. Siswa kemudian diajak untuk mendiskusikan langkah-langkah percobaan pada LKS. Pada tahap ini siswa dilatih untuk menyusun rencana percobaan dan
siswa diberikan kesempatan bertanya
maupun menanggapi langkah-langkah
percobaan yang ada pada LKS.
Setelah siswa memahami
permasalahan dan langkah-langkah
percobaan, siswa kemudian melakukan investigasi bersama kelompoknya. Pada
tahap melakukan investigasi, siswa
melakukan percobaan sederhana untuk memecahkan masalah, kemudian membuat generalisasi dari data, mendiskusikan hasil percobaan, dan menarik kesimpulan dari percobaan yang telah dilakukan. Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi siswa melakukan induksi untuk memecahkan
masalah. Melakukan induksi juga
merupakan salah satu indikator berpikir kritis. Dengan melakukan investigasi ini siswa akan lebih tertarik untuk belajar karena siswa dapat melakukan percobaan secara langsung dengan benda nyata dan melibatkan kemampuan berpikirnya untuk mengolah apa yang diamati, sehingga dapat menjawab keingintahuannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iskandar (1997) yang mengungkapkan bahwa anak usia SD memiliki kecenderungan belajar melalui proses manipulatif benda-benda nyata.
Tahap selanjutnya adalah guru
membimbing dan mengarahkan siswa untuk menyusun laporan hasil investigasi. Siswa secara berkelompok melengkapi atau menjawab pertanyaan yang ada pada LKS berdasarkan kegiatan percobaan yang telah dilakukan. Kegiatan ini memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan
deduksi yaitu dengan memaparkan
penjelasan secara lebih ditail atas jawaban yang dibuat. Deduksi merupakan salah satu indikator kemampuan berpikir kritis. Dengan mendeduksi pengetahuan yang diperoleh akan membantu siswa lebih memperdalam
dan memantapkan pemahaman yang
didapat sehingga dapat membantu siswa melatih kemampuan berpikir kritis.
Setelah semua kelompok menyusun laporan sesuai dengan batasan waktu yang
diberikan, setiap kelompok kemudian
mempresentasikan laporan ke depan kelas
dan kelompok yang lain menanggapi.
Masing-masing kelompok dapat
membandingkan laporannya dengan
kelompok lain untuk memperoleh
kesimpulan yang benar dan logis. Pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk menilai atau mengevaluasi kesimpulan kelompok lain berdasarkan bukti atau dalam hal ini percobaan yang telah dilakukan siswa. Kegiatan mengevaluasi
suatu kesimpulan berdasarkan bukti
merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam berpikir kritis. Jika siswa sudah mampu menilai suatu kesimpulan maka ia akan mampu untuk menentukan solusi yang akan dilaksanakan. Melakukan
evaluasi serta memutuskan dan
melaksanakan adalah indikator berpikir kritis sehingga pada langkah presentasii laporan juga dapat membantu melatih kemampuan berpikir kritis siswa.
Tahap selanjutnya adalah evaluasi
yaitu, guru memberikan tanggapan
terhadap hasil percobaan yang telah dilakukan masing-masing kelompok. Siswa
kemudian mencatat masukan-masukan
yang diberikan oleh guru agar kegiatan
pembelajaran berikutnya dapat
ditingkatkan. Langkah selanjutnya adalah guru bersama siswa menyimpulkan hasil diskusi dari masing-masing kelompok. Guru
juga memberikan penguatan kepada
kelompok yang berhasil menyelesaikan tugas dan memotivasi kelompok yang kurang mampu menyelesaikan tugas.
Paparan di atas memberikan
gambaran bahwa model pembelajaran berbasis proyek dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Selain dengan melihat rata-rata skor post-test kelompok eksperimen yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran berbasis
proyek berada pada katagori tinggi,
berkembangnya kemampuan berpikir kritis siswa juga dapat dapat dilihat dari proses pembelajaran. Hasil ini didukung oleh pendapat Sukmadinata dan Syaodih (2012) yang menyatakan bahwa tahapan berpikir kritis tersebut dapat berkembang melalui
kegiatan mengkaji masalah atau
menyelesaikan kegiatan atau proyek. Pendapat di atas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011)
perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis proyek dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor hasil belajar IPA siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis proyek pada
kelompok eksperimen lebih tinggi
dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Pada kelompok eksperimen rata-rata hasil belajar IPA adalah 22,07 sedangkan rata-rata skor hasil belajar IPA siswa pada kelompok
kontrol adalah 17,27. Berdasarkan
perhitungan dengan uji-t diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar antara kelompok siswa yang belajar
menggunakan model pembelajaran
berbasis proyek dengan kelompok siswa
yang belajar menggunakan model
pembelajaran.
Berdasarkan paparan hasil penelitian yang mendukung dapat disimpulkan bahwa kelompok siswa yang belajar dengan
menggunakan model pembelajaran
berbasis proyek memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan
menggunakan model pembelajaran
konvensional. Hasil belajar terdiri dari tiga ranah yaitu ranah afektif, kognitif, dan ranah psikomotor (Arikunto, 2013). Berpikir kritis dalam penelitian ini termasuk ke dalam ranah kognitif karena berhubungan dengan kemampuan berpikir.
Deskripsi hasil penelitian pada
kelompok kontrol menunjukkan rata-rata data kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA sebesar 33,40 berada pada katagori sedang dengan kurva juling positif yang ditunjukkan oleh nilai Mo (30,83) < Md (32,08) < M (33,40), sehingga skor kemampuan berpikir kritis siswa kelompok kontrol cenderung rendah. Hal ini
disebabkan oleh penerapan model
pembelajaran konvensional.
Pada model pembelajaran
konvensional guru mendominasi proses pembelajaran (teacher centred) dengan
cara memberikan ceramah untuk
menjelaskan materi dari awal pembelajaran
sampai akhir pembelajaran. Siswa
kemudian disuruh menjawab soal-soal
secara mandiri atau dengan teman
sebangku. Guru mengansumsikan bahwa saat siswa sudah mampu menjawab soal-soal pada buku pelajaran maka tujuan
pembelajaran telah tercapai. Untuk
meyakinkan materi yang dijelaskan sudah dipahami atau belum, guru kemudian melakukan kegiatan tanya jawab. Setelah dirasa siswa mengerti dengan materi yang dijelaskan, siswa kemudian diberikan tugas lagi untuk dikerjakan. Kondisi ini kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya karena tugas mereka hanya duduk dan mendengarkan penjelasan guru sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna.
Proses pembelajaran konvensional
cenderung mengarahkan siswa untuk
menghafal materi dan tidak memaknai pelajaran secara mendalam, sehingga kemampuan berpikir kritis siswa tidak
terarah dan tidak terasah. Karena
kemampuan berpikir kritis merupakan
sebuah proses terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental, seperti
memecahkan masalah, mengambil
keputusan, dan melakukan penelitian ilmiah (Rosalin, 2008). Dengan demikian, model pembelajaran konvensional tidak mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor post-test kelompok kontrol yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional berada pada katagori sedang, kurang berkembangnya berpikir kritis siswa juga dapat dapat dilihat dari proses pembelajaran. Hal ini didukung oleh pendapat Sulaeman (dalam Rasana, 2009) yang menyatakan bahwa pembelajaran konvensional sangat efektif untuk mengajar yang bersifat hafalan yang mengakibatkan rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Pendapat di atas juga didukung oleh
penelitian Andana (2013) yang
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPA siswa kelas IV SD di Gugus V Kecamatan Tegallalang antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis proyek dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran kovensional. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan rata-rata skor siswa antara kelompok ekperimen (23,77) dengan kelompok kontrol (21,16). Skor rata-rata
tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar kelompok siswa yang dibelajarkan dengan
model konvensional lebih rendah
dibandingkan model pembelajaran
konvensional.
Untuk melihat perbedaan antara kedua kelompok secara signifikan maka
dilakukan uji hipotesis menggunakan
analisis uji-t polled varians. Sebelum uji
hipotesis dilakukan, terlebih dahulu
dilakukan uji prasyarat yang meliputi uji
normalitas sebaran data dan uji
homogenitas varians. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa sebaran data kedua kelompok berdistribusi normal dan varians kedua kelompok homogen. Karena uji prasyarat telah terpenuhi, maka analisis menggunakan uji-t polled varians dapat dilakukan. Berdasarkan hasil perhitungan
uji-t, diperoleh thitung = 6,65, sedangkan ttabel
dengan dk = 38+40-2 = 76 dan taraf signifikansi 5% adalah 1,98. Hal ini berarti, thitung lebih besar dari ttabel (thitung > ttabel),
sehingga H0 ditolak dan H1 diterima.
Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran berbasis proyek dan
kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V SD di Gugus IV
Kecamatan Buleleng tahun pelajaran
2014/2015.
Perbedaan cara pembelajaran antara pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional tentunya
memberikan dampak yang berbeda
terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Pembelajaran dengan model pembelajaran
berbasis proyek lebih memberikan
kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa dalam proses pembelajaran
dibandingkan model pembelajaran
konvensional. Dengan demikian,
kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis proyek lebih baik dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan dapat ditarik simpulan
sebagai berikut. Pertama, kemampuan berpikir kritis IPA siswa yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran berbasis
proyek memiliki skor rata-rata sebesar 44,13 dengan kategori tinggi. Kurve poligon yang menyajikan data kemampuan berpikir
kritis IPA siswa kelas eksperimen
membentuk kurve juling negatif. Artinya, sebagian besar skor kemampuan berpikir kritis berada pada kategori tinggi. Kedua, kemampuan berpikir kritis IPA siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran
konvensional memiliki skor rata-rata
sebesar 33,40 dengan kategori sedang. Kurve poligon yang menyajikan data kemampuan berpikir kritis IPA siswa kelompok kontrol membentuk kurve juling positif. Artinya, sebagian besar skor kemampuan berpikir kritis siswa rendah. Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis proyek dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan
model pembelajaran konvensional.
Perbedaan yang signifikan ini menunjukkan bahwa, kemampuan berpikir kritis siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran berbasis proyek lebih baik daripada kemampuan berpikir kritis siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran konvensional.
Saran yang dapat disampaikan
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Para
siswa di sekolah dasar agar terus
mengembangkan kemampuan kerpikir
kritisnya dengan cara ikut serta berperan aktif selama proses pembelajaran. (2) Guru-guru di sekolah dasar agar lebih berinovasi dalam pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran yang inovatif, salah satunya adalah model
pembelajaran berbasis proyek untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa khususnya pada mata pelajaran IPA. (3) Sekolah-sekolah hendaknya senantiasa
meningkatkan kualitas pembelajaran
dengan cara mengimplemantasikan
berbagai model pembelajaran yang inovatif, salah satunya adalah dengan menerapkan
model pembelajaran berbasis proyek. (4) Peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut tentang model
pembelajaran berbasis proyek dalam
bidang IPA maupun bidang lainnya agar lebih memperhatikan kendala-kendala yang dialami dalam penelitian.
DAFTAR RUJUKAN
Agung, A. A. Gede. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan. Singaraja:
Jurusan Teknologi Pendidikan,
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas pendidikan Ganesha Singaraja.
Agustiana, I Gusti Ayu Tri dan I Nyoman Tika. 2013. Konsep Dasar IPA. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Andana, I Made Edi. 2013. Pengaruh Model
Pembelajaran Berbasis Proyek
Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD di Gugus V Kecamatan Tegallalang Kabupaten Gianyar pada Semester Ganjil Tahun Pelajaran
2013/2014. Sekripsi (Tidak
Diterbitkan): PGSD FIP Undiksha. Eggen, Paul dan Don Kauchak. 2012.
Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: Indeks.
Iskandar, Srini M. 1997. Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kompasiana. 2013. “Kualitas Pendidikan Indonesia (Refleksi 2 Mei)”. Tersedia pada http://edukasi. kompasiana.com/
2013/05/03/kualitas-pendidikan-indonesia-refleksi-2-mei-552591.html (diakses tanggal 29 Januari 2015) Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. 2014.
Sukses Mengimplementasikan
Kurikulum 2013. Yogyakarta: Kata Pena.
Lasmawan, Wayan. 2010. Menelisik
Pendidikan IPS dalam Perspektif Kontekstual-Empiris. Singaraja: Mediakom Indonesia Press Bali. Santyasa, I Wayan. 2012. Pembelajaran
Inovatif. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Sukardi. 2012. Metodologi Penelitian
Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sukmadinata, Nana Syaodih dan Erliana
Syaodih. 2012. Kurikulum dan
Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Refika Aditama.
Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana.