• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. untuk membeli kebutuhan sehari-hari maupun untuk berwisata. Di Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. untuk membeli kebutuhan sehari-hari maupun untuk berwisata. Di Kota"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Pasar tradisional merupakan tempat yang sering dijadikan seseorang untuk membeli kebutuhan sehari-hari maupun untuk berwisata. Di Kota Yogyakarta dengan wilayah tidak terlalu luas yaitu 32 km2, beberapa pasar tradisional sengaja dipertahankan karena cukup potensial untuk dijadikan sebagai salah satu tempat wisata belanja seperti di Pasar Beringharjo yang letaknya cukup strategis di selatan Jalan Malioboro. Dalam konteks persaingan global, mempertahankan pasar tradisional dianggap tindakan yang tepat karena roda perekonomian rakyat tetap bisa berjalan dan memberi peluang kepada pedagang kecil untuk tetap melanjutkan usahanya. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998, banyak toko dan perusahaan bangkrut namun para pedagang di pasar tradisional masih bisa bertahan dan tetap bisa menggerakkan roda perekonomian rakyat karena melibatkan banyak orang mulai dari buruh gendong, pedagang eceran, distributor dan lain sebagainya yang berarti dapat mengurangi tingkat pengangguran.

Keberadaan pasar tradisional dan toko kelontong saat ini mendapat ancaman yang sangat besar dengan menjamurnya bisnis waralaba minimarket, bahkan sudah mulai memasuki wilayah perkampungan penduduk. Maraknya minimarket berjejaring di Kota Yogyakarta mengancam kelangsungan hidup pasar tradisional (Tabloid Badan Legislasi, 2013: 8).

(2)

Tuntutan kebutuhan yang meningkat menyebabkan preferensi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya semakin bergeser. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya perkembangan minimarket. Alasan pergeseran preferensi jumlah konsumen tersebut disebabkan karena beberapa alasan, antara lain: lebih nyaman berbelanja di minimarket; harga produk yang tetap (fixed price); suasana aman dan nyaman saat berbelanja; mudah dalam memilih barang-barang yang diperlukan; kualitas barang lebih terjamin; dan harga barang sudah pasti (Harmaizar, 2006: 327-328).

Umumnya masyarakat saat ini banyak yang menginginkan untuk mendapatkan barang pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan mudah, murah, cepat dan nyaman. Sebagian besar konsumen lebih memilih tempat belanja ke minimarket dengan alasan harga barang tetap dan tertera di rak produk, berdekatan jaraknya dengan lokasi tempat tinggal, buka 24 jam sehingga pembeli bisa setiap saat datang untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari, kebersihan terjamin, barang yang dijual cenderung baru dan terdapat bonus dan diskon yang ditawarkan, dikemas dalam wujud bangunan kaca transparan sehingga menarik pembeli, plastik belanja khusus, menyediakan pembayaran kartu kredit dan kartu anggota (member card). Hal-hal tersebut berkebalikan dengan pasar tradisional dimana jam buka terbatas (pagi sampai siang hari), kondisi tempat kumuh, berdesak-desakan dan jika hujan sering becek, terkadang pedagang dengan sesuka hati memainkan harga, barang yang dijual ada yang rusak, basi dan berdebu.

(3)

Keberadaan waralaba minimarket tidak hanya mengancam pasar tradisional saja namun juga mengancam keberadaan toko-toko kelontong dan toko modern milik perseorangan. Terbukti bahwa sejumlah toko modern milik perorangan akhirnya beralih fungsi menjadi usaha lainnya, seperti kios fotocopy, kantor partai politik dan sebagainya karena tidak mampu bersaing dengan toko berjejaring (Tribun Jogja, 10 April 2013: 12).

Seiring pertumbuhan ekonomi yang pesat seperti sekarang ini, dunia wirausaha menjadi pilihan banyak orang untuk mendapatkan penghasilan. Salah satu jenis usaha tersebut adalah waralaba. Bahkan, jenis usaha waralaba diyakini mempunyai keuntungan menarik, baik bagi pemilik usaha yang diwaralabakan (franchisor) atau sebagai franchisee (pihak yang menerima hak eksklusif dari franchisor). Sebagai franchisor, jenis usaha waralaba sangat membantu dalam memasarkan produk yang akan ditawarkan atau dijual. Semakin banyak gerai yang tersebar di berbagai wilayah, maka semakin mudah produk yang ditawarkan untuk dikenal masyarakat luas. Sedangkan bagi

franchisee, bisnis waralaba dapat membantu untuk membuka usaha tanpa harus

memulainya dari nol. Hal tersebut dikarenakan, penerima waralaba hanya melakukan kegiatan menjalankan sistem yang sudah distandarisasi dari pemilik usaha.

Kegiatan dalam bentuk waralaba (franchise) atau sering disebut toko berjejaring di Indonesia mengalami kemajuan di berbagai bidang usaha seperti bidang makanan terutama makanan siap saji (fast food), jasa cuci baju

(4)

minimarket dan lain sebaginya. Salah satu waralaba yang berkembang saat ini adalah dalam bentuk minimarket. Di setiap sudut kota, pinggir kota bahkan pedesaan terdapat minimarket. Meskipun demikian, masih sedikit masyarakat yang merasakan dampak ancaman kehadiran minimarket jejaring, seperti pedagang pasar tradisional, pemilik toko kelontong dan pedagang kaki lima. Mereka merasakan bahwa minimarket waralaba akan mengancam sumber ekonomi mereka cepat atau lambat.

Waralaba merupakan perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba, dimana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Agar waralaba dapat berkembang pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum bagi pemberi waralaba maupun penerima waralaba. Menurut Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, waralaba merupakan gabungan dua kata yaitu “wara” yang berarti lebih dan “laba” yang berarti untung. Jadi, waralaba merupakan usaha yang memberikan keuntungan lebih atau istimewa yang sistemnya berbeda dengan sistem bisnis konvensional yang sudah ada (Hakim, 2008: 16).

Minimarket merupakan sebuah jenis usaha yang menggambarkan antara konsep swalayan kecil dengan target pasar yang sama dengan target pada pasar tradisional, sehingga banyak ditemukan kondisi dimana antara minimarket

(5)

yang satu dengan minimarket lainnya memiliki jarak yang dekat dengan pasar tradisional serta jumlah minimarket yang lebih dari dua gerai dalam satu kelurahan dimana hal ini menjadi persoalan utama yang kemudian menyebabkan hilangnya kesempatan bagi pedagang pasar tradisional dan toko kelontong untuk bersaing.

Pertumbuhan minimarket yang sedemikian pesat sampai pelosok desa merupakan cikal bakal terjadinya perubahan dalam pola budaya terutama kebiasaan masyarakat dalam berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Maka yang paling bersinggungan dengan berdirinya minimarket di setiap lokasi adalah para pedagang kecil berbentuk warung/ toko tradisional. Persinggungan itu karena masyarakat konsumen yang awalnya berbelanja pada warung/toko tradisional beralih kepada minimarket. Walaupun peralihan itu sangat manusiawi dan wajar karena beberapa faktor keunggulan membuat kecenderungan yang besar, pola belanja masyarakat/konsumen berubah dari warung/toko tradisional kepada minimarket. Hal ini yang akan mengakibatkan timbulnya konflik antara toko modern dengan pedagang eceran tradisional, karena merasa tidak berdaya dalam menghadapi persaingan yang tidak seimbang.

Penataan dan pembinaan yang dilakukan dalam regulasi harus dilihat dari sudut pandang yang saling bersinergi bagi pihak yang berkepentingan. Sudut pandang itu adalah kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan, dan lingkungan, sehingga tidak hanya menjadi wacana yang bergerak pada tataran opini publik tetapi harus dapat diwujudkan dalam praktek di lapangan.

(6)

Tonggak kepastian hukum tentang format waralaba dimulai dengan adanya UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Kemudian pada tanggal 18 Juni 1997 yaitu dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No. 16 tahun 1997 tentang Waralaba, yang kemudian Peraturan Pemerintah tersebut dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba dengan maksud untuk lebih memberikan kepastian berusaha dan memberi kepastian hukum bagi pemberi waralaba dan penerima waralaba dalam memasarkan produknya. Kemudian dikeluarkan peraturan tentang penyelenggaraan waralaba, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Marina L Pandin mengatakan bahwa pertumbuhan bisnis yang sangat fantastis terjadi pada minimarket selama lima tahun, 2004-2008, rata-rata pertahun mencapai 38, 1% atau melampaui pertumbuhan hypermarket sebesar 21,5 %, dan supermarket 6,2% (www.academia.edu). Data tersebut menunjukkan bahwa pasar tradisional justru terancam dengan maraknya pasar modern berupa minimarket waralaba. Untuk melindungi pasar tradisional maka dikeluarkan peraturan Mentri Perdagangan No. 53/M-DAG-PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Dalam upaya memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk mencegah terjadinya penguasaan oleh orang atau perseorangan atau kelompok terkait usaha berjaringan, serta agar tidak terus merugikan usaha kecil, dan untuk menata usaha waralaba minimarket agar tidak

(7)

mematikan pasar tradisional maupun toko kelontong, maka Walikota Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket di Kota Yogyakarta. Kebijakan pembatasan usaha waralaba tersebut disambut gembira oleh para pelaku usaha kecil, seperti pemilik kios atau toko kelontong. Meskipun diakui terlambat dan telah mengurangi pendapatan, namun kebijakan ini setidaknya telah memberikan harapan kepada toko dan pasar tradisional dalam hal persaingan harga dan pelayanan.

Berdasarkan peraturan walikota tersebut jumlah kuota minimarket waralaba di Kota Yogyakarta dibatasi sebanyak 52 minimarket yang terletak di 14 kecamatan (kecuali kecamatan Keraton) dan di 41 ruas penggal jalan. Dari tahun 2009, kuota tersebut sudah terpenuhi sehingga izin usaha toko waralaba minimarket sudah tidak diberikan lagi. Sedangkan yang bisa diproses adalah pendirian toko kebutuhan sehari-hari meskipun tampilannya menyerupai minimarket waralaba, namun jika dikelola secara perseorangan dan bukan berjejaring masih diperbolehkan untuk didirikan (Kedaulatan Rakyat, 20 Januari 2012: 9).

Berdasarkan data dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta menyebutkan terdapat 52 minimarket waralaba di seluruh Kota Yogyakarta, minimarket non waralaba sebanyak 72, supermarket 17 sedangkan toko kelontong jumlahnya mencapai ribuan. Meskipun Pemerintah Kota Yogyakarta telah memetakan jumlah dan jenis minimarket yang ada di Kota Yogyakarta, namun belum mampu melakukan pemetaan lokasi penempatan minimarket agar sejalan

(8)

dengan potensi ekonomi di suatu kawasan (Tribun Jogja, 23 September 2013: 9).

Meskipun telah dikeluarkan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 79 Tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket, namun masih terdapat sejumlah pelanggaran, salah satunya adalah minimarket waralaba Indomaret yang berada di dalam kompleks Stasiun Tugu Yogyakarta. Toko tersebut menyalahi aturan karena tidak memiliki izin gangguan. Toko tersebut pernah disegel dan ditutup paksa oleh petugas Satpol PP dari Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta pada tanggal 13 Juni 2012. Namun Pemerintah Kota Yogyakarta seolah tidak berdaya dalam menegakkan peraturan walikota ketika minimarket Indomaret di pintu selatan Stasiun Tugu tersebut beroperasi lagi pada bulan Mei 2013 dengan meninggalkan brand Indomaret, baik di bagian depan maupun dalam toko (Tribun Jogja, 9 Sepetember 2013: 9).

Meskipun masih dalam proses penyidikan dan menunggu proses sidang namun secara langsung minimarket di Stasiun Tugu tersebut melanggar Peraturan Walikota Yogyakarta No. 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket karena telah melebihi jumlah kuota yang diberikan, dimana terletak di Kecamatan Gedongtengen yang hanya mendapat kuota 3 minimarket waralaba, dan saat ini sudah penuh yaitu dengan berdirinya minimarket Indomaret dan Circle K di Jalan Malioboro dan Indomaret di Jalan Mangkubumi 17, selain itu minimarket tersebut tidak memiliki izin usaha yang secara otomatis juga tidak memiliki izin gangguan, dan tanda daftar

(9)

perusahaan. Minimarket tersebut juga terletak di Jalan Pasar Kembang dimana jalan tersebut tidak termasuk dalam daftar jalan yang diperbolehkan.

Indomaret di Stasiun Tugu tersebut menyewa lahan PT. KAI dan bekerjasama dalam melayani penjualan tiket online, berdasarakan pernyataan Kepala Humas PT. KAI Daop VI, Yogyakarta, Eko Budiyanto, mengenai tidak adannya HO (Izin Gangguan), hal tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pengelola minimarket. Sebelum beroperasi lagi pada 28 Mei 2012, PT. Dinar Perkasa Gemilang (DPG) selaku pemilik usaha minimarket di stasiun tugu menyurati Wakil Walikota, Imam Priyono, isinya memberitahukan akan kembali membuka usahanya di Stasiun Tugu sambil menunggu proses lanjut antara PT. KAI dengan Pemkot Yogyakarta. (Kedaulatan Rakyat, 20 januari 2012: 9)

Pemberitahuan tersebut dilakukan karena berdasarkan surat dari PT. KAI yang menyatakan bahwa PT. DPG menjalankan usaha tidak sesuai perjanjian sewa dengan PT. KAI. Disisi lain berdasarkan pernyataan Kepala Bidang Pengendalian dan Operasi Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, membenarkan bahwa minimarket tersebut telah ditutup paksa karena melanggar Peraturan Walikota Yogyakarta No. 79 tahun 2010, pihaknya juga sudah berkomunikasi dengan pihak PT. KAI, dan menyebutkan bahwa terdapat Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur giat usaha lain di semua stasiun di Jawa, oleh karena itu mereka membuka kembali minimarket tersebut, selain itu pertimbangan lain diperbolehkannya minimarket tersebut dibuka kembali

(10)

karena memiliki pasar tersendiri yaitu penumpang di Stasiun Tugu (Tribun Jogja, 9 September 2013: 12)

Belum selesai permasalahan tersebut, muncul lagi dua minimarket waralaba yang menempel di Kantor Pos atau dikenal dengan post shop. Minimarket tersebut adalah Indomaret yang ada di Kantor Pos Jl. Suryotomo dan Circle K yang ada di Kantor Pos Besar (Jl. Senopati). Kepala Bidang Pengawasan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Sutarto mengakui jika minimarket tersebut belum berizin. Pihaknya mengetahui pada pertengahan Agustus 2013. Saat dilakukan pengecekan melalui sistem informasi perizinan, tidak satupun dari izin HO, izin toko modern maupun tanda daftar perusahaan yang masuk (Tribun Jogja, 6 September 2013: 12). Namun setelah disidangkan pada Agustus 2013 dan dengan tindakan yang cukup koperatif dari Kepala Kantor Pos Besar Yogyakarta, Chaerul Hadi maka post shop tersebut sudah dihentikan operasinya (Tribun Jogja, 25 Oktober 2013: 14).

Meskipun telah dikeluarkan kebijakan dalam pembatasan waralaba minimarket namun permasalahan pelanggaran masih banyak terjadi dan sampai pertengahan bulan September 2013, tercatat masih ada beberapa minimarket waralaba yang masih bermasalah yaitu 1 minimarket di Stasiun Tugu, 1 minimarket di jalan Parangtritis yang berjarak hanya 50 metet dari Pasar Tradisional Prawirotaman (Tribun Jogja, 10 September 2013: 9). Kebijakan yang telah dijalankan perlu dinilai dan dievaluasi pelaksanaannya untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik biasanya dibuat untuk meraih dampak yang

(11)

diinginkan. Oleh karena itu perlu ditentukan ukuran atau kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

Menindaklanjuti masih banyaknya pelanggaran terhadap pembatasan usaha waralaba minimarket, maka DPRD Kota Yogyakarta mempunyai inisiatif untuk menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) Perpasaran. Tujuan disusunnya raperda sistem perpasaran adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasar tradisional dari semakin menjamurnya keberadaan toko modern di kota Yogyakarta serta untuk menata keberadaan waralaba minimarket terutama dalam mengatur pembatasan jumlah toko waralaba minimarket termasuk pemetaan lokasinya.

Raperda Perpasaran pertama kali dirumuskan bertujuan untuk menjaga pasar tradisional dari perkembangan pasar modern, tapi dalam proses kajiannya ternyata dampak dari pasar modern berupa minimarket berjejaring justru berdampak pada keberadaan toko kelontong. Akibatnya draf rumusan raperda tersebut dilakukan perombakan. Antara pasar tradisional dengan toko modern memiliki pangsa konsumen yang berbeda, sehingga raperda tersebut tidak akan membahas tentang pasar tradisional mengingat sudah ada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 2 tahun 2009 tentang Pasar. Raperda Perpasaran tersebut hanya akan lebih banyak membahas batasan jumlah pasar modern yang beroperasi di Kota Yogyakarta. Raperda sistem perpasaran yang menjadi inisiatif DPRD Kota Yogyakarta tersebut seharusnya sudah dibahas pada

(12)

triwulan ketiga tahun 2012, dan ditargetkan dapat diselesaikan dalam waktu sekitar 1,5 bulan namun hingga kini prosesnya belum dapat diselesaikan.

Atas hal-hal tersebut di atas maka peneliti memandang sangat penting untuk melakukan penelitian tentang “Arah Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam Penataan Waralaba Minimarket”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Gaya hidup masyarakat yang konsumtif dan menyukai hal-hal yang instan, mendorong masyarakat untuk membeli kebutuhan sehari-hari di minimarket waralaba, hal inilah yang menyebabkan penurunan omset penjualan pedagang kecil.

2. Pesatnya pertumbuhan minimarket waralaba menyebabkan menurunnya omset penjualan di pasar tradisional, toko kelontong dan usaha kecil lainnya.

3. Persepsi pengusaha yang ingin mendapatkan laba dengan cepat dan menjanjikan sehingga hal inilah yang mendorong banyaknya pertumbuhan minimarket.

4. Banyaknya pengusaha yang belum memahami dan tidak menghiraukan peraturan-peraturan daerah Kota Yogyakarta dalam pembatasan usaha waralaba minimarket.

(13)

5. Sikap Pemerintah Kota Yogyakarta yang kurang tegas terhadap penegakan Peraturan Daerah terkait penataan waralaba minimarket yang telah dikeluarkan.

6. Banyaknya pelanggaran terhadap peraturan daerah terkait penataan usaha waralaba minimarket khususnya Peraturan Walikota No. 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket di Kota Yogyakarta. 7. Kurangnnya koordinasi pengawasan antara perangkat Pemerintah Kota

Yogyakarta yang berwenang dalam pengambilan kebijakan penataan usaha waralaba minimarket.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat pada identifikasi masalah di atas, peneliti merasa perlu untuk melakukan pembatasan masalah agar lebih efektif dan efisien. Peneliti memfokuskan pada arah kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penataan usaha waralaba minimarket di Kota Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana arah kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penataan waralaba minimarket di Kota Yogyakarta?

2. Bagaimana pengembangan kebijakan peraturan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka penataan waralaba minimarket di Kota Yogyakarta?

(14)

E. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Arah kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka penataan usaha waralaba minimarket di Kota Yogyakarta.

2. Pengembangan kebijakan peraturan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka penataan waralaba minimarket di Kota Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan menambah pengetahuan khususnya tentang kebijakan publik di bidang usaha waralaba yang merupakan salah satu ranah dari kajian PKn serta dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

b. Untuk mengetahui kesesuaian antara aturan yang ada dengan realitas pelaksanaannya di lapangan kehidupan.

2. Manfaat praktis a. Bagi Mahasiswa

Sebagai sarana menerapkan teori yang sudah didapat di bangku kuliah serta sebagai acuan analisis terhadap kondisi sebenarnya di lapangan. b. Bagi Pemerintah Kota Yogyakarta

(15)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengatasi masalah dan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.

G. Batasan Pengertian

Untuk menghindari kesalahpahaman dan mencegah kesimpangsiuran terhadap masalah yang diteliti, maka peneliti akan memberikan gambaran tentang maksud dan judul penelitian. Untuk itu perlu diberikan definisi istilah dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Arah Kebijakan

Tujuan dari pelaksanakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan.

2. Pemerintah Kota Yogyakarta

Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penelitian ini adalah perangkat yang memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan dalam penataan usaha waralaba minimarket yang berada di wilayah Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta yang dimaksud adalah beberapa instansi yaitu Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian, Dinas Perizinan, serta Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta.

4. Penataan Usaha Waralaba Minimarket

Proses yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka mengatur orang perseorangan atau badan usaha yang sudah mempunyai jaringan secara nasional terhadap sistem bisnis toko modern dengan batasan

(16)

lantai penjualan kurang dari 400m2 dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari judul “ Arah Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam Penataan Usaha Waralaba Minimarket” adalah tujuan dari kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka mengatur usaha toko modern bejejaring berbentuk minimarket.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menunjukkan bahwa komponen aktif yang mampu menangkap atau mereduksi radikal bebas yang terdapat dalam ekstrak papasan paling banyak dibanding dengan fraksi

Temuan kedua dalam meta analisis ini adalah risiko depresi akibat penggunaan ponsel cerdas dalam studi ini berfokus pada usia remaja. Remaja yang berada pada rentang usia

Pengunjung atau dapat disebut juga sebagai pengguna tanpa akun hanya memiliki hak akses untuk dapat melihat dan membaca dokumen-dokumen di web yang. bersifat

Simpulan dalam penelitian ini adalah Ada hubungan yang signifikan antara umur, paritas, riwayat hipertensi dan riwayat preekampsia ibu dengan kejadian preeklamsia;

mentaati Standar Etika Bank dan Standar Etika yang tercantum pada Pedoman Kerja. Secara umum, anggota Direksi telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya

DER dapat menunjukkan tingkat risiko suatu perusahaan dimana semakin tinggi rasio DER, maka perusahaan semakin tinggi risikonya karena pendanaan dari unsure hutang lebih

membuktikan bahwa solusi nilai pada fungsi tujuan yang diperoleh dari metode kuadrat terkecil adalah yang terbaik ada dua cara, yaitu dengan. melihat nilai

Berdasarkan penjelasan di atas dan dengan melihat pentingnya pelanggan bagi kelangsungan usaha, maka yang menjadi msalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana