• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea

DAN Oratosquillina gravieri PADA PANTAI BERLUMPUR DI

KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT,

JAMBI

ELIN PRATIWI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Segregasi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina

gravieri pada Pantai Berlumpur di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung

Barat, Jambi

adalah benar merupakan karya hasil saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2010

Elin Pratiwi

(3)

RINGKASAN

Elin Pratiwi. C24062776. Segregasi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla

raphidea dan Oratosquillina gravieri pada Pantai Berlumpur di Kuala Tungkal,

Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Dibawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Ali Mashar

Udang mantis merupakan salah satu hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting dan merupakan komoditas ekspor. Udang mantis dikenal dengan nama udang ronggeng, udang belalang, udang nenek, dan udang ketak. Udang mantis hidup di dasar perairan dengan tipe substrat berupa pasir atau pasir berlumpur. Nelayan melakukan penangkapan dengan semua ukuran mulai dari yang berukuran kecil hingga udang yang berukuran besar dan bertelur. Udang mantis cenderung mencari habitat yang sesuai dengan kehidupannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya domestikasi tentang aspek ekologi udang mantis di Kuala Tungkal agar kelestariannya terjaga. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung jumlah udang mantis, pola distribusi, dan parameter lingkungan yang mempengaruhi kehidupan udang mantis meliputi suhu, salinitas, pH, dan DO (Disolved oxygen) serta tipe substrat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam upaya pengelolaan untuk mempertahankan kelestarian udang mantis di alam.

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2010 hingga Juli 2010 di pantai berlumpur, Kuala Tungkal, Jambi. Penentuan lokasi stasiun dan pengambilan udang dilakukan secara acak. Lokasi pengamatan dibagi menjadi 3 stasiun yang selanjutnya masing-masing dibagi menjadi 10 substasiun (sapuan). Pengambilan contoh substrat dilakukan pada setiap sapuan 1, 5, dan 10 pada masing-masing stasiun. Alat dan bahan yang digunakan antara lain pH meter, DO meter, refraktometer, termometer, sondong, GPS, kamera digital, wadah, udang mantis, dan lumpur. Analisis substrat dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB dan Laboratorium Analisis Tanah, Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa habitat udang mantis terdapat di dasar perairan dengan tipe substrat, liat berdebu, lempung liat berdebu, lempung berpasir, lempung dan lempung liat berpasir. Udang terbanyak ditemukan pada stasiun 3. Jumlah udang mantis Harpiosquilla raphidea lebih tinggi dibandingkan Oratosquillina gravieri. Sementara itu, pola sebaran dari kedua jenis udang ini yaitu mengelompok. Parameter yang diukur selama penelitian, yaitu suhu rata-rata pada stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 30,1ºC; 31,4ºC dan 31,3 ºC, pH rata-rata stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 7,7; 7,9 dan 7,7, salinitas rata-rata pada stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 24 psu, 22 psu dan 22 psu dan DO rata-rata pada stasiun 1, 2, dan 3 yaitu berkisar 6,4 mg/l; 6,5 mg/l dan 6,4 mg/l. Adapun rencana pengelolaan yang disarankan yaitu penentuan daerah penangkapan, pemantauan kualitas air secara berkala dan penentuan alat tangkap yang selektif.

(4)

SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea

DAN Oratosquillina gravieri PADA PANTAI BERLUMPUR DI

KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT,

JAMBI

ELIN PRATIWI C24062776

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Segregasi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri pada Pantai Berlumpur di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi

Nama Mahasiswa : Elin Pratiwi

NIM : C24062776

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.

NIP 19660728 199103 1 002

Ali Mashar, S.Pi NIP 19750118 200701 1 001

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang berkat izin dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Segregasi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea dan

Oratosquillina gravieri pada Pantai Berlumpur Di Kuala Tungkal, Kabupaten

Tanjung Jabung Barat, Jambi; disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada Juni 2010 hingga Juli 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing dan komisi pendidikan S1 yang banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Agustus 2010

Penulis

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayah dan Ibu, nenek, serta adikku tercinta atas cinta, kasih sayang, kesabaran, doa serta segala pengorbanan yang tiada terkira selama ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan Ali Mashar S.Pi, masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan arahan dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku penguji tamu, Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan program S1, dan Ir. Zairion, M.Sc, atas saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan.

3. Bapak H. Ibrahim selaku pemilik penampungan udang mantis yang telah banyak membantu selama proses pengambilan data di lapang.

4. Para staf Tata Usaha MSP yang sangat saya banggakan, terutama mba Widar dan Mba Yani.

5. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Nenek, Adik Ela, Pipin, Indah, Ilham dan Yudha yang selalu memberikan semangat, doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasinya.

6. Tim Mantis (Novi, Damora, dan Wahyu) atas suka duka, perjuangan, kekompakan, kerjasama, dan semangatnya.

7. Teman-teman MSP 43 (Yuli, Silvy, Frida, Dian, Danto, Friska, Kiki, Widya, dan Chika) dan Wisma Gajah (Amel, Viora, Yuk Cici, Yuk Olga, Yuk Hervy, Kak Risna, dan Kak Sarjul) atas motivasi, dukungan dan kasih sayang serta semangatnya.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Muara Enim pada tanggal 25 Februari 1989, sebagai anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan bapak Zulsiamoni dan ibu Nani Khairani. Pendidikan formal yang pernah dijalani oleh penulis berawal dari TK. Perwanida Muara Enim (1994), SDN 11 Muara Enim (2000), SLTP 1 Muara Enim (2003), dan SMAN 3 Muara Enim (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian

Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama 1 tahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama Kuliah di IPB penulis aktif sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI) dan anggota Departemen Social And Environment (SAE), pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun 2008/2009.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul ”Segregasi Spasial Udang Mantis

Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri pada Pantai Berlumpur di

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan Penelitian ... 2 1.4. Manfaat Penelitian ... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi ... 4

2.1.1. Klasifikasi ... 4

2.1.2. Morfologi ... 5

2.2. Habitat dan Distribusi ... 8

2.3. Kualitas Substrat ... 11

2.4. Faktor Fisika dan Kimia Air yang Mempengaruhi Jumlah dan Distribusi Udang Mantis ... 12

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

3.2. Penentuan Lokasi Penangkapan Contoh Udang ... 16

3.3. Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh Substrat ... 16

3.4. Metode Kerja ... 16

3.4.1. Perhitungan jumlah ... 16

3.4.2. Pengambilan contoh substrat ... 17

3.4.3. Pengukuran parameter fisika - kimia perairan ... 17

3.5. Analisis Data ... 17

3.5.1. Analisa Distribusi Udang Mantis ... 17

a. Analisa jumlah udang ... 17

b. Analisa tipe substrat ... 17

c. Analisa sebaran populasi ... 18

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 20

4.1.1. Kondisi umum Kabupaten Tanjung Jabung Barat ... 20

4.1.2. Habitat udang mantis ... 21

4.1.3. Jumlah udang mantis ... 23

4.1.4. Pola sebaran populasi udang mantis ... 27

4.1.5. Parameter fisika - kimia perairan ... 28

4.2. Pembahasan ... 29

4.3. Implementasi Hasil Penelitian Terhadap Pengelolaan... 34

(10)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 36

5.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Posisi lintang dan bujur stasiun pengamatan ... 16

2. Komposisi tekstur tanah habitat udang mantis bulan Juli 2009 ... 22

3. Komposisi tekstur tanah habitat udang mantis bulan Juni 2010 ... 23

4. Pola sebaran populasi Harpiosquilla raphidea ... 27

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Udang mantis (Harpiosquilla raphidea, Fabricius 1798) ... 4

2. Udang mantis (Oratosquillina gravieri, Manning 1969) ... 5

3. Morfologi udang mantis (Wardiatno et al. 2009) ... 6

4. Peta lokasi penelitian ... 15

5. Segitiga miller ( Brower et al. 1990) ... 18

6. Jumlah total Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri (a) stasiun 1 dan 2, (b) stasiun 3 ... 24

7. Jumlah Harpiosquilla raphidea pada masing-masing lokasi berdasarkan kelompok ukuran (a) stasiun 1 dan 2, (b) stasiun 3 ... 25

8. Jumlah Oratosquillina gravieri pada masing-masing lokasi berdasarkan kelompok ukuran (a) stasiun 1 dan 2, (b) stasiun 3 ... 26

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Contoh perhitungan Indeks Sebaran (Id) Harpiosquilla raphidea ... 41 2. Contoh perhitungan Indeks Sebaran (Id) Oratosquillina gravieri ... 42

(14)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Udang merupakan salah satu hasil perikanan yang berperan penting dalam meningkatkan devisa negara. Ini terbukti dari terus meningkatnya volume ekspor udang, yang mana secara tidak langsung akan meningkatkan nilai produksi udang. Menurut Purnomo (2008), terjadi peningkatan nilai produksi udang dari sebesar USD850,222 juta pada tahun 2003 menjadi sebesar sebesar USD1,048 milyar pada tahun 2007.

Udang mantis termasuk dalam kelas malacostraca. Udang ini merupakan salah satu komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Satu ekor udang mantis dapat mencapai harga Rp. 25.000. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan Kuala Tungkal, didapatkan informasi bahwa hasil tangkapan udang mantis saat ini mencapai 5.000 ekor per hari. Udang mantis telah diekspor ke beberapa negara di Asia seperti, Hongkong dan Taiwan. Udang mantis hidup di daerah intertidal hingga subtidal dengan dasar perairan berupa substrat pasir halus maupun debu halus. Daerah intertidal merupakan daerah yang banyak mendapatkan pengaruh dari pergerakan pasang surut, sedangkan daerah subtidal berada dibawah daerah intertidal. Pasang surut merupakan fenomena pantai landai yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi bulan sebagai benda langit terdekat dengan bumi. Di daerah intertidal didominasi oleh fauna yang bergerak cepat membenamkan diri ke pasir.

Di Kuala Tungkal, udang mantis dikenal dengan nama udang ronggeng, udang belalang, udang nenek dan udang ketak. Udang mantis yang ditemukan di Kuala Tungkal didominasi oleh jenis Harpiosquilla raphidea dan jenis lainnya dalam jumlah yang kecil yaitu Oratosquillina gravieri. Nelayan menangkap udang dengan segala ukuran mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar yang sudah bisa memijah. Udang mantis cenderung memilih habitat yang sesuai untuk kehidupannya. Namun, nelayan belum mengetahui sebaran habitat udang mantis secara pasti. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan secara optimal agar kelestariannya tetap terjaga terutama dengan mengetahui habitat dan pola penyebarannya.

(15)

1.2. Perumusan Masalah

Tingkat eksploitasi udang mantis semakin meningkat sehingga menyebabkan penurunan jumlah, populasi serta dapat menyebabkan kepunahan populasi udang mantis. Penangkapan bukan hanya ditujukan untuk induk udang saja namun anak udang serta udang yang berisi telur sehingga akan mengakibatkan kelestariannya terancam. Hal ini dikarenakan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Salah satu alat tangkap yang digunakan yaitu sondong dengan ukuran mata jaring yang bervariasi yang bekerja dengan mengeruk dasar perairan. Banyaknya alat tangkap yang beroperasi dapat menyebabkan dasar perairan teraduk sehingga mempengaruhi substrat yang merupakan habitat udang mantis. Apabila hal ini terus berlanjut maka dapat mengancam kelestarian udang mantis.

Pada umunya biota mempunyai kecenderungan mencari tempat yang sesuai dengan kehidupannya, demikian pula halnya dengan udang mantis. Kecenderungan udang mantis untuk memilih habitat yang sesuai bagi kehidupannya merupakan masalah yang akan dipelajari pada penelitian ini. Selain itu, juga akan dipelajari beberapa faktor ekologis yang berkaitan dengan habitat udang mantis.

Pada kondisi sekarang ini, informasi dasar mengenai habitat dan pola penyebaran udang mantis belum diketahui secara jelas. Sehubungan dengan ini diperlukan penelitian tentang habitat dan pola penyebaran udang mantis yang dapat bermanfaat bagi nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan yang secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan nelayan.

1.3. Tujuan

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain: menghitung jumlah udang, mengkaji pola distribusi dan mengkaji parameter-parameter lingkungan yang mempengaruhi kehidupan udang mantis seperti: salinitas, suhu, pH, dan DO dan tipe substrat.

(16)

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dasar mengenai habitat dan pola penyebaran udang mantis di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi agar dapat digunakan sebagai dasar upaya pengelolaan dalam mempertahankan kelestariannya.

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi 2.1.1. Klasifikasi

Udang mantis termasuk ke dalam famili Squillidae. Klasifikasi menurut Fabricius (1798) in Manning (1969) kedudukan taksonomi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) (Gambar 1) adalah sebagai berikut:

Filum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Stomatopoda

Famili : Harpiosquillidae

Genus : Harpiosquilla

Spesies : Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) Nama Umum : Mantis shrimp (Inggris)

Nama lokal : Udang ketak, udang ronggeng, udang belalang atau udang nenek

Gambar 1. Udang mantis (Harpiosquilla raphidea, Fabricius 1798)

(18)

Kedudukan taksonomi udang mantis Oratosquillina gravieri menurut Manning (1978) in Ahyong et al. (2008) (Gambar 2) adalah sebagai berikut:

Filum : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Stomatopoda Famili : Squillidae Genus : Oratosquillina

Spesies : Oratosquillina gravieri (Manning 1969) Nama Umum : Mantis shrimp (Inggris)

Nama lokal : Udang ketak, udang ronggeng, udang belalang atau udang nenek

Gambar 2. Udang mantis (Oratosquillina gravieri, Manning 1969) 2.1.2. Morfologi

Udang mantis juga dikenal dengan nama udang ronggeng. Udang ronggeng memiliki struktur tubuh sebagaimana jenis hewan krustasea lainnya dimana terdiri dari thorax, abdomen, dan telson. Ciri-ciri utama yang membedakan jenis udang ini dengan jenis udang lainnya adalah keberadaan kakinya yang berubah sebagai senjata (raptorial claw) yang terdapat di bagian thorax udang ini (Aziz et al. 2001). Berikut morfologi udang mantis yang disajikan pada Gambar 3.

3cm

(19)

Gambar 3. Morfologi udang mantis (Wardiatno et al. 2009)

Perbedaan udang mantis dengan udang-udang lainnya yaitu duri yang terdapat pada maksiliped serta garis-garis yang terdapat pada punggung. Terdapat kaki jalan sebanyak 3 buah. Alat kelamin betina terdapat pada pangkal kaki jalan ketiga dengan bentuk yang datar yang disebut thelicum sedangkan pada alat kelamin jantan terdapat pada pangkal kaki jalan ketiga namun berbentuk tonjolan kecil yang dikenal dengan istilah petasma. Terdapat abdomen yang terdiri dari 10 bagian, antara satu bagian dengan bagian lain dipisah oleh garis hitam, telson dipisah oleh garis berwarna hitam

Antenulla Antena aaANA AAAAa Mata Pereiopod Uropod Telson Maxiliped II Kepala Abdomen Ekor Karapas Abdominal Somites Thoracic Somites 1 2 3 4 5 6 5 6 7 8

(20)

pertama atau sering disebut dengan antenulla. Antenulla ini bercabang tiga pada ujungnya. Antenulla ini berfungsi sebagai organ sensori. Antena kedua yang sering disebut antenna, tidak memiliki cabang pada ujungnya. Antenna ini juga berfungsi sebagai organ sensori (Wardiatno et al. 2009). Setiap udang mantis juga memiliki uropod. Uropod bagian dalam dan luar berwarna hitam dan memiliki bulu-bulu halus. Permukaan tubuhnya berwarna kekuning-kuningan, telson mempunyai 6 buah duri kecil (Manning 1969 in Halomoan 1999). Telson dan uropod yang terdapat pada bagian ekor ini berfungsi sebagai organ proteksi dan sebagai kemudi pada saat berenang (Wardiatno et al. 2009).

Stomatopoda memiliki mata yang unik dan menarik yaitu mata bertangkai yang dapat bergerak naik turun oleh tangkainya yang fleksibel. Ini merupakan kelebihan yang dimiliki oleh stomatopoda yang tidak dimiliki oleh mata manusia maupun hewan lainnya (Cohen 2001 in Azmarina 2007). Mata stomatopod ini bersifat “trinocular vision” yang sangat akurat dalam melihat mangsanya meskipun dalam gelap. Warna tubuh udang mantis sangat bervariasi tergantung habitat hidupnya. Panjang udang mantis dapat mencapai 30 cm atau 12 inchi namun ada juga yang memiliki panjang 38 cm (Wardiatno et al. 2009).

Udang mantis memiliki beberapa maksiliped. Maksiliped I berfungsi untuk menipu mangsanya. Maksiliped II memiliki duri-duri tajam yang terdapat pada dactylus yang digunakan untuk memotong atau menyobek mangsanya. Maksiliped IV, V, dan VI kaki kecil yang disebut chelone. Chelone merupakan bagian yang berbentuk pipih dan tajam. Chelone digunakan untuk membawa makanan ke dalam mulut.

Perbedaan udang mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri yaitu pada Harpiosquilla raphidea memiliki duri-duri yang panjang dan tajam pada propodusnya serta warna pada ujung uropod dan telsonnya berwarna kuning. Selain itu juga terdapat bintik kuning pada ekornya. Pada Oratosquillina gravieri memiliki bulu-bulu halus pada propodusnya dan hanya terdapat 2 duri tajam pada maksilipednya. Ujung uropod dan telsonnya berwarna merah serta terdapat bintik merah pada ekornya.

(21)

2.2. Habitat dan Distribusi

Udang mantis hidup di daerah intertidal hingga subtidal pada kedalaman 2-93 m dengan subsrat pasir berlumpur dan pasir halus. Venberg dan Venberg 1972 in Naim 1996 membagi karakter pasang surut menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Pantai berbatu, dihuni oleh mayoritas organisme yang melekat atau bersembunyi dalam celah. Habitat ini tidak cocok untuk organisme penggali lubang.

2. Pantai berpasir, dihuni oleh sedikit sekali organisme yang hidup perairan di permukaan, umumnya hidup dengan cara membenamkan diri dalam pasir. 3. Pantai berlumpur, dihuni oleh organisme penggali lumpur. Pada daerah ini

kandungan bahan organiknya tinggi sehingga menyediakan banyak relung makanan bagi pemakan detritus.

Terdapat tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat yang mengikuti pola sebaran peluang antara lain pola penyebaran yang acak, pola penyebaran seragam (homogen), serta pola penyebaran kelompok. Penyebaran organisme di alam jarang ditemukan dalam pola yang seragam (teratur) tetapi secara umum mempunyai pola penyebaran mengelompok (Fitrianti 2003). Pola distribusi atau pola penyebaran merupakan hasil dari seluruh jawaban tingkah laku individu-individu terhadap kondisi lingkungan disekitarnya. Populasi cenderung mengelompok apabila terjadi pada kondisi yang berfluktuasi (Faizah 2001).

Pola sebaran dikatakan mengelompok apabila udang mantis hanya ditemukan di tempat tertentu sesuai dengan preferensi habitatnya. Hal ini diduga berhubungan dengan tipe substrat, ketersediaan makanan, kondisi lingkungan dan kemampuan larva untuk memilih daerah yang ditempatinya. Ketersediaan makanan yang tinggi pada suatu tempat memungkinkan suatu jenis organisme akan mengelompok pada tempat tersebut. Tipe substrat berpengaruh terhadap pola sebaran karena udang mantis akan berkumpul pada tipe substrat yang disukainya (Faizah 2001).

Pola sebaran mengelompok berkaitan erat dengan kemampuan larva hewan bentik untuk memilih daerah yang akan ditempatinya. Kebanyakan larva lebih senang menetap di tempat yang terdapat spesies dewasanya. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut cocok untuk habitat hidupnya. Nybakken (1988) menyatakan

(22)

menunda metamorfosis membuat penyebarannya tidak acak. Penyebaran secara acak relatif jarang terjadi di alam.

Distribusi suatu spesies tergantung dari sejarah hidup, kemampuan menyebar dan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai variabel lingkungan serta tipe pergerakan dari spesies tersebut (Purchon 1968 in Martanti 2001). Keadaan lingkungan seperti sedimen, salinitas, dan kedalaman perairan akan memberikan perbedaan terhadap dasar lautan sehingga mengakibatkan berbedanya jenis hewan pada daerah tersebut (Alexander et al. 1993 in Martanti 2001).

Distribusi dan komposisi udang di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan, seperti arus, salinitas, pasang surut dan curah hujan, serta tindakan manusia di sekitar perairan tersebut, seperti pembuangan sisa-sisa industri atau limbah rumah tangga yang dapat menimbulkan pencemaran perairan (Aziz 1986). Distribusi dan kepadatan biota dapat dijadikan sebagai petunjuk cocok tidaknya suatu habitat bagi biota tersebut. Salah satu contoh faktor luar yang mempengaruhi kelimpahan dan distribusi suatu organisme yaitu terjadinya perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan lingkungan antara lain dilakukannya pengerukkan pantai, pemanfaatan kayu dari hutan bakau serta penanaman rumput laut sehingga dapat mengakibatkan terjadinya pengurangan populasi suatu biota bahkan dapat mematikan biota tersebut (Malau 2002).

Dasar perairan yang berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap penyebaran hewan air, terutama bagi hewan-hewan air yang erat hubungannnya dengan dasar perairan, seperti udang mantis. Kadang-kadang beberapa jenis udang dengan spesies yang sama mendiami tipe subtrat yang berbeda, udang muda dan udang dewasa sering ditemukan mendiami tipe substrat yang berbeda (Aziz 1986).

Udang bersifat bentik, hidup di permukaan dasar perairan. Habitat yang disukai yaitu dasar perairan yang terdiri dari campuran lumpur dan pasir (Torodan Soegiarto 1979 in Aziz 1986). Menurut Rambe (1982) in Aziz (1986) diketahui bahwa perbedaan ukuran substrat tidak mempengaruhi laju pertumbuhan panjang karapas udang, tetapi akan mempengaruhi sedikit banyaknya udang tersebut terbenam. Di dasar perairan yang banyak terdapat potongan akar, ranting dan sebagainya dapat

(23)

membahayakan untuk udang itu sendiri. Kemungkinan dapat menyebabkan kaki udang tersebut tersangkut, sehingga lebih mudah dimangsa oleh predator.

Daerah penyebaran udang ronggeng di Indonesia kurang lebih sama dengan daerah penyebaran udang penaeid. Udang ronggeng menyenangi dasar perairan yang terdiri dari pasir atau pasir campur lumpur dan udang ini juga hidup pada dasar perairan atau celah-celah batu-batuan, sehingga perairan yang dasarnya terdiri dari pasir dan berbatu merupakan habitat utama udang ronggeng. Udang ronggeng hidup terutama di pantai berlumpur dan juga kawasan terumbu karang. Udang ronggeng merupakan salah satu jenis udang yang dapat dimakan (Aziz et al. 2001).

Udang ronggeng memiliki kebiasaan hidup dengan membuat liang (burrow). Habitat dan sifat hidup meliang tersebut serupa dengan jenis udang dari Famili Callianassidae, yakni Nihonotrypaea japonica (Tamaki et al. 1999), dan sifat agresif saat bertemu dengan sesama udang dalam liang juga mungkin akan ada pada udang mantis seperti halnya pada udang callianassid. Udang mantis termasuk salah satu jenis udang demersal yang dominan ditemukan di Tokyo Bay dan menjadi salah satu komoditas utama perikanan (Kodama et al. 2006)

Menurut Haswell (1982) in Sumiono & Priyono (1998) kelas Squillidae tersebar di daerah Indo-Pasifik mempunyai 6 genera, yaitu: Squilla, Pseudosquilla, Lysiosquilla, Coronida, Odontodactylus dan Gonodactylus. Diantara keenam genera tersebut, genus Squilla adalah yang paling banyak dijumpai di perairan Indonesia. Menurut Torro dan Mossa (1999) in Aziz et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis udang ronggeng yang ada di perairan Selat Malaka dari keluarga Squillidae, yakni Anchisquilla fasciata, Cariosquilla muticarinata, Oratosquilla goypeltes, dan O. nepa, O. perpensa, O. woodmansoni serta dari keluarga Horpiosquillidae, yakni Harpiosquilla harpax (Aziz et al. 2001).

Harphiosquilla terdapat di Indo-Pasifik Barat dimulai dari Jepang, Australia, sampai Pasifik meliputi Laut Merah, Afrika Selatan, dan Samudera Hindia. Daerah penyebarannya yaitu Jepang (Teluk Suruga dan Teluk Tanabe), Taiwan (Tungkang), Queensland (Semenanjung Flattery dan Teluk Tin Can), New South Welas (Teluk Jerusalem, Muara Sungai Hawk), Tailand (Tachalom dan Teluk Siam), Sri Langka (Teluk Palk), Madagaskar (Teluk Ambaro), Ethiophia (Teluk Arehico), Afrika

(24)

Selatan (Teluk Richards), Laut Merah, dan Teluk Oman, sedangkan di Indonesia terdapat di Laut Jawa sampai Singapura (Manning 1969 in Halomoan 1999).

Berdasarkan survei trawl yang dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta, daerah penyebaran udang ronggeng antara lain terdapat di perairan Selat Malaka, Timur Sumatera, Laut Jawa (Dwiponggo 1978 et al. in Aziz et al. 2001), Barat Sumatera dan Selatan Jawa (Tim Survei 1994 dan Iskandar et al. 1994 in Aziz et al. 2001), Laut Arafuru (Naamin dan Sumiono 1983 in Aziz et al. 2001). Daerah perdagangan udang ronggeng secara tradisional di Sumatera antara lain di daerah Belawan, Riau, Jambi/Kuala Tungkal, dan Palembang/Sungai Sembilang (Aziz et al. 2001).

2.3. Kualitas Substrat

Substrat berperan penting sebagai habitat hewan epifauna maupun infauna, tempat mencari makan terutama bagi pemakan deposit. Spesies penggali dan pemakan deposit memiliki kecenderungan untuk hidup pada daerah berlumpur dan substrat lunak. Substrat lunak memiliki kandungan bahan organik yang tinggi (Nybakken 1988).

Sedimen mengandung bahan organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang telah membusuk kemudian mengendap ke dasar dan bercampur dengan lumpur serta bahan organik yang umumnya berasal dari pelapukan batuan (Sverdrup et al. 1961 Malau 2002). Menurut Beer (1985) in Pariwono (1992), sedimen merupakan salah satu aspek yang menimbulkan pencemaran di perairan pantai dan laut. Kandungan sedimen yang tinggi di muara sungai, kegiatan industri dan kegiatan pelabuhan merupakan bahan pencemar alami.

Penyebaran dari kelimpahan suatu spesies berhubungan dengan besar kecilnya diameter rata-rata butiran sedimen di dalam atau di atas tempat mereka berada. Substrat dapat menentukan penyebaran, kelimpahan, dan kebiasaan hidup organisme dasar atau bentos (Alexander et al. 1993 in Martanti 2001). Faktor fisik terpenting yang berpengaruh terhadap komunitas dasar adalah turbulensi atau gerakan ombak. Pada perairan yang dangkal interaksi ombak, arus, up welling akan mengakibatkan terjadinya turbulensi. Dasar perairan yang dangkal dengan sangat dipengaruhi oleh pergerakan laut dan gelombang. Adanya jalur ombak maka akan menimbulkan

(25)

gerakan dengan gelombang besar di dasar yang berpengaruh terhadap stabilitas substrat. Dengan adanya gerakan ombak dapat mengakibatkan substrat teraduk dan tersuspensi kembali sehingga sangat mempengaruhi hewan infauna yang hidup di dalam substrat. Perairan yang arusnya kuat lebih banyak ditemukan substrat pasir, karena partikel yang berukuran kecil akan terbawa ke tempat yang lebih jauh oleh aktivitas arus dan gelombang (Faizah 2001).

2.4. Faktor Fisika dan Kimia Air yang Mempengaruhi Jumlah dan Distribusi Udang Mantis

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi udang mantis antara lain: suhu, salinitas, DO, dan pH. Faktor-faktor ini sangat mempengaruhi kelimpahan dan distribusi udang mantis. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Suhu merupakan parameter fisika perairan yang mempunyai peranan penting dalam pengaturan aktivitas-aktivitas hewan air misalnya pemijahan, kecepatan renang, dan kecepatan metabolisme. Suhu secara langsung sangat berpengaruh tethadap metabolisme dan pertumbuhan tubuh hewan air akan turun bahkan dapat terhenti sama sekali (Wilbur dan Owen 1964 in Fitrianti 2003). Sementara itu, pengaruh tidak langsungnya antara lain berkaitan dengan daya akumulasi berbagai bahan kimia penurunan kadar oksigen yang berada di perairan (Ginting 1999).

Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan tersebut (Effendi 2003). Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen teralrut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). Perubahan suhu dapat menjadi petunjuk bagi organisme untuk mengawali dan mengakihiri berbagai aktivitas organisme tersebut misalnya reproduksi (Nybakken 1988). Peningkatan suhu dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang akan selanjutnya akan meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 10ºC suhu perairan dapat maka akan meningkatkan konsumsi oksigen bagi organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu yang disertai dengan penurunan

(26)

memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Selain itu, dengan meningkatnya suhu dapat menyebabkan peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003).

Salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air (Boyd 1982 in Effendi 2003). Nilai salinitas pada perairan laut berkisar antara 30-40 ‰. Salinitas mengggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003). Salinitas berfluktuasi terhadap ruang dan waktu (Sverdrup et al. 1961 in Ginting 1999). Fluktuasi salinitas secara alamiah di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal, yaitu penguapan yang besar dan hujan yang lebat. Salinitas di perairan dangkal lebih bervariasi daripada di laut terbuka dan laut dalam (Nybakken 1988).

Oksigen telarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air, oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan air, difusi dari udara, air hujan dan aliran air permukaan yang masuk (Moriber 1974 in Fitrianti 2003). Oksigen di perairan mempengaruhi beberapa faktor antara lain salinitas, suhu, respirasi da fotosintesis. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas-gas yang ada dalam udara dan air. Oksigen di perairan mempunyai variasi yang sangat tinggi dan biasanya bervariasi lebih rendah dari kandungan oksigen di udara (Brower and Zar 1977 in Malau 2002). Oksigen berperan penting bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Kandungan oksigen di suatu perairan akan meningkat apabila masukan limbah yang masuk ke perairan tersebut juga meningkat (Abel 1989 in Ginting 1999). Kelarutan oksigen dipengaruhi suhu, tekanan parsial gas-gas yang ada dalam udara dan air ( Klein 1962 in Ginting 1999).

Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai keadaan anaerob atau tidak ada oksigen sama sekali. Semakin tinggi suhu maka oksigen akan semakin berkurang. Kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga akan berkurang yang diakibatkan oleh meningkatnya salinitas sehingga oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di air tawar (Effendi 2003).

(27)

Derajat keasaman (pH) menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan (Effendi 2003). pH sangat penting karena perubahan pH yang terjadi di air tidak hanya berasal dari masukan bahan-bahan asam atau basa di perairan tetapi juga dapat disebabkan oleh perubahan tidak langsung dari aktivitas-aktivitas metabolik perairan yang mencakup aktivitas manusia di daratan seperti: limbah rumah tangga, pertanian, dan tambak yang dibuang ke sungai lalu diteruskan ke laut. Irianto et al. (1986) in Malau (2002) menyatakan pentingnya dilakukan analisa pH air laut, karena air laut mempunyai kemampuan sebagai buffer yang mempunyai pengaruh yang besar untuk mencegah perubahan pH. Batas toleransi dari suatu organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta tergantung dengan jenis dan stadia organisme (Pescod 1973 in Malau 2002). Nybakken (1988) menyatakan bahwa pH di lingkungan perairan laut relatif lebih stabil dan berada pada kisaran yang sempit, biasanya berada pada kisaran 7,7-8,4. Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5.

(28)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2010 di daerah pantai berlumpur KualaTungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada tanggal 20 Juni, 21 Juni, dan 22 Juni 2010. Penentuan lokasi dilakukan secara acak. Analisis sampel tanah dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB dan Laboratorium Analisis Tanah, Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian (Sumber : Googlemap 2010) KARTOGRAFER : ELIN PRATIWI C24062776 SKALA 1:35500 TAHUN PEMBUATAN 2010 SUMBER PETA GOOLE EARTH TAHUN 2010

(29)

3.2. Penentuan Lokasi Penangkapan Contoh Udang

Penentuan lokasi pengambilan contoh udang dilakukan secara acak dengan menggunakan GPS dengan membagi lokasi penelitian menjadi 3 stasiun. Masing-masing stasiun dibagi menjadi 10 substasiun (sapuan). Stasiun 1 dan 2 terletak di sebelah kiri Muara Sungai Pangabuan dikarenakan wilayahnya lebih luas dan stasiun 3 terletak di sebelah kanan Muara Sungai Pangabuan karena wilayahnya sempit. Posisi koordinat masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Posisi lintang dan bujur stasiun pengamatan

Stasiun Koordinat

Lintang Bujur

1 00o45’51.7”LU-00o46’54.3”LU 103o29’30.1”BT-103o30’00.5”BT 2 00o44’43.6”LU-00o45’19.9”LU 103o30’05.5”BT-103o31’33.8”BT 3 00o47’44.9”LU-00o47’27.9”LU 103o32’27.7”BT-103o30’28.7”BT

3.3. Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh Substrat

Pengambilan sampel substrat hanya dilakukan pada 3 substasiun pada masing-masing stasiun yaitu pada substasiun 1, 5, dan 10 sehingga dapat dilihat sama atau tidaknya tipe substrat yang menjadi habitat udang mantis. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh perbedaan substrat secara langsung bagi kehidupan udang mantis.

3.4. Metode Kerja

3.4.1. Perhitungan jumlah

Untuk menghitung jumlah udang mantis dilakukan pengamatan dengan ikut nelayan ke laut untuk melakukan penangkapan dengan menggunakan sondong. Daerah penangkapan dibagi menjadi 3 stasiun di sepanjang garis pantai menuju ke arah laut. Masing-masing stasiun terbagi menjadi 10 substasiun (sapuan). Udang yang tertangkap dengan menggunakan sondong kemudian dipisahkan per spesies dengan menggunakan baki. Udang tertangkap kemudian dimasukkan ke dalam plastik yang diberi label. Kemudian dihitung jumlahnya.

(30)

3.4.2. Pengambilan contoh sustrat

Pengambilan contoh substrat dilakukan dengan menggunakan pipa yang ditancapkan ke dalam lumpur. Kedalaman lumpur berkisar antara 2-5 cm. Sampel substrat yang diambil dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu diberi label, kemudian dianalisis di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB untuk mengetahui komposisi (%) liat, debu, pasir serta tipe substrat.

3.4.3. Pengukuran parameter fisika - kimia perairan

Pengukuran kualitas air yang berkaitan dengan distribusi udang mantis meliputi yaitu suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut dilakukan secara in situ. Pengukuran secara fisika meliputi suhu yang diukur menggunakan termometer dengan satuan ºC, salinitas diukur menggunakan refraktometer dengan satuan psu, dan pH diukur dengan menggunakan pH meter sedangkan pengukuran secara kimia meliputi oksigen terlarut (DO) yang diukur menggunakan DO meter dengan satuan mg/l. Selain itu juga dilakukan pengukuran substrat yang meliputi tekstur tanah yang diukur menggunakan pipet/robinson dan satuannya %.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Analisis Distribusi Udang Mantis a. Analisa jumlah udang

Jumlah udang yang tertangkap pada masing-masing sapuan dihitung sehingga dapat dilihat ukuran kecil, ukuran sedang, ukuran besar, dan ukuran besar sekali. Kelompok ukuran udang ini diperoleh dengan menggunakan software FISAT II.

b. Analisa tipe substrat

Tipe substrat udang mantis dapat dilihat dengan menggunakan segitiga miller ( Brower et al. 1990) yaitu:

(31)

Gambar 5. Segitiga miller ( Brower et al. 1990) c. Analisa Sebaran Populasi

Pola sebaran populasi udang mantis dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Sebaran Morisita ( Brower et al 1990) yaitu:

Id = n

Keterangan: Id = Indeks Sebaran Morista

n = Jumlah stasiun pengambilan contoh

xi = Jumlah individu pada setiap stasiun pengambilan contoh N = Jumlah total individu pada seluruh stasiun

Hasil perhitungan Indeks Sebaran Morisita dibandingkan dengan melihat kriteria sebagai berikut:

Id = 0 : Pola sebaran bersifat seragam sempurna Id = 1 : Pola sebaran bersifat acak

(32)

Untuk menguji kebenaran Indeks Sebaran Morisita diatas, digunakan suatu uji statistika, yaitu Uji Chi-Kuadrat (Brower et al. 1990) dengan persamaan sebagai berikut:

χ2

= n - N

Keterangan: χ2

= Nilai Chi-Kuadrat

n = Jumlah unit pengambilan contoh Xi = Jumlah individu tiap stasiun

N = Jumlah total individu yang diperoleh i = 1, 2, 3,…, s

Nilai Kuadrat dari perhitungan diatas dibandingkan dengan nilai Chi-Kuadrat tabel statistika dengan menggunakan selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Jika nilai X2 perhitungan lebih besar dari nilai X2 tabel berarti ada perbedaan nyata secara acak.

(33)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi umum Tanjung Jabung Barat

Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jambi yang memiliki wilayah laut. Laut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan secara umum laut di Provinsi Jambi merupakan bagian Laut Cina Selatan. Luas wilayah kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah 5.009,82 km2 dengan luas perairan/lautan sebesar 141,75 km2. Luas perairan pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Barat mencapai 12 mil laut dari garis pantai terluar. Sementara itu, luas daratan wilayah Tanjung Jabung Barat yaitu 5.503,5 km2 (BPS 2008). Kabupaten Tanjung Jabung Barat berhadapan dengan kawasan segitiga pertumbuhan Singapura, Johor, dan Riau (Dinas Perikanan dan Ilmu Kelautan Kabupaten Tanjung Jabung Barat 2002).

Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak di daerah dataran rendah dengan ketinggian 10-500 meter dari permukaan laut. Luas wilayah pada masing-masing kecamatan berdasarkan ketinggian wilayah. Secara geografis Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera dengan letak posisi geografis 103º23´-104º21´ BT dan 0º53´-1º41´ LS. Batas-batas Kabupaten Tanjung Barat mencakup:

Utara : Propinsi Riau

Selatan : Kabupaten Batanghari

Barat : Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tebo

Timur : Selat Berhala dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Kabupaten Tanjung Jabung Barat mengalami pemekaran sehingga mengalami perubahan wilayah baik secara adminitrasi maupun politik. Kabupaten Tanjung Jabung Barat terdiri dari 5 Kecamatan, yaitu kecamatan Tungkal Ilir, Tungkal Ulu, Pengabuan, Betara dan Merlung serta memiliki 52 desa dan 5 kelurahan. Sebelum dilakukan pemekaran, Kabupaten Tanjung Jabung Barat tergabung dengan Tanjung Jabung Timur yang terdiri dari 10 kecamatan dan 120 desa/keluruhan. Kepadatan penduduk Tanjung Jabung Barat sebesar 43 jiwa/km2. Jumlah penduduk Kabupaten

(34)

206.807 jiwa. Sementara itu, jumlah penduduk Tanjung Jabung Barat pada tahun 2008 sebanyak 250.746 jiwa. Dalam kurun waktu 8 tahun terjadi pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun sebesar 2,43% (BPS 2008).

Keadaan cuaca di Kabupaten Tanjung Jabung Barat beriklim tropis dengan suhu rata-rata 26,9ºC serta suhu minimum adalah 21,9ºC dan suhu maksimum adalah 32ºC. Wilayah Tanjung Jabung Barat ini memiliki curah hujan rata-rata berkisar antara 2000-3500 mm/tahun atau rata-rata berkisar antara 223-241,6 mm/bulan atau dengan kata lain hari hujan berkisar antara 11-13 hari/bulan (BPS 2008).

Kabupaten Tanjung Jabung Barat memiliki wilayah darat dan laut yang cukup luas. Di perairan yang cukup luas ini hidup beranekaragam sumberdaya hayati yang berpotensi sebagai lahan budidaya ikan. Selain itu juga terdapat hutan mangrove yang bermanfaat untuk menjaga kondisi pantai dari erosi air laut (BPS 2008). Potensi perikanan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat cukup besar, baik penangkapan, pengolahan mauapun budidaya perikanan. Wilayah ini memproduksi dan mengekspor olahan hasil perikanan. Selain itu juga, produksi dalam bentuk segar.

4.1.2. Habitat udang mantis

Habitat udang mantis yang ditemukan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah substrat berlumpur. Daerah pasang surut di sekitar Kuala Tungkal merupakan daerah penyebaran udang mantis serta udang mantis juga menyebar di kiri dan kanan muara sepanjang pantai. Udang mantis berlindung dalam lubang di dalam lumpur dengan diameter dan kedalaman lubang yang bervariasi sesuai dengan ukuran udang mantis. Udang mantis ditangkap dengan menggunakan alat tangkap sondong. Alat tangkap sondong mengeruk dasar perairan sehingga udang mantis yang tersembunyi di dasar akan ikut tertangkap. Kondisi tersebut dijumpai di perairan yang terdapat di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Komposisi tekstur tanah habitat udang mantis yang diperoleh pada penelitian pendahuluan pada bulan Juli 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.

(35)

Tabel 2. Komposisi tekstur tanah habitat udang mantis bulan Juli 2009 Stasiun Sapuan Pasir Halus Pasir Halus Sekali Debu Kasar Debu Sedang Debu Halus Liat

Kasar Tipe substrat

1

1 1,56 1,26 32,25 25,13 3,54 4,48 Lempung liat berdebu

2 0,29 1,09 32,02 10,47 11,78 7,59 Liat berdebu

3 0,2 2,23 34,22 28,07 7,25 5,47 Liat berdebu

4 0,21 1,06 20,48 12,32 10,28 9,77 Liat berdebu

5 0,29 2,85 45,2 9,39 9,08 7,25 Lempung liat berdebu

6 0,47 4,38 32,95 10,71 15,74 8,07 Liat berdebu

7 0,3 2,63 33,97 16,16 5,51 6,32 Liat berdebu

8 0,33 2,41 25,71 16,64 13,01 6,34 Liat berdebu

9 0,22 3,01 40,18 9,54 8,25 6,43 Lempung liat berdebu

10 0,23 3,04 36,59 10,5 8,65 4,85 Liat berdebu

2

1 0,33 1,33 31,52 22,35 1,46 8,16 Lempung liat berdebu

2 0,54 3,23 31,72 20,92 1,81 7,61 Liat berdebu

3 0,52 2,99 23,37 24,25 1,94 9,82 Liat berdebu

4 0,22 1,24 27,09 18,29 2,89 10,14 Liat berdebu

5 0,25 3,26 33,98 9,86 6,08 6,14 Liat berdebu

6 0,24 3,43 22,82 16,11 9,01 9,31 Liat berdebu

7 0,31 4,44 29,64 18,41 4,42 6,41 Lempung liat berdebu

8 0,19 3,17 36,39 11,36 8,75 8,2 Liat berdebu

9 0,22 2,95 27,4 13 8,19 8,76 Liat berdebu

10 0,33 3,08 34,9 12,13 4,39 7,46 Liat berdebu

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan segitiga miller didapatkan bahwa tipe substratnya berupa lempung liat berdebu dan liat berdebu. Sementara itu, komposisi tekstur tanah habitat udang mantis yang diperoleh pada penelitian bulan Juni 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.

(36)

Tabel 3. Komposisi tekstur tanah habitat udang mantis bulan Juni 2010

Stasiun Sapuan Pasir Debu Liat Tipe Substrat

1

1 51,53 32,73 15,74 Lempung berpasir

5 51,94 26,34 21,72 Lempung Liat berpasir

10 46,97 34,63 18,41 Lempung 2 1 58,43 25,37 16,19 Lempung berpasir 5 59,73 27,78 12,49 Lempung berpasir 10 57,57 23,42 19,01 Lempung berpasir 3 1 59,9 21,17 18,94 Lempung berpasir 5 51,37 32,61 16,02 Lempung berpasir 10 55,55 27,4 17,06 Lempung berpasir

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan segitiga miller didapatkan bahwa tipe substratnya berupalempung liat berpasir, lempung berpasir, dan lempung. Dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan tipe substrat pada penelitian bulan Juli 2009 dan Juni 2010. Hal ini diduga karena adanya ombak yang kuat sehingga mengakibatkan partikel yang halus akan pindah mengikuti arus dan menyisakan partikel yang lebih berat seperti pasir.

4.1.3. Jumlah udang mantis

Penangkapan udang mantis dilakukan dengan alat tangkap berupa sondong yang mengeruk dasar perairan. Penangkapan pada stasiun 1 dan 2 dilakukan dari arah pantai menuju ke arah laut sehingga dapat diketahui jumlah udang serta ukuran udang yang tertangkap, sedangkan pada stasiun 3 penangkapan dilakukan di mulut muara sungai. Jumlah total kedua udang mantis pada masing-masing lokasi disajikan pada Gambar 6.

(37)

(a)

(b)

Gambar 6. Jumlah total Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri (a) stasiun 1 dan 2, (c) stasiun 3

(38)

Jumlah tangkapan udang mantis Harpiosquilla raphidea pada masing-masing lokasi berdasarkan kelompok ukuran (Gambar 7).

(a)

(b)

Gambar 7. Jumlah Harpiosquilla raphidea pada masing-masing lokasi berdasarkan kelompok ukuran (a) stasiun 1 dan 2, (b) stasiun 3

(39)

Jumlah tangkapan udang mantis Oratosquillina gravieri pada masing-masing lokasi berdasarkan kelompok ukuran (Gambar 8).

(a)

(b)

Gambar 8. Jumlah Oratosquillina gravieri pada masing-masing lokasi berdasarkan

(40)

Dari gambar 6 diperoleh informasi bahwa dari ketiga stasiun jumlah Harpiosquilla raphidea lebih banyak dibandingkan Oratosquillina gravieri. Jumlah udang paling banyak tertangkap terdapat pada stasiun 3. Berdasarkan gambar 7 dapat dilihat bahwa kelompok ukuran yang diperoleh yaitu 3,75 cm - 8,75 cm; 8,75 cm - 13,75 cm; 13,75 cm - 18,75 cm dan >18,75 cm (Novi Ariyanti, 2010; komunikasi pribadi). Dilihat dari ketiga gambar dapat diperoleh bahwa ukuran udang terbanyak yang ditemukan terdapat pada ukuran 8,75 cm - 13,75 cm sedangkan jumlah udang yang paling sedikit ditemukan terdapat pada ukuran >18,75 cm. Selain itu, dapat dilihat bahwa jumlah udang paling banyak terdapat pada stasiun 3 sebesar 344 ind. Pada stasiun 2 jumlah udang yang tertangkap terdapat pada stasiun 2 sebanyak 132 ind dan jumlah udang yang tertangkap pada stasiun 1 sebanyak 91 ind.

Dilihat dari gambar 8 didapatkan bahwa kelompok ukuran yang diperoleh yaitu < 5,3 cm; 5,3 cm - 7,8 cm; 7,9 cm - 10,3 cm; dan > 10,3 cm. Udang yang paling banyak ditemukan terdapat pada stasiun 3 sebanyak 112 ind. Jumlah udang yang tertangkap pada stasiun 2 sebanyak 46 ind. Sementara itu, jumlah udang yang tertangkap pada stasiun 1 sebanyak 30 ind. Ukuran udang yang paling banyak tertangkap terdapat pada ukuran 5,3 cm - 7,8 cm, sedangkan ukuran yang paling sedikit tertangkap terdapat pada ukuran < 5,3 cm. Dari kedua jenis udang ini jumlah udang tertangkap lebih didominasi oleh udang mantis Harpiosquilla raphidea.

4.1.4. Pola sebaran populasi udang mantis

Analisis sebaran populasi Haspiosquilla raphidea berdasarkan Indeks Sebaran Morisita (Tabel 4).

Tabel 4. Pola sebaran populasi Harpiosquilla raphidea

Pengamatan ke- Id X2 Perhitungan X2 Tabel Pola Sebaran

1 1,6678 142.,2460 5,991 Mengelompok

2 1,4765 109,7004 5,991 Mengelompok

3 1,2043 32,0405 5,991 Mengelompok

Hasil pengamatan nilai pola sebaran populasi (Id) tertinggi Harpiosquilla raphidea yang dihitung dengan menggunakan Indeks Sebaran Morisita (Brower et al. 1990) terdapat pada ulangan 1 sebesar 1,6678. Kemudian diikuti oleh ulangan 2 sebesar 1,4765. dan nilai Id terendah terdapat pada pada ulangan 3 sebesar 1,2043.

(41)

Berdasarkan pengamatan didapatkan bahwa pola sebaran populasi Harpiosquilla raphidea pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat bersifat pola sebaran mengelompok. Hal ini terlihat dari nilai χ2 perhitungan lebih besar dari nilai χ2 Tabel. Pada ulangan 1 diperoleh nilai χ2 Perhitungan sebesar 142,2462. Nilai χ2 Perhitungan pada ulangan 2 sebesar 109,7004. Adapun pada ulangan 3 diperoleh nilai Id sebesar 32,0405. Sementara itu, nilai χ2 Tabel yang diperoleh dari tabel statistika dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) sebesar 5,991.

Analisis sebaran populasi Oratosquillina gravieri berdasarkan Indeks Sebaran Morisita (Tabel 5).

Tabel 5. Pola sebaran populasi Oratosquillina gravieri

Pengamatan ke- Id X2 Perhitungan X2 Tabel Pola Sebaran

1 1,0561 8,0550 5,991 Mengelompok

2 2,2208 121,6364 5,991 Mengelompok

3 1,3000 8,0000 5,991 Mengelompok

Indeks Sebaran Morisita (Id) Oratosquillina gravieri pada Kabupaten Kuala Tungkal selama pengamatan diperoleh informasi bahwa ulangan 2 memiliki nilai tertinggi sebesar 2,2208. Ulangan 1 memiliki nilai indeks sebaran morisita terendah, yaitu sebesar 1,0561. Adapun ulangan 3 yang memiliki nilai indeks sebaran morisita yaitu, sebesar 1,3000. Pola sebaran populasi bersifat mengelompok. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa semua χ2 Perhitungan > χ2 Tabel. Nilai χ2 Tabel diperoleh dari tabel statistika dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) sebesar 5,991. pada ulangan 1 diperoleh χ2 perhitungan yaitu sebesar 8,0550. pada ulangan 2 diperoleh χ2 perhitungan yaitu sebesar 121,6364. Adapun χ2 perhitungan pada ulangan 3 diperoleh sebesar 8.

4.1.5. Parameter fisika - kimia perairan

Kualitas air fisika dan kimia yang berpengaruh terhadap kehidupan udang mantis meliputi suhu, pH, salinitas, dan DO. Parameter-parameter tersebut merupakan faktor lingkungan yang erat kaitannya terhadap penyebaran atau distibusi udang mantis. Hasil pengukuran parameter kualitas air pada habitat udang mantis (Gambar 9).

(42)

Gambar 9. Nilai pengukuran kualitas air

Berdasarkan informasi yang terdapat pada Gambar 9 didapatkan bahwa dari ketiga stasiun suhu, pH, salinitas, dan DO tidak berbeda signifikan. Suhu rata-rata pada stasiun 1,2, dan 3 yaitu 30,1ºC; 31,4ºC dan 31,3 ºC. pH rata-rata stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 7,7; 7,9 dan 7,7. Salinitas rata-rata pada stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 24 psu, 22 psu dan 22 psu dan DO rata-rata pada stasiun 1,2, dan 3 yaitu 6,4 mg/l; 6,5 mg/l dan 6,4 mg/l.

4.2. Pembahasan

Habitat udang mantis cenderung berada di dasar perairan dengan jalan membenamkan diri ke dasar perairan untuk berlindung (Edyson, 1986 in Wardiatno et al. 2009). Substrat di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, masukan yang berasal dari sungai dan laut serta kecepatan arus. Perairan yang arusnya kuat lebih banyak ditemukan substrat pasir, karena partikel yang berukuran kecil akan terbawa ke tempat yang lebih jauh oleh aktivitas arus dan gelombang.

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa udang mantis hidup di dasar perairan dengan tipe substrat pasir berlempung, lempung, lempung liat berpasir, liat berdebu, dan lempung liat berdebu. Hal ini sesuai dengan pendapat Aziz et al. (2001)

(43)

menyatakan bahwa udang ronggeng menyenangi dasar perairan yang terdiri dari pasir atau pasir campur lumpur dan udang ini juga hidup pada dasar perairan atau celah-celah batu-batuan, sehingga perairan yang dasarnya terdiri dari pasir dan berbatu merupakan habitat utama udang ronggeng. Udang ronggeng hidup terutama di pantai berlumpur dan juga kawasan terumbu karang. Harpiosquilla raphidea memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap tipe substrat. H. raphidea dapat hidup dasar perairan dengan tipe substrat lempung berpasir, lempung liat berpasir dan lempung. Sedangkan Oratosquillina gravieri lebih menyukai dasar perairan dengan tipe substrat lempung berpasir.

Tipe substrat yang diperoleh pada bulan Juli 2009 dan bulan Juni 2010 mengalami perbedaan. Hal ini diduga karena adanya ombak atau arus yang kuat sehingga akan memindahkan partikel-partikel halus dan hanya kan menyisakan partikel yang lebih berat seperti pasir. Hal ini sesuai dengan pendapat Faizah (2001) menyatakan bahwa perairan yang arusnya kuat lebih banyak ditemukan substrat pasir, karena partikel yang berukuran kecil akan terbawa ke tempat yang lebih jauh oleh aktivitas arus dan gelombang.

Berdasarkan gambar 6 didapatkan bahwa H. raphidea memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan O. gravieri. Hal ini diduga karena H. raphidea bersifat superior atau pemangsa, sedangkan O. gravieri bersifat inferior atau lebih pasif sehingga akan kalah bersaing dengan H. raphidea baik dalam kompetisi ruang maupun makan. Selain itu, juga dapat disebabkan karena O. gravieri memiliki kisaran toleransi yang lebih sempit dibandingkan H. raphidea sehingga lebih sulit beradaptasi terhadap lingkungan.

Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa di stasiun 1 udang yang berukuran 3,75 – 8,75 cm banyak ditemukan pada jarak 970 - 1170 meter. Jarak tersebut berada disekitar muara sungai dan berdekatan dengan mangrove. Hal ini menunjukan bahwa daerah tersebut merupakan habitat yang cocok bagi udang mantis berukuran kecil. Hal ini diduga karena banyak menerima pasokan makanan dari daratan untuk kebutuhan pertumbuhannya. Setelah dewasa udang mantis akan bermigrasi menuju ke laut lepas dengan salinitas yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Yusuda in Suwandi (1978) bahwa udang muda terdapat di daerah payau dekat pantai

(44)

kadar garam yang lebih tinggi untuk memijah. Pada stasiun 2, ukuran Harpiosquilla raphidea 3,75 cm – 8,75 cm lebih banyak ditemukan pada jarak 2860 m - 3060 m dan jarak 3160 m – 3460 m dibandingkan jarak 2560 m – 2760 m. Hal ini dapat diakibatkan adanya arus yang kuat sehingga udang yang berukuran kecil terbawa ke arah laut. Pada stasiun 3, ukuran udang 3,75 cm – 8,75 cm dan 8,75 cm – 13,75 cm paling banyak ditemukan. Jika dilihat dari keberadaan stasiun tersebut maka dapat diketahui penyebab dari tingginya jumlah udang yang berukuran udang 3,75 cm – 8,75 cm dan 8,75 cm – 13,75, yaitu disebabkan oleh kondisi habitatnya. Stasiun 3 terletak di sepanjang muara sungai. Muara sungai banyak mendapatkan pasokan makanan dari daratan dan merupakan habitat dari udang-udang kecil dan udang muda sebagai daerah pemijahan dan daerah mencari makan. Setelah dewasa udang akan menuju ke laut untuk mencari salinitas yang lebih tinggi untuk kebutuhan kehidupannya.

Dilihat dari gambar 8 diperoleh informasi bahwa terdapat empat ukuran yaitu < 5,3 cm; 5,3cm - 7,8 cm; 7,9 cm - 10,3cm; dan > 10,3 cm. Ukuran yang paling banyak ditemukan yaitu 7,9 cm – 10,3 cm. Hal ini diduga karena ukuran ini merupakan ukuran yang sudah mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Sementara itu, ukuran yang paling sedikit ditemukan yaitu berukuran > 10,3 cm. Hal ini dapat disebabkan udang-udang yang berukuran besar sudah mengalami penangkapan oleh nelayan. Pada stasiun 1 dan 2 dapat dilihat bahwa ukuran udang < 5,3 cm banyak ditemukan pada jarak yang lebih jauh mengarah ke laut. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya arus yang menyebabkan udang-udang yang berukuran terbawa arus menuju ke arah laut.

Jumlah tangkapan udang terbanyak dari ketiga stasiun terdapat pada stasiun 3. Hal ini disebabkan karena di stasiun 3 merupakan habitat yang sesuai untuk udang mantis ini dan merupakan daerah yang selama ini jarang dilakukan penangkapan. Kepadatan (jumlah) dapat dijadikan petunjuk cocok tidaknya suatu habitat terhadap biota tersebut (Malau 2002). Hal ini juga diduga karena semua sapuan di stasiun 3 berdekatan dengan muara sungai dan dekat dengan daerah mangrove. Dimana daerah muara sungai dan mangrove memiliki ketersediaan makanan yang banyak. Selain itu, daerah muara sungai merupakan daerah asuhan bagi udang-udang yang umumnya berukuran kecil. Penyebaran udang dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah muara

(45)

sungai atau estuaria dan daerah lepas pantai. Pada perairan estuaria merupakan daerah pemijahan udang yang berada pada stadia pascalarva dan juvenil yang umunya berukuran kecil, sedangkan di lepas pantai udang berada pada stadia dewasa dan umunya berukuran besar (Gracia et al. 1981 in Aziz et al. 2001).

Pada stasiun 3, arusnya kecil sehingga udang mantis lebih dapat beradaptasi. Hal ini sesuai dengan Moore (1978) in Martanti (2001) menyatakan arus yang cepat akan membahayakan tempat hidup hewan yang biasanya hidup di dalam lumpur dan hewan perayap di dasar perairan. Aziz (1986) melaporkan distribusi dan kepadatan (jumlah) udang di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan, seperti arus, salinitas, pasang surut, serta tindakan manusia di sekitar perairan tersebut, seperti pembuangan sisa-sisa industri atau limbah rumah tangga yang dapat menimbulkan pencemaran perairan. Berdasarkan wawancara terhadap nelayan bahwa stasiun 3 belum mengalami penangkapan. Hal ini dikarenakan stasiun 3 berada pada lokasi yang sempit sehingga mengakibatkan nelayan tidak melakukan penangkapan di daerah tersebut.

Untuk mengetahui pola sebaran kedua jenis udang mantis H. gravieri dan O. gravieri digunakan Indeks Sebaran Morisita (Brower et al. 1990) kemudian dilakukan Uji Chi-Kuadrat. Kriteria pola sebaran morisita (Id) terbagi menjadi tiga yaitu Id < 1 dengan pola sebaran bersifat seragam sempurna, Id=1 dengan pola sebaran bersifat acak dan Id > 1dengan pola sebaran bersifat mengelompok sempurna.

Hasil perhitungan yang terdapat pada Tabel dan Tabel 5 menunjukkan bahwa Indeks Sebaran Morisita yang diperoleh lebih besar dari 1 (Id > 1) dan χ2 perhitungan lebih besar dari χ2 Tabel (berbeda nyata secara acak) sehingga pola sebarannya bersifat mengelompok sempurna. Udang mantis hidup mengelompok sesuai dengan jenisnya. Pola sebaran bersifat mengelompok diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan, ketersediaan makanan, dan tipe substrat. Ketersediaan makanan yang tinggi pada suatu tempat memungkinkan suatu jenis organisme akan mengelompok pada tempat tersebut. Tipe substrat berpengaruh terhadap pola sebaran karena udang mantis akan berkumpul pada tipe substrat yang disukainya.

(46)

fisik terpenting yang bereaksi pada komunitas dasar adlah turbulensi atau gerakan ombak (Nybakken 1988). Pada perairan yang dangkal interaksi ombak, arus, up welling akan menimbulkan gerakan turbulensi. Pada dasar yang lunak, ombak ini dapat menimbulkan gerakan bergelombang besar di dasar perairan yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas subsrat. Hewan infauna yang hidup di dasar substrat sangat dipengaruhi oleh partikel substrat yang teraduk. Selain itu, pergerakan ombak juga dapat menentukan tipe partikel yang terkandung dan apabila pergerakan ombak tersebut kuat maka akan memindahkan partikel halus sebagai suspensi dan menyisakan pasir.

Pola sebaran mengelompok berkaitan erat dengan kemampuan larva hewan bentik untuk memilih daerah yang akan ditempatinya. Kebanyakan hewan larva lebih senang menetap di tempat yang terdapat spesies dewasanya. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut cocok unyuk habitat hidupnya. Kemampuan larva memilih daerah untuk menetap serta kemampuannya untuk menunda metamorfosis membuat penyebarannya tidak acak. Penyebaran secara acak relatif jarang terjadi di alam (Nybakken 1988).

Oksigen terlarut merupakan salah parameter yang sangat penting bagi organisme perairan termasuk untuk kehidupan udang mantis. Oksigen terlarut adalah besarnya konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air. Udang mantis hidup pada dasar perairan berupa lumpur yang merupakan daerah dengan kondisi oksigen minimal. Kandungan oksigen dapat meningkat apabila sirkulasi pasang surutnya lancar dan teratur serta selisih antara pasang tertinggi dan surut terendah besar. Kisaran oksigen terlarut pada pengamatan menunjukkan nilai yang baik. Rata-rata oksigen terlarut yang diperoleh selama penelitian pada stasiun 1,2, dan 3 yaitu berkisar 6,4 mg/l; 6,5 mg/l dan 6,4 mg/l. Hasil pengukuran ini sesuai baku mutu. Konsentrasi oksigen terlarut yang baik bagi kehidupan dan pertumbuhan udang antara 4 – 8 mg/l (Poernomo 1989 in Malau 2002).

Suhu merupakan parameter fisika perairan yang mempunyai peranan penting dalam pengaturan aktivitas-aktivitas hewan air termasuk udang mantis misalnya pemijahan, kecepatan renang, dan kecepatan metabolisme. Perubahan suhu dapat menjadi petunjuk bagi organisme untuk mengawali dan mengakihiri berbagai aktivitas organisme tersebut misalnya reproduksi (Nybakken 1988). Peningkatan

(47)

suhu dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang akan selanjutnya akan meningkatkan konsumsi oksigen. Suhu rata-rata pada stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 30,1ºC; 31,4ºC dan 31,3 ºC. Suhu tertinggi selama pengamatan terdapat pada stasiun 2 hal ini karena kan pengamatan pada stasiun 2 dilakukan sekitar pukul 12.00 WIB. Kisaran suhu ini menunjukkan nilai yang baik untuk pertumbuhan udang mantis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tricahyo (1995) in Wardiatno (2009) yaitu suhu yang sesuai untuk pertumbuhan udang secara umum dilihat dari pertumbuhan dan ketahanan hidup udang yaitu 26⁰C - 32⁰C.

Derajat keasaman (pH) menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan (Effendi 2000). Nybakken (1988) menyatakan bahwa pH di lingkungan perairan laut relatif lebih stabil dan berada pada kisaran yang sempit, biasanya berada pada kisaran 7,7-8,4. Selain itu, Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5. pH rata-rata yang terukur pada stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 7,7; 7,9 dan 7,7.

Salinitas merupakan parameter yang berperan penting dalam kehidupan udang. Salinitas dapat berubah-ubah tergantung ruang dan waktu. Perubahan salinitas secara alamiah di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal, yaitu penguapan yang besar dan hujan yang lebat. Salinitas rata-rata yang terukur pada stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 24 psu, 22 psu dan 22 psu. Daerah penelitian udang mantis ini terdapat pada daerah pasang surut yang nilai salinitasnya tidak sebesar salinitas pada daerah laut lepas.

4.3. Implementasi Hasil Penelitian Terhadap Pengelolaan

Udang mantis diekspor dalam kondisi hidup dan permintaan udang mantis juga semakin meningkat. Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan beberapa nelayan dan penampung udang mantis Kabupaten Tanjung Jabung Barat didapatkan informasi hasil tangkapan udang mantis rata-rata harian yaitu 5000 ekor/hari. Dalam upaya meningkatkan hasil tangkapan, nelayan melakukan penangkapan terhadap segala ukuran udang mulai dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran besar sehingga mengakibatkan penurunan jumlah tangkapan. Berdasarkan analisis jumlah

Gambar

Gambar 1. Udang mantis (Harpiosquilla raphidea, Fabricius 1798)
Gambar 2. Udang mantis (Oratosquillina gravieri, Manning 1969)
Gambar  4. Peta lokasi penelitian  (Sumber : Googlemap 2010)
Gambar 5. Segitiga miller ( Brower et al. 1990)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dasar perairan Muara Sungai Muara Jaya terdiri dari 4. jenis substrat.yaitu : pasir berlempung, lumpur

Jujukan batuan sedimen Kapur Awal Kumpulan Gagau di kawasan sekitar hulu Sungai Chichir dibentuk oleh batu pasir berpebel masif, batu lumpur masif dan lapisan tebal batu pasir

Padang lamun hidup pada berbagai macam tipesubstrat, mulai dari lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang. Kesesuaian substrat

Berdasarkan penelitian dan identifikasi yang telah dilakukan dapat disimpulkan hanya terdapat 1 spesies Udang Mantis di perairan Kota Bengkulu yaitu Harpiosquilla

Lokasi ini merupakan akumulasi dari seluruh outlet di mana TSS berupa sisa pakan udang yang tidak termakan, kotoran udang yang mengendap di dasar tambak,

Antara butiran/mineral yang banyak ditemui dalam batu sedimen ialah; rutil Zirkon Mineral berat muskovit Mika Rijang batu pasir batu lumpur syis basalt granit halus Pecahan

lingkungan hidupnya, jenis yang banyak terdapat di Indonesia adalah lobster berduri yang hidup di perairan karang sehingga dinamakan udang karang atau udang barong atau

Spesies udang yang hidup di perairan Kabupaten Bekasi diperoleh 5 spesies yaitu udang rempa Penaeus canaliculatus, udang krosok Metapenaeus palmensis, Udang jerebung Penaeus