• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada jurusan Hukum Pidana Islam. Oleh: MARIA DESPIANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada jurusan Hukum Pidana Islam. Oleh: MARIA DESPIANTI"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

1

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada jurusan Hukum Pidana Islam

Oleh:

MARIA DESPIANTI

Nim : 1415015

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH) FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)BUKITTINGGI TH. 2018 M/ 1440 H

(2)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Tindak Pidana Zina Menurut Hukum Adat (Studi

Normatif Empiris Di Nagari Balai Panjang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota) Di Tinjau Dari Hukum Pidana Islam” dengan

nama penulis Maria Despianti nim. 1415015

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana hukum adat Nagari Balai Panjang mengatur tentang sanksi pelaku tindak pidana perzinaan di Nagari Balai Panjang dan bagaimana tinjauan hukum piana Islam atas hukum dan pelaksanaannya di Nagari Balai Panjang.

Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui apakah hukum pidana zina menurut hukum adat di Nagari Balai Panjang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota tersebut, sesuai dengan hukum pidana Islam atau tidak.

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam membuat skripsi ini yaitu studi Normatif Empiris (melalui penelitian lapangan dan studi kepustakaan). Setelah mendapatkan hasil penelitian dari lapangan lalu melakukan peninjauan hukum pidana Islam atas hukum dan pelaksanaannya di Nagari Balai Panjang.

Dari pembahasan yang penulis lakukan, hasil penelitian yang didapatkan yaitu hukum adat yang diberlakukan bagi pelaku tindak pidana zina adalah pengucilan dan pemberian denda berdasarkan pelanggaran adat wajah nan tigo. Adapun menurut penulis hukum adat yang diberlakukan di Nagari Balai Panjang di tinjau dari hukum pidana Islam termasuk kepada hukuman ta’zir bukanlah hukuman hudud. Dalam pelaksanaan hukum adat Nagari Balai Panjang, setelah seseorang terbukti melakukan tindak pidana zina lalu diputuskan pelaku bersalah, langsung hukuman yang sudah di tetapkan dari adat dilaksanakan pada hari itu juga. Sedangkan dalam hukum pidana Islam pemberlakuan hukuman bagi pelaku zina mempunyai proses yang panjang untuk menjatuhkannya.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia, hewan dan tumbuhan adalah makluk hidup yang diciptakan Allah SWT berpasang-pasangan.1 Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibi Ius Ibi Societas, dimana ada masyarakat, di situ ada hukum. Artinya berapapun sederhananya suatu masyarakat, hukum pasti akan dijumpai pada masyarakat yang bersangkutan.

Hukum berperan besar dalam mewujudkan kehidupan yang tertib dan aman, apabila terjadi hal-hal yang menyimpang maka peran hukum adat dapat dilihat secara lebih konkrit.

Hukum pidana adat atau hukum pelanggaran adat ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat sehingga perlu diselesaikan agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.

Saat ini kita hidup pada zaman era globalisasi yang amat sangat terbuka terjadi hampir di seluruh dunia serta tekhnologi semakin canggih. Tetapi kebanyakan orang menggunakan tekhnologi yang semakin canggih ini di gunakan untuk hal-hal yang tidak sadar akan adanya orang atau pihak lain yang

1 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenata media,

(4)

dirugikan bahkan sangat berpengaruh bagi anak masa depan atau generasi penerus bangsa di masa yang akan datang, seperti sekarang adanya internet yang sangat mudah untuk di akses oleh semua orang bahkan anak-anak kecil sudah mengenal apa itu internet.

Oleh karena itu pengawasan orang tua sangat di perlukan untuk membimbing anaknya supaya tidak terjerumus ke jalan yang salah atau pergaulan yang tidak di sukai oleh masyarakat yang semakin terbuka dan setiap orang mudah untuk bergabung atau menirunya. Bahkan karena terlalu terbukanya pergaulan dalam masyarakat, nilai-nilai agama pun mulai ditinggalkan. Lihat saja sekarang, dengan mudah kita dapat menemukan berbagai kemaksiatan di sekitar kita. Bahkan hal-hal yang menjurus pada perbuatan zina terpampang di sekitar kita.

Kata zina dalam bahasa inggris disebut adultery. Pada kamus besar Bahasa Indonesia, kata zina dimuat artinya sebagai berikut : “Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terkait oleh hubungan pernikahan (perkawinan); perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.2

Islam telah melarang kita untuk melakukan perbuatan zina, jangankan melakukannya, mendekati saja kita sudah tidak boleh. Tentunya perintah untuk

2 Ismu Gunadi dan Junaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta :

(5)

tidak mendekati dan melakukan perbuatan zina bukanlah tanpa sebab. Perbuatan zina merupakan sebuah perbuatan yang keji, yang dapat mendatangkan kemudharatan bukan hanya kepada pelakunya, namun juga kepada orang lain.

Zina merupakan perbuatan moral, munkar dan berakibat sangat buruk bagi pelaku dan masyarakat, sehingga Allah mengingatkan agar hambanya terhindar dari perzinahan :

◆

❑⧫⬧





⧫

⧫⬧⬧

◆◆





Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.(QS. 17:32)3

Ada dua jenis jarimah zina, yaitu zina muhsan dan ghairu muhsan. Zina muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami,istri, atau janda. Artinya, pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau pernah menikah secara sah. Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Artinya, pelaku belum pernh menikah secara sah dan tidak sedang berada dalam ikatan pernikahan.

Terhadap kedua jenis jarimah zina di atas, syariat islam memberlakukan dua sanksi yang berlainan. Sanksi bagi pelaku zina muhsan adalah hukuman rajam,yaitu pelaku dilempari batu hingga meninggal. Adapun sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah dicambuk sebanyak seratus kali.4

3Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta : Amzah, 2014), hlm 18 4 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah…, hlm 20

(6)

Tindakan mengenai perzinaan ini termuat pada pasal 284 KUHP. Pasal ini adalah suatu delik aduan absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (yang dipermalukan).5

Selama perkara itu belum diperiksa di muka sidang pengadilan, maka pengaduan itu senantiasa dapat ditarik kembali. Mengenai pengaduan ini, maka pasal 72,73, dan 75 tidak berlaku.

Islam mendefinisikan perbuatan zina kedalam beberapa madzhab yang kesemuanya dengan jelas melarang adanya perbuatan zina.

Pertama, menurut pendapat madzhab maliki zina adalah persetubuhan seseorang mukallaf didalam faraj manusia yang bukan merupakan kepunyaannya menurut kesepakatan para ulama secara sengaja.6

Kedua, madzhab hanafi mendefinisikan zina sebagai perbuatan persetubuhan antara laki-laki dengan seorang wanita di faraj yang bukan miliknya dan tanpa keraguan memiliki.7

Ketiga, madzhab syafii memberi pengertian sebagai berikut, memasukan dzakar ke dalam faraj yang diharamkan zatnya, bebas dari syubhat dengan bernafsu.8

Keempat, madzhab hambali mengartikan sebuah perbuatan zina itu sebagai perbuatan keji di qubul (kemaluan) atau dubur.

5Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

(Yogyakarta : parama publishing, 2012), hlm 110

6 Muhammad ichsan dan endiro susila , Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, lab hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, ( Yogyakarta: 2008), hlm 126

7 Muhammad ichsan dan endiro susila , Hukum Pidana Islam 8 I Muhammad ichsan dan endiro susila , Hukum Pidana Islam

(7)

Meskipun keempatnya memiliki definisi yang sedikit berbeda dengan yang lain pada intinya perbuatan zina itu merupakan perbuatan yang dilarang dimana tidak ada pembatasan apakah seorang yang melakukannya sudah atau belum menikah tetapi ketika seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah tinggal di satu atap tanpa adanya ikatan yang sah berhubungan layaknya sumi istri maka perbuatannya termasuk hal yang dilarang dan diharamkan secara jelas dalam hukum islam.

Melihat kondisi sekarang perbuatan zina banyak dijumpai dikalangan masyarakat. Oleh karena itu harus diadakan upaya untuk menghentikan atau mencegah hal tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan salah satu anggota KAN yang benama Mardanis Dt. Kuniang dari Nagari Balai Panjang , bahwasanya sudah ada beberapa kasus tindak pidana yang diterima dan ditindak lanjuti menurut hukum adat yang ada di Nagari Balai Panjang yaitu sebagai berikut: 9

TAHUN TEMPAT JUMLAH

2010-2012

1. Jorong Air Randah 2. Jorong Sawah Luar

1 Pasang 2 Pasang

(8)

2013-2015

1. Jorong Koto Malintang 2. Jorong Kubang Rasau

3 Pasang 2 Pasang

2016-2018

1. Jorong Lurah Bukik 2. Jorong Kubang Rasau 3. Jorong Tareh

4. Jorong Balai Panjang

2 Pasang 2 Pasang 1 Pasang 2 Pasang

Sebagaimana penulis sudah melakukan penelitian awal untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi di daerah tersebut, ternyata setelah penulis menanyakan kepada niniak mamak menyatakan bahwa sanksi untuk pelaku zina sudah ada dan sudah diterapkan sesuai dengan Peraturan yang ada di Nagari Balai Panjang. Meskipun aturan tersebut sudah ada tapi masih ada orang melakukan perbuatan zina di Nagari Balai Panjang. Perbuatan zina itu, dilakukan oleh yang belum menikah maupun yang sudah menikah.

Berdasarkan uraian di atas, karena masih banyaknya pelaku atau orang yang melakukan zina di kenagarian balai panjang membuat penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut dalam bentuk karya ilmiah yang berjudul”Tindak Pidana

Zina Menurut Hukum Adat (Studi Normatif Empiris di Nagari Balai

Panjang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota) di

(9)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas, maka dalam penelitian ini penulis dapat merumuskan permasalahan ini yaitu: 1. Bagaimana Hukum adat mengatur tentang sanksi pelaku perzinaan di Nagari

Balai Panjang?

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam atas Hukum dan pelaksanaannya di Nagari Balai Panjang?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Hukum adat mengatur tentang sanksi pelaku perzinaan di Nagari Balai Panjang

2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Pidana Islam atas Hukum dan pelaksanaannya di Nagari Balai Panjang

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang perbuatan zina 2. Untuk menambah bahan referensi bagi masyarakat luas dan mahasiswa

3. Untuk memenuhi salah satu sarat dalam mencapai gelar Sarjana hukum (SH), Jurusan Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah, pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

(10)

E. Penjelasan Judul

Tindak Pidana :Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya.10

Zina :Hubungan kelamin di antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.11

Hukum Adat :Peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan

Hukum Pidana Islam :Ketentuan hukum syara’ yang melarang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap pelanggaran ketentuan tersebut dikenakan hukuman berupa badan atau denda kepada pelanggarnya.12

Nagari Balai Panjang :Nagari Balai Panjang merupakan nagari dengan luas 3.746,741 hektar yang terdiri dari 8 jorong, yaitu : 1) Balai Panjang, 2)Sawah Lua, 3) Koto Malintang, 4) Aia Randah 5) Kubang Rasau, 6) Tareh, 7) Lurah Bukik, 8) Tampuang Kadok.13

10Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Prenada Media Group,2006), Cet. Ke-1 hlm 29

11 Abdur Rahman, ,Tindak Pidana dalam Syariat Islam, penerjemah Wadi Masturi dan Basri

Iba Asghary, judul Asli “Shari’ah the Islamic Law, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet. Ke-1 hlm 31

12Haliman, HukumPidana Islam,(Jakarta : Bulan Bntang,1971), Cet. Ke-1 hlm 64 13 RPJM Nagari Balai Panjang 2016-2021

(11)

Jadi penjelasan judul secara keseluruhan adalah membahas tentang Tindak Pidana Zina Menurut Hukum Adat Studi Normatif Empiris di Nagari Balai Panjang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota di Tinjau dari Hukum Pidana Islam.

F. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan pustaka adalah gambaran terhadap berbagai sumber bacaan untuk ditelaah terhadap penelitian yang sudah dilakukan, supaya tidak ada pengulangan lagi terhadap penelitian yang sudah dibuat oleh orang-orang sebelumnya. Untuk menghindari suatu pengulangan dari penelitian yang sudah dibuat sebelumnya penulis akan mencantumkan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan terhadap penelitian yang akan penulis lakukan. Ada beberapa penelitian yang membahas tentang pemahaman masyarakat terhadap pelaku zina diantaranya:

1. Karya ilmiah yang ditulis oleh Safriani Husni tahun 2013 yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Sanksi Adat Terhadap Pelaku Zina di Nagari Lasi Menurut Hukum Pidana Islam”. Dalam karya ilmiah ini penulis membahas Bagaimana persepsi masyarakat terhadap sanksi adat bagi pelaku zina di Nagari Lasi

2. Karya ilmiah yang di tulis oleh Wahyuni Fauziah tahun 2014 yang berjul ”Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Zina Oleh Niniak Mamak di Nagari Sungai Landia di Tinjau dari Hukum Islam”. Dalam karya ilmiah ini penulis

(12)

membahas bagaimana mekanisme dan eksistensi dari penerapan sanksi oleh niniak mamak bagi pelaku zina di Nagari Sungai Landia.

3. Karya ilmiah yang ditulis oleh Yulia Putri tahun 2011 yang berjudul Tinjauan Terhadap Sanksi Adat Bagi Pelaku Zina ( Studi Kasus Di Kenagarian nan 7 Kec. Palupuah kab. Agam). Di dalam skripsinya membahas tentang sanksi adat sudah benar-benar berlaku dan memberikan efek jera atau belum serta menyinggung juga tentang proses penyelesaian hukum adat terhadap pelaku zina dan juga latar belakang dan bentuk-bentuk sanksi adat terhadap pelaku zina di Kenagarian Nan Tujuah kec. Palupuah Kab. Agam yang terdapat dalam Bab IV.

4. Karya ilmiah yang ditulis oleh Risma Fitria tahun 2006 yang menulis pembuktian pelaku zina relevansi pada masa sekarang. Dalam karya ilmiah ini penulis membahas pembuktian pidana zina dalam fiqih masih relevan dimasa sekarang atau tidak.

Dari uraian diatas, fokus penelitian ini berbeda dengan yang telah dibahas sebelumnya. Perbedaannya adalah penulis membahas secara khusus tentang Tindak Pidana Zina Menurut Hukum Adat Studi Normatif Empiris di Nagari Balai Panjang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota di Tinjau dari Hukum Pidana Islam, yaitu sesuai dengan data awal yang penulis cantumkan dilatar belakang masalah maka penulis berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut mengenai hal tersebut.

(13)

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif empiris. Dalam penelitian empiris dilakukan untuk memperoleh data secara primer yaitu dengan melakukan wawancara di Nagari Balai Panjang. Sedangkan penelitian hukum normatif dilakukan dalam kajian beberapa buku mengenai tinjauan hukum pidana islam yang berkaitan dengan skripsi dan kasus di Nagari Balai Panjang.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Penelitian hukum normatif-empiris dalam penelitian ini, menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari riset di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang mempunyai kekuatan mengikat diantaranya:

a. Data primer, yaitu berupa buku-buku Hukum Pidana Islam (Jinayah) dan hasil wawancara yang dilakukan di Nagari Balai Panjang.

b. Data sekunder yaitu buku-buku yang relevan dengan judul skripsi diatas. 3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengerjaannya skripsi ini menggunakan beberapa metode untuk mengumpulkan data yang dipergunakan dalam pendalaman penyusunan dan penyelesaiannya karya ilmiah antara lain:

a. Melalui Penelitian Lapangan (Field Research) b. Melalui Studi Kepustakaan (Library Research)

(14)

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Reduksi data yaitu memilih data-data yang dibutuhkan b. Display data yaitu memaparkan data yang telah dikumpulkan c. Ferifikasi data yaitu menyimpulkan data yang telah di tetapkan14

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai pembahasan ini, maka penulis membagi laporan ini menjadi 5 bab sebagai berikut :

BAB I, merupakan pendahuluan yang menjadi acuan bagi penulis dalam menulis karya ilmiah ini, yang terdiri dari latar belakang masalah ,rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan judul, Tinjauan Kepustakaan, metodologi penelitian, sistematika penulisan.

BAB II, merupakan landasan teori yang terdiri dari Tindak Pidana dan hukum Pidana Islam, Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat, Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam Pada sub bab Tindak Pidana dan Hukum Pidana Islam akan dikemukakan Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pengertian Hukum Pidana Islam, Sumber Hukum Pidana Islam. Pada sub bab Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat akan dikemukakan Pengertian Hukum Adat, Dasar Perundang-Undangan Berlakunya Hukum Adat, Pengertian dan Unsur- Unsur Hukum Pidana Adat, Sifat Hukum Pidana Adat, Jenis-Jenis Delik Adat. Sementara pada sub bab Tindak Pidana Perzinaan

14Husaini Usman,Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), Cet.

(15)

Menurut Hukum Pidana Islam akan dikemukakan Pengertian Jarimah Zina, Hukuman dan Pembuktian Jarimah Zina, Hal-Hal Yang Menggugurkan Jarimah Zina.

BAB III, monografi Nagari Balai Panjang yaitu Sejarah Nagari Balai Panjang, Jumlah Penduduk, Mata Pencarian, Sosial Pendidikan, Keagamaan, Adat dan Budaya.

BAB IV, hasil penelitaian yaitu, hukum adat mengatur tentang sanksi pelaku perzinaaan di Nagari Balai Panjang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota, Tinjauan hukum pidana Islam atas hukum dan pelaksanaannya di Nagari Balai Panjang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota.

BAB V, merupakan akhir dari pembahasan yang memuat kesimpulan dan saran

(16)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tindak Pidana dan Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa belanda “strafbaar feit”. 15 kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana dan perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjukkan pada pengertian kata strafbaarfeit.

Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain :

a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam undang-undang Dasar sementara (UUDS) tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.

b. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan,kekuasaan,dan acara pengadilan sipil.16

15 Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Diadit

Media,2007), Cet. Ke 1, hlm 20

16 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi,Cepat dan Mudah memahami Hukum Pidana, (Jakarta:

Kencana Prenada Media, 2014), Cet. Ke 1, hlm 36

(17)

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.

d. Hal yang diancam dengan hukum istilah ini digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

e. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang misalya:

1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang pemilihan umum.

2) Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang kewajiban kerja Bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.

Mengenai defenisi tindak pidana dapat dilihat pendapat pakar-pakar antara lain menurut VOS, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang. Sedangkan menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Menurut Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang sudah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung

(18)

jawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dapat dihukum.17

2. Unsur –Unsur Tindak Pidana

a. Adanya Perbuatan Manusia

Untuk bisa dianggap sebagai delik, maka harus ada perbuatan manusia. Apabila tidak ada perbuatan manusia, maka tidak ada delik atau tindak pidana.

Perbuatan manusia itu adakalanya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, dan ada kalanya melalaikan kewajiban. Yang pertama disebut dengan kewajiban positif, dan yang kedua disebut perbuatan negatif. Seseorang yangmelakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum atau undang-undang, harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, karena perbuatannya itu bertentangan dengan hukum atau undang-undang. Sebaliknya, seseorang yang melalaikan perintah atau tidak berbuat dapat dikatakan bertanggung jawab atas suatu peristiwa pidana, jika ia tidak berbuat atau melalaikan sesuatu, padahal kepadanya dibebankan suatu kewajiban hukum atau keharusan untuk berbuat.18

17 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi,Cepat dan Mudah…,hlm 37 18 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana…,hlm 26

(19)

b. Perbuatan Itu Harus Melawan Hukum

Suatu perbuatan baru di anggap sebagai tindak pidana, apabila perbuatannya itu melanggar norma-norma hukum yang berlaku. Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil/formelle wedwrrechtelijjk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materiil/matereel wederrechtelijk). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat. 19

c. Perbuatan Itu Diancam dengan Pidana oleh Undang-Undang

Perbuatan seseorang dapat dianggap sebagai tindak pidana, apabila perbuatan itu diancam dengan pidana oleh Undang-Undang. Jadi di samping perbuatan itu dilarang, juga diancam dengan hukuman. Apabila perbuatan itu tidak diancam dengan hukuman, maka perbuatan tersebut belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.

Unsur yang ketiga ini berkaitan erat dengan salah satu asas dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas yang bersumber dari pasal 1 ayat 1 KUH Pidana. Dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana Indonesia disebutkan: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan

19 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)

(20)

ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”.20

d. Perbuatan Itu Dilakukan Oleh Orang Yang Mampu Bertanggugjawab Kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya merupakan unsur yang penting dalam penerapan pidana. Jika pelaku tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka ia tidak bisa dikenakan hukuman.

Di antara syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana ialah dewasa dan berakal sehat. Apabila si pelaku belum dewasa atau sudah dewasa tetapi akalnya tidak sehat , maka ia tidak bisa dibebani pertanggungjawaban pidana. Dalam pasal 44 ayat 1 KUH Pidana disebutkan: “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal”.21

Sebagai tindakan lebih lanjut dalam menyelesaikan kasus pelaku yang kurang sempurna akalnya, hakim dapat memerintahkan untuk memasukkannya ke rumah sakit jiwa selama satu tahun , atau ia dapat memutuskan membebaskannya dari tuntutan hukum.

Untuk anak yang belum dewasa, yang perbuatannya juga tidak atau kurang dapat dipertanggungjawabkan, hakim dapat melakukan tindakan

20 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana…hlm 28 21 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana…hlm 30

(21)

memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, atau walinya, atau pemeliharaannya, dengan tidak dijatuhi sesuatu pidana, atau memerintahkan supaya anak tersebut diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dijatuhi pidna, atau memidana anak yang bersalah itu. (pasal 45 KUHP)

Dalam hukum Islam, unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subyektif yang harus dipnuhi untuk memidana suatu peristiwa pidana. Apabila unsur tersebut tidak dipenuhi, maka si pelaku tidak dapat dipidana.22 Ketentuan ini tercantum dalam surat An-Nahl ayat 106 tentang orang yang dipaksa, yang berbunyi:

⧫

⧫





➔⧫

☺



⧫

◼

⬧◆

☺

☺

⬧◆



◆





◼➔⬧







⬧◆

⧫

→⧫



Artinya: “barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran ,maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

Apa yang disebutkan dalam ayat ini menunjukkan bahwa kecakapan seorang pelaku tindak pidana menjadi unsur yang menentukan

(22)

untuk dapat menghukumnya. Orang-orang yang hilang kecakapannya karena gila, atau belum dewasa, atau dipaksa, tidak dapat dipidana, apabila dalam kondisi demikian ia melakukan suatu tindak pidana.23

Seperti halnya dalam hukum pidana positif, hukum islam juga membedakan antara penyebab hapusnya pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan perbuatan, dan factor yang berkaitan dengan keadaan diri si pelaku. Dalam keadaan yang pertama perbuatan yang dilakukan adalah mubah (tidak dilarang), sedangkan dalam keadaan yang kedua perbuatan yang dilakukan tetap dilarang, tetapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman.24

e. Perbuatan Itu Harus Terjadi Karena Kesalahan Si Pembuat

Kesalahan berkaitan erat dengan niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. Untuk dapat dipidana, seseorang harus melakukan perbuatan yang di larang, disertai dengan niatnya. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang, tetapi dalam hatinya sama sekali tidak ada niat untuk melakukan perbuatan itu, maka di sini unsur kesalahan tidak dipenuhi, dan dengan sendirinya ia tidak dapat dipidana.25

3. Pengertian Hukum Pidana Islam

Pengertian hukum pidana Islam pada dasarnya sama dengan hukum pidana pada umumnya. Hanya saja, hukum pidana Islam didasarkan pada

23 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana…hlm 33 24 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana…hlm 34 25 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana…hlm 35

(23)

sumber hukum Islam, Yaitu Alquran dan As Sunnah. Karenanya, hukum pidana Islam merupakan suatu hukum yang merupakan bagian dari system hukum Islam, yang mengatur tentang perbuatan pidana dan pidananya berdasarkan Al-qur’an dan As Sunnah.26

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqih jinayah . Fiqih jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang teperinci dari Alquran dan hadis.

Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara meteriil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain.27

4. Sumber Hukum Pidana Islam

a. Alqur’an

Alqur’an adalah sumber ajaran Islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Diantara kandungan isinya ialah peraturan-peraturan

26 Asadulloh Al Faruq,Hukum Pidana Islam Sistem Hukum Islam, (Ciawi bogor: Ghalia

Indonesia, 2019), Cet Ke-1 hlm 5

(24)

hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, hubungannya dengan perkembangan dirinya, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya.28

b. Sunnah

Sunnah Nabi Muhammad saw. merupakan sumber kedua (setelah Alqur’an) dari sumber hukum Islam. Karena, hal-hal yang diungkapkan oleh Alquran yang bersifat umum atau memerlukan penjelasan , maka Nabi Muhammad saw. Menjelaskan melalui sunnah. Sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad saw. (Af’alu, Aqwalu, dan Taqriru). Pengertian sunnah yang demikian mempunyai kesamaan pengertian hadis. Hal ini akan diuraikan pada pengertian sunnah.

c. Ar-Ra’yu

Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam yang ketiga. Pengumpulan akal (penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Alquran dan sunnah yang bersifat umum. Hal ini dilakukan oleh ahli hukum Islam karena memerlukan penalaran manusia. Oleh karena itu, Ar-Ra’yu mengandung beberapa pengertian diantaranya:

1.) Ijma’

(25)

Ijma’ adalah kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin pada suatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa Nabi Muhammad saw.

2.) Ijtihad

Ijtihad ialah perincian ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Alhadis yang bersifat umum. Orang yang melakukan perincian disebut mujtahid. Mujtahid adalah orang yang memenuhi persyaratan untuk melakukan perincian hukum dari ayat-ayat Alquran dan Al-hadis yang bersifat umum.

3.) Qiyas

Qiyas adalah mempersamakan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan hukum dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.

4.) Istihsan

Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya.29

5.) Mashlahat Mursalah

(26)

Maslahat Mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun ketentuan khusus.

6.) Sadduz zari’ah

Sadduz zri’ah ialah menghambat /menutup sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan. Sebagai contoh, melarang orang meminum seteguk minuman memabukkan (padahal seteguk itu tidak memabukkan) untuk menutup jalan sampai kepada meminum yang banyak.

7.) Urf

Urf adalah kebiasaan yang sudah turun-temurun tetapi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh jual beli dengan jalan serah terima, tanpa mengucapkan ijab-qabul.30

B. Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat

1. Pengertian Hukum Adat

Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda : “Adat-Recht”.31 Istilah dari Adat- Recht ini sendirilah yang digunakan untuk

memberi nama pada satu sistim pengadilan social (social Control). Sistim itu adalah sesuatu yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Indonesia.

30 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam…,hlm 17

(27)

Beberapa ahli Hukum Adat memberikan definisi tentang Hukum Adat sebagai berikut:

a. Prof. Dr. Soepomo S.H.

Dalam karangan beliau “beberapa catatan mengenai kedudukan Hukum “adat”, memberi pengertian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis didalam peraturan-peraturan legislative (unatatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

b. Dr. Sukanto

Dalam buku beliau “ meninjau hukum Adat Indonesia” mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.32

c. Mr. J.H.P. Bellefroid

Dalam bukunya “Inleiding tot de rechtewetenschap in Nederland” memberi pengertian hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetap dihormati dan ditaati

32 Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1980), Edisi-1 hlm

(28)

oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

d. Prof. M.M. Djojodigoeno S.H.

Dalam buku beliau “Azaz-azas hukum adat” memberi penjelasan “Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan”.

e. Prof. Mr. C. van Vollenhoven

Dalam bukunya “Het Adatrecht van Nederland indio” member pengertian Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.33

Dengan pengertian-pengertian yang diberikan oleh para sarjana tersebut, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya, hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat , sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

2. Dasar Perundang-Undangan Berlakunya Hukum Adat

(29)

Setelah memehami isi pengertian “hukum adat’ maka penting utuk mengetahui dasar peundang-undangan (wettelije grondslag) dari berlakunya hukum adat itu dalam lingkungan tata tertib hukum positif Negara Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945, yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959) tiada satu pasalpun yang memuat pasal dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan peralihan UUD maka ”Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan undang-undang dan atuuran-aturan hukuman adat yang dijadikan dasar hukuman itu.”tetapi ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan “hukum adat”itu seluas-luasnya memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (undang-undang organik).34

Karena sampai sekarang, baik menurut UUD 1945 maupun menurut Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, masih belum dibuat suatu

34 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Pradnya

(30)

peraturan perundang-undangan yang memuat dasar berlakunya hukum adat, maka masih tetap berlaku peraturan yang dibuat pada zaman colonial oleh pemerintah Belanda. Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal dari zaman colonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub IS.

Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukannya, maka pembuat ordonasi dapat menentukan bagi mereka:

a. Hukum Eropa

b. Hukum Eropa yang telah diubah (Gewijzigd Europees recht)

c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijk recht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya

d. Hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan “syntese)” antara hukum adat dan hukum Eropa (fantasierecht)

Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub B IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama, ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang menurut IS: pembuat ordonasi untuk mengadakan suatu kodifikasi hukum privat bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing. Hukum bagi kedua golongan hukum tersebut yang

(31)

hendak dikodifikasi, adalah hukum adat mereka, dengan diberi perubahan bilamana perlu.35

Pasal 131 ayat 6 IS menerangkan bahawa selama hukum perdata serta hukum dagang yang sekarang “thanks” berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi-seperti yang diperintahkan dalam Pasal 131 ayat 2 sub b IS, maka hukum tersebut berlaku bagi kedua golongan hukum itu. Jadi sebelum ada kodifikasi bagi kedua golongan hukum itu, maka tetap berlaku hukum adatnya, sebelum tanggal 1 Januari 1920, telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat 3 redaksi lama RR 1854.36

Demikianlah, karena sampai sekarang kodifikasi yang diperintahkan dalam pasal 131 ayat 2 sub b IS belum diadakan, maka sampai sekarang pula hakim masih tetap menghadapi keadaan hukum adat menurut Pasal 75 ayat 3 redaksi lama RR 1854 itu.

Mengenai hukum adat itu antara Pasal 75 redaksi lama RR 1854 dan Pasal 131 IS(=Pasal 75 redaksi baru RR 1854) ada beberapa perbedaan yang penting.

a. Satu perbedaan yang penting tersebut di atas, yaitu Pasal 75 redaksi lama RR 1854 ditujukan kepada hakim sedangkan Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat undang-undang.

35 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum …,hlm 34 36 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum …,hlm 35

(32)

b. Perbedaan kedua, adalah Pasal 75 redaksi lama RR 1854 tidak memuat kemungkinan orang Indonesia asli ditundukkan pada suatu hukum baru. c. Perbedaan ketiga, adalah hukum adat tidak boleh dijalankan apabila

bertentangan dengan “asas-asas keadilan”(ayat 3 Pasal 75 redaksi lama RR 1854)” dan apabila hukum adat tidak dapat menyelesaikan sesuatu perkara, maka hakim dapat menyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa (ayat 6 Pasal 75 redaksi lama RR 1854). Restriksi (pembatasan) atas menjalankan dan kemungkinan untuk menambah hukum adat yang tercantum dalam ayat-ayat 3 dan 6 Pasal 75 redaksi lama RR 1854 ini, tidak termuat dalam Pasal 131 IS.37

Yang menjadi alasan van Vollenhoven bahwa hakim setelah tahun 1919 tidak lagi berkuasa menguji dan menambah hukum adat, ialah:

a. Sejarah penetapan perubahan Pasal 75 redaksi lama R.R. 1854 tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan tidaknya dua kekuasaan tersebut.

b. Redaksi ayat 6 Pasal 131 I.S. memuat tugas baik bagi hakim maupun bagi Administrasi Negara tidak diberi kekuasaan untuk menguji dan menambah hukum adat, maka tidak boleh dikatakan bahwa dengan sendirinya kekuasaan itu diberi kepada hakim.38

37 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum …,hlm 36 38 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum …,hlm 37

(33)

c. Sejarah praktek kekuasan itu telah menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan tersebut dijalankan oleh hakim secara tidak sesuai dengan tujuannya. Sebab itu kekuasaan istimewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu lagi.

Peradilan adat yang disinggung dalam Ind. Stbl. 1932 nr 80 tersebut diatas adalah peradilan adat yang ada di daerah-daerah luar Jawa dan Madura. Untuk hakim adat di Jawa dan Madura, yang diberi nama dorpsrechter (hakim desa, peradilan desa), dibuat pasal 3 a rechterlijk Organisatie (RO), Ind. Stbl. 1847 nr 23 jo 1848 nr 47 (Pasal 3a dimasukkan ke dalam RO berdasarkan Ind. Stbl. 1935 nr 102.39

3. Pegertian dan Unsur-Unsur Hukum Pidana Adat

Hukum Adat Delik (ADATRECHT DELICTEN) atau Hukum Pidana Adat atau Hukum Pelanggaran Adat ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu. Dengan demikian yang diuraikan di dalam Hukum Adat Delik adalah tentang peristiwa dan perbuatan yang bagaimana yang merupakan delik adat dan bagaimana cara

(34)

menyelesaikannya sehingga keseimbangan masyarakat tidak lagi merasa terganggu.40

Prof. Dr.Mr. Cornellis Van Vollenhoven “yang dimaksud dengan Delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun pada kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya sumbang (kesalahan) kecil saja”.

Prof. Dr. Mr.Barend Ter Haar. B.Zn “Delik (pelanggaran) itu juga adalah setiap gangguan dari suatu pihak terhadap keseimbangan di mana setiap pelanggaran itu dari suatu pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud berakibat menimbulkan reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat) suatu reaksi adat, dan dikarenakan adanya reaksi adat itu maka keseimbangan harus dapat dipulihkan kembali (dengan pembayaran uang atau barang).41

Prof. Bus. Har Muhammad, S.H. “Delik Adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau immaterial terhadap orang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat”. Dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali. Peristiwa atau

40 Tolib Setiady dan Ridwan,Intisari Hukum Adat Indonesia,(Bandung:Alfabeta,2013), Cet

Ke-3 hlm 345

(35)

perbuatan itu apakah berujud atau tidak berujud,apakah ditujukan terhadap manusia atau yang ghaib yang telah menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan dengan hukuman denda atau dengan upacara adat.

Prof. I Made Widnyana, S.H “ yang dimaksud dengan Delik Adat adalah hukum yang hidup (living Law) yang diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Delik Adat sebagai hukum yang hidup adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatuhan, kerukunan, ketertiban, keamanan rasa keadilan dan kesadaran masyarakat yang bersangkutan baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseoang, atau sekelompok orang maupun perbuatan yang dilakukan oleh pengurus adat sendiri, perbuatan mana dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan kosmos serta menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat.42

Dari beberapa pendapat mengenai delik adat itu dapat diambil kesimpulan bahwasanya hukum pidana adat itu merupakan perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak seimbangan dalam masyarakat itu sendiri.

(36)

Dengan adanya beberapa batasan atau penjelasan mengenai hukum adat delik tersebut, maka pada pokoknya hukum adat delik terdapat 4 (empat) unsur penting yaitu :

a. Ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok atau pengurus (pimpinan/pejabat) adat sendiri.

b. Perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat.

c. Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat, dan

d. Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi adat.43

4. Sifat Hukum Pidana Adat

a. Menyeluruh dan menyatukan

karena dijiwai oleh sifat kosmis yang mana satu sama lain saling berhubungan. Hukum Pidana Adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan pelanggaran yang bersifat perdata.

b. Ketentuan yang terbuka

hal ini didasarkan atas ketidak mampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. c. Membeda-bedakan permasalahan

(37)

Apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.

d. Peradilan dengan permintaan

Menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlukan tidak adil.

e. Tindakan reaksi atau koreksi

Tindakan reaksi ini tidak hanya dapat dikenakan pada sipelakunya tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.44

5. Jenis-Jenis Delik Adat

Jenis-Jenis delik adat yang ditulis oleh R. Soepomo ialah sebagai berikut:

a. Jenis delik yang paling berat 1) Perbuatan Penghinaan

(38)

Suatu contoh yang memperkosa keselamatan masyarakat dalam arti yang sebenarnya dan sekaligus dinilai sebagai perbuatan menentang kehidupan bersama.

2) Membuka rahasia masyarakat

Dan termasuk juga dalam hal ini sekongkol dengan golongan musuh dan delik penghinaan.

3) Perbuatan mengadakan pembakaran

Dalam hal ini memusnahkan rumah-rumah adalah menentang keselamatan masyarakat dan merusak keseimbangan tiada tara. Orang-orang melakukan dikeluarkan dari persekutuan dapat dibunuh atau dibuang seumur hidup.

4) Perbuatan menghina secara pribadi terhadap kepala adat

Penghinaan terhadap kepala adat atau kepala suku atau raja dianggap melibatkan atau merusak keseimbangan masyarakat oleh karena kepala adat atau kepala suku atau raja adalah symbol penjelmaan dari masyarakat itu sendiri.45 Di Minang dalam system hukum adat digolongkan dalam delik yang berat karena merupakan perbuatan yang mencelakakan seluruh masyarakat. Tidak jarang perbuatan itu dihukum dengan hukuman mati, kadang-kadang dengan jalan dicekik atau dibenamkan kedalam air sehingga dia mati.

5) Perbuatan INCEST

(39)

a) Suatu hubungan seksual antara dua orang yang menurut hukum adat tidak boleh melakukan perkawinan (karena pelanggaran terhadap eksogamie)

b) Pelanggaran terhadap hubungan darah yang terlalu dekat menurut aturan hukm adat

c) Hubungan seksual antara dua orang yang berlainan kasta d) Hubungan sumbang antara orang tua dengan anaknya

Ini termasuk delik paling berat dan hukumnya hampir selalu hukuman mati. Dan yang paling ringan adalah “masing-masing diasingkan dari masyarakat (dibuang MIDA-Minang Kabau). b. Jenis delik yang menentang kepentingan hukum masyarakat dan famili

yaitu berupa:

1) Hamil diluar pernikahan

Bila tidak dilakukan bentuk perkawinan untuk menanggulangi keadaan maka pada suku suku Bugis perempuan itu dibunuh oleh keluarganya sendiri dan bila dia sempat melarikan diri ke kediaman raja atau kepala adat diusahakan supaya kawin dengan orang-orang

(40)

tertentu agar supaya anak yang akan lahir berada dalam status perkawinan.46

Macam gejala adat, hukuman yang dijatuhkan berupa “Denda dan membasuh Dusun, laki-laki yang bersangkutan mengawini gadis tersebut, dan bila tidak maka harus memberi uang pengasingan kepada pihak yang terkena”.

Kemudian R. Soepomo menegaskan “istilah mengadakan hubungan seksual diluar perkawinan dan kemudian hamil adalah bergabulan” dengan kategori:

a) Bujang dan gadis bergubalan kemudian hamil b) Janda bergubalan kemudian hamil

c) Laki-laki berzinah pada gadis atau janda tidak hamil d) Hamil gelap

Di Aceh ada suatu kebiasaan, walaupun menurut adat, perempuan itu harus dibunuh, namun di dalam banyak hal, kepala adat hanya memberikan hukuman denda dan memerintahkan pengguguran bayi itu.

2. Melarikan seorang perempuan

Delik ini kuat hubungannya dengan delik diatas,Terutama pada suku bugis dan Makassar. Delik inipun dapat menimbulkan timbulnya delik lain yaitu sebagai akibat dilarikannya seorang

(41)

perempuan itu. Antara keluarga saling berbunuhan.47 Hal ini tidak lain karena keluarga pihak perempuan mendapat malu oleh laki-laki tersebut, oleh karena itulah mereka wajib membunuh orang yang bersalah itu. Satu-satunya jalan bagi laki-laki untuk menolong dirinya, yaitu dengan melarikan diri ke istana raja, rumah kepala adat atau rumah seorang pemuka agama (imam).

Keluarga pihak perempuan terpaksa menghentikan pemburuan terhadap laki-laki itu dan pihak raja atau kepala adat wajib mendamaikan keluarga kedua belah pihak; dan apabila hal ini tercapai, maka perkawinan dapat dilangsungkan dan pihak laki-laki wajib membayar uang sunrong (uang antaran) dan uang denda. Seperti halnya orang dayak, malahan disini disertai seekor binatang kurban, dipersembahkan kepada kepala adat sebagai tanda mengembalikan keseimbangan yang telah dicemarkan oleh pihak laki-laki, sebagai pembasuh dusun dan berbentuk perjamuan adat. 3. Perbuatan zinah

Perbuatan zinah merupakan suatu perbuatan yang melanggar kehormatan keluarga dan kepentingan umum, merusak kesucian masyarakat. Sehingga pada orang batak karena perbuatan itu harus dilaksanakan “pangurasion”. Di dalam hal khusus, bila terjadi juga

47 Bushar Muhammad,Pokok-Pokok Hukum Adat,(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1988), Cet

(42)

melarikan perempuan, bila tertangkap laki-laki yang berbuat itu dapat segera dibunuh oleh pihak family yang dihina. Masih dapat ditimbulkan suatu elementie (peringanan hukuman), jika pihak keluarga laki-laki mengajukan permohonan kepada family yang dihina dan kepala adat, sehingga hanya berupa denda beberapa ekor kerbau.

Pada beberapa suku dayak, seorang suami diperbolehkan membunuh istrinya dan laki-laki yang berzinah dengan istrinya, bila perbuatan itu tertangkap basah. Si suami yang membunuh dianggap tidak bersalah, tetapi dengan syarat bahwa dia harus memberitahu pembunuhan itu dengan dengan segera kepada kepala adat. Dan sebagai imbalan dari pihak yang membunuh harus membayar uang denda pula kepada keluarga pihak laki-laki yang dibunuhnya yaitu uang bangun (uang pendingin hati atau perasaan). Umumnya terhadap perbuatan zinah, reaksi adat hampir serupa dari Aceh sampai Maluku dan Irian; seperti semua macam perbuatan yang melanggar kesusilaan (dalam hal hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan).48

C. Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Jarimah Zina

(43)

Istilah jarimah berasal dari kata : jarama, Yajrimu berarti al-zambu (dosa, kesalahan dan kejahatan). Abdul Qadir Audah mengemukakan definisi jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had atau hukuman ta’zir. Menurut Muhammad Salim Al’awa, jarimah adalah mengerjakan atau meninggalkan yang sudah ditetapkan oleh syara’ tentang keharaman dan sanksi hukum bagi pelakunya.49

Dari pengertian di atas maka dapat penulis simpulan bahwasanya jarimah itu ialah segala perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang hukuman nya berupa hudud dan takzir. Bahwasanya hudud itu adalah suatu hukuman yang sudah ada ketetapannya di dalam nas dan hukuman nya tidak bisa dikurangi atau ditambah. Sedangkan takzir adalah suatu hukuman yang ditetapkan oleh hakim atau suatu penguasa yang ada di daerah tertentu yang hukumannya bisa ditambah atau dikurangi menurut hakim dikarenakan adanya suatu sebab tertentu.

Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena subhat, dan

49 Nuraisyah,Hukum Pidana Islam,(Bukittinggi: STAIN Sjech M Djamil Djambek

(44)

atas dasar syahwat. Tidak menjadi masalah apakah seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing ataupun belum menikah sama sekali. Kata “zina” ini dikenakan baik terhadap seorang atau keduanya yang telah menikah ataupun belum.

Islam menganggap zina bukan hanya sebagai suatu dosa yang besar melainkan juga sebagai suatu tindakan yang akan membuka gerbang berbagai perbuatan memalukan lainnya, akan menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar, akan mengakibatkan terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan , meruntuhkan nama baik dan kekayaan, serta menyebarluaskan sejumlah penyakit baik jasmani maupun rohani.50

2. Hukuman Dan Pembuktian Jarimah Zinah

Hukuman untuk zina ghairu muhsan ini ada dua macam, yaitu ; dera seratus kali, dan pengasingan selama satu tahun.51 Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abdullah ibn al-Shamit ia bersabda:

50 Abdur Rahman, ,Tindak Pidana dalam Syariat Islam, penerjemah Wadi Masturi dan Basri

Iba Asghary, judul Asli “Shari’ah the Islamic Law, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet. Ke-1 hlm 31

51 Asep Saepudin Jahar. dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: kencana, 2013),

(45)

ىَّلَص ِ َّاللَّ ُل ْوُس َر َل اَق : َل اَق ِتِماَّصلا ِنْب َةَداَبُع ْنَع

او ُذُخ ْيَّنَع ا ْو ُذُخ: َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ هاللَّ

َّيَّثل اِب ُبَّيَّثلا َو ،ٍةَنَس ُيْفَن َو ٍةَئاِم ُدْلَج ِرْكِبْل اِب ُرْكِبْلا ،ًلاْيِبَس َّنُهَل ُ هاللَّ َلَعَج ْدَق ،يَّنَع

ا ِم ُدْلَج ِب

.ٌمِلْسُم ُها َو َر . ُمْج َّرلا َو ٍةَئ

“Dari Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: “Rasulallah Saw. Bersabda: “Ambillah hukum dariku”,ambillah hukum dariku, Allah telah membuat jalan (aturan) untuk mereka (para pezina),bujangan berzina dengan gadis hukumannya 100 cambukan dan diasingkan setahun,duda berzina dengan janda hukumannya 100 cambukan dan dirajam,”(HR.Muslim)52

Sedangkan hukuman untuk pelaku zina muhsan ini ada dua macam, yaitu; didera seratus kali, dan rajam. Sebagaimana firman Allah hukuman dera seratus kali didasarkan kepada surah al-Nur Q.S. 24:2 yang berbunyi:

➔◆

◆

→⬧



◼◆

☺

⬧⬧

⧫

◆

➔⬧

☺

⬧◆











⧫❑⬧➔



❑◆◆



◆◆

☺◆⧫

⬧



⧫✓⬧☺



Artinya: “ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.

52Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam,(Jakarta: Darus

(46)

Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau sejenisnya. Adapun untuk pembuktiannya, jarimah zina ada tiga macam, yaitu: dengan saksi, pengakuan, dan dengan qarinah.53

Pertama, Pembuktian dengan saksi. Para ulama telah sepakat bahwa jarimah zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Apabila saksi itu kurang dari empat orang, maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktiannya itu hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada bukti-bukti yang lain. Dasarnya adalah firman Allah didalam Surah al-Nisa’/4:15 yang berbunyi:

◆

✓⧫

⬧⧫⬧



→

⧫⬧

◼⧫

➔⧫

→

⬧



➔❑⬧



❑



◆❑⧫⧫

❑☺



➔⬧



⚫





Artinya: “ Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.

Kedua, pembuktian dengan pengakuan. Pengakuan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk jarimah zina, dengan syarat-syarat harus dinyatakan empat kali, dengan mengqiaskan kepada empat orang saksi dan beralasan

(47)

dengan hadis Ma’iz yang menjelaskan tentang pengakuannya sebanyak empat kali di hadapan Rasulullah Saw. Bahwa ia telah melakukan perbuatan zina.

Ketiga, pembuktian dengan qarinah. Qarinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atu tidak diketahui suaminya. Disamakan dengan wanita yang tidak bersuami, wanita yang kawin dengan anak kecil yang belum baliq, atau dengan orang yang sudah baliqh tetapi kandungannya lahir sebelum enam bulan.54 Dasar penggunaan qarinah

sebagai alat bukti untuk jarimah zina adalah ucapan sahabat dan perbuatannya. Dalam salah satu pidatonya Sayyidina Umar berkata,

ْنَع َو

ْدَق َ هاللَّ َّنإ : َل اَقَف َبَطَخ ُهَّنَأ ِب اَّطَخْلا ِنْب َرَمُع

َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ هاللَّ ىَّلَص اًدَّمَحُم َثَعَب

اَهاَنْيَع َو َو اَهاَنأ َرَق ،مْج َّرلا َةَيَا ِهْيَلَع َل َزْنَأ اَمْيِف َن اَكَف ، َب اَتِكْلا ِهْيَلَع َل َزْنَأ َو َّقَحْل اِب

َنْلَقَع َو

ا

َز ِساَّنل اِب َل اَط ْنإ ىَثْخ َأَف ،ُهَدْعَب اَنْمَج َر َو َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ هاللَّ ىَّلَص ِ هاللَّ ُل ْوُس َر َمَج َرَف ،اَه

اَم

َو ،ُ هاللَّ اَهَل َزْنَأ ٍةَضْي ِرَف ِك ْرَتِب اوٌل ِضَيَف ،ِ ٌاللَّ ِب اَتِك يِف َمْج َّرلا ُد ِجَن اَم :ٌلِئ اَق َل وُقَي ْنَأ ٌن

َّنِإ

ِتَم اَق اَذِإ ،ِء اَسَّنلا َو ِل اَج َّرلا َنِم َنَصْحَأ اَذِإ ،ىَن َز ْنَم ىَلَع ِ هاللَّ ِباَتِك يِف ُّقَح َمْج َّرلا

.ِهْيَلَع ٌقَفَّتُم . ُفا َرِتْعِلاا ِوَأ ُلَبَحْلا َناَك ْوَأ ُةَنَّيَبْلا

artinya: ”Dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, bahwa dalam khutbahnya ia berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad dengan (membawa) kebenaran dan menurunkan kitab kepadanya. Di antara yang Allah turunkan kepadanya adalah ayat tentang rajam. Kita membacanya, menyadari dan memahaminya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam melakukan hukum rajam dan kita pun setelah itu melakukannya` aku khawatir jika masa yang panjang terlewati manusia ada orang yang berkata, “kami tidak menemukan hukum rajam dalam kitab Allah.” Lalu mereka sesat dengan meninggalkan suatu kewajiban yang diturunkan Allah. Dan sesungguhnya rajam itu benar-benar ada dalam kitab Allah, yang dijatuhkan kepada orang yang berzina jika ia telah kawin, baik

(48)

laki maupun perempuan, dengan bukti,atau hamil atau dengan pengakuan.” (Muttafaq Alaih)55

3. Hal Yang Menggugurkan Jarimah zina

Hukuman had zina tidak bisa dilaksanakan atau gugur karena hal-hal berikut:

a. Karena pelaku mencabut pengakuannya apabila zina dibuktikan dengan pengakuan

b. Karena para saksi mencabut persaksiannya sebelum hukuman dilaksanakan c. Karena pengingkaran oleh salah seorang pelaku zina atau mengaku sudah kawin apabila zina dibuktikan dengan pengakuan salah seorang dari keduanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Tetapi menurut jumhur ulama, pengingkaran tersebut tidak menyebabkan gugurnya hukuman. Demikian pula pengakuan telah kawin menurut jumhur tidak menyebabkan gugurnya hukuman, kecuali apabila ada petunjuk atau bukti bahwa kedua pelaku zina itu memang sudah menikah. d. Karena hilangnya kecakapan para saksi sebelum pelaksanaan hukuman dan

setelah adanya putusan hakim. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Tetapi, mazhab-mazhab yang lain tidak menyetujuinya.

e. Karena meninggalnya saksi sebelum hukuman rajam dilaksanakan. Pendapat ini juga merupakan pndapat mazhab Hanafi, tidak menurut mazhab yang lainnya.

(49)

f. Karena dilaksanakannya perkawinan antara pelaku zina tersebut. Pendapat ini dikemukakan Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Tetapi menurut fuqaha yang lain, perkawinan setelah terjadinya perbuatan zina tidak menggugurkan hukuman had, karena hal itu bukan merupakan syubhat.56

BAB III

MONOGRAFI NAGARI BALAI PANJANG

(50)

A. Sejarah Nagari Balai Panjang

1. Aspek Georafis

Nama Balai Panjang, berasal dari satu peristiwa musyawarah yang diadakan di Tanah Banto milik Dt. Marajo Nan Gadang suku Melayu. Kalau sekarang masuk dalam kampung Melayu Bendang suku Melayu di Nagari Balai Panjang.

Pada waktu musyawarah ini semua peserta membawa alas duduk dari daun kayu sendiri-sendiri karena tempat musyawarah diadakan di Lapangan terbuka. Setiap peserta yang datang meletakkan alas duduknya menyambung alas duduk peserta yang datang lebih dahulu sehingga alas duduk tersebut menjadi panjang yang dalam bahasa setempat disebut Ba Aleh Panjang. Ini lah yang menjadi asal nama Balai Panjang.57

Sebelum adanya Nagari Balai Panjang merupakan pusat kelarasan tabiang tinggi yang terdiri dari Batu Payung, Bukit Sikumpa, dan Balai Panjang itu sendiri.

Pada masa penjajahan Belanda, kelarasan tabiang tingggi dirubah menjadi Nagari yang terdiri dari Nagari Balai Panjang, Nagari Batu Payung dan Nagari Bukik Sikumpa, dan tercatat sebagai Wali Nagari terakhir sebelum keluarnya UU Pemerintahan Desa adalah Mawardi Dt. Paduko Pangulu. Di awal berlakunya UU Pemerintahan Desa, Nagari Balai Panjang menjadi delapan desa sesuai dengan jumlah Jorong pada saat itu yaitu delapan jorang

(51)

yaitu Desa Sawah Luar, Desa Air Rendah, Desa Koto Malintang, Desa Balai Panjang, Desa Kubang Rasau, Desa Tareh, Desa Tampung Kodok, Desa Lurah Bukik.

Kemudian karena adanya PP yang mensyaratkan minimal jumlah penduduk untuk suatu desa maka delapan desa ini dilembur menjadi dua desa yaitu Desa Balai Panjang Ateh dan Desa Balai Panjang Bawah yang masing-masing desa terdiri dari empat dusun. Desa Balai Panjang Ateh terdiri dari Dusun Sawah Luar, Dusun Air Randah, Dusun Koto Malintang dan Dusun Balai Panjang. Sedangkan untuk Desa Balai Panjang Bawah terdiri dari Dusun Kubang Rasau, Dusun Tareh, Dusun Lurah Bukik, dan dusun Tampuang Kodok.

Tercatat sebagai Kepala Desa terakhir sebelum Sumatra Barat kembali ke Pemerintahan Nagari pada tahun 2000 adalah Al Husni Fuad untuk Desa Balai Panjang Ateh, dan H. Lamsuhai Dt. Bagak untuk Desa Balai Panjang Bawah.

Setelah Sumatra Barat menetapkan Nagari sebagai system pemerintahan terendah kedua Desa ini kembali bergabung menjadi Nagari Balai Panjang. Maka setelah resmi menjadi Nagari sudah tiga orang yang tercatat menjadi wali nagari yaitu, H. Dartinis Tinan Dt. Mangkuto Basa, Yuharnis Dt. Bagindo Tan Putiah dan yang sekarang menjabat Efianto, SE Dt. Rajo Pangulu.

(52)

Nagari Balai Panjang termasuk dalam wilayah Kecamatan Lareh Sago Halaban, sekaligus merupakan Nagari yang berada di perbatasan Kabupaten Lima Puluh Kota dengan Kabupaten Tanah Datar. Wilayahnya terletak 6o-11o

lintang utara serta berada pada ketinggian 400 sampai dengan 1000 meter diatas permukaan laut. Jarak dari Ibu Kota Kecamatan 2,5 Km, dari Ibu Kota Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 13 km, sedangkan dari Ibu Kota Provinsi Sumatra Barat 140 Km.58

Tabel I

Luas Wilayah Per Jorong

No. Jorong Luas (hektar2) Persentase (%) 1. Air Randah 277 2,77 2. Koto Malintang 221,233 2,21233 3. Sawah Luar 180 1,8 4. Balai Panjang 478 4,78 5. Tampuang Kodok 550,104 5,50104 6. Lurah Bukit 242,300 2,433 7. Tareh 598,104 5,98104 8. Kubang Rasau 1.200 12

Gambar

Tabel II
Tabel III
Tabel VII
Tabel VIII
+2

Referensi

Dokumen terkait

Adanya penimbunan (ikhtikar) oleh segelintir penjual. Adanya persaingan yang tidak sehat, menggunakan cara-cara yang tidak fair, antara penjual sehingga harga yang

Publikasi Statistik Daerah Kecamatan Mrebet 2015 diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga berisi berbagai data dan informasi terpilih seputar Keca-

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini meliputi metode pengumpulan data dan metode perancangan basis data.. Secara garis besar sistem pengajaran dan

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

Masalah yang akan didefinisikan dalam aplikasi ini yaitu bagaimana membuat aplikasi penyisipan dan pengambilan data dari file carier yang digunakan untuk mengamankan

Selanjutnya hasil penelitian yang penulis dapatkan dalam Pengawasan oleh Pemerintah Desa, Ninik Mamak, Alim Ulama dan Tokoh Masyarakat terhadap Pelaksanaan Peraturan

Sebaliknya, kecerdasan emosional perawat yang rendah cenderung mudah marah ketika pasien mengeluh, mudah tersinggung dengan perkataan pasien, kurang dapat memberikan

Maksud dari praktikum kimia dasar adalah menunjang teori yang telah didapatkan atau sedang diberikan oleh dosen pada saat kuliah.Tujuan umum penulisan Laporan Akhir Praktikum