15 IMPLEMENTASI DIVERSI PADA KASUS TINDAK PIDANA ANAK
DALAM TAHAP PENYIDIKAN (STUDI KASUS POLRES PALU)
Marsita Buana Malingga Benny Diktus Yusman
Vivi Nur Qalbi
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini membahas implementasi diversi pada kasus tindak pidana anak dalam tahap penyidikan di Polres Palu. Kemudian membahas mengenai hambatan-hambatan dalam proses diversi pada tahap penyidikan di Polres Palu. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu bagaimana implementasi diversi pada tahap penyidikan di Polres Palu dan faktor apa yang menghambat proses diversi di Polres Palu. Dengan metode penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian adalah bahwa penyidik Polres Palu dalam mengimplementasikan proses diversi pada perkara anak sudah sesuai dengan apa yang diamanatkan undang-undang Sistem Peradilan pidana Anak dimana diversi yang dilaksanakan merupakan tindak pidana yang ancaman hukumannya dibawah 7 tahun, adapun banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak namun tidak diselesaikan melalui jalur diversi merupakan tindak pidana yang ancaman hukumannya diatas 7 tahun, penyidik Polres Palu dalam menangani kasus tindak pidana anak yang berkonflik dengan hukum penyelesaiannya telah dilaksanakan melalui jalur diversi dengan pendekatan restoratif justice system. Hambatan yang dihadapi adalah ketidakpahaman pihak korban mengenai penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui diversi.
Kata Kunci : Diversi, Penyidikan, Tindak Pidana Anak
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Anak merupakan generasi muda masa depan yang berperan penting sebagai penerus cita-cita bangsa demi kelangsungan eksistensi bangsa dan negara. Sebagai aset bangsa, peran strategis ini menjadikan anak perlu mendapatkan perhatian khusus. Perlakuan dan pembinaan yang tepat
secara terus-menerus diperlukan
demi kelangsungan hidup,
pertumbuhan, perkembangan fisik, mental dan sosilanya, serta
perlindungan dari segala
kemungkinan yang dapat
membahayakan atau merusak masa depan anak.
Perlindungan terhadap anak, merupakan hak asasi yang harus
16
diperoleh anak. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menentukan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pernyataan dari pasal tersebut, menunjukan tidak ada perbedaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara, baik wanita, pria, dewasa dan anak-anak dalam mendapat perlindungan hukum.1
Dimulai dari dua asas deklarasi hak-hak anak yang berbunyi :
anak-anak mempunyai hak
untuk memperoleh
perlindungan khusus, dan
harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh
hukum dan sarana lain
sehingga secara jasmani,
mental akhlak, rohani dan
sosial, mereka dapat
berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas
dan bermartabat.2
Sistem Peradilan Pidana Anak, dilaksanakan berdasarkan asas:
perlindungan; keadilan;
1
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm. 13.
2
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 50.
nondiskriminasi; kepentungan terbaik bagi anak; penghargaan
terhadap pendapat anak;
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; pembinaan dan pembimbingan anak; proporsional; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan.3
Sistem Peradilan Anak berbeda dengan Sistem Peradilan bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Menekankan atau memusatkan pada “kepentingan anak” harus merupakan pusat perhatian dalam Peradilan Pidana Anak. Dalam Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa unsur yang saling terkait yaitu: Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak, dan Petugas Pemasyarakatan Anak. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mengatur tentang Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak merupakan dasar pembentukan peraturan
3
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 2
17
undangan tersebut. Ini berarti bahwa Peradilan Pidana Anak yang adil memberikan perlindungan terhadap anak, baik sebagai tersangka,
terdakwa, maupun sebagai
terpidana/narapidana, sebab perlindungan terhadap anak ini merupakan tonggak utama dalam Peradilan Pidana Anak dalam negara hukum.4
Anak pada perkembangannya memiliki fase yang menjadikan anak mengalami perubahan-perubahan besar. Perubahan besar yang dialami anak membawa pengaruh pada sikap dan tindakan ke arah lebih agresif sehingga pada periode ini banyak anak-anak dalam bertindak dapat digolongkan kedalam tindakan yang menunjukan ke arah gejala kenakalan anak.5
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu :6
4
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm. 7.
5
Wagiati Soetedjo dan Melani Op. Cit hlm. 8.
6
N. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 33
1). Status offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, mombolos sekolah atau kabur dari rumah;
2). Junvile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. Namun sebenarnya terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi jiwa yang labil, proses kemantapan psikis menghasikan sikap kritis, agresif dan menunjukan tingkah laku
yang cenderung bertindak
mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan anak.7
Pembimbing Kemasyarakatan Anak Balai Pemasyakaratan (Bapas)
Kelas II Palu Alfred
mengungkapkan, kasus yang
7
18
melibatkan anak hingga April 2016 cukup signifikan. Dia tak menyebut angka pasti, namun dalam tahun ini sebanyak 57 kasus tindak pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh anak.8
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kasus tindak pidana anak adalah dengan pendekatan restorative justice, yang dilaksanakan dengan cara diversi atau pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Restorative Justice merupakan
proses penyelesaian perkara yang melibatkan pelaku, korban dan dan pihak-pihak lain yang terkait untuk mencapai kesepakatan penyelesaian dan pemuliahan.
Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah
8
Metro Sulawesi, Gawat, Ratusan Anak di Palu terlibat Kriminal.
http://www.metrosulawesi.com/article/gawat -ratusan-anak-di-palu-terlibat-kriminal. Diakses pada tanggal 24 Juli 2017.
penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment) .9
Polisi sebagai gerbang utama dalam penegakan hukum yang menetukan posisi anak yang berhadapan dengan hukum serta memiliki tanggung-jawab yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang Polri sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu bahwa Kepolisian Republik Indonesia memiliki tugas:
a. Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
b. Menegakkan Hukum
c. Memberikan Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat.
Oleh karena itu implementasi aturan dan prosedur dalam penyelesaian kasus tindak pidana anak yang dilakukan oleh Penyidik Satreskrim Polres Palu harus
9
M. Lutfi Chakim. Konsep Diversi. http://www.lutfichakim.com/2012/12/konsep -diversi.html. Diakses Pada tanggal 24 Juli 2017.
19
menurut aturan yang telah ditetapkan. Konsep diversi atau pengalihan penyelesaian perkara
anak harus dipahami dan
dilaksanakan secara tepat dan sesuai mengingat tujuan diversi untuk menghindari efek negatif pada proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak, misalnya labelisasi atau stigmatisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hakim.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin mengkaji permasalahan tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul, Implementasi Penyelesaian Terhadap Kasus Tindak Pidana Anak melalui jalur diversi pada tingkat penyidikan (Studi Kasus Polres Palu).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi diversi pada kasus tindak pidana anak
dalam tahap penyidikan di Polres Palu ?
2. Faktor apa yang menjadi penghambat proses diversi pada tahap penyidikan di Polres Palu ?
II. PEMBAHASAN
A. Implementasi Diversi Pada
Tingkat Penyidikan Di Polres
Palu
1. Mekanisme Penyidikan Tindak Pidana Yang dilakukan Oleh Anak
Berdasarkan penjelasan sebelumnnya penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan
tersangkanya.10 Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukun dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Nergara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
10
Kitab undang-undang hukum acara pidana pasal 1 butir 2
20
Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Untuk mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana baik yang bersangkutan orang dewasa maupun anak-anak, polisi dapat memperoleh informasi melalui adanya : laporan, pengaduan, tertangkap tangan dan diketahui oleh petugas polisi.
Menurut Laode selaku anggota unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), dalam hal adanya laporan maupun pengaduan yang diaujukan baik tertulis maupun tidak tertulis (lisan), dicatat terlebih dahulu oleh penyidik atau penyidik pembantu. Kemudian Penyidik akan memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada pelapor maupun pengadu. Kemudian Polisi akan melakukan gelar perkara atau penyelidikan untuk mengetahui bahwa benar-benaar telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana. Dalam melakukan penyidikan, pelaku yang masih anak-anak maka penyelidikan dilakukan menurut ketentuan perundangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam hal
tertangkap tangan petugas Polisi atau penyidik dapat langsung melakukan peenangkapan, penggeledahan, penyitaan dan, melakukan tindakan membawa pelaku ke kantor polisi. Dalam hal suatu tindak pidana diketahui langsung oleh petugas kepolisian, maka petugas kepolisian akan membuat berita acara penangkapan. Dan selanjutnya setelah memperoleh informasi tentang adanya tindak pidana maka petugas tersebut segera melakukan penyidikan.11
Dalam melakukan penyidikan anak, diusahakan pelaksanaannya oleh polisi wanita, dan bila perlu didampingi polisi pria. Dan wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Jika dianggap perlu,
penyidik dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial
Profesional atau Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.
a. Penangkapan
11
21
Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam Undang-undang Sistem Peradilan Anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 30 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mentukan bahwa: 12
1. Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam.
2. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruangan pelayanan khusus anak.
3. Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS. 4. Penangkapam terhadap Anak
wajib dilakukan secara
manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.
5. Biaya bagi setiap Anak yang
ditempatkan di LPKS
dibebankan pada anggaran
kementrian yang
12
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam.. Op. Cit hlm. 121
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. b. Wawancara dan penyidikan
Wawancara khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan di ruangan khusus unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Palu dan dilakukan oleh anggota polwan agar anak lebih leluasa memberikan keterangan yang berkaitan dengan tindak pidana.13
langkah Langkah-langkah yang dapat membantu Polisi dalam melaksanakan wawancara secara efektif dan efisien adalah sebagai berikut :14
1. Dalam wawancara, anak harus didampingi oleh orang yang terdekat dengan anak tersebut dan yang paling ia percaya, (bisa orangtua, saudara, pengasuhnya, pekerja sosial, dsb.), sehingga dapat membantu kelancaran wawancara;
2. Menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti oleh anak
13
Hasil wawancara18 Juli 2017 14
Apong Herlina, Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, uncef, Jakarta,2004, hal. 29-30
22
yang bersangkutan dan
pendampingnya;
3. Wawancara dilakukan dalam kesempatan pertama;
4. Menghindari penekanan, kebohongan, intimidasi, atau perlakuan keras dan kasar
terhadap anak selama
wawancara berlangsung agar psikologis anak tidak terganggu; 5. Wawancara dilaksanakan dalam
ruangan yang nyaman dan terpisah dari orang dewasa lainnya, sehingga anak tidak merasa ketakutan.
c. Penahanan
Untuk tindak pidana anak penahanan yang dilakukan pihak kepolisian Polres Palu di laksanakan di ruangan khusus penahanan anak. Waktu penahanan anak yang berhadapan dengan hukum pada tahap penyidikan di Polres Palu selama 7 hari, dalan jangka waktu 7 hari pihak kepolisian akan melengkasi berkas perkara untuk di serahkan ke kejaksaan. Namun jika dalam waktu 7 hari penyidik belum merampungkan berkas perkara maka kejaksaan akan memberikan
tambahan waktu penahanan selama 8 hari. 15
d. Pengeledahan
Penggeledahan ada 2 (dua), yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan.
Seorang penyelidik, dapat melakukan penggeledahan atas perintah penyidik berdasarkan Pasal
5 ayat (1) huruf b angka 1 KUHAP. Atas penggeledahan tersebut, penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan penggeledahan tersebut kepada penyidik. Selain penyelidik, penyidik juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penggeledahan.
e. Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.16
f. Penyerahan berkas
15
Hasil wawancara 18 Juli 2017 16
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1
23
Penyerahan berkas dilakukan setelah berkas yang sudah lengkap (p 21) dan diserahkan ke jaksa penuntut umum untuk diteliti. Jika jaksa penuntut umum menganggap berkas tersebut belum lengkap maka jaksa akan menggembalikan berita acara ke pihak penyidik untuk dilengkapi, namum jika dianggap telah lengkap maka jaksa akan mengirim surat ke pihak penyidik untuk selanjutnya menentukan waktu untuk penyidik menyerahkan alat bukti dan tersangka kepada jaksa penuntut umum.17
2. Peran Penyidik Dalam Pelaksaan Diversi
Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, pelaksanaan diversi ini harus dilakukan pada setiap tingkatan dalam proses peradilan pidana anak (mulai penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh penuntut
umum dan pemeriksaan di
pengadilan oleh hakim).
Salah satu pedoman yang dapat menjadi pegangan penyidik Polri dalam mengimplementasikan konsep diversi dalam menangani perkara anak yang berhadapan dengan
17
Hasil wawancara 18 Juli 2017
hukum pada tahap penyidikan adalah TR Kabareskrim Polri No. Pol: TR/1124/XI/2006 yang memberi betunjuk dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilaksanakan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. TR Kabareskrim Polri yang berpedoman pada pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas tentang masalah Diskresi Kepolisian, hal ini memberi pedoman dan wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani perkara tindak pidana anak yang berhadapan dengan hukum.
Dasar hukum penerapan diversi adalah Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 18 ayat 1 huruf L yang di perluas pada pasal 16 ayat (2) yang berbunyi :
Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku,
24
selaras dengan kewajiban
hukum/profesi yang
mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya, didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Dengan kata lain Kepolisian diberikan wewenang untuk dapat mengembangkan prinsip diversi dalam bentuk Restorative Justice untuk menangani perkara dilakukan anak dibawah umur yang disebut anak yang berhadapan dengan hukum. Diversi dianggap alternatif lain yang lebih baik dalam penyelesaian perkara pelaku anak di bawah umur, dengan keterlibatan semua pihak untuk berperan aktif mencari solusi terbaik bagi kepentingan anak sebagai korban dan pelaku.
Bagir Manan dalam tulisannya, menguraikan tentang substansi “Restorative Justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain. Membangun
partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan masyarakat sebagai “stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win
solutions).18
Pada dasarnya penyidik wajib mengupayakan diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana) dalam waktu paling lama 7 hari setelah penyidikan. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 hari setelah dimulainya diversi.
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, hasil kesepakatan selanjutnya dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Aparat Kepolisian dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya harus mampu menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana anak melalui diversi dengan pendekatan restoratif.
3. Penerapan Diversi Pada Tingkat Penyidikan di Polres Palu
18
Hj. Diah Sulastri, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun xxvi No. 306 1, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 82-83
25
Konsep prosedur pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak terdapat tiga bentuk, yaitu: Pertama, Musyawarah Polisi. Para pihak hanya terdiri dari polisi dan pelaku. Jenis tindak pidananya pelanggaran dan tindak pidana ringan. Sanksinya berupa peringatan informal, yaitu peringatan lisan dan peringatan tertulis. Peringatan informal tersebut tidak dicatat dalam suatu kesepakatan dan tidak perlu dimintakan penetapan ke pengadilan negeri. Kedua, Musyawarah Keluaga. Para pihak yang terlibat adalah polisi, pelaku dan/atau orangtua/walinya, dan pembimbing kemasyarakatan. Jenis tindak pidananya adalah tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana yang nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum propinsi setempat. Sanksinya berupa peringatan formal yang dicatat dalam buku catatan kepolisian tapi tidak perlu disampaikan ke Pengadilan Negeri. Ketiga, Musyawarah Masyarakat. Para pihak yang terlibat adalah
polisi, pelaku dan/atau
orangtua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya dan pembimbing kemasyarakatan serta masyarakat. Jenis tindak pidananya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana serta bukan masuk kategori tindak pidana berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana yang nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum propinsi setempat. Sanksinya berupa peringatan formal yang harus mendapatkan persetujuan dari korban dan/atau keluarganya jika korban masih di bawah umur. Hasil musyawarah itu kemudian
dituangkan dalam sebuah
kesepakatan diversi yang
ditandangtangani oleh para pihak. Kemudian hasil kesepakatan diversi itu disampaikan oleh atasan langsung polisi kepada Pengadilan Negeri untuk memperoleh penetapan. Setelah menerima penetapan dari pengadilan, Penyidik menerbitkan surat penetapan penghentian penyidikan.
Penyidik anak Polres Palu dalam menangani kasus anak yang
26
berhadapan dengan hukum
pelaksanaannya sudah sesuai berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana dimana dalam penyelesaian dengan cara diversi telah dilaksanakan melalui musyawarah yang melibatkan pihak korban, pelaku, saksi, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial prefesional.
Berdasarkan wawancara dengan anggota unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Bripka Laode menjelaskan bahwa kasus tindak pidana anak tidak hanya ditangani unit PPA namun juga satresrimum Polres Palu, unit PPA kebanyakan menangani perkara anak dan perempuan yang menjadi korban hanya ada beberapa kasus yang pelakunya anak dan korbannya juga anak. Untuk tindak pidana yang diatur di luar KUHP di laksanakan oleh unit yang berbeda misalnya tindak pidana nakotika dan psikotropika penanganannya dilaksanakan oleh unit satnarkoba Polres Palu.19
Berdasarkan data yang diperoleh dari Satreskrimum Polres
19
Hasil Wawancara 18 Juli 2017
Palu terdapat banyak kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di wilayah Kota Palu. Kejahatan dominan yang dilakukan adalah pencurian dan kekerasan (curas) dan pencurian dan pemberatan (curat). Namun berdasarkan data yang ada semua pelaku anak penyelesaiannya tidak diupayakan diversi karena tindak pidana yang dilakukan ancaman hukumannya diatas 7 (tujuh) tahun. Diversi hanya dapat dilaksanakan jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak ancaman hukumannya dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan memrupakan pengulangan tindak pidana.
Berdasarkan data yang di peroleh dari satnarkoba Polres Palu, selama 3 (tiga) tahun terakhir terdapat 15 jumlah kasus yang ditangani, dan kasus tersebut seluruhnya merupakan kasus narkotika.
Menurut Kanit Satnarkoba Iptu Aji Suhada, untuk kasus narkotba baik pelakunya orang dewasa maupun anak-anak penyelesainnya dilaksanakan lewat jalur peradilan umum mengingat bahaya dan pengaruhnya dapat merusak generasi
27
bangsa, sehingga penanganannya di prioritaskan.
Penanganan perkara di unit
PPA Polres Palu dominan
diselesaikan lewat jalur peradilan pidana mengingat kebanyakan pelakunya orang dewasa. Dari jumlah kasus yang ada sepanjang 3 (tiga) tahun terakhir terdapat 42 kasus yang melibatkan anak, 3 kasus dihentikan penyelidikannya, 25 kasus dilimpahkan ke kejaksaan, dan hanya ada 1 kasus di selesaikan lewat jalur diversi, yaitu kasus pencabulan yang pelakunnya anak dibawah umur dan penyelesaiannya telah dilaksanakan dengan cara musyawarah pihak-pihak terkait dalam hal ini pihak-pihak kepolisian, pelaku dan/atau orangtua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional.
Hal ini menunjukkan bahwa penyidik Polres Palu dalam penyelesaian kasus tindak pidana anak yang wajib diupayakan diversi telah dijalankan sesuai aturan Undang-Undang Sistem peradilan pidana, adapun banyaknya tindak pidana di Kota Palu yang dilakukan
oleh anak namun tidak diselesaikan melalui jalur diversi adalah kasus yang tindak pidananya diatas 7 tahun yang tidak termasuk dalam syarat pelaksanaan diversi.
B. Faktor Penghambat Proses Diversi Pada Tahap Penyidikan Di Polres Palu
Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penyidik Polres Palu dalam pelaksanaan diversi berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka Laode adalah :
“Pelaksanaan diversi harus dijalankan sesuai undang-undang yang telah mengatur hal itu, namun pada pelaksanaannya terkadang keluarga atau pihak korban sulit untuk dimintai persetujuan untuk menyelesaikan perkara pelaku anak dengan metode diversi melalui pendekatan restorative justice. Sedangkan penyelesain dengan cara diversi dibutuhkan persetujuan dari pihak korban untuk diupayakan diversi, hal ini yang menjadikan pelaksananaannya masih kurang efektif.”
Rendahya kesadaran
masyarakat terhadap hukum yang mengatur tindak pidana anak dalam
28
pelaksanaan diversi ini menjadi penghambat bagi penyidik kepolisian untuk dapat menyelesaikan masalah yang menyangkut anak.
III. PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan dalam hal Implementasi diversi pada tahap penyidikan di Polres Palu, yaitu :
a. Implementasi diversi pada tingkat penyidikan di Polres Palu sudah dijalankan sesuai dengan
Undang-Undang Sistem
Peradilan pidana Anak dimana diversi yang dilaksanakan merupakan tindak pidana yang ancaman hukumannya dibawah 7 tahun, adapun banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak namun tidak diselesaikan melalui jalur diversi merupakan tindak pidana yang ancaman hukumannya diatas 7 tahun, penyidik Polres Palu dalam menangani kasus tindak pidana anak yang berkonflik dengan hukum penyelesaian telah dilaksanakan melalui jalur diversi dengan pendekatan restoratif justice system.
b. Hambatan yang dialami anggota unit PPA Polres palu dalam penanganan pelaku anak yang diselesaikan melalui diversi dengan pendekatan restorative justice adalah keluarga atau pihak korban yang masih belum
memahami tata cara
penyelesaian dan aturan yang
menjelaskan tentang
penyelesaian anak yang berhadapan dengan hukum. Ketidaktahuan keluarga atau pihak korban ini sedikit menyulitkan anggota unit Perlindungan Perempuan dan Anak mengingat amanat yang tercantum dalam undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa diversi harus laksanakan dengan persetujuan pihak korban, menginggat umur anak dan psikologisnya yang belum bisa menerima perlakuan-perlakuan yang tidak sesuai yang dapat mengganggu perkembangan anak tersebut misalnya proses peradilan yang membutuhkan waktu lama ditambah lagi stikma
29
dan labelisasi masyarakat terhadapnya.
c. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan dalah hal pelaksanaan diversi oleh penyidik terutama penyidik Polres Palu adalah sebaai berikut :
1. Sosialisasi mengenai
penyelesaian anak yang berhadapan dengan hukum melalui diversi harus lebih sering dilakukan baik dari pihak kepolisian maupun lembaga-lembaga yang terkain dalam pelaksanaan diversi.
2. Pemerintah harus
memaksimalkan fungsi
lembaga-lembaga sosial yang
berhubungan dalam pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. 3. Aparat kepolisisan sebagai
perantara dalam proses diversi harus lebih memahami dan melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan lebih bertanggung jawab secara efektif. Pelatihan-pelatihan khusus bagi penyidik dalam
pelaksanaan diversi juga harus dilakukan.
4. Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana anak
kedepannya harus diterapkan oleh semua pihak tidak hanya penyidik kepolisian, lembaga-lembaga sosial, masyarakat terutama pihak yang menjadi korban kasus yang melibatkan anak juga harus memahami dan mengambil bagian dalam pelaksanaan diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak.
30 DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Gultom, Maidin. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
Gultom, Maidin. 2014. Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: PT Refika Aditama.
Herlina, Apong, dkk. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef. Jakarta.
Hj. Diah Sulastri. 2011. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun xxvi No. 306 1, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta.
Nasir M. Jamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar Grafika. Soetedjo, Wagiati dan Melani. 2013. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT Refika
Aditama.
Sumber Lain
Metro Sulawesi, Gawat, Ratusan Anak di Palu terlibat Kriminal.
http://www.metrosulawesi.com/article/gawat-ratusan-anak-di-palu-terlibat-kriminal. Diakses pada tanggal 24 Juli 2017.
M. Lutfi Chakim, Konsep Diversi, http://www.lutfichakim.com/2012/12/konsep-diversi.html, diakses pada tanggal 24 Juli 2017.
Peraturan-Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara Nomor 153 Tahun 2012. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5332.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209.