• Tidak ada hasil yang ditemukan

MILITER DAN POLITIK:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MILITER DAN POLITIK:"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

SKRIPSI

MILITER DAN POLITIK:

(STUDI TENTANG KELOMPOK PENDUKUNG DAN PENENTANG TERHADAP PENGHAPUSAN DWI FUNGSI ABRI TAHUN 1998-2001)

O L E H ERVINA JULIANI 050906045

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

(2)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk diperbanyak dan dipertahankan oleh: Nama : Ervina Juliani

NIM : 050906045

Departemen : Ilmu Politik dan Ilmu Politik

Judul : MILITER DAN POLITIK:

(Studi Tentang Kelompok Pendukung dan Penentang Terhadap Penghapusan Dwi Fungsi ABRI Tahun 1998-2001)

Medan, Maret 2009 Ketua Departemen Ilmu Politik

NIP: 132 215 084 Drs. Heri Kusmanto, MA

Menyetujui, Komisi Pembimbing:

a.n Pembimbing Pembaca

Drs. Heri Kusmanto, MA NIP: 132 215 084 NIP:

Drs. Nuzirwan MSP

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

NIP: 131 570 469 Prof.DR. M.Arif Nasution, MA

(3)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ERVINA JULIANI (050906045)

MILITER DAN POLITIK: (Studi Tentang Kelompok Pendukung dan Penentang Terhadap Penghapusan Dwi Fungsi ABRI Tahun 1998-2001) (Isi rincian skripsi terdiri dari 88 halaman, 1 daftar tabel, 32 sumber buku, dan 3 sumber internet).

ABSTRAK

Militer sebagai salah satu kekuatan sosial politik pada masa Orde Baru telah memainkan perannya yang dominan dalam arena politik. Militer menggunakan doktrin Dwi Fungsi sebagai usahanya dalam memperluas kekuasaan. Hal ini terjadi selama lebih dari tiga puluh tahun dimana militer menjadi salah satu penopang kekuasaan Soeharto. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelompok mana yang mendukung dan menentang terhadap konsep Dwi Fungsi setelah jatuhnya Orde Baru. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian deskriptif, yaitu dengan menggunakan pendekatan sejarah lalu membuat pemetaan kelompok yang mendukung dan menentang penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Teori yang digunakan adalah teori pola hubungan sipil-militer yang menggambarkan peran dominan militer dalam politik. Hal ini berkaitan dengan konsep Dwi Fungsi ABRI yang berlaku selama Orde Baru yang telah diselewengkan oleh Orde Baru.

Kelompok yang mendukung berasal dari kalangan militer yaitu para perwira militer yang telah menduduki jabatan strategis dalam politik. Kelompok pendukung tersebut seperti pemimpin Orde Baru sendiri yaitu Soeharto yang tidak menginginkan kekuasaannya beralih dan juga anggota Kabinet Pembangunan VII yang merupakan kabinet bentukan Soeharto. Menurut para pendukungnya bahwa militer masih dibutuhkan dalam politik sehubungan dengan kekuasaannya selama bertahun-tahun. Jadi sulit untuk menghilangkan peran politik militer di Indonesia. Selain itu, militer juga merupakan bagian dari kekuatan sosial politik yang dibutuhkan untuk membangun negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Sedangkan kelompok penentangnya berasal dari kalangan mahasiswa yang menginginkan adanya perubahan secara total seiring dengan jatuhnya Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru. Kelompok penentang ini dibagi atas dua yaitu garis moderat yang menginginkan penghapusan Dwi Fungsi secara bertahap yang terdiri dari kelompok internal militer yaitu para perwira yang masih duduk dalam jabatan politik. Kelompok yang kedua adalah garis keras yang menentang Dwi Fungsi ABRI tanpa kompromi. Kelompok ini terdiri dari gabungan mahasiswa seperti Forum Kota, Partai Amanat Nasional dan Partai Rakyat Demokratik.

(4)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap DAFTAR ISI

Abstrak……….……..……….i

Daftar Isi………..…..………..ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6 C. Tujuan Penelitian ... 8 D. Manfaat Penelitian ... 8 E. Kerangka Teori ... 8 a. Batasan Militer ... 8 b. Batasan Sipil ... 9

c. Pola Hubungan Sipil-Militer ... 10

d. Tipe Orientasi Militer ... 14

e. Masa Transisi Demokrasi: Kecenderungan Hubungan Sipil-Militer ... 19

F. Metode Penelitian ... 22

a. Jenis Penelitian ... 22

b. Teknik Pengumpulan Data ... 23

c. Teknik Analisa Data ... 23

d. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II KONSEP DAN PRAKTEK DWI FUNGSI ABRI A. Sejarah Keterlibatan Militer Dalam Politik ... 25

B. Konsep Dwi Fungsi ABRI ... 28

C. Landasan Dwi Fungsi ABRI ... 31

D. Praktek Dwi Fungsi ABRI Pada Masa Orde Baru ... 34

a. Pendekatan Keamanan Sebagai Ciri Orde Baru ... 36

b. ABRI dan GOLKAR ... 38

c. Militer dan Birokrasi ... 42

d. Peran ABRI dalam Legislatif ... 45

(5)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

E. Dwi Fungsi Dan Demokrasi Pada Masa Orde Baru ... 48

BAB III TUNTUTAN PENGHAPUSAN DWI FUNGSI ABRI PASCA ORDE BARU A. ABRI Pasca Orde Baru... 52

B. Kritikan Atas Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI ... 54

a. Kriteria Kelompok Penentang Dwi Fungsi ABRI ... 64

b. Kelompok Penentang Dwi Fungsi ABRI ... 65

C. Dukungan Terhadap Dwi Fungsi ABRI ... 69

a. Kriteria Kelompok Pendukung Dwi Fungsi ABRI ... 71

b. Kelompok Pendukung Dwi Fungsi ABRI ... 71

D. Hubungan Pola Sipil-Militer dengan Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI di Indonesia ... 74

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 80

(6)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil–militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju mundurnya suatu negara. Militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman yang akan timbul1

Pada masa Orde Baru, militer memiliki peranan dominan dalam politik. Dominasi peran militer dalam politik merupakan usaha rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya. Rezim Orde Baru membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan pada masa lalu ABRI sudah ikut menentukan nasib negara secara politik. Dari sinilah kemudian dibangun system pemerintahan yang militeristik dengan mengikutsertakan ABRI dalam politik penyelenggaraan negara.

. Begitu juga sipil membutuhkan militer sebagai perlindungan terhadap keamanan.

2

Tampaknya peran dan posisi seperti ini diteruskan pada masa-masa selanjutnya tetapi yang tidak disertai dengan koreksi atau kontrol yang efektif ABRI yang diperalat oleh kekuasaan dapat melakukan segala aktivitas, termasuk meredam tanpa kompromi apapun berbagai kegiatan atau gerakan masyarakat

1

Budi Santoso, Ketahanan Nasional Indonesia, Penangkal Disintegrasi Bangsa dan Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000, hal.199

2

Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001, hal. 5

(7)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

yang dicurigai sebagai “ancaman” terhadap stabilitas nasional dan “gangguan” terhadap pembangunan nasional.

Persepsi ABRI yang dalam memahami peranannya seperti itu tentu saja keliru. Peranan ABRI dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan mestinya sebatas menciptakan keadaan yang kondusif bagi terselenggaranya negara yang sedang membangun. Bukan ikut serta menyelenggarakan negara dan ikut serta membangun. Persepsi itu juga terlalu sempit yang menganggap organisasi yang baik untuk melaksanakan pembangunan adalah model organisasi militer.3

3 Ibid., hal. 173

Pendekatan Orde Baru yang selalu mengedepankan Dwi Fungsi ABRI

karena latar belakang ABRI di Indonesia dalam sejarah lahirnya militer dari rakyat yang berjuang di daerah-daerah dengan bergerilya

melawan penjajah kolonial Belanda, merupakan usaha rejim Soeharto dalam memberikan pembenaran bahwa tindakan represif militer yang selama ini dilakukan adalah demi kepentingan stabilitas rakyat juga.

Dalam perjalanan peran sosial politik ABRI sepanjang 32 tahun, konsep Dwi Fungsi dan implementasinya seolah-olah menjadi sesuatu yang sakral dan tabu untuk dipertanyakan. Kedudukan ABRI sebagai kekuatan sosial politik telah banyak menimbulkan dampak negatif dan distorsi dalam pelaksanaannya. Berbagai pernyataan yang dikemukakan, klaim yang didengungkan dan argumentasi yang diajukan, justru lebih banyak menonjolkan hal-hal yang positif dibandingkan sisi negatifnya, sehingga semakin mengukuhkan keberadaan Dwi Fungsi ABRI.

(8)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Dwi Fungsi ABRI kemudian hanya menjadi alat bagi perluasan peran militer diluar bidang militer. Hal ini kemudian memiliki dampak yang luas, karena peran ABRI mencakup berbagai aspek kehidupan tanpa ruang yang cukup jelas, sehingga menimbulkan berbagai fungsi yang tumpang tindih dalam penyelenggaraan negara yang membuat tanggung jawab pelaksanaan tanggung jawabnya sulit dan tidak jelas.4

Pada masa-masa akhir Orde Baru suara-suara ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah umumnya, dan terhadap dominasi militer yang dianggap sebagai alat pemerintah khususnya semakin kuat, yang pada akhirnya bergulir ke permukaan dengan gelombang yang semakin membesar dan tidak terhindarkan dalam bentuk gerakan reformasi. Seiring berjalannya waktu, dan setelah terjadi krisis ekonomi dan politik yang berlanjut pada krisis kepercayaan, muncullah gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dan membawa dampak terhadap jatuhnya kursi kepemimpinan Soeharto yang mengatasnamakan Orde Baru. Dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenannya pada tanggal 21 Mei

Sekalipun rezim otoriter dikemas begitu rapi, namun bila rakyat menghendaki maka rezim tersebut akan runtuh. Ini juga berlaku bagi rezim Orde Baru dibawah presiden Soeharto, sebuah rezim yang secara khusus ditopang oleh militer, Golkar dan birokrasi. Seiring berjalannya waktu, rezim Orde Baru tersebut dapat dikatakan telah lelah, bobrok dan keropos. Rezim ini juga telah kehilangan legitimasinya baik ditinjau dari keberhasilan ekonomi maupun sisi stabilitas politik. Para anggota rezim yang tersisa karena tidak mampu lagi mempertahankan rezim Orde Baru maka kemudian mereformasi diri.

(9)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

1998, maka berakhir pula pemerintahan Orde Baru karena Soeharto dianggap sebagai personifikasi Orde Baru.

Pasca Orde Baru, juga ditandai dengan terpisahnya lembaga kepolisian dari ABRI yang merupakan langkah awal menuju militer profesional. Tanggung jawab mereformasi tubuh TNI diikuti pula dengan gerakan kembalinya militer ke barak, menandakan era militer dalam politik sudah ditinggalkan. Tidak ada lagi pemberian jatah kursi khusus di legislatif untuk militer, tidak ada lagi hak istimewa. Militer hanyalah orang biasa yang direkrut oleh negara, dilatih dan dipersenjatai untuk menjaga kehormatan bangsa dan negara.

Perubahan lainnya adalah sikap dan tindakan ABRI yang semula lebih mengutamakan paradigma lama dengan pendekatan kemanan berubah menjadi paradigma baru berdasarkan pendekatan komprehensif. Perubahan ini relatif masih dalam tataran konsep dan belum menyentuh substansi yang diinginkan masyarakat umum, yaitu pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Reformasi militer di tubuh TNI masih sukar terwujud karena militer masih otonom dan independen dari pengawasan dan kendali otoritas politik sipil. TNI masih enggan melepaskan dirinya dari politik oleh karena pencitraan dirinya yang sangat lekat dengan label tentara politik.

Tuntutan terhadap ABRI untuk mundur dari dunia politik merupakan aspirasi ekstrem yang berkembang di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tarik-menarik pendapat terhadap perlu tidaknya mempertahankan Dwi Fungsi ABRI pun tidak kalah tajam. Tuntutan pencabutan Dwi Fungsi ABRI masih sering terdengar dalam aksi-aksi protes, apalagi dihubungkan dengan berbagai kekerasan politik pada masa Orde Baru. Selama rezim Orde Baru berkuasa ia hanya menjadi

(10)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

alat bagi pelanggengan kekuasaan dengan menempatkannya pada kursi legislatif. Sebagai alat, penempatannya dalam kursi legislatif akhirnya melegitimasi pembatasan partisipasi politik rakyat.

Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang menumpuk selama lebih dari tiga dekade di bawah Orde Baru akibat dari ekses pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI, khususnya ABRI sebagai kekuatan politik, ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi dengan menghujat dan mendesak ABRI kembali keperan yang sebenarnya, yaitu mengurusi masalah pertahanan dan keamanan negara.

Reformasi cukup tajam menyoroti posisi ABRI, baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik. Sorotan masyarakat dalam semangat reformasi ini sangat memojokkan posisi ABRI. Luka-luka lama terungkit kembali ke permukaan. Dilain pihak ABRI juga menyadari posisinya dan telah bertekad untuk melaksanakan konsolidasi dan reformasi intern dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan zaman dengan memperbaiki serta belajar dari pengalaman masa lalu.

Tuntutan penghapusan Dwi Fungsi ABRI kemudian menjadi suatu perbincangan yang cukup hangat pada waktu itu. Masyarakat seakan-akan terpecah menjadi dua kubu yang saling mempertahankan pendapatnya. Sebagian kalangan menginginkan penghapusan Dwi Fungsi ABRI sehingga semangat reformasi dapat dilanjutkan, sedangkan sebagian lain tetap menginginkan ABRI tetap berperan serta dalam sektor politik karena ABRI masih dianggap sebagai salah satu kekuatan politik yang masih dibutuhkan untuk membangun negara. ABRI dianggap masih cukup mampu untuk membangun negara dari keterpurukan

(11)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

krisis moneter, karena ABRI dianggap lebih senior karena telah memimpin Indonesia selama lebih dari tiga puluh tahun.

Tentara yang dalam tradisi ke-militeran Indonesia akrab dengan kehidupan politik, sejak reformasi 21 Mei 1998, secara bertahap telah meninggalkan gelanggang politik. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie itulah, peran tentara kembali padajati dirinya sebagai militer yang profesional. Maka ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI dan paradigma barunya.

Dalam hal ini hubungan sipil-militer yang baik adalah demi mencapai kesepakatan bersama yang dilandasi oleh sikap saling memahami, saling mempercayai, saling menghargai dan menghormati serta tekad untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat, bangsa dan negara. Sejak saat itu, seiring dengan berbagai hujatan yang ditujukan kepadanya, tentara melakukan pembenahan diri dan mereposisi kembali perannya ditengah kehidupan sosial politik.

Dengan demikian mencermati pada hal-hal diatas maka penulis merasa tertarik dan berniat meneliti tentang pemetaan kelompok pendukung dan penentang terhadap penghapusan Dwi Fungsi ABRI.

B. Perumusan Masalah

Masa reformasi merupakan masa dimana rakyat membutuhkan perubahan total didalam negeri. Perubahan ini merujuk pada keinginan untuk membangun Indonesia baru yang bebas dari rezim otoritarianisme yang selama ini dipegang oleh kekuatan militer. Doktrin Dwi Fungsi ABRI yang selama ini menjadi

(12)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

pegangan bagi militer untuk mempertahankan kekuasaannya kemudian menjadi perdebatan dikalangan masyarakat setelah jatuhnya rezim Orde Baru.

Tuntutan terhadap pencabutan Dwi Fungsi ABRI hadir diantara berbagai tuntutan reformasi yang menginginkan perubahan total. Gerakan mahasiswa pada bulan Mei 1998 merupakan awal dari adanya keinginan untuk mereformasi peranan ABRI di dalam politik. Kalangan mahasiswa atau kelompok pro demokrasi menuntut adanya pencabutan Dwi Fungsi ABRI setelah jatuhnya rezim Soeharto. Dwi Fungsi ABRI dianggap masih merupakan bagian dari rezim Orde Baru. Oleh karena itu kemudian diinginkan adanya peninjauan ulang terhadap penting tidaknya konsep Dwi Fungsi ABRI dipertahankan.

Namun pencabutan Dwi Fungsi ABRI tentunya mendapat tantangan dari kalangan militer sendiri. Kalangan petinggi militer tidak menginginkan adanya perubahan dalam tubuh internal ABRI yang dimulai dari pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Reformasi dalam tubuh ABRI dianggap akan mengurangi kekuasaan ABRI dalam penentuan kebijakan negara. Namun apabila hal ini terus dilanjutkan, dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusuhan besar terjadi kembali pasca kerusuhan yang menuntut turunnya Soeharto.

Penghapusan Dwi Fungsi ABRI mau tak mau tetap dilakukan agar terwujud Indonesia baru sesuai dengan tuntutan berbagai pihak diantaranya kalangan akademis. Penghapusan Dwi Fungsi diharapkan dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap hubungan sipil-militer pasca Orde Baru. Dalam hal penghapusan Dwi Fungsi ini, terdapat kelompok-kelompok yang mendukung dan menolak Dwi Fungsi ini.

(13)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Maka dari itu pertanyaan penelitian adalah: “Kelompok manakah yang

mendukung dan menolak terhadap penghapusan Dwi Fungsi ABRI pada tahun 1998-2001?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk membuat pemetaan terhadap kelompok-kelompok yang mendukung dan menentang penghapusan Dwi Fungsi ABRI.

2. Untuk menjelaskan pelaksanaan konsep Dwi Fungsi ABRI yang diterapkan pada masa Orde Baru.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang konsep Dwi Fungsi ABRI sebagai rujukan dalam khasanah ilmu politik. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan realitas mengenai pemetaan antara pendukung dan penentang penghapusan Dwi Fungsi ABRI.

E. Kerangka Teori a. Batasan Militer

Militer dalam bahasa Inggris “military” adalah “the soldiers; the army,

the armed forces” 5

5

Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1974, hal. 536

yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan prajurit atau tentara; angkatan bersenjata (terdiri dari beberapa angkatan, yakni darat, laut dan atau mariner serta udara.

(14)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Perlmutter membatasi konsep militer hanya ditekankan kepada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasi yang bersifat politik, tidak memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah atau pertama.6 Pendapat lainnya, Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa personal militer, lembaga militer atau hanya perwira senior.7

Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri, seperti Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohardiprojo8 mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata, yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan Hardito,9

6 Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000, hal.25 7

Lihat Elliot A. Cohan, “ Civil Military Relation in the Contemporary World”, sebagaimana dikutip oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999

8

Lihat Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan Sipil-militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-militer, Jakarta: FISIP UI,1999

9

Bagus A. Hardito, “Faktor Militer dalam Transisi Demokrasi di ndonesia”, disunting oleh Rizal Sukma dan J. Kristiadi, dalam Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: CSIS, 1999, hal.144

membatasi pihak militer ditekankan pada para perwira profesional.

Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa pengertian militer secara universal adalah institusi yang bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu, yang menduduki posisi dalam organisasi militer.

(15)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap b. Batasan Sipil

Istilah sipil dalam bahasa Inggris “civilian” yakni (person) not serving

with armed forces”10 (seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata).

Cohan11 mendefenisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai masyarakat politik yang diwakili oleh partai politik. Sayidiman Suryohardiprojo memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua lapisan masyarakat.12

Dengan mengacu pada tulisan Cohan, Civil-Military Relation in

Contemporary World, Susilo Bambang Yudhoyono dalam makalahnya Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer berpendapat bahwa hubungan

sipil-militer dapat berupa: 1) hubungan sipil-militer dengan masyarakat secara keseluruhan; Dari berbagai pengetian diatas maka dibuat suatu pengertian secara universal bahwa istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi yang berada diluar organisasi militer. Dalam kajian ini, pengertian sipil dibatasi hanya pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis dalam kajian ini adalah praktek-praktek politik kedua belah pihak dalam memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan integrasi diantara masyarakat yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan dalam suatu negara.

c. Pola Hubungan Sipil-Militer

10

AS.Hornby, Op.cit., hal. 151

11

Elliot A.Cohan, dalam Bambang Yudhoyono., Loc.cit

(16)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

2) lembaga militer dengan lembaga lain baik pemerintahan maupun swasta; 3) para perwira senior dengan politisi dan negarawan.13

Suhartono lebih menekankan bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak militer dengan masyarakat politik yang direpresentasikan partai politik14. Sedangkan Suryohardiprojo berpendapat bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak sipil-militer yang meliputi semua jenjang pangkat dalam organisasi tersebut dengan semua lapisan masyarakat tidak hanya dengan masyarakat politik.15

Sedangkan Hardito berpendapat bahwa hubungan sipil-militer mencakup interaksi yang luas antara kalangan perwira professional dengan berbagai sekmen masyarakat.16

13

Elliot A.Cohan., Loc.cit

14

Suhartono, Hubungan Sipil-Militer Tinjauan Histografis 1945-1998, Pola, Arah, dan Perspektif, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999

15

Sayidiman Suryohardiprojo, Loc.,cit 16 Bagus A.Hardito., Loc.cit

Hubungan antara sipil dan militer di setiap negara berbeda-beda, tergantung pada system politik yang dianut negara tersebut. Misalnya di negara yang menganut system demokratik liberal dimana masyarakat cenderung memiliki kebebasan dalam politik, maka yang dianut adalah pola supremasi sipil, dimana sipil memiliki peran yang luas didalam politik dan pihak militer hanya merupakan pihak yang berfungsi sebagai alat negara untuk keamanan. Berbeda dengan yang terjadi dinegara yang menganut system otoriter, pola hubungan sipil-militer yang terjadi adalah supremasi militer. Militer memegang peranan penting dalam segala bidang kehidupan, hak-hak sipil dikekang dan hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam pemerintahan.

(17)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Menurut pendapat Hardito bahwa pola hubungan sipil-militer dapat berupa dominasi sipil atas militer atau sebaliknya maupun kesejajaran antara keduanya dalam mencapai tujuan politik suatu negara17

Sedangkan Bakti yang mengartikan hubungan sipil-militer dalam dua model : . 18 17 Ibid

18 Ikrar Nusa Bakti, Hubungan Baru Sipil-Militer, Kompas, 28 Juni 2000

Pertama, model negara-negara Barat, yaitu hubungan sipil yang menekankan “supremasi sipil atas militer” (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Kedua, model negara-negara berkembang yang menganggap bahwa hubungan sipil-militer tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Dalam negara berkembang, militer merupakan kekuatan sosial politik yang memegang peranan penting, hal ini dapat mengakibatkan konfrontasi keduanya dalam mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, yang terbaik adalah pola hubungan antara sipil dan militer yang saling sejajar dan harmoni. Militer tidak menguasai hak-hak sipil dan sipil juga tidak ikut campur dalam masalah internal militer, sehingga tidak terjadi ketidaksenangan diantara sebelah pihak.

Cohan mengklasifikasikan pola hubungan sipil-militer kedalam empat model yaitu:

a). The traditional model. Militer merupakan kelompok yang dilatih untuk menjadi militer yang professional, tidak ikut campur dalam hal-hal yang bukan wilayahnya dan hanya terfokus pada bidang pertahanan dan keamanan. Militer dalam hal ini tidak berhubungan dengan kelompok sosial disekitarnya.

(18)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

b). The constabulary model. Dalam model ini, fungsi tentara hampir sama dengan polisi yaitu sebagai pengatur ketertiban. Tentara seperti halnya polisi bersifat sebagai pengatur. Pengaturan yang dilakukan adalah demi ketertiban daripada berkonsentrasi pada peperangan.

c). The military as reflection of society. Sebuah system nasional dimana militer memainkan peran yang penting dalam membangun civil society yang dilaksanakan melalui dinas militer secara luas melalui pendidikan dan indoktrinasi yang positif.

d). The guardian military. Sebuah sintesa dimana militer berfungsi melindungi orde politik dan sosial namun tidak melibatkan diri dalam politik praktis.

Menurut Huntington19

1) Subjective civilian control (pengendalian sipil subyektif)

hubungan sipil-militer ditunjukkan melalui dua cara, yaitu:

Hubungan sipil-militer dalam hal ini dilakukan dengan cara meminimalisir kekuasaan militer. Hak-hak sipil diperbesar dan membuat militer menjadi terpolitisasi. Model ini merupakan bentuk ketidakharmonisan hubungan sipil dan militer, karena militer menjadi sangat terbatas ruang geraknya. Namun sebaliknya kekuasaan sipil menjadi sangat luas atau dengan kata lain maximizing civilian

control. Kaum sipil menjadi suatu kekuatan yang menjadi pengontrol atas militer. 2). Objective civilian control (pengendalian sipil objektif)

Menurut Huntington istilah objective civilian control mengandung; 1). Profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2) subordinasi yang efektif dari

19

Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, Cambridge: Harvard University Press, 1957, hal. 80-99

(19)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer; dan 4). Akibatnya minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer.20

Menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara bangsa modern masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang dilembagakan, yakni:

Hal ini dilakukan dengan cara memperbesar profesionalisme militer namun tidak sama sekali diminimkan kekuasaannya, melainkan tetap menyediakan kekuasaan terbatas tertentu yang hanya berhubungan dengan bidang militer. Hal ini diharapkan menjadi suatu model untuk pencapaian hubungan sipil-militer yang sehat. Atau dengan kata lain model ini dilakukan dengan cara

militarizing the military atau memiliterkan militer.

d. Tipe-tipe Orientasi Militer

Tipe-tipe orientasi militer dari setiap negara berbeda satu sama lainnya. Hal ini tergantung pada bagaimana peran pihak militer didalam pemerintahan. selain itu juga tergantung pada system politik yang dianut oleh negara tersebut. Setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya.

21

20

Samuel P. Huntington, Op.cit., hal.4

(20)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap 1. Prajurit Profesional

Perwira professional di zaman modern mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) keahlian (manajemen kekerasan) 2) pertautan (tanggung jawab kepada klien, masyarakat atau negara) 3) korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi) 4) ideology (semangat militer). Ciri-ciri ini dapat dijumpai dalam semua lembaga militer baik di negara maju ataupun berkembang.

Selain itu menurut Huntington militer yang professional mempunyai tiga ciri yaitu : Pertama, keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai. Kedua, militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional. Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara.

(21)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan.

Profesionalisme menyangkut keseimbangan antara keahlian dan tanggung jawab sebagai pelindung negara. Prajurit professional klasik timbul apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap tentara. Prajurit dengan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Lembaga militer yang merupakan unit korporasi berjuang keras untuk menjaga hubungan ini. Dalam hal ini tentara telah mempercayakan pengelolaan negara kepada sipil. Tentara dalam hal ini hanya berkonsentrasi kepada tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

2. Prajurit Pretorian

Tentara pretorian adalah tentara yang timbul akibat dari ketidakpuasan terhadap kepemimpinan sipil. Pretorian selalu diintervensi oleh kaum sipil. Oleh karena itu kemudian muncullah semacam pemberontakan dari pihak militer yang kemudian berujung pada penguasaan militer didalam segala bidang kehidupan.

Menurut Perlmutter kaum pretorian memang lebih sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau secara ideologis terpecah-pecah.22

22

Ibid., hal. 18

(22)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

permanen. Tentara dapat melakukan perubahan konstitusi dan menguasai negara. Hal ini dapat mengakibatkan pandangan yang negatif terhadap keprofesionalan tentara.

Frederick Mundel Watkins mendefenisikan pretorianisme sebagai suatu kata yang sering dipakai untuk mencirikan suatu situasi dimana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom di dalam masyarakat tersebut berkat penggunaan kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuatan.23

Perlmutter membedakan tipe tentara pretorian dalam dua kategori yaitu tipe tentara pretorian yang paling ekstrim (tipe penguasa) dan tipe yang kurang ekstrim (tipe penengah).24

Sedangkan tentara pretorian penengah tidak mempunyai organisasi politik dan tidak banyak menunjukkan minat dalam penciptaan ideology politik. Jenis tentara ini mempunyai ciri, yaitu: 1) menerima orde sosial yang ada dan tidak

Tentara pretorian penguasa mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organisasi politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Jenis tentara pretorian penguasa ini mempunyai ciri, yaitu: 1) menolak orde yang berlaku dan menentang keabsahannya, 2) tidak mempercayai pemerintahan sipil dan tidak mengharapkan akan kembali ke tangsi, 3) mempunyai organisasi politik dan cenderung memaksimumkan militer, 4) yakin bahwa pemerintahan militer merupakan satu-satunya alternatif yang dapat mengatasi kekacauan politik, 5) memvorpolitisir profesionalisme, 6) beroperasi secara terbuka dan tidak takut akan aksi pembalasan kaum sipil.

23

Frederick Mundel Watkins, Encyclopedia of the Social Science, Edisi tahun 1993 dalam Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 65

24

(23)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

mengadakan pembaharuan fundamental didalam rezim atau struktur eksekutif, 2) kesediaan untuk kembali ke tangsi setelah perdebatan dan konflik diselesaikan, 3) tidak mempunyai organisasi politik yang berdiri sendiri dan tidak berusaha memaksimumkan kekuasannya, 4) menentukan batas waktu bagi pemerintahan militer dan mengalihkan kepada pemerintahan sipil yang dapat diterima, karena mereka memandang pemerintahan tentara yang berkelamaann merugikan integritas profesinya, 5) keprihatinan pemikiran tentang peningkatan profesionalisme, 6) disebabkan karena ketakutannya terrhadap keterlibatan terbuka dalam politik, maka cenderung beroperasi dibelakang layar sebagai kelompok penekan yang mempengaruhi pemerintahan sipil untuk bereaksi terhadap tuntutan rakyat dan tidak perlu bagi militer untuk campur tangan secara terang-terangan, 7) takut terhadap pembalasan pihak politisi maupun penduduk sipil.

Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara pretorian modern jika militer telah menguasai bidang politik. Militer memegang peranan didalam eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan. Oleh karena itu, eksekutif tidak berfungsi dengan baik. Negara ini timbul karena adanya kelompok-kelompok yang bersimpati pada pihak militer sehingga terjadilah istilah political decay yang dapat merusak citra pemerintahan yang dipimpin oleh militer.

3. Tentara Revolusioner Profesional

Tentara revolusioner professional hampir sama dengan tentara pretorian. Hanya saja jika tentara pretorian melakukan intervensi secara terang-terangan dengan melakukan pengambilalihan terhadap kepemimpinan negara, maka tentara revolusioner professional melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jenis tentara

(24)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

ini memberikan dukungan terhadap kaum revolusioner yang menginginkan perubahan.

Tentara ini bukan merupakan hasil dari pendidikan militer, melainkan lahir dari panggilan negara untuk berjuang bersama revolusi. Dari pertama masuk tentara, jenis tentara ini sudah mengalami politisasi dan memiliki hubungan yang simbolik sifatnya dengan revolusi itu sendiri. Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karena itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi adalah angkatan bersenjata massal, suatu bangsa yang di persenjatai.

Tentara revolusioner professional enggan berdamai dengan rezim yang baru, terutama bila angkatan bersenjata sebelumnya memainkan peranan penting dalam perang pembebasan yang revolusioner itu. Sebelum dan selama revolusi tentara selalu setia kepada gerakan partai. Bila gerakan partai menjadi sama dengan negara atau rezim, maka ia lebih setia kepada bangsanya daripada rezimnya.25

25 Ibid., hal. 22

Kaum revolusioner mutlak harus setia kepada revolusi dan ajaran-ajarannya. Tujuan pokok rezim revolusioner adalah subordinasi segala peralatan kontrol ditangan gerakan partai dan ideologinya. Jadi ideology kaum revolusioner akan mencakup semua persyaratan prajurit professional pada saat terakhir.

Semua nilai orientasi militer tersebut merupakan hasil dari tradisi para perwira militer yang cenderung mematuhi dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas. Hal ini dilakukan oleh militer untuk mendapat keabsahan dari masyarakat luas.

(25)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap e. Masa Transisi Demokrasi: Kecenderungan Hubungan Sipil-Militer

Hubungan sipil-militer pada masa transisi merupakan sesuatu yang tidak ditentukan. Hubungan antara sipil dan militer menjadi suatu hal yang tidak pasti karena pada masa sebelumnya militer memainkan peranan penting dan mendominasi, sehingga muncullah otoritarianisme. Setelah rezim otoriter berakhir, maka kecenderungan antara keduanya menjadi suatu persoalan untuk menentukan arah pola hubungan sipil-militer.

Menurut Joseph S. Nye Jr, terdapat dua kecenderungan ekstrim dalam masa transisi menuju demokrasi:26

1. Militer yang melampaui batas dimana orang mencari militer demi keselamatan, dan akhirnya militer menjadi terpolitisasi.

2. Mengasingkan militer dari masyarakat sipil, dimana sipil melihat militer sebagai ancaman bagi stabilitas negara dan karena itu berupaya untuk meminimalisasi kekuatan dan pengaruh militer.

Dari kedua hal tersebut di atas dapat memungkinkan terjadinya hubungan sipil-militer yang saling beradu kepentingan satu sama lain. Masing-masing pihak merasa paling berhak atas negara karena merasa paling berjasa dan mempunyai kekuatan untuk mengatur negara. Militer sebagai alat pertahanan, merasa sebagai pihak yang paling dibutuhkan karena menganggap bahwa tanpa kehadiran militer di pemerintahan maka negara dipastikan akan mengalami kemunduran. Karena dengan campur tangan militerlah negara menjadi suatu negara yang aman dan bebas dari ancaman. Sedangkan sipil merasa bahwa hak untuk mengatur negara

26

Joseph S. Nye Jr, Epilog: Tradisi Liberal, dalam Larry diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-

(26)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

sudah jelas berada ditangan sipil dan militer hanya berperan sebagai penjaga keamanan saja.

Pola hubungan sipil-militer berbeda di setiap negara. Perbedaannya terletak pada seberapa jauh intervensi militer dalam penyelenggaraan negara. Jika intervensi militer terlalu jauh mencampuri urusan negara maka pola ini dianut oleh negara yang otoriter. Di negara demokrasi yang modern, keikutsertaan militer dalam penyelenggaraan negara hanya sebatas pada proses penentuan kebijakan. Hal ini pun disesuaikan hanya sebatas pada fungsi militer di bidang pertahanan. Lebih dari itu, militer tidak mempunyai urusan dalam proses politik dan semuanya ditangani oleh sipil.

Di negara-negara seperti Amerika Latin hubungan sipil-militer dilihat dari variabel-variabel indikator seperti pretasi-prestasi yang diraih oleh pemerintah sipil dan pemerintahan militer dalam bidang ekonomi dan politik. Perlmutter mengamati militer di Amerika Latin dari sudut pandang jenis orientasi militer dalam bidang politik. Intervensi militer dalam politik di Amerika latin mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Sebagian besar mengikuti “model institusional” dimana tentara sebagai sebuah institusi merebut dan meraih kekuasaan pemerintah.

Tindakan institusional di Amerika Latin dalam mematikan supremasi sipil masih sangat kuno. Fungsi Departemen Pertahanan tidak lebih hanya sebagai kantor pusat bagi manajemen personal dan pelayanan kebutuhan dasar seperti perawatan personel militer. Siapa yang mengontrol departemen pertahanan tidak jelas apakah sipil atau militer. Supremasi sipil di negara Amerika Latin

(27)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

mengalami hambatan yang sangat besar karena elit sipil kurang memahami mengenai isu-isu militer, sehingga pengawasan terhadap militer tidak efektif.

Oleh karena itu cara yang baik untuk mengurangi ketegangan hubungan sipil-militer pada masa transisi adalah dengan penetapan tugas-tugas, tanggung jawab dan batasan-batasan yang jelas antara pemimpin sipil dan militer. Menurut Joseph S. Nye Jr., iklim yang sehat dalam menjaga hubungan sipil-militer dalam masa transisi adalah dengan mempraktekkan tradisi liberal, yakni: 1) angkatan bersenjata harus tunduk pada peraturan hukum dan wajib menghormati kewenangan sipil; 2) angkatan bersenjata tidak memihak dan tetap berada di atas semua kepentingan politik; 3) pihak sipil harus mengakui bahwa angkatan bersenjata merupakan alat yang sah dari negara demokrasi; 4) pihak sipil memberikan dana dan penghargaan yang layak kepada militer untuk mengembangkan peran dan misi militer; 5) pihak sipil harus belajar mengenai isu-isu pertahanan dan budaya militer.27

27

Ibid., hal. 237

Salah satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah menjauhkan kekuatan militer dari urusan-urusan politik, mengembalikannya ke barak, dan menjadikannya sebagai alat negara yang profesional. Tetapi, pada kenyataannya, upaya ini bukanlah sesuatu yang mudah. Terutama di negara-negara sedang berkembang, militer menampakkan hasrat yang sangat kuat untuk tetap melakukan intervensi politik. Di Indonesia campur tangan politik militer ke dalam wilayah politik terjadi sudah sekian lama dan pada kenyataannya memang menyebabkan proses demokratisasi menjadi terhambat bahkan mati.

(28)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap F. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan tujuan menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai variable yang timbul dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian.28

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka yakni dengan cara pengumpulan data dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen serta sarana informasi lainnya yang tentu saja berhubungan dengan masalah penelitian ini.

Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan sejarah. Metode deskriptif ini digunakan dengan cara menggunakan teori-teori yang berhubungan dengan hubungan sipil-militer.

Usaha mendeskriptifkan pemetaan kelompok pendukung dan penentang penghapusan Dwi Fungsi ABRI ini pada tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan peranan Dwi Fungsi ABRI pada masa orde baru secara lengkap agar jelas keadaan atau kondisinya. Pada umumnya penelitian deskrpitif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah-langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.

b. Teknik Pengumpulan Data

29

28

Burhan Burgin, Metode Penelitian Sosial, Jakarta : LP3ES, 1995, hal.33

(29)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap c. Teknik Analisa Data

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi. Data-data yang terkumpul, baik data yang berasal dari kepustakaan dari sumber lain akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis kemudian dieksplorasi secara mendalam dengan cara membuat kriteria terhadap kelompok yang mendukung dan menentang Dwi Fungsi ABRI, misalnya kelompok yang mendukung berasal dari luar lingkungan ABRI yaitu mahasiswa yang menginginkan perubahan total setelah jatuhnya Soeharto, sedangkan kelompok yang mendukung berasal dari kalangan internal ABRI seperti para petinggi ABRI yang telah lama menduduk i jabatan politis.

d. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, serta untuk mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : KONSEP DAN PRAKTEK DWI FUNGSI ABRI

Menguraikan tentang penjelasan konsep Dwi Fungsi ABRI yang dilaksanakan pada masa Orde Baru serta menjelaskan dominasi militer dalam politik.

(30)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

BAB III : TUNTUTAN PENGHAPUSAN DWI FUNGSI ABRI

PASCA ORDE BARU

Menguraikan tentang proses penghapusan Dwi Fungsi ABRI serta menjelaskan pemetaan kelompok-kelompok pendukung dan penentang konsep Dwi Fungsi ABRI tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang berguna terkait dengan hasil penelitian.

(31)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap BAB II

KONSEP DAN PRAKTEK DWI FUNGSI ABRI PADA MASA ORDE BARU

A. Sejarah Keterlibatan Militer Dalam Politik

Proses pembentukan kekuatan bersenjata melawan penjajah berasal dari pemuda yang mempunyai semangat dan keberanian yang tinggi serta siap berkorban untuk membela bangsa dan negara. Pada awalnya dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terbagi lagi dalam Angkat Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama, kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak di bidang keamanan dan pertahanan di Indonesia.

Sejarah lahirnya peran politik tentara di Indonesia pada awalnya dikarenakan perang melawan penjajah Belanda. Pada masa itu, tentara tidak hanya memgang peranan sebagai fungsi militer saja tetapi juga fungsi diluar militer. Banyak para perwira militer yang ikut aktif dalam urusan masalah ekonomi dan semua masalah diluar militer. Hal ini mengakibatkan semakin jauhnya intervensi militer dalam politik. Lama-kelamaan membuat militer merasa paling berhak

(32)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

untuk ikut mengurusi masalah pemerintahan karena dianggap paling berjasa memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah.

Kenyataan diatas menunjukkan bahwa sejak awal, ciri utama tentara Indonesia ialah turut berpartisipasi dan berperan diluar bidang politik. Ini disebabkan oleh kelemahan struktural tentara itu sendiri, yang belum mempunyai aturan yang jelas mengenai peran dan fungsi mereka. Hal ini memicu perbedaan pendapat, perselisihan, konflik, dan perebutan pengaruh antara kelompok pejuang bersenjata dengan pihak pemerintah atau politisi.

Selain untuk kekuasaan, salah satu unsur yang mendorong berlangsungnya militerisme adalah ketidakpercayaan para elit militer terhadap kemampuan para politisi sipil. Artinya bahwa perwira-perwira militer yang berorientasi dan berambisi dalam politik akan melakukan intervensi jika pemerintahan sipil gagal menjaga stabilitas politik dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang memuaskan. Kegagalan ini akan mengurangi legitimasinya dan membuka kesempatan kepada militer untuk melakukan intervensinya. Para politisi sipil, sebagaimana dicontohkan dalam era Soekarno, menurut persepsi Orde Baru tidak mampu membangun negara. Orang-orang sipil juga tidak mempunyai organisasi yang rapi dan penuh disiplin sebagaimana ABRI, padahal pembangunan membutuhkan pengorganisasian yang baik.

Keterlibatan militer dalam bidang nonmiliter disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari: 1) nilai-nilai dan orientasi para perwira militer, baik secara individu maupun kelompok, 2) kepentingan-kepentingan korps material militer. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari kondisi-kondisi sosial politik dalam negeri.

(33)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Secara umum ada lima alasan militer memilih terlibat dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.30

Keempat, desakan dari internal militer untuk mengambil alih ataupun ikut terlibat dalam politik pemerintahan, karena pemerintahann yang berkuasa cenderung korup dan membawa bangsa kearah yang membahayakan keutuhan dan integrasi bangsa. Desakan ini bentuknya beragam, namun secara umum ada Pertama, militer beranggapan bahwa keterlibatannya dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara sebagai sebuah hak sejarah. Hak yang menjadi legitimasi militer untuk terlibat dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara adalah bahwa militer memiliki ‘saham’ atas lahirnya sebuah Negara. Alasan ini biasanya menghinggapi negara yang proses kelahirannya didahului oleh perjuangan kemerdekaan. Indonesia adalah salah satu negara yang militernya haus akan kekuasaan politik, karena alasan hak sejarah, hal ini dipertegas dengan adanya konsep matang Jalan Tengah yang dirumuskan Nasution, dan kemudian ‘dipatenkan’ dengan Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru.

Kedua, komitmen untuk menjaga integrasi bangsa dan Negara. Komitmen ini selaras dengan keinginan dari militer untuk dapat dilibatkan dalam segala yang berhubungan dengan integrasi bangsa. Ketiga, ajakan dan lemahnya politisi sipil. Maraknya keterlibatan militer dalam pemerintahan disebabkan karena ajakan dan lemahnya politisi sipil. Kelemahan politisi sipil tersebut ditujukan dengan membangun dan mengajak militer masuk ke dalam gelanggang politik. Kelemahan ini makin mengemuka apabila makin meruncingnya konflik antar politisi sipil sendiri.

30

(34)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

dua pola, yakni; melakukan kudeta atau pengambilalihan kekuasaan, dan melakukan negoisasi dengan politisi sipil. Akan tetapi dari dua pola tersebut banyak yang dilakukan oleh militer untuk ikut terlibat dalam politik pemerintahan dengan melakukan kudeta.

Kelima, bila rakyat menghendaki. Alasan ini terasa klise, namun kenyataannya bahwa banyak dari masyarakat di belahan dunia lainnya masih berharap agar militer dapat meluruskan dan membuka ruang kesejahteraan dan ketentraman bagi masyarakat. Keinginan rakyat agar militer terlibat dalam politik pemerintahan merupakan realitas dari trauma masyarakat akibat ketidakjelasan arah pemerintahan sipil membawa bangsa dan Negara ini. Kehendak rakyat ini pada akhirnya akan menjadi boomerang bagi keterbelengguan akibat pola pemerintahan yang menutup sama sekali ruang politik bagi masyarakat.

Keterlibatan militer dalam penyelenggaraan Negara, baik langsung maupun tidak langsung telah memberikan efek negatif bagi berkembangnya demokrasi di Indonesia, maupun belahan dunia lainnya. Kondisi ini membuat irama demokrasi menjadi tidak dalam porsi yang selaras dengan hakikat penyelenggaraan Negara. Watak tentara yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip demokrasi membuat Negara yang memiliki kecenderungan keterlibatan militer yang tinggi seperti Indonesia terkungkung oleh rezim otoriter; baik yang didukung oleh militer ataupun jenderal militer yang menjadi rezim itu sendiri.

Masuknya tentara dalam politik kemudian menjadikan tentara memiliki peranan ganda. Peranan tentara dalam politik dan pertahanan ini kemudian dikukuhkan menjadi suatu doktrin yang dinamakan Dwi Fungsi ABRI. Artinya peran ABRI tidak hanya terbatas dalam bidang pertahanan (peranan militer) dan

(35)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

keamanan saja tetapi juga dalam bidang sosial politik, atau lebih umum lagi berperan di banyak bidang diluar bidang pertahanan dan keamanan itu sendiri.

B. Konsep Dwi Fungsi ABRI

Militer adalah suatu alat pertahanan negara sebenarnya telah mempunyai konsep yang baik dalam perannya menjaga stabilitas Politik dan keamanan di dalam negeri, yaitu Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI merupakan sebuah konsep dasar militerdalam menjalankan peran sosial politik mereka di negeri ini. Dwi Fungsi ABRI yang diketahui masyarakat di luar lingkungan ABRI adalah sebagai sebuah bentuk militerisme, campur tangan militer dalam permasalahan politik, campur tangan militer dalam permasalahan-permasalahan negara lainnya yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dwi Fungsi ABRI dilihat sebagai sebuah intervensi militer dan legitimasi militer untuk melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat. Dwi Fungsi berarti masuknya militer dalam posisi-posisi/jabatan-jabatan penting dan mengurangi jatah orang-orang sipil. Keadaan demikian membuat masyarakat sipil/civil society mengalami kemandekan dalam pembinaan SDM, kaderisasi dan kepemimpinan. Sipil dianggap masih bodoh dan belum mampu memimpin atau mengelola negara.

Konsep dwifungsi TNI pertama kali muncul dalam bentuk konsep "Jalan Tengah" yang diusulkan oleh Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu, kepada Presiden Soekarno dalam peringatan Ulang Tahun Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah pada 13 November 1958 yang memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.

“Posisi TNI bukanlah sekedar alat sipil seperti

(36)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap memegang kekuasaan negara. Ia adalah sebagai suatu kekuatan

sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya. Ia berbeda dengan sifat individualistis disatu pihak dan totaliter dipihak lain, seperti yang dikenal di dunia Barat dan Timur.

Kalau melihat kata Dwi-Fungsi, dwi dalam bahasan Sanskerta berarti dua, secara konotatif berarti ganda. Dwi Fungsi adalah suatu doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa militer memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.

ABRI kemudian akan mengambil “jalan tengah” diantara kedua hal tersebut. ABRI tidak melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta, tetapi tidak pula menjadi penonton dalam arena politik. Perwira ABRI harus diberi kesempatan melakukan partisipasinya didalam pemerintahan atas dasar individu, artinya tidak ditentukan oleh institusi ABRI.31

“Jalan tengah” yang dimaksud, yaitu jalan tengah yang memadukan antara perwira militer professional yang menolak keterlibatan militer dalam politik dan perwira yang menginginkan militer mendominasi kehidupan politik32. Dwi Fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu membahu dengan kekuatan rakyat lainnya.33

31

Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hal. 116

32

Stanley Ady Prasetyo dan Toriq Hadad, Jendral Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup

A.H Nasution, Jakarta: Pusat Data Analisa Tempo, 1998, hal. 116

33

Mashudi Noorsalim, Tentang Militerisme di Indonesia: Kampanye Anti-Remiliterisme di Indonesia, Wacana, 2004, hal. 180

Secara konseptual Dwi Fungsi ABRI hakikat sebenarnya adalah merupakan suatu pemikiran yang wajar. Konsep Dwi Fungsi ABRI pada hakikatnya pengabdian kepada bangsa dan negara secara total, baik di bidang pertahanan dan keamanan (Hankam) maupun bidang non-Hankam.

(37)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Dalam implementasinya, konsep Dwi Fungsi ABRI khususnya pengabdian di bidang Hankam hanya diaktualisasikan pada tataran kebijakan (proses perumusan kebijakan nasional) yang diwujudkan melalui sumbangsih pemikiran. Pemikiran (ide, gagasan, pendapat, dan pandangan) yang diberikan ABRI tersebut terutama dari sudut pandang Hankam terhadap berbagai kebijakan nasional, sehingga kebijakan tersebut akan sempurna karena telah melalui pertimbangan yang komprehensif.

Namun, dalam praktiknya di lapangan pada masa lalu, ternyata terjadi penyimpangan terhadap konsepsi semula. Salah satu di antara peran non-pertahanan yang dimainkan militer adalah peran sosial-politik. Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Perwira-perwira militer, termasuk yang aktif, mulai dari menjadi kepala desa/lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai menjadi menteri. Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari kepala dinas, kepala kantor departemen, inspektur jenderal, direktur jenderal, sampai sekretaris jenderal.

C. Landasan Dwi Fungsi ABRI

Dwi Fungsi ABRI mempunyai landasan–landasan yang dapat menguatkan posisinya dalam politik. Landasan tersebut diantaranya:

1. Tap MPR(S) No. II/MPRS/1960 dibuat sebelum masa orde baru dan yang menyebutkan:

(38)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap (i) tentara dan polisi diikutsertakan dalam proses produksi dengan tidak

mengurangi tugas utama msing-masing; (ii) golongan-golongan di dalam masyarakat wajib berusaha mencapai tujuan nasional dan tak terkecuali juga tentara dan polisi turut memikul tanggung jawab mereka terhadap negara; (iii) peran dan kegiatan tentara dan polisi dibidang produksi membuat pendekatannya dengan rakyat menjadi lebih intensif dalam proses pembangunan, terutama dalam industrialisasi.

Ketetapan MPRS diatas telah memberikan peluang bagi militer untuk ikut serta dalam masalah-masalah ekonomi, produksi dan industrialisasi. Itu jelas posisi dan peran yang sangat luas bagi militer, yang memerlukan tenaga dan pikiran yang tidak ringan. Dan tentu saja akan merugikan bagi usaha meningkatkan profesionalismenya kalau militer melakukan tugas-tugas di luar profesinya.

2. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan kemanan negara. Pada pasal 26 menyatakan: “ Angkatan Bersenjata

mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial.”

Dalam UU ini tidak disebutkan “politik” tetapi hanya sosial. Namun dalam praktek, ABRI menjadi kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik.

3. UU No. 20 tahun 1982 pasal 28, disebutkan:

“…..Angkatan Bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan

dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan,

(39)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan UUD1945 dalam segala kegiatan dan usaha pembangunan nasional”.

4. UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Pasal 3 ayat 2 menyatakan bahwa “Prajurit ABRI bersumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”

Ini berarti tentara harus setia kepada pemerintah selama pemerintah setia dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, membela, melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, serta didukung oleh rakyat.

5. UU No. 2 tahun 1988 Pasal 6 yang berbunyi “Prajurit Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia mengemban Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan sosial politik.

6. TAP MPR RI NO. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian RI. a. Pasal 5 no (5) tentang keikutsertaan TNI dalam penyelenggaraan negara,

dinyatakan bahwa: “Anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan.

b. Pasal 10 no. (3) tentang keikutsertaan kepolisian negara RI dalam penyelenggaraan negara, dinyatakan bahwa: “Angggota kepolisian negara RI dapat menduduki jabatan diluar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

7. UU NO.34 tahun 2004 Pasal 47 tentang TNI, menyebutkan:

(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri dari dinas aktif keprajuritan.

(40)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

(2) Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi Koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional dan mahakamah agung.

8. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI

Pasal 28 nomor (3) dinyatakan bahwa anggota kepolisian negara RI dapat menduduki jabatan diluar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pension dari dinas kepolisian.

Dilihat dari penerapan landasan tersebut maka secara tidak langsung membuat militer memperoleh legalitas pengakuan dalam fungsinya sebagai kekuatan sosial politik. Hal tersebut telah memberi peluang bagi militer untuk ikut serta dalam masalah-masalah non militer, tentu saja akan merugikan bagi usaha untuk meningkatkan profesionalismenya jika militer melakukan tugas-tugas diluar profesinya.

Apabila rakyat sebagai pemilik ABRI dan pemilik kedaulatan di negara ini menghendaki peran ABRI hanya sebagai alat pertahanan negara saja, maka fungsi sosial politik ABRI harus ditiadakan, dan hal itu tidak mesti berakibat musnahnya negara kesatuan Republik Indonesia. Landasan tersebut diatas membawa kesan bahwa Dwi Fungsi ABRI khususnya kesempatan bagi anggota ABRI untuk bekerja ditempat lain diluar institusi ABRI. Dari sinilah awalnya timbul persepsi masyarakat bahwa Dwi Fungsi ABRI hanya merupakan usaha memperebut jabatan diluar bidang pertahanan oleh anggota ABRI.

(41)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Namun, setelah jatuhnya Orde Baru, ABRI kemudian melakukan pembenahan diri untuk mendukung berlangsungnya proses reformasi. Kemudian dikeluarkan undang-undang yang meletakkan posisi militer dan Kepolisian pada posisi yang sebenarnya. Undang-undang tersebut merupakan suatu pencerahan baru dikalangan masyarakat sehingga ABRI dapat memulihkan kembali nama baiknya yang sempat buruk pada masa Orde Baru. Setidaknya landasan tersebut memberikan kelegaan bahwa militer tidak dapat lagi ikut berpolitik praktis. Jika individu militer ingin ikut serta dalam proses politik, maka atribut kemiliterannya harus dicabut sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa militer kembali ikut serta dalam politik seperti yang terjadi pada masa Soeharto.

D. Praktek Dwi Fungsi ABRI Pada Masa Orde Baru

Di masa lalu, terutama pada masa Orde Baru, peran militer jauh melampaui peran spesifiknya di bidang pertahanan nasional. Biasanya, keterlibatan militer di bidang politik disebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer di Indonesia sehingga istilah "intervensi" tampak teramat sederhana dan tidak dapat mencerminkan besarnya skala dan cakupan peran militer tersebut. Pada sisi lain, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, para politisi cenderung memanfaatkan militer untuk kepentingan politik.

Setelah Orde Baru berdiri, salah satu bentuk perwujudan fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial politik adalah penugasan prajurit ABRI dalam lembaga, instansi, badan atau organisasi di luar jajaran ABRI. Alasan utama pada awalnya adalah untuk mengamankan bangsa dari segala pengaruh komunisme. Tetapi

(42)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

selanjutnya, penugasan itu dimaksudkan pula untuk menyukseskan program pembangunan Orde Baru.

Selain itu, militer mengisi kursi di lembaga legislatif, baik di DPR maupun DPRD, yang diperoleh melalui penjatahan, bukan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Jumlah kursi di DPR yang dijatahkan untuk militer pernah mencapai 100 kursi, kemudian dikurangi menjadi 75, dan sekarang menjadi 38. Berapapun jumlahnya, praktek ini telah melecehkan norma demokrasi yang mengharuskan semua kursi legislatif diisi melalui pemilihan umum.

Tidak cukup sampai di situ saja, militer juga hadir di badan-badan ekonomi seperti badan usaha milik negara dan koperasi. Organisasi politik, organisasi kepemudaan, dan organisasi kebudayaan serta olahraga juga terbuka bagi militer. Praktek pengkaplingan jabatan-jabatan sipil yang diberikan kepada militer, baik di tingkat pusat maupun daerah, berjalan lancar.

Lebih lanjut, praktek yang tidak selaras dengan spesialisasi fungsi militer di atas ditopang dan dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran-tafsiran historis, ideologis, dan konstitusional. Disebutkan bahwa peran yang dominan itu selaras dengan fakta bahwa militer adalah tentara rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Konsekuensinya, dikotomi sipil-militer tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia dan kedudukan militer dalam jabatan-jabatan sipil dapat dibenarkan.

Kepemimpinannya menjadi kukuh dengan masuknya budaya militer dalam kehidupan sipil, melalui peran sosial politiknya. Secara struktural, organisasi ABRI disusun mengikuti struktur organisasi pemerintahan sipil, mulai dari Bintara Pembina Desa atau Babinsa di tingkat Kelurahan, Komando Rayon Militer (Koramil) di tingkat Kecamatan, Komando Distrik Militer (Kodim) di

(43)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

tingkat Kabupaten/ Kotamadya, Komando Resor Militer (Korem) di tingkat Kadipaten/ Karesidenan, dan Komando Daerah Militer di tingkat Propinsi.34

a. Pendekatan Keamanan Sebagai Ciri Orde Baru

Peran militer yang dominan seperti terjadi pada masa Orde Baru tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang negatif dan destruktif dilihat dari pembinaan tatanan politik yang demokratis. Yang timbul bukan hanya dominasi militer di birokrasi sipil tetapi juga militerisasi masyarakat sipil, misalnya pembentukan resimen mahasiswa dan lembaga-lembaga paramiliter sebagai bagian dari organisasi massa. Sebagai akibatnya, di kalangan masyarakat sipil muncul budaya dan perilaku yang militeristis.

Militer dijadikan alat kekuasaan oleh Soeharto, yang mengakibatkan masyarakat kurang simpati kepada ABRI. Soeharto mendayagunakan peran sosial politik ABRI untuk mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi dengan menciptakan format politik Orde Baru. Beberapa karakteristik format politik Orde Baru yang menonjol adalah seperti: politik sentralisasi di tangan eksekutif; pendekatan keamanan; dominasi militer dengan pendayagunaan dan perluasan dwi fungsi ABRI; rendahnya apresiasi terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia; otoritas birokrasi yang berlebihan.

Praktek Dwi Fungsi menjadi tumbuh subur sejak Orde Baru mulai berkuasa, yaitu dengan diterapkannya “pendekatan keamanan”. Pendekatan keamanan ini diberlakukan mengingat dua hal, yaitu: Pertama, suasana pasca G30S/PKI yang masih menuntut dilaksanakannya segala bentuk aktivitas keamanan diseluruh sektor dan seluruh wilayah dari bahaya komunis. Kedua,

34

(44)

Ervina Juliani : Militer Dan Politik: (Studi Tentang Kelompok Pendukung Dan Penentang Terhadap

Orde Baru bertekad melaksanakan program pembangunan yang kesuksesannya menuntut adanya stabilitas keamanan.

Atas nama keamanan, Orde Baru kemudian memberikan tanggung jawab ini kepada ABRI. ABRI kemudian mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utama yang ingin dipenuhi dengan dibentuknya ABRI itu sendiri adalah untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara. Namun yang dirasakan masyrakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI sering kali menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan tanpa melakukan pendekatan yang lebih halus terlebih dahulu. Lama-kelamaan masyarakat yang menerima perlakuan seperti itu melihat ABRI hanya sebagai alat kekerasan dan kekuasaan, karena ABRI menghalalkan segala cara agar dapat mempertahankan kekuasaannya. ABRI jadi terlihat sebagai rekan penguasa dibanding institusi militer yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara.

Pada masa Orde Baru ini, meskipun stabilitas nasional mantap dan terkendali, namun hubungan sipil-militer sudah bergeser dari pola kesetaraan atau kesejajaran antara sipil dan militer cenderung menjadi pola dominasi militer atas sipil. Pendekatan keamanan yang represif dengan menggunakan segenap kekuatan militer untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan, tidak memberikan peluang masyarakat sipil untuk ikut andil dalam proses politik kenegaraan. Keberadaan partai politik oposisi dan organisasi sosial masyarakat tidak lebih hanya dianggap sebagai rekayasa demokrasi dan legalisasi pelengkap system politik yang ada.

Pendekatan keamanan telah menjadi alasan untuk membenarkan kewenangan pemerintah dalam merepresi rakyat, sementara rakyat dibatasi hak

Referensi

Dokumen terkait

Bidang bahasan kegiatan Kerja Praktek yang ingin kami lakukan pada, UNOCAL INDONESIA COMPANY dibatasi pada masalah proteksi terhadap pembangkitan listrik, sesuai

Panitia Pengadaan Pekerjaan Jasa Konsultansi adalah satu Panitia yang terdiri dari pegawai-pegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa

Adequancy Ratio (CAR), Loan To Deposite Ratio (LDR), Return On Equity (ROE), dan Devident Per Share (DPS) Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa

Dengan demikian, GMIT secara khusus gereja-gereja di Kecamatan Amanuban Tengah perlu berperan aktif untuk mendalami dan memperkenalkan prinsip dan nilai perkawinan

target market (pembeli) Slank. Ini berarti Slank juga harus memiliki.. identitas yang sesuai dengan karakteristik target pasarnya. Apabila dilihat kembali target utama pasar

Berdasar da- ta tersebut dilakukan uji-t dan dibuat tabulasi untuk mengetahui musim panen buah pala, produksi ku- mulatif, dan variasi produksi per pohon 33 tipe pala, baik dalam

Pada tahap kegiatan distribusi air dampak penting diperkirakan akan terjadi terhadap komponen lingkungan khususnya keresahan masyarakat yang tidak memperoleh

Jika pagi hari anis selalu datang menjemput ajeng untuk berangkat sekolah bareng, anis adalah teman ajeng sedari ajeng masih SD mereka selalu bersama saat senang atau pun