Bab 3 Analisis Data
3.1 Analisis Kasus-Kasus Dampak Depresi Terhadap Fenomena Netto Jisatsu Di Jepang
Dalam sub-bab ini penulis akan menganalisis mengenai dampak depresi terhadap fenomena netto shuudan jisatsu (ネット集団自殺) di Jepang berdasarkan lima kasus yang penulis temukan.
3.1.1 Analisis Kasus dari artikel Japan Agonies over Internet Suicide Pact (31 Mei 2003)
Kasus pertama dari artikel Japan Agonies over Internet Suicide Pact oleh Shane Green, The Age, 31 Mei 2003. Pada tanggal 24 Mei 2003, polisi menemukan tiga korban bunuh diri yang telah meninggal selama berhari-hari di sebuah apartemen di Kyoto. Ketiga korban adalah seorang pria berusia tiga puluh tahun dengan dua orang wanita berusia dua puluh satu tahun dan delapan belas tahun.
Dalam apartemen tersebut ditemukan bukti-bukti seperti ruangan yang tersekat dengan lakban dan senjata yang paling mematikan yaitu tempat sisa pembakaran arang, yang membuktikan para korban meninggal karena menghirup terlalu banyak karbon monoksida.
Para korban yang awalnya tidak saling mengenal, akhirnya terhubung melalui internet dalam sebuah situs bagi mereka yang menginginkan bunuh diri dan saling mengirim e-mail. Ikatan yang menghubungkan ketiga korban adalah rasa kesepian.
Wanita yang berusia dua puluh satu tahun berasal dari salah satu kota di Nagoya, sedangkan wanita yang berusia delapan belas tahun berasal dari perfektur Gunma, bagian utara Tokyo. Motif para korban terlihat dari pesan kematian yang ditinggalkan oleh pria berusia tiga puluh tahun, yaitu bahwa dia ingin meninggal karena dia hanya dapat melihat masa depan yang suram dalam dunia ini.
Analisis:
Dari kasus di atas, penulis menganalisis bahwa para korban menderita depresi menurut teori Short (2005: 70) yang menyatakan bahwa, depresi merupakan bentuk lain dari kesedihan. Depresi adalah kekalahan di dalam diri, dimana perasaan cinta kepada diri sendiri telah lenyap dan anda merasa tidak akan mendapatkannya lagi. Para korban merasa putus asa dan tidak berdaya sehingga bunuh diri merupakan suatu kenyataan yang terjadi dalam kasus-kasus depresi (Semiun, 2005: 436).
Hal-hal yang menjadi penyebab dari kasus bunuh diri di atas adalah stres sebagai reaksi terhadap kehilangan dan para korban menyadari bahwa jurang antara real-self dan ideal-self tidak dapat dijangkau, karena itu mereka menyerah dalam kesedihan (Semiun, 2005: 424). Para korban merasa putus asa karena stres yang diakibatkan oleh masalah keseharian dan sosial, hal itu membuat mereka sadar bahwa jurang antara real-self dan ideal-self yang mereka inginkan terlampau jauh, membuat mereka kehilangan harapan untuk hidup.
Ketiga korban dalam kasus di atas menunjukkan adanya gejala-gejala atau simtom-simtom yang berhubungan dengan masalah-masalah suasana hati. mereka merasa tertekan, murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram. Orang-orang yang
mengalami depresi sering juga merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Selain itu tampak juga simtom-simtom kognitif seperti pesimisme dan motivasi yang kurang. Orang yang mengalami depresi berpendapat bahwa ia tidak akan mampu memecahkan masalah-masalahnya dan segala sesuatu yang dilakukannya hanya akan memburuk. Karena mereka tidak percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka, maka orang-orang yang mengalami depresi tidak melihat alasan bahwa mereka memecahkan masalah-masalah mereka atau meminta bantuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Semiun, 2005: 413-415).
Kebanyakan orang menderita depresi ringan dari waktu-waktu, namun untuk sejumlah orang keadaan tersebut mungkin berat dan berlangsung untuk waktu yang lama (Hall et al, 1993: 277). Para korban dalam kasus di atas juga pasti mengalami stres dalam kesehariannya, dalam kerja maupun dalam kehidupan sosialnya, akan tetapi depresi yang diderita sangat berat dan berlangsung lama, bahkan lebih lama dari penyebab yang sebenarnya dan mereka tidak dapat melepaskan diri dari keadaan depresi tersebut, sehingga dapat dikatakan para korban menderita depresi abnormal (Semiun, 2005: 405-406), selain itu para korban juga menderita depresi mayor, dimana mereka merasa putus asa dan kehilangan harapan untuk hidup (Wade dan Tavris, 2007: 335), terlihat dari keputusan akhir yang dipilih, yaitu mencabut nyawa mereka sendiri.
Berdasarkan teori Machida dan Ueda (2006: 143) yang menjelaskan, netto shuudan jisatsu (ネット集団自殺) adalah sebuah ide dimana sebisa mungkin banyak orang yang melakukan bunuh diri bersama, sehingga tidak akan ada yang dapat menghindar, penulis menganalisis bahwa kasus di atas merupakan kasus netto shuudan jisatsu (ネット集団 自殺). Para korban mencari teman yang memiliki nasib serta keadaan yang sama melalui
internet dan membentuk sebuah komunitas tertutup, dimana mereka dapat saling membagi segala hal, seperti metode-metode untuk bunuh diri. Mereka lebih memilih melakukan hal ini, daripada harus berkonsultasi dengan petugas sosial, sehingga bunuh diri sangat mungkin terjadi.
Tabel 3.1
Analisis Kasus Japan Agonies Over Internet Suicide Pact
Keterangan: P: korban pria W: korban wanita (): usia
Jumlah korban dalam kasus di atas ada tiga jiwa, seorang pria berusia 30 tahun dan dua orang wanita berusia 21 tahun dan 18 tahun. Para korban menderita depresi terlihat dari pesan kematian yang ditinggal oleh salah seorang korban yang menyebutkan bahwa ia hanya dapat melihat masa depan yang suram. Hal ini memperlihatkan bahwa para
P (30) W (21) W (18)
Depresi
Netto Shuudan Jisatsu (ネット集団自殺)
Simtom-simtom depresi Macam-macam depresi Simtom-simtom kognitif Pesimisme dan motivasi yang kurang Depresi
mayor Depresi
abnormal
Rasa putus asa dan kesepian yang berkepanjangan Perubahan emosi yang mengakibatkan munculnya keinginan bunuh diri
korban lelah dengan masa dengan masa depan, sehingga muncullah simtom pesimisme dan motivasi yang kurang. Depresi yang diderita para korban adalah depresi mayor karena mereka merasa putus asa dan kehilangan harapan. Lamanya depresi dan ketidakdapatan mereka untuk lepas dari depresi yang mereka derita menjadikan depresi yang mereka alami adalah depresi abnormal. Dengan adanya media komunikasi seperti internet akhirnya menyatukan mereka bertiga dan berakhir pada bunuh diri bersama yang disebut netto shuudan jisatsu (ネット集団自殺).
Jadi kesimpulan yang penulis dapatkan, ketiga korban yang melakukan bunuh diri bersama merupakan penderita depresi yang diakibatkan dari rasa kesedihan dan rasa keputusasaan, menyebabkan rasa pesimis dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Dengan suaasana hati dan rasa pesimis, motivasi mereka untuk hidup pun berkurang, karena mereka tidak percaya bahwa masalah mereka dapat terselesaikan dan dengan munculnya media komunikasi seperti internet, mempertemukan mereka dalam sebuah komunitas bunuh diri bersama, yang menyebabkan mereka memutuskan untuk bunuh diri daripada harus berkonsultasi dengan petugas sosial.
3.1.2 Analisis Kasus dari artikel Two People Die in Web Suicide Pact (22 Agustus 2004)
Kasus kedua diambil dari artikel Two People Die in Web Suicide Pact, Japan Times, 22 Agustus 2004. Pada hari jumat tanggal 20 Agustus 2004, polisi menemukan seorang wanita dan pria meninggal dalam sebuah mobil di Saitama, yang dipercaya merupakan kasus bunuh diri yang telah direncanakan melalui media internet.
Polisi mengidentifikasi bahwa kedua jenazah merupakan seorang pria berusia tiga puluh empat tahun dari Shiki dan seorang wanita berusia tiga puluh enam tahun yang merupakan pegawai kantor di yamato, perfektur Kanagawa.
Polisi menduga penyebab kematian para korban adalah terlalu banyak menghirup karbon monoksida karena ditemukan alat pembakaran arang di dalam mobil. Beberapa hari setelah ditemukannya kedua jenazah, polisi menemukan pesan kematian yang ditinggalkan oleh korban pria yang melakukan bunuh diri di dalam rumahnya. Pesan tersebut menjelaskan bahwa dia telah mengalami jalan buntu dalam pekerjaannya dan pertama kali bertemu dengan korban wanita yang meninggal bersamanya dalam sebuah situs internet yang memang tujuan utamanya adalah untuk mengumpulkan orang-orang yang tertarik untuk bunuh diri bersama.
Analisis:
Dari kasus di atas, penulis menganalisis bahwa depresi merupakan penyebab bunuh diri berdasarkan teori Short (2005: 70), yang menjelaskan bahwa depresi merupakan bentuk lain dari kesedihan. Depresi adalah kekalahan di dalam diri, dimana perasaan cinta kepada diri sendiri telah lenyap dan anda merasa tidak akan mendapatkannya lagi. Dengan hilangnya rasa cinta kepada diri sendiri, mereka menjadi putus asa dan tidak berdaya dalam menjalani hidup, sehingga bunuh diri menjadi sangat mungkin terjadi (Suryani, 2008: 13).
Depresi yang diderita para korban di atas disebabkan oleh perasaan stres yang diakibatkan oleh kehilangan, seperti kehilangan semangat dan harapan (Semiun, 2005: 418). Selain itu dapat disebabkan juga oleh para korban yang merasa letih oleh depresi
berkepanjangan dari pekerjaan yang mereka lakukan, sehingga muncul depresi yang serius dan mereka menjadi tidak dapat berpikir dengan jernih untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi (Papilia et al, 2007: 579-570).
Penulis menganalisis, bahwa para korban di atas memperlihatkan gejala-gejala atau simtom-simtom seperti suasana hati yang merasa tertekan, murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram, sehingga mereka hanya dapat merasa ditolak dan tidak dicintai. Selain itu, adapula gejala-gejala kognitif yang ditunjukkan seperti pesimisme, motivasi yang kurang dan membesar-besarkan masalah. Orang yang mengalami depresi berpendapat bahwa mereka tidak akan mampu memecahkan masalah-masalahnya dan segala sesuatu yang dilakukannya hanya akan memburuk. Karena mereka tidak percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka, maka orang-orang yang mengalami depresi tidak melihat alasan bahwa mereka memecahkan masalah-masalah mereka atau meminta bantuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, sehingga yang dapat mereka lihat hanyalah jalan buntu dalam setiap hal yang mereka lakukan (Semiun, 2005: 413-415).
Para korban dalam kasus di atas pastinya mengalami depresi ringan dari hari ke hari, namun ada kalanya depresi sangat berat dan berlangsung lebih lama dari yang seharusnya, depresi ini sering disebut dengan depresi abnormal. Para korban yang menderita depresi abnormal merasa mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari depresi yang mereka derita (Semiun, 2005: 405-406), menyebabkan hilangnya harapan untuk hidup dan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Depresi yang diderita kedua korban adalah depresi endogen seperti berpikir lambat dan aktivitas kurang, yang merupakan dasar dari depresi eksogen, yaitu konflik dan stres, hal ini
membuat mereka pesimis dan pada akhirnya hanya dapat menemukan jalan buntu dalam setiap masalah yang mereka hadapi. Para korban juga menderita depresi mayor, karena mereka tidak dapat melihat hal-hal positif yang ada melainkan hanya dapat melihat keburukan-keburukan yang mereka lakukan, sehingga mereka merasa putus asa dan merasa tidak akan dapat bangkit kembali.
Penulis menganalasis bahwa kasus di atas merupakan kasus bunuh diri bersama yang dilakukan berdasarkan pertemanan melalui internet berdasarkan teori Bhain (2008: 256) yang mengatakan bahwa bunuh diri yang dilakukan berdasarkan pertemanan melalui internet adalah bunuh diri yang entah bagaimana berhubungan dengan internet. Kedua korban bertemu melalui media internet dan merencakan bunuh diri bersama, hal ini juga sesuai dengan pernyataan Hamada (2003: 151) yang mengatakan bahwa apabila bunuh diri dilakukan bersama dengan seseorang yang tidak dikenal dan hanya saling berhubungan melalui internet yang kemudian merencakan bunuh diri bersama, kemudian pada suatu hari bertemu dan melaksanakan bunuh diri yang telah direncanakan, itu dapat dikatakan dengan netto shuudan jisatsu (ネット集団自殺).
Tabel 3.2
Analisis Kasus Two People Die In Web Suicide Pact
Ket: P: korban pria W: korban wanita (): usia
Jumlah korban adalah dua jiwa, yaitu seorang pria berusia 34 tahun dan wanita berusia 36 tahun. Para korban menderita depresi yang disebabkan oleh pekerjaan yang mereka lakukan, dimana mereka tidak dapat mengatasi masalah sesuai dengan standar yang ada, sehingga mereka merasa putus asa. Simtom-simtom yang ditunjukkan para korban adalah perubahan suasana hati, dimana mereka menjadi tertekan, putus asa dan kehilangan semangat. Selain itu, simtom-simtom kognitif yang terlihat adalah munculnya sifat pesisme dan motivasi yang kurang dalam mengahadapi masalah-masalah yang mereka hadapi. Para korban menderita depresi abnormal karena mereka
Rasa pesimisme yang berlebihan hingga hanya dapat melihat jalan buntu dalam pekerjaannya
Perubahan emosi dan pola pikir sehingga korban hanya dapat melihat jalan buntu dalam kehidupannya
P (34) W (36)
Depresi
Netto Shuudan Jisatsu (ネット集団自殺)
Simtom-simtom depresi Macam-macam depresi Simtom-simtom kognitif Pesimisme dan motivasi yang kurang Depresi mayor Depresi abnormal Masalah-masalah dengan suasana hati: tertekan, putus asa, dan kehilangan semangat
tidak dapat keluar dari depresi yang mereka derita dan depresi mayor karena mereka tidak dapat melihat hal-hal positif disekitar mereka dan hanya menganggap segala yang mereka lakukan tidak dapat mencapai standar yang ada, sehingga menyebabkan hilangnya semangat dan selalu berpikir tentang bunuh diri. Para korban akhirnya dipertemukan melalui internet, mereka berkenalan lalu merencanakan tindakan bunuh diri dan pada akhirnya suatu hari mereka bertemu untuk melaksanakannya.
Kesimpulan yang didapatkan dari kasus di atas adalah dengan mengalami jalan buntu dalam masalah pekerjaan dan depresi dalam kerja, kedua korban merasa pesimis dalam menghadapi masalah-masalah yang ada, sehingga menimbulkan motivasi yang kurang dalam keinginan memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, menyebabkan depresi berkepanjangan. Mereka dipertemukan dalam komunitas bunuh diri melalui media komunikasi baru seperti internet atau blog, yang menyediakan keterangan secara lengkap mengenai bunuh diri dan berujung pada kematian.
3.1.3 Analisis Kasus dari artikel Final Hours Come to Light: Cops ID Seven Who Die in Suicide Pact (14 Oktober 2004)
Kasus ketiga diambil dari Final Hours Come to Light: Cops ID Seven Who Die in Suicide Pact, Japan Times, 14 Oktober 2004. Pada hari selasa pagi, tanggal 12 Oktober 2004, polisi menemukan tujuh jenazah dalam sebuah mobil di tempat parkir daerah pegunungan di Minano, perfektur Saitama. Ketujuh korban adalah tiga wanita dan empat pria. Para korban dipercaya merupakan korban bunuh diri terencana melalui media internet. Dari hasil otopsi, diketahui bahwa para korban telah meninggal sejak hari minggu tengah malam.
Para korban dapat diidentifikasi melalui tanda pengenal dan barang-barang yang terdapat dalam mobil tersebut. Keterangan resmi mengatakan ketujuh korban adalah seorang ibu rumah tangga berusia tiga puluh tiga tahun dari Saitama; seorang pria pengangguran berusia dua puluh tahun dari Tokorazawa, perfektur Saitama; seorang wanita berusia dua puluhan dari Saga yang juga pengangguran; wanita dari Tokyo berusia tiga puluh empat tahun, merupakan seorang pengangguran; seorang pria berusia dua puluh tahun, mahasiswa dari Iwaki, perfektur Aomori; seorang pria pekerja part-time berusia dua puluh tahun dari Higashi-Osaka, perfektur Osaka; dan seorang pria berusia dua puluh enam tahun dari Kawasaki, perfektur Kanagawa.
Tim penyelidik mengatakan bahwa pria pengangguran dari Tokorozawa sempat menghubungi adiknya yang berumur sembilan belas tahun, yang tinggal bersamanya, pada hari minggu pagi untuk mengatakan dia tidak akan kembali lagi ke rumah. Berdasarkan keterangan yang didapat, korban terlihat mengalami kesulitan dalam mendapat pekerjaan. Sebuah e-mail juga diterima oleh temannya pada hari senin siang yang menjelaskan tentang rencana bunuh diri yang akan dilakukannya. Polisi menyakini e-mail ini telah diprogram agar terkirim setelah kematiannya.
Sebuah pesan kematian kepada anak-anaknya yang diyakini berasal dari seorang korban wanita yang berasal dari Tokyo, berbunyi “ ibu akan segera meninggal, namun ibu bahagia dapat melahirkan kalian.”
Wanita dari Saga mengalami kesulitan dalam mendapat pekerjaan setalah lulus kuliah. Ibunya mengatakan bahwa anaknya memang terlihat sering mencari situs-situs internet mengenai bunuh diri sejak satu bulan yang lalu. Pada hari sabtu, tanggal 09 Oktober
2004, ia meminta ijin untuk pergi bertemu dengan teman-temannya yang dikenalnya melalui internet.
Korban pria dari Higashi-Osaka mengalami kegagalan dalam melewati ujian masuk universitas selama dua tahun berturut-turut. Ayahnya mengatakan bahwa anaknya mulai bertingkah aneh sejak April dan terlihat sering ke Internet Café. Pria ini meninggalkan rumahnya pada hari sabtu pagi tanpa berkata apa-apa.
Keterangan resmi menyebutkan bahwa suami dari wanita yang berasal dari Saitama memang terlihat ketagihan dengan internet namun tidak terlihat adanya tanda-tanda ingin bunuh diri. hal yang sama juga dikatakan oleh keluarga dari siswa, Iwaki, yang menjelaskan bahwa anaknya sama sekali tidak terlihat memiliki tanda-tanda ingin melakukan bunuh diri.
Analisis:
Dari kasus di atas, penulis menganalisis bahwa para korban menderita depresi menurut teori Short (2005: 70), yang menyatakan depresi merupakan bentuk lain dari kesedihan. Depresi adalah kekalahan di dalam diri, dimana perasaan cinta kepada diri sendiri telah lenyap dan anda merasa tidak akan mendapatkannya lagi. Seseorang mungkin saja merasa depresi di saat segala sesuatunya berjalan dengan baik, atau depresi dapat terjadi sesudah kejadian-kejadian buruk yang keliatannya tidak terlalu serius. Depresi tidak mengenal waktu sebab kehadirannya ditentukan oleh hidup itu sendiri; dan sebagian orang yang mengalami depresi memilih untuk tidak meneruskan hidup. Hal inilah yang terjadi kepada ketujuh korban di atas, dengan masalah-masalah
yang mereka hadapi, menyebabkan rasa keputusasaan dan tidak berdaya, yang pada akhirnya membuat mereka mengambil keputusan untuk bunuh diri.
Para korban dalam kasus di atas menderita depresi yang disebabkan oleh rasa kehilangan, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harapan dan percaya diri, kehilangan semangat untuk hidup, serta rasa kegagalan dalam melakukan sesuatu. Perasaan-perasaan itu mengakibatkan mereka tidak bahagia dan dengan memiliki rasa percaya diri yang rendah, bahwa mereka tidak akan dapat keluar dari masalah-masalah yang mereka alami, menyebabkan mereka menderita depresi yang serius (Wade dan Tavris, 2007: 336)
Berdasarkan kasus di atas, para korban menunjukkan gejala-gejala atau simtom-simtom masalah-masalah suasana hati seperti tertekan, murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram. Orang yang mengalami depresi sering juga merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai, seperti terjadi pada seorang ibu rumah tangga yang merasa putus asa hingga memutuskan untuk bunuh diri dengan meninggalkan pesan terakhirnya, pengangguran yang merasa tertekan dan sedih karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan, mahasiswa yang merasa kehilangan semangat dan perasaan tertekan karena tidak dapat melewati ujian masuk universitas selama dua tahun berturut-turut.
Selain itu, ada juga simtom-simtom kognitif yang ditunjukkan yaitu harga diri yang rendah, pesimisme, motivasi yang kurang dan membesar-besarkan masalah. Penderita depresi biasanya berpikir bahwa mereka tidak adekuat, merasa rendah diri, janggal, tidak mampu dan pada umumnya merasakan dirinya tidak berharga, dan sering merasa sangat bersalah terhadap kegagalan-kegagalannya, seperti terjadi kepada korban yang tidak
dapat melewati ujian masuk universitas selama dua tahun beruturut-turut, ibu rumah tangga yang merasa tidak mampu lagi menanggung beratnya menjadi seorang ibu rumah tangga dan kepada pengangguran yang merasa gagal karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Orang-orang yang mengalami depresi berpendapat bahwa ia tidak akan mampu memecahkan masalah-masalahnya dan segala sesuatu yang dilakukannya hanya akan memburuk. Orang-orang yang mengalami depresi memiliki motivasi yang kurang. Mereka tidak percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka, maka orang-orang yang mengalami depresi tidak melihat alasan bahwa mereka memecahkan masalah-masalah mereka atau meminta bantuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Semiun, 2005: 413-415).
Para korban dalam kasus di atas mengalami depresi-depresi yang terjadi dalam keseharian mereka, akan tetapi mereka tidak dapat keluar dari depresi-depresi yang mereka hadapi dan pada akhirnya depresi tersebut berlangsung lama lebih dari yang seharusnya, depresi ini disebut dengan depresi abnormal. Mereka merasa tidak sanggup lagi menjalani hidup dengan masalah-masalah yang ada, sehingga muncullah perasaan stres dan konflik dalam diri mereka (semiun, 2005: 405-406). Para korban juga mengalami depresi mayor, dimana mereka mengalami perubahan suasana hati yang serius, seperti perubahan emosi, yang menyebabkan mereka merasa putus asa dan kehilangan harapan (Wade dan Tavris, 2007: 335).
Penulis menganalisis bahwa dengan banyaknya korban dalam kasus di atas, maka dapat dikatakan sebagai kasus netto shuudan jisatsu (ネット集団自殺) berdasarkan teori Machida dan Ueda (2006: 143) yang meyebutkan, netto shuudan jisatsu (ネット集
団自殺) adalah sebuah ide dimana sebisa mungkin banyak orang yang melakukan bunuh diri bersama, sehingga tidak akan ada yang dapat menghindar.
Para korban terhubung oleh media internet, dimana mereka dapat saling berbagi metode-metode untuk bunuh diri (Bhain, 2008: 256). Melalui media internet, para korban dapat saling berkomunikasi, seperti saling menceritakan masalah-masalah yang mereka hadapi, hal apa saja yang ingin mereka lakukan dan tidak ada hal yang akan dianggap tabu. Hal itu tentulah lebih mudah dan menyenangkan daripada harus berkonsultasi dengan petugas sosial. Para korban yang awalnya tidak saling mengenal dapat saling berhubungan dan merencanakan bunuh diri bersama, yang pada akhirnya bertemu untuk melaksanakan rencana tersebut (Hamada, 2003: 151).
Tabel 3.3
Analisis Kasus Final Hours Come to Light: Cops ID Seven Who Die in Suicide Pact
Ket: P: korban pria W: korban wanita (): usia
Ketujuh korban dengan kehidupan yang berbeda, dari ibu rumah sampai dengan mahasiswa, yang awalnya tidak mengenal satu dengan dengan yang lainnya akhirnya dipersatukan melalui internet dengan satu tujuan yang sama yaitu bunuh diri. Para korban menderita depresi yang disebabkan oleh tidak adanya pekerjaan, sehingga mereka merasa bagian dari diri mereka ada yang hilang dan kontrol terhadap diri sendiri pun hilang. Selain itu dengan adanya situasi-situasi yang mengganggu seperti kegagalan
Pengan gguran Pengan gguran Pengan gguran Mahasi swa Pekerja part-time W (33) P (20) Depresi
Netto Shuudan Jisatsu (ネット集団自殺)
Simtom-simtom depresi Macam-macam depresi Simtom-simtom kognitif
Harga diri yang rendah, pesimisme dan motivasi yang kurang Depresi abnormal Depresi mayor Masalah-masalah dengan suasana hati: tertekan dan putus asa W (34) P (20) P (20) P (26) W (20an) Ibu rumah tangga Perasaan putus asa yang berkepanjanga n sehingga tidak dapat keluar dari depresi yang diderita
Perubahan emosi dan perilaku menjadi lebih senang mencari web tentang bunuh diri, juga perubahan pola pikir hingga bunuh diri bersama dapat terjadi
seorang pria berusia 20 tahun pekerja part-time yang tidak dapat melewati ujian masuk universitas selama dua tahun berturut. Simtom-simtom atau gejala-gejala yang mereka tunjukkan adalah perubahan suasana hati seperti menjadi tertekan dan putus asa, terlihat dari pernyataan orang tua salah seorang korban yang menyatakan bahwa anak mereka terlihat mulai sering membuka situs bunuh diri. Selain itu, terlihat juga simtom kognitif seperti harga diri yang rendah karena tidak dapat lulus ujian, pesimisme dan juga motivasi yang kurang dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
Jadi kesimpulannya adalah dalam kasus di atas, para korban yang melakukan bunuh diri adalah penderita depresi yang memperlihatkan simtom-simtom hilangnya harapan dan harga diri, sehingga timbul rasa pesimis dan motivasi yang kurang, dimana mereka merasa tidak ada yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Para korban dipertemukan melalui media internet, tempat dimana mereka dapat membicarakan segala hal termasuk bunuh diri, dan dengan banyaknya korban, maka kasus di atas merupakan kasus netto shuudan jisatsu (ネット集団自殺).
3.1.4 Analisis Kasus dari artikel Japan’s Internet “Suicide Clubs” (07 Desember 2004)
Kasus keempat diangkat dari Japan’s Internet “Suicide Clubs” oleh Andrew Harding, BBC Asia Correspondent, 07 Desember 2004. Artikel tersebut merupakan ringkasan dari wawancara yang dilakukan oleh Andrew Harding dengan salah seorang masyarakat Jepang yang ingin bunuh diri dengan menggunakan media internet, Naoki Tachiwana. Alasan yang menyebabkan Naoki, tiga puluh empat tahun, menjadi salah satu anggota komunitas internet suicide (netto shuudan jisatsu( ネ ッ ト 集 団 自 殺 )) adalah
dikarenakan masalah stres yang membuatnya kehilangan pekerjaan sebagai pegawai bank.
Naoki mengakui bahwa dia memang selalu merasa ingin bunuh diri, bukan disebabkan oleh depresi yang dideritanya. Namun dia tidak pernah berpikir untuk melakukannya secara bersama-sama atau grup, sampai suatu hari dia menemukan sebuah situs yang mengajak untuk bunuh diri bersama. Naoki merasa bila dia bergabung dalam komunitas ini, dia tidak harus melakukan bunuh diri sendiri dan bunuh diri tidak akan begitu menakutkan, seperti halnya menyebrangi jalan pada saat lampu merah beramai-ramai.
Sehari sebelumnya, Naoki hampir saja melakukan tindakan bunuh diri bersama seorang wanita, namun pada saat-saat terakhir wanita tersebut memutuskan untuk tidak melakukannya. Kali ini, ketika ada seorang wanita yang mengajak untuk melakukan bunuh diri bersama, Naoki lah yang memutuskan untuk tidak melakukannya dikarenakan tiba-tiba dia merasa tidak siap untuk menghadapi kematian.
Analisis :
Dari kasus di atas, penulis menganalisis bahwa Naoki, merupakan penderita depresi menurut teori Short (2005: 70), yang menyatakan depresi merupakan bentuk lain dari kesedihan. Depresi adalah kekalahan di dalam diri, dimana perasaan cinta kepada diri sendiri telah lenyap dan anda merasa tidak akan mendapatkannya lagi. Seseorang mungkin saja merasa depresi di saat segala sesuatunya berjalan dengan baik, hal ini lah yang terjadi kepada Naoki, sehingga dia kehilangan pekerjaannya. Dengan perasaan
kalah dan hilangnya rasa cinta kepada diri sendiri, Naoki selalu memikirkan tentang bunuh diri.
Depresi yang dialami Naoki dapat disebabkan oleh adanya ketidakcocokkan dengan pekerjaan yang dijalaninya, sehingga menyebabkan depresi berkepanjangan dan pada akhirnya ia diberhentikan, dengan tidak adanya pekerjaan, ia merasa kehilangan kontrol atas kehidupannya sendiri (Papilia et al, 2007: 569-570). Hal tersebut membuat Naoki sadar bahwa jurang antara real-self dan ideal-self yang ia inginkan sangat jauh (Semiun, 2005: 424).
Berdasarkan kasus di atas, penulis menganalisis bahwa gejala-gejala atau simtom-simtom yang ditunjukkan adalah masalah-masalah dengan suasana hati seperti tertekan, murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram. Hal ini terlihat dari Naoki yang tertekan dan kehilangan semangat, sampai mempengaruhi pekerjaannya. Simtom-simtom lainnya adalah Simtom-simtom kognitif seperti motivasi yang kurang. Karena mereka tidak percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka, maka orang-orang yang mengalami depresi tidak melihat alasan bahwa mereka memecahkan masalah-masalah mereka atau meminta bantuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Semiun, 2005: 413-415). Meskipun Naoki tahu dia menderita depresi, namun tidak ada keinginan untuk mengobati atau berkonsultasi dengan petugas sosial, sehingga pemikiran-pemikiran tentang bunuh diri pun muncul.
Seperti kebanyakan orang, Naoki juga mengalami depresi-depresi ringan sepanjang hidupnya, hanya saja, depresi yang ditanggung Naoki mungkin terlalu berat dan berlangsung lama, bahkan dari penyebab yang sebenarnya, sehingga dapat dikatakan Naoki menderita depresi abnormal. Depresi Naoki yang berasal dari dalam atau internal,
biasa disebut depresi endogen, menyebabkan ia lambat dalam berpikir dan menurunkan aktivitasnya dalam berhubungan dengan orang, menyebabkan ia kehilangan pekerjaan (Semiun, 2005: 408,408).
Biarpun Naoki sudah memikirkan tentang bunuh diri semasa hidupnya, bahkan sampai pada tahap hampir melakukan bunuh diri bersama, ada kalanya muncul ambivalensi, yang artinya muncul keraguan antara melaksanakan dan mengurungkan niatnya untuk bunuh diri (Supratiknya, 2002: 103-104). Awalnya hal ini terjadi kepada partner Naoki yang pertama, namun ketika ada ajakan untuk bunuh diri bersama lagi, Naoki lah yang memutuskan untuk mundur.
Pada kasus di atas, terlihat bahwa bila bunuh diri direncanakan dengan hanya dua orang, maka kemungkinan gagalnya pun lebih besar, karena netto shuudan jisatsu (ネッ ト集団自殺) adalah sebuah ide dimana sebisa mungkin banyak orang yang melakukan bunuh diri bersama, sehingga tidak akan ada yang dapat menghindar (Machida dan Ueda, 2006: 143). Jika bunuh diri bersama hanya direncanakan oleh dua orang, ketika ada yang ragu-ragu dan memutuskan untuk tidak melakukan bunuh diri, maka kemungkinan besar bunuh diri akan gagal dilakukan.
Awalnya Naoki tidak pernah berpikir untuk bunuh diri bersama, sampai akhirnya dia menemukan situs yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki situasi dan nasib yang sama, dimana mereka juga menginginkan hal yang sama yaitu bunuh diri. Sejak saat itu lah, Naoki mulai mencari teman untuk melakukan bunuh diri bersama, karena menurutnya, dengan melakukannya bersama-sama, maka bunuh diri tidak menjadi begitu menakutkan bila dibanding harus melakukannya seorang diri.
Tabel 3.4
Analisis Kasus Japan’s Internet “Suicide Clubs”
Naoki yang memang menderita depresi, akhirnya diberhentikan dari pekerjaannya. Hal ini menimbulkan adanya perasaan kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri. Simtom-simtom yang ditunjukkan adalah masalah dengan suasana hati yaitu tertekan, hingga menyebabkan ia kehilangan pekerjaan dan motivasi yang kurang dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ia hadapi. Depresi yang diderita Naoki merupakan depresi endogen dan depresi abnormal, karena depresi yang dideritanya
depresi Naoki
Depresi abnormal
Gejala-gejala atau simtom-simtom Macam-macam depresi Motivasi yang kurang Simtom kognitif
Netto Shuudan Jisatsu (ネット集団自殺) Depresi
endogen Masalah-masalah
suasana hati: tertekan
Ambivalensi dalam melakukan bunuh diri
Gagal melakukan bunuh diri bersama Perasaan depresi yang dideritanya berkepanjangan hingga berdampak pada pekerjaan
Depresi bersumber dari dalam diri hingga berdampak pada sekelilingnya, seperti pada pekerjaannya
bersumber dari dalam dirinya dan ia tidak dapat keluar dari depresi, yang pada akhirnya harus dibayar dengan pekerjaannya. Biarpun Naoki memang telah memikirkan bunuh diri sejak lama, namun ia tidak pernah berpikir untuk melakukannya bersama-sama, sampai akhirnya ia menemukan situs bunuh diri. Akan tetapi, biarpun telah direncanakan dengan baik, ada kalanya ketika akan melakukan bunuh diri bersama, muncul keragu-raguan atau ambivalensi, hal itulah yang menyebabkan Naoki tidak jadi melakukan bunuh diri pada akhirnya.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa Naoki yang memang telah memiliki depresi, yang membuatnya kehilangan rasa cinta terhadap diri sendiri, sampai kehilangan pekerjaannya. Para korban memperlihatkan simtom-simtom suasana hati yang tertekan, sehingga motivasi untuk memecahkan masalah pun berkurang dan dengan adanya media komunikasi baru seperti internet, tidak sulit bagi Naoki untuk menemukan orang-orang yang juga memiliki masalah yang sama dengannya dan merencanakan bunuh diri bersama. Namun, pada akhirnya muncul ambivalensi pada diri Naoki yang menyebabkan ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri bersama.
3.1.5 Analisis Kasus dari artikel The Death Cars Of Saitama (Mei 2007)
Kasus kelima diambil dari artikel The Death Cars of Saitama oleh David Samuels, The Atlantic, Mei 2007. Pemberitaan resmi pertama mengenai kematian di Saitama pukul 12.30 siang pada tanggal 10 Maret, dikarenakan warga dari desa Chichibu menginformasikan kepada polisi bahwa di dekat daerah itu, bahwa mereka telah menemukan sebuah mobil dengan enam jenazah di jalanan bertanah. Di kursi penumpang, ditempati seorang laki-laki berusia antara dua puluh sampai tiga puluh
tahun, dengan rambut panjang, kaus berpola dan celana jeans. Di sebelahnya adalah seorang wanita berusia dua puluhan, mengenakan jaket dan baju coklat, di sebelah kirinya adalah seorang laki-laki yang juga berusia dua puluh tahunan, mengenakan jaket hitam dan celana jeans. Pengemudi dan pria berusia dua puluh tahunan yang mengenakan jaket hitam merupakan juru tulis. Sedangkan perempuan berusia dua puluh delapan tahun merupakan pengangguran dari kota Fukuoka. Di kursi belakang, terdapat seorang pria berusia dua puluh tahunan dengan rambut normal, mengenakan celana jeans hitam dan bekerja sebagai arsitek di Saitama; seorang pria pengangguran berusia dua puluh tahunan yang mengenakan jaket merah dan seorang pria berusia dua puluh satu, memiliki rambut panjang, mengenakan jaket hitam dan jeans biru dan bekerja sebagai asisten sebuah toko di Kanagawa. Mereka memiliki beberapa kesamaan, yaitu berusia dua puluhan, dapat mengakses internet dan bertemu secara online untuk satu tujuan yaitu meninggal bersama dalam sebuah mobil.
Ketika David, reporter yang meliput kasus ini, sedang melihat-lihat file di teahouse yang terletak dekat stasiun polisi, seorang wartawan muda dari Saitama, yang juga sedang meliput mengenai bunuh diri yang dilakukan berdasarkan pertemanan melalui internet untuk Mainichi Shimbun, bergabung. Ia telah mulai meliput mengenai kasus bunuh diri yang dilakukan berdasarkan pertemanan melalui internet sejak 11 Febuari 2003, ketika kasus pertama muncul yang tercatat dalam statistik pemerintah, mengenai tiga orang yang bunuh diri bersama menggunakan asap hasil pembakaran arang dalam sebuah apartemen kosong di Iruma. Para korban adalah Michio Sakai, pria berusia dua puluh enam tahun yang memiliki kesulitan dalam mendapatkan kerja dan dua wanita
berusia dua puluh empat tahun, yang dikenalnya melalui situs internet yang bernama “Group Suicide Bulletin Board” setahun yang lalu.
Ketika David menanyakan dari mana para korban mendapat ide untuk bunuh diri dengan asap arang, wartawan muda itu menjelaskan adanya rumor melalui internet yang menyebutkan bahwa meninggal dengan asap hasil pembakaran arang adalah seperti meninggal dalam tidur dan ini merupakan cara yang paling tidak menyakitkan untuk meninggal.
Analisis:
Berdasarkan kasus di atas, penulis menganalisis bahwa para korban merupakan penderita depresi menurut teori Short (2005: 70), yang menyebutkan bahwa depresi adalah kekalahan di dalam diri, dimana perasaan cinta kepada diri sendiri telah lenyap dan merasa tidak akan mendapatkannya lagi. Kehadiran depresi tidak ditentukan oleh waktu melainkan oleh hidup itu sendiri dan depresi akan terus ada selama penderitanya hidup, sehingga kebanyakan para penderita depresi lebih memilih untuk mengakhiri nyawa mereka sendiri.
Para korban dalam kasus di atas menderita depresi yang disebabkan oleh kehilangan, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan semangat untuk hidup dan kehilangan semangat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Selain itu mereka juga menyadari bahwa jurang antara real-self dan ideal-self yang mereka inginkan tidak dapat dijangkau, karena itu, mereka hanya menyerah dalam kesedihan (Semiun, 2005: 424). Pernyataan ini diperkuat oleh Papilia et al (2007: 569-570) yang mengatakan bahwa depresi dapat disebabkan oleh adanya ketidakcocokkan pekerjaan yang
dijalaninya, sehingga tekanan yang dirasakan dalam pekerjaannya kan semakin berat. Dalam kasus di atas, terdapat juga para korban yang tidak memiliki pekerjaan, hal ini menyebabkan mereka merasa kehilangan kontrol akan diri mereka.
Dalam kasus di atas, penulis menganalisis bahwa para korban memperlihatkan gejala-gejala atau simtom-simtom depresi yaitu masalah-masalah suasana hati seperti tertekan, murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram. Masalah-masalah dengan suasana hati membuat semangat para korban menurun dan semangat untuk hidup pun berkurang, mereka hanya dapat pasrah terhadap masalah-masalah yang mereka alami (Semiun, 2005: 413-415).
Selain itu, para korban juga menunjukkan simtom-simtom kognitif seperti memiliki harga diri yang sangat rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi. Mereka yang memiliki depresi biasanya berpikir bahwa mereka tidak adekuat, merasa rendah diri, janggal, tidak mampu dan pada umumnya merasakan dirinya tidak berharga dan sering merasa sangat bersalah terhadap kegagalan-kegagalannya. Para korban yang tidak memiliki pekerjaan merasa dirinya gagal sebagai sebuah individu, sedangkan untuk para korban yang bekerja, merasa mereka tidak berharga atau tidak mampu lagi menghadapi masalah-masalah yang ada. Orang-orang yang mengalami depresi berpendapat bahwa mereka tidak akan mampu memecahkan masalah-masalahnya dan segala sesuatu yang dilakukannya hanya akan memburuk. Karena mereka tidak percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka, maka orang-orang yang mengalami depresi tidak melihat alasan bahwa mereka memecahkan masalah-masalah mereka atau meminta bantuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Semiun, 2005: 413-415). Para korban tidak berusaha mencari jalan keluar dari masalah-masalah yang mereka hadapi,
karena mereka merasa tidak ada gunanya dan merasa tidak akan mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, sehingga mereka hanya dapat terus terpuruk dalam depresi.
Para korban dalam kasus di atas menderita depresi dari waktu ke waktu, namun karena depresi berlangsung dalam waktu yang lama dan berat, para korban lebih untuk mengakhiri hidup mereka (Hall et al, 1993: 277). Kesembilan korban tentunya memiliki masalah yang berbeda-beda, namun dikarenakan beratnya masalah-masalah yang dihadapi, mereka merasa tidak sanggup untuk melepaskan diri dari depresi yang dihadapi dan depresi yang diderita juga berlangsung sangat lama, bahkan lebih lama dari penyebab yang sebenarnya, sehingga mereka dapat dikatakan menderita depresi abnormal (Semiun, 2005: 405-406). Depresi yang diderita para korban juga dapat dikatakan sebagai depresi mayor, karena para korban merasa putus asa dan kehilangan harapan dan mereka merasa tidak akan mampu menghadapi dari depresi yang mereka derita (Papilia et al, 2007: 335).
Penulis menganalisis bahwa diliat dari banyaknya para korban di atas, berdasarkan teori Machida dan Ueda (2006: 143), merupakan kasus netto shuudan jisatsu (ネット集 団自殺). Machida dan Ueda (2006: 143) yang menjelaskan, netto shuudan jisatsu (ネッ ト集団自殺) adalah sebuah ide dimana sebisa mungkin banyak orang yang melakukan bunuh diri bersama, sehingga tidak akan ada yang dapat menghindar. Dengan banyaknya orang yang melakukan bunuh diri bersama, maka biarpun ada salah satu dari mereka yang ragu-ragu, tidak akan ada yang memperdulikan.
Kesembilan korban saling mengenal hanya melalui internet dan pertama kali bertemu ketika akan melakukan bunuh diri, penulis menganalisis bahawa ini merupakan kasus
bunuh diri bersama melalui internet, karena berhubungan dengan media internet, yaitu dalam pertama kali berkenalan dan ketika merencanakan bunuh diri bersama (Bhain, 2008: 256). Dengan adanya media komunikasi baru seperti internet, menyatukan orang-orang yang memiliki kesamaan nasib, dan menciptakan sebuah komunitas, dimana didalamnya mereka dapat saling berbagi cerita, bahkan mengenai bunuh diri, tentang metode-metode yang dapat digunakan dan merencanakan untuk melakukannya bersama-sama. Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh media internet membuat para korban lebih memilih melakukan hal tersebut daripada harus berkonsultasi dengan petugas sosial yang pastinya dapat lebih membantu mereka dalam memecahkan masalah-masalah mereka.
Tabel 3.5
Analisis Kasus The Death Cars Of Saitama
Ket: P: korban pria W: korban wanita (): usia
Banyak korban dalam kasus di atas ada sembilan jiwa. Para korban menderita depresi yang terlihat dari hilangnya rasa cinta kepada diri sendiri, hingga melakukan tindakan bunuh diri. Mereka menderita depresi abnormal karena depresi yang mereka derita lebih
W (24) P (20an)
Depresi
Netto Shuudan Jisatsu (ネット集団自殺)
Simtom-simtom depresi Macam-macam depresi Simtom-simtom kognitif pesimisme dan motivasi yang kurang Depresi mayor Depresi abnormal Masalah-masalah dengan suasana hati: tertekan dan putus asa P (20an) P (20an) P (21) W (24) W (20an) Pengan gguran Pengan gguran Juru tulis Arsitek Asisten toko Michio Sakai P (20-30)
Juru tulis penganggur
an
Perasaan depresi dalam pekerjaan dan rasa putus asa yang
berkepanjangan menyebabkan para korban tidak dapat keluar dari depresi yang mereka derita
Perubahan suasana hati dan pola pikir yanag mengganggu fungsi normal para korban hingga menyebabkan terjadinya bunuh diri bersama
lama dari yang seharusnya dan pada akhirnya mereka tidak dapat keluar dari depresi yang mereka derita. Para korban juga menderita depresi mayor, dimana mereka selalu merasa putus asa dan kehilangan harapan, sehingga simtom-simtom seperti suasana hati yang tertekan muncul. Selain itu simtom-simtom yang ditunjukkan adalah pesimisme dalam menghadapi hidup dan motivasi yang kurang dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Para korban yang tidak saling mengenal akhirnya bertemu melalui internet yang memang bertujuan untuk mengumpulkan mereka yang ingin bunuh diri. Para korban merencanakan bunuh diri bersama-sama dan pada akhirnya bertemu untuk melaksanakan rencana tersebut.
Jadi kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa para korban yang meninggal memiliki depresi yang disebabkan oleh karena mereka merasa bahwa jurang antara real-self dan ideal-real-self terlalu jauh, sehingga memperlihatkan gejala-gejala seperti perasaan harga diri yang sangat rendah, pesimis dan kurangnya motivasi untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dan dengan munculnya media komunikasi seperti internet dapat dengan mudah mempertemukan orang-orang yang memiliki kondisi yang sama, sehingga mereka lebih memilih menggunakan ini daripada harus berkonsultasi dengan petugas sosial, sehingga bunuh diri menjadi hal yang sangat mungkin terjadi.