• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO YANUAR MURIANTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO YANUAR MURIANTO"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

SENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT

TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA

MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO

YANUAR MURIANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT

TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA

MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO

YANUAR MURIANTO

G02400029

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

Pada

Program Studi Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRAK

YANUAR MURIANTO. Sensitivitas Curah Hujan di Jawa Barat terhadap Suhu Permukaan Laut Disekitarnya menggunakan Model Iklim Regional REMO. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan EDVIN ALDRIAN

Model iklim REMO digunakan untuk menganalisis sensitivitas curah hujan terhadap suhu permukaan laut (SPL). Penggunaan model iklim REMO dibagi menjadi tiga buah skenario. Skenario pertama mensimulasikan model iklim normal atau tanpa perubahan suhu permukaan laut. Hasil skenario ini digunakan sebagai kontrol terhadap skenario yang lainnya. Pada skenario dua, data SPL dibagi menjadi data musiman (4 Musim) dan data SPL tersebut dipertukarkan. Pertukaran SPL ini berfungsi menguji sensitivitas musiman curah hujan terhadap perubahan SPL. Dan pada skenario tiga data SPL ditambahkan sebesar 1 0C.

Hasil dari simulasi skenario dua model REMO menunjukkan bahwa bulan April dan Agustus merupakan bulan yang sensitif terhadap terhadap perubahan SPL. Sedangkan bulan Febuari merupakan bulan yang paling stabil terhadap perubahan SPL. Musim MAM dan JJA adalah musim yang paling sensitif terhadap perubahan SPL. Musim DJF yang merupakan puncak musim hujan adalah musim memberikan respon terendah terhadap perubahan SPL.

Dari hasil skenario tiga, peningkatan SPL sebesar 1 0C meningkatkan curah hujan tahunan

sebesar 20 % terhadap curah hujan normal. Pada suhu diatas 29,50C seluruh curah hujan harian

mengalami kenaikan, pada suhu dibawah 29,5 0C dan diatas 29,1 0C terdapat beberapa data curah

hujan yang mengalami penurunan, dan sebagian besar data mengalami kenaikan curah hujan sebesar 50 %. Untuk suhu dibawah 90,1 0C terjadi fluktuasi perubahan curah hujan yang tidak

berpola.

(4)

Judul

: Sensitivitas Curah Hujan di Jawa Barat terhadap Suhu Pemukaan

Laut Disekitarnya menggunakan Model Iklim Regional REMO

Nama

:

Yanuar Murianto

NRP

: G02400029

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Yon Sugiarto,

S.Si, M.Sc IT

NIP : 132 215 103

Dr. Edvin Aldrian

, B.Eng., M.Sc.

NIP: 680 002 393

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. Hasim, DEA

NIP : 131 578 806

Tanggal Lulus :

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang, pada tanggal 15 Januari 1982 dari ayah Dedi Hanuji dan Ibu Lisnayati. Penulis merupakan putra ke enam dari tiga bersaudara.

Tahun 1994 penulis lulus dari SD Negeri Ahmad Yani Tangerang, selanjutnya lulus tahun 1997 dari SMP Negeri 1 Tangerang. Pada tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 7 Tangerang, dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur UMPTN. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Meteorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus dalam berbagai organisasi kemahasiswaan baik organisasi internal IPB, seperti HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi) dan BEM MIPA IPB maupun organisasi kedaerahan, seperti HIMATA (Himpunan Mahasiswa Tangerang). Selama tahun 2002 sampai 2004 penulis terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan baik di tingkat departemen maupun tingkat fakultas.

Penulis pernah melaksanakan Praktek Lapang di Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana (Lab. Geostech) TPSA BPPT, Puspitek Serpong pada bulan Febuari – April 2004.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala nikmat dan petunjuk-Nya yang dilimpahkan dan diamanahkan kepada penulis sehingga walaupun dengan tertatih-tatih skripsi ini dapat juga diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai laporan penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Desember 2005 sampai April 2007 dengan judul ”Sensitivitas Curah Hujan terhadap Suhu Permukaan Laut Disekitarnya menggunakan Model Iklim REMO”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing penulis bapak Yon Sugiarto dan bapak Edvin Aldrian yang telah banyak memberikan masukan, pengarahan dan pengertiannya kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak Bregas Budianto selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji penulis dan memberikan masukan dalam perbaikan skripsi ini. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada bapak Idung

Risdiyanto selaku komdik yang terus menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa selama menjalani dan menyelesaikan studi, penulis banyak mendapat bantuan, dukungan dan kemurahan hati dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada :

1.

Orang tua penulis yang telah membesarkan dan mendidik penulis, kakak-kakak dan adik penulis : Eko, Dwi, Fatma, Titik dan Bagus atas kasih sayang, doa dan dukungan moril, materiil dan sprituil serta kesempatan untuk tumbuh bersama; juga untuk keponakanku tercinta : Rifki, Selly, Mas Dityo, Lia dan Satria.

2. Seluruh dosen GFM yang telah mengajar, mendidik dan membagi ilmu dan pengetahuannya dengan penulis.

3.

Seluruh Staf GFM atas kerjasama dan keramahannya terhadap penulis terutama Mbah Nandang, Pak Toro, Azis, Bu indah, Icha, Pak Jun, Pak Udin, Pak Khaerun, dan Teh Wanti.

4.

Teman-teman Meteorologi 2000: Sofyan atas kebersamaannya selama penelitian, Andri Boss

atas dukungan dan diskusinya, Nde & Ei atas kebersamaan dan sharing selama kuliah, Acong atas tumpangannya, Magots, Rohmat, Diki, Babeh, Alif, Syahrin, Momon, Erwin, Melia, Supri, Zamalck dan semuanya yang telah mewarnai kehidupan penulis selama menyelesaikan studi di Bogor. Thank’s for great time with U all.

5.

Keluarga besar GFM : GFM 34, GFM 35, GFM 36, GFM 38; Dini atas sharingnya, GFM 39; Samba, Zainul, Eko, Deni, Basyar, Fanida, GFM 40 dan GFM 41; Ining, Ire dan Yasmin. Atas kebersamaan dan kecerian selama ini.

6.

Keluarga besar Himata Wil. Bogor khususnya Bwok, Pandi, Mardan, Bom2, Dika, Jamal, Imam, Thanu, Rina, Wiwi, Rangga, Rika, Leo dan TB atas persaudaraan dan bantuannya kepada penulis baik suka maupun duka.

7. Teman-teman DC 5-6 dan Kosan Pa Sunarya atas tumpangan dan bantuannya.

8. Teman-teman di Waroe Telecomindo : Adi, Babeh dan Ubai terimakasih atas dukungan dan pengertiannya.

Terima kasih juga untuk semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan disini satu persatu. Juga buat orang-orang yang telah membangkitkan semangat penulis dari tekanan waktu dan mental untuk terus bertarung. Akhirnya, meskipun jauh dari sempurna, penulis berharapskripsi ini dapat memberikan informasi yang berharga dan bermanfaat bagi yang membacanya.

(7)

Yanuar Murianto

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA... 2

2.1. Distribusi dan Pola Curah Hujan... 2

2.2. Respon Suhu Permukaan Laut... 3

2.3. Model Iklim Regional ... 3

2.3.1. Model REMO ... 3

2.3.2. Penggunaan Model REMO di Indonesia ... 4

III. METODOLOGI ... 5

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 5

3.2. Bahan dan Alat... 5

3.3. Metode... 5

3.3.1. Skenario Model... 5

3.3.2. Menjalankan Model... 6

3.3.3. Analisis Keluaran Model... 7

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

4.1. Parameter Curah Hujan Model REMO... 9

4.2. Hujan Stratiform ... 9

4.3. Hujan Konvektif... 9

4.4. Suhu Permukaan Laut ... 10

4.5. Curah Hujan Umum ... 12

4.6. Sensitivitas Curah Hujan terhadap SPL... 13

4.7. Suhu Kritis SPL... 14

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 16

5.1. Kesimpulan ... 16

5.2. Saran ... 16

DAFTAR PUSTAKA ... 16

(8)

DAFTAR GAMBAR

1.

Tiga daerah curah hujan dominan di Indonesia... 2

2.

Contoh Output REMO (SPL)... 3

3.

Lima pulau besar dan tiga laut yang digunakan dalam validasi model REMO.... 4

4.

Daerah studi pulau Jawa dan laut sekitarnya... 5

5.

Skema kegiatan penelitian... 6

6.

Proses masking SPL... 6

7.

Proses masking wilayah analisis... 7

8.

Skema Pengolahan Data... 8

9.

Grafik curah hujan Stratiform... 9

10.

Grafik curah hujan Stratiform permusim... 9

11.

Grafik curah hujan Konvektif... 10

12.

Grafik curah hujan Konvektif permusim... 10

13.

Grafik Suhu Permukaan Laut... 11

14.

Grafik Suhu Permukaan Laut permusim... 11

15.

Grafik curah hujan Jawa bagian barat... 12

16.

Grafik curah hujan musiman... 13

(9)

DAFTAR TABEL

1.

Korelasi curah hujan keluaran model REMO dengan data stasiun... 4

2.

Curah hujan Stratiform... 9

3.

Curah hujan Stratiform musiman... 9

4.

Curah hujan Konvektif... 10

5.

Curah hujan Konvektif musiman... 10

6.

SPL rataan 3 skenario REMO... 11

7.

Curah hujan Jawa bagian barat pada 3 skenario... 12

8.

Perubahan Curah hujan Skenario dua... 13

9.

Tabel curah hujan musiman pergantian SPL... 13

10.

Curah hujan bulanan skenario tiga... 14

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Parameter input dan output model REMO... 18

2.

Script conv_b2l... 20

3.

Script ganti_SPL ... 21

4.

Script tambah_SPL ... 24

5.

Script remo_ind_chain ... 26

6.

Script.all ... 28

7.

Script2.all ... 31

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia yang sebagian besar lautan (63%), berada di daerah tropis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Pasifik dan Hindia). Sebagai benua Maritim yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kepulauan, menjadikan fenomena cuaca di Indonesia sangat kompleks dipengaruhi oleh kondisi tersebut.

Tinjauan terhadap perairan di wilayah Indonesia yang cukup luas, diperkirakan memegang peranan penting dalam kontribusinya terhadap pembentukan fenomena cuaca terutama pembentukan awan dan hujan di Indonesia. Hal ini terkait dengan tingkat penguapan air laut yang cukup signifikan, sehingga berpeluang terbentuknya pertumbuhan awan dan hujan.

Kondisi demikian didukung pula dengan adanya sirkulasi angin global yaitu siklus Hardley dan Walker. Variabilitas musiman dan tahunan curah hujan Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh monsun dan ENSO (El-Nino Southren Oscillation). Angin monsun cukup fluktuatif, yang secara musiman berubah arah setiap setengah tahun sekali melintasi wilayah Indonesia. Dalam hal ini monsun barat laut, berkaitan dengan musim hujan yang berlangsung sekitar bulan Oktober-Maret. Sementara monsun tenggara berkaitan dengan musim kemarau yang berlangsung sekitar bulan April-September.

Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Selain sebagai daerah lumbung padi nasional, di Jawa Barat tersebar pusat-pusat kegiatan Ekonomi. Perkembangan ini mengakibatkan daerah Jawa Barat semakin rentan terhadap gejala anomali cuaca. Pengkajian cuaca secara kompenhensif diperlukan untuk daerah ini terutama pola dan distribusi curah hujan.

Dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat tiga sumber acuan informasi yaitu dari data hasil pengamatan, hasil kajian teoritis dan data hasil model. Yang paling bernilai dari ketiga jenis tersebut adalah hasil pengamatan karena semua analisis ilmiah akan dikembalikan kepada acuan tersebut. Akan tetapi

pengamatan dengan instrumentasi memiliki keterbatasan, mulai dari resolusi fisis alat, temporal sampai tutupan spasial. Untuk menutupi kekurangan tersebut maka digunakanlah sebuah model.

Kelebihan utama model adalah dapat memberikan solusi secara komprehensif dan memberikan visual yang lebih baik apa yang dapat terjadi apa bila sebuah skenario gejala ekstrim terjadi tanpa merubah kondisi nyatanya. Selain itu tingkat kinerja (performance) dan resolusi dari model memiliki keterbatasan. Kemampuan model iklim mensimulasikan fenomena iklim dan cuaca akan meningkat pada fenomena berskala spasial dan temporal yang sesuai dengan kemampuan model.

Dalam studi ini akan melihat sensitivitas curah hujan di Jawa Barat terhadap perubahan Suhu Permukaan Laut (SPL) disekitarnya, dengan menggunakan model iklim regional REMO yang dikembangkan oleh German Weather Servive (DWD), Max Planck Institute for Meteorology (MPI) dan German Climate Computing Center (DKRZ).

1.2 Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini melihat sensitivitas atau kestabilan musim terhadap perubahan SPL, melihat pada skala SPL berapa yang memberikan perubahan curah hujan terbesar. Dari hasil tersebut kita dapat melihat seberapa besar variabilitas SPL terhadap pola musim di Jawa Barat. Dan pada suhu (SPL) kritis berapa yang memberikan kontribusi perubahan terbesar terhadap pola curah hujan. Sehingga apabila terjadi perubahan iklim Global (perubahan SPL) kita dapat memperkirakan bentuk pola iklim yang akan datang.

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Distribusi dan Pola Curah Hujan

Curah hujan adalah uap air yang mengembun akibat proses kondensasi dan jatuh ke tanah. Jumlah curah hujan dinyatakan dalam ketebalan curah hujan (mm). Berdasarkan jenisnya curah hujan terbagi 3, yaitu hujan konvektif, hujan orografik, dan hujan konvergensi. Hujan konvektif adalah hujan deras yang dihasilkan akibat naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adaiabatik. Hujan orografik adalah hujan akibat massa udara yang dipaksa naik oleh faktor topografi suatu permukaan sehingga mengalami kondensasi. Hujan konvergensi terjadi akibat adanya pertemuan dua massa udara yang besar dan tebal, yang konvergen horisontal. Udara yang lebih hangat dan kurang padat dipaksa naik diatas massa udara yang lebih dingin dan mempunyai densitas lebih besar.

Variasi curah hujan yang diterima di suatu tempat ditentukan oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain kandungan uap air di atmosfer, keadaan topografi, sifat permukaan, perilaku daur alam seperti rotasi bumi dan fluktuasi jangka panjang. Untuk benua maritim Indonesia

sirkualsi angin monsun, kejadian El-Nino - La-Nina, dan ITCZ (Intertropical Convergence Zone) sangat mempengaruhi keragaman curah hujan.

Aldrian dan Susanto (2003) mengindentifikasikan wilayah Indonesia menjadi tiga daerah curah hujan dominan (daerah A, B dan C) dengan daerah intermedit ditengahnya. Daerah A mempunyai satu puncak pada bulan November-Maret (NDJFM) dan satu palung pada bulan Mei-September (MJJAS) dan dipengaruhi kuat oleh angin monsun. Daerah B mempunyai dua puncak di Oktober-November (ON) dan di Maret-Mei (MAM). Daerah C mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli(JJ) dan satu palung pada November-Febuari (NDJF). Dan daerah intermedit dengan musim hujan dan kemarau yang tidak jelas.

Daerah A meliputi area yang paling besar dan merupakan pola yang domian di Indonesia, terutama di wilayah selatan katulistiwa. Jawa Barat termasuk daerah dengan tipe hujan A, dimana pengaruh angin monsun sangat dominan. Sebagian besar curah hujannya merupakan curah hujan konvektif. Selain itu ada korelasi penting antara SPL dan variabilitas curah hujan di daerah tersebut (Aldrian dan Susanto, 2003).

(13)

2.2 Respon Suhu Permukaan Laut

Suhu air laut terutama lapisan permukaan, ditentukan oleh pemanasan matahari yang intensitasnya senantiasa berubah terhadap waktu. Perubahan suhu ini dapat terjadi secara musiman, tahunan, dan jangka panjang.

Menurut Bony et al (1997) dan Lau et al (1997), SPL di bawah 29,6 °C, jumlah curah hujan meningkat seiring dengan peningkatan SPL. Peningkatan tersebut tidak linier. Di di atas 29,6 °C peningkatan dari SPL menyebabkan penurunan jumlah curah hujan

maksimum.

Berdasarkan hasil penelitian Aldrian dan Susanto (2003), untuk daerah A ada perbedaan jelas antara musim kemarau dan hujan. SPL dan jumlah curah hujan berkurang dari Januari ke Agustus dan meningkat dari Agustus ke Desember.

Secara umum, MAM adalah musim yang paling tak bereaksi, dengan paling sedikit nilai korelasi penting di semua tiga daerah. Korelasi yang tinggi dari Juni sampai November di sebagian besar Indonesia, menyarankan suatu kemungkinan baik untuk prediksi musiman dengan menggunakan nilai SPL (Aldrian dan Susanto, 2003)

2.3 Model Iklim Regional 2.3.1. Model REMO

Model Iklim regional REMO (REgional MOdel), yang akan digunakan dalam studi ini dikembangkan dari model Numerical Weather Prediction. Dahulu dinamai EM (Europa

Model). Untuk lebih melengkapi uraian EM model dapat ditemukan di Majewski (1991) dan DWD (1995).

Dalam pengembangan model iklim regional sebagai alat riset iklim, telah dilakukan kerja sama antara German Weather Servive (DWD), Max Planck Institut untuk Meteorologi (MPI) dan German Climate Computing Center (DKRZ).

REMO adalah model iklim atmosfir yang berskala regional dan berfungsi sebagai model

zoom-in (memperbesar) daerah model untuk

menurunkan hasil model iklim global dengan skala kasar menuju model dengan skala regional (metoda down-scaling). REMO bekerja dengan resolusi spasial horizontal ½ dan 1/6 derajat dengan jumlah ukuran grid tertentu. REMO dapat bekerja dengan resolusi vertikal 20 hingga 40 lapisan atmosphere dari permukaan atau sekitar 1000mb hingga 10 mb. Dengan resolusi temporal data 6 jam. Model iklim ini membutuhkan data permukaan dan data cuaca di tiap lapisan. Data dari permukaan terdiri dari data statis dan data dinamis. Data statis meliputi data orografis dan tutupan lahan. Data dinamis meliputi data suhu muka laut dan dinamika atmosfir.

REMO adalah sebuah model hydrostastic yang berkerja dengan menafikan pergerakan masa udara vertikal sehingga model ini lebih melihat pergerakan horisontal. Akibatnya pemakaian model jenis ini kurang efektif untuk daerah yang terjal seperti pegunungan karena terjadi banyak pergerakan vertikal. Model jenis hydrostatic baik dipakai untuk skala regional dan global dimana faktor lokal seperti digambarkan diatas dapat diabaikan.

(14)

Gambar 2. contoh Output REMO (SPL).

Gambar 3. Lima pulau besar dan tiga laut yang digunakan dalam validasi model REMO.

2.3.2. Penggunaan model REMO di Indonesia

Untuk penggunaannya di Indonesia Model REMO sudah disesuaikan oleh Aldrian et al (2004). Pemakaian model REMO untuk benua maritim Indonesia telah lama dilakukan. Aplikasi pemakaian REMO beragam dari pemakaian REMO sendiri (stand alone) untuk meneliti curah hujan Indonesia Aldrian et al (2004), studi keragaman curah hujan di Sulawesi Selatan Gunawan et al (2004), menggabungkan model laut dan atmosfir Aldrian et al (2005) dan melakukan pengkajian dinamika fisis terhadap penyebaran asap kebakaran hutan.

Tabel 1. Korelasi curah hujan keluaran model REMO dengan data stasiun

Pulau ERA 15 NRA ECHAM-4

Jawa 0.798 0.716 0.173 Kalimantan 0.780 0.668 0.422 Sumatra 0.708 0.682 0.637 Sulawesi 0.645 0.577 0.541 Irian 0.434 0.350 0.143

Validasi model REMO telah dilakukan oleh Aldrian et al (2004). Dalam mem-validasi model ini digunakan tiga jenis data yaitu data reanalisis dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ERA 15), reanalisis dari National Centers for Environmental Prediction and National Center for Atmospheric Research (NRA) dan

ECHAM-4, kemudian dibandingkan dengan data stasiun. Dalam memvalidasi model REMO wilayah studi yang digunakan adalah lima pulau besar dan tiga laut. Dari hasil validasi diketahui bahwa data ERA 15 merupakan data terbaik untuk menjalankan model REMO.

(15)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dimulai bulan Desember 2005 sampai bulan April 2007.

3.2. Bahan dan Alat

Daerah studi meliputi Jawa Barat dan lautan di sekitarnya, suatu area antara 50-100

LS dan 1050-1150 BT. Dengan resolusi spasial

sebesar ½°, maka didapatkan 200 grid data REMO ½°.

Gambar 4. Daerah studi pulau Jawa dan laut sekitarnya

Data yang digunakan ialah data pada tahun 1996, yang merupakan tahun normal. Hal ini untuk mengurangi pengaruh ENSO terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia. Data iklim tahun 1996 menggunakan data reanalisis European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF). Data tutupan lahan dan topografi Indonesia dihitung dari US Navy dan USGS Global Topographic Data (GTOP30) dengan resolusi spasial 1 km. Untuk memvalidasi SPL digunakan data dari Global Ice and Sea Surface Temperature (GISST). Data ECMWF Re Analyses atau ERA 15 merupakan data terbaik untuk menjalankan model REMO.

Model iklim regional REMO membutuhkan data di 20 lapisan, dengan data permukaan dan data cuaca di tiap lapisan. Data dari permukaan yang terdiri dari data dinamis seperti suhu permukaan, tekanan permukaan, albedo permukaan, suhu tanah, kapasitas lapang tanah, dan sebagainya serta data statis permukaan seperti data orografi, tutupan lahan, jenis tanah, rasio vegetasi, jenis vegetasi. Data input tiap lapisan terdiri dari data suhu, ketinggian geopotensial, kecepatan angin, dan kelembaban spesifik. Parameter lengkap data input model REMO terlampir.

Pada dasarnya REMO berjalan pada suatu superkomputer dengan UNIX sebagai sistem operasi. Karena perkembangan yang cepat teknologi Personal Computer (PC) dan arsitektur komputer kombinasi beberapa PC, dengan Linux sebagai sistem operasi, REMO dapat dijalankan. Wyser (2001) melaporkan hasil suatu model simulasi iklim regional menggunakan beberapa arsitektur komputer yang mencakup Linux Cluster. REMO 1/2° untuk studi ini dioperasikan pada suatu PC dengan Linux sebagai sistem operasi.

Selain PC dengan Linux diperlukan juga program gcc dan fortran compiler untuk menginisialisasi dan menjalankan REMO. Dalam menjalankan REMO diperlukan beberapa tambahan perangkat lunak untuk pre dan post processing yaitu kebutuhan olah data sebelum dan sesudah menjalankan REMO. Untuk hal ini perlu ditambahkan beberapa piranti lunak tambahan seperti pada paket, prepostproc.tar.gz, pingo_1.50.tar.gz dan GrADS.

3.3 Metode

3.3.1. Skenario Model

Penggunaan model iklim REMO dibagi menjadi tiga buah skenario. Skenario pertama mensimulasikan model iklim normal atau tanpa perubahan suhu permukaan laut. Hasil skenario ini digunakan sebagai kontrol terhadap skenario yang lainnya.

Pada skenario dua, data SPL dibagi menjadi data musiman (4 Musim) dan data SPL tersebut dipertukarkan. Data SPL dibagi menjadi empat, yaitu Desember-Febuari (DJF), MAM, Juni–Augustus (JJA) dan September–November (SON). DJF menggambarkan puncak Angin monsun Australia–Asia barat laut (puncak musim hujan), dan JJA menggambarkan puncak Angin monsun Australia–Asia tenggara (puncak musim kemarau). Sedangkan MAM dan SON menggambarkan transisi angin monsun. Pertukaran SPL ini berfungsi menguji sensitivitas musiman curah hujan terhadap perubahan SPL.

Skenario tiga digunakan untuk melihat perubahan nilai SPL yang memberikan perubahan curah hujan paling signifikan. Data SPL normal diberikan pertambahan sebesar 1

0C. Hasil skenario ini dianalisis besar

perubahan curah hujannya dan di lihat pada suhu (SPL) yang memberikan perubahan paling besar.

Dari hasil keluaran skenario dua dan tiga model, dianalisis besar perubahan curah hujannya terhadap curah hujan normal dan

(16)

dilihat kontribusi yang paling besar terhadap perubahan curah hujan. Dari hasil tersebut dapat diperoleh informasi besar variabilitas SPL terhadap pola musim di Jawa Barat. Dan suhu (SPL) kritis yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pola curah hujan. Secara keseluruhan dapat memperkirakan bentuk pola iklim yang akan datang, bila terjadi perubahan SPL.

Gambar 5. Skema kegiatan penelitian

3.3.2. Menjalankan Model

Fase menjalankan REMO terbagi dalam 4 tahap yaitu; Tahap compiler installation, tahap pre-processing, tahap menjalankan model REMO, dan tahap post processing. Tahap compiler installation adalah tahap mempersiapkan REMO dan software tambahan untuk olah data.

Untuk menggunakan program REMO diperlukan installasi software tambahan seperti Lahey Fortran Fujitsu 95 sebagai

compiler REMO. Selain itu program gcc

sebagai compiler script harus sudah diinstall. Setelah itu program REMO siap digunakan. Untuk installasi software tambahan lain bisa dilakukan setelah menjalankan model REMO.

Tahap pre-processing, tahap ini meliputi konversi data tutupan lahan dalam region yang diinginkan dan skala yang dibutuhkan dan disimpan dalam format input REMO,

menyiapkan data global dengan interpolasi spasial dan vertikal kedalam domain REMO (data lokal), dan menyiapkan data lokal kedalam format binary REMO. Cakupan data adalah 101 x 55 pixel yaitu 8,5°LU – 19°LS dan 91°BT – 141,5°BT. REMO membutuhkan format binary little endian. Untuk itu diperlukan koversi data dari format big endian menjadi format little endian. Untuk merubah format data digunakan script conv_b2l. Format standar penamaan file REMO mengikuti kaidah E400xxDDMMYYHH dengan,

• E : jenis data, bisa e, a atau c

• xx : file input, output atau reinisialisasi, berupa xa,xe,xt,xf,xg,xp

DD : hari (day)

MM : bulan (month)

YY : tahun (year)

HH : jam (hour)

Untuk data input kontrol langsung ke tahap berikutnya. Sedangkan data input skenario 2 dan 3 dilakukan perubahan parameter yang akan diteliti menggunakan script ganti_SPL dan tambah_SPL. Fungsi dari script ganti_SPL adalah membagi data SPL menjadi 4 bagian dan menukarkan data SPL. Fungsi script tambah_SPL adalah menambahkan nilai SPL sebesar 1 0C. Data

yang dirubah hanya data pada wilayah kajian. Metode yang digunakan masking, dimana SPL wilayah kajian diberi nilai 1 dan lainnya diberi nilai 0.

Gambar 6. Proses masking SPL Proses yang terjadi saat menjalankan script ganti_SPL ialah mengidentifikasi data,

Skenario 2: Ganti SPL musiman Data Iklim Indonesia

(ERA15)

Model REMO

Output 1 Output 2 Output 3

Analisis Informasi Skenario 3: Tambah SPL Skenario 1: Simulasi Normal

(17)

mengurutkan data SPL selama setahun, dan menukar data SPL. Penukaran data SPL setelah data diurutkan ialah dengan merubah data SPL tanggal 1 Januari menjadi data SPL 1 April dan seterusnya atau data SPL dimundurkan selama 3 bulan. Sehingga data SPL 31 Desember menjadi data SPL 31 Maret. Script ganti_SPL terlampir.

Untuk script tambah_SPL, prosesnya lebih mudah. Mulai dari mengidentifikasi data, mengurutkan data, dan menambahkan data SPL sebesar 1 0C. Script tambah_SPL

terlampir.

Tahap menjalankan model REMO, untuk menjalankan model perlu dipisahkan direktori kerja menurut pembagian yang diperlukan, seperti tempat menyimpan file input, file kerja dan file hasil dalam direktori khusus. Biasanya dipakai konvensi nama direktori yaitu:

• xa : sebagai direktori input

xalin : sebagai direktori input dengan format little endian.

xf : direktori initial file, file perantara

• xe : sebagai direktori output seluruh parameter hasil perhitungan REMO

• xt : sebagai direktori output parameter permukaan hasil perhitungan REMO

Setelah direktori disiapkan kemudian menjalankan model REMO dengan script

remo_ind_chain dan script put_remo_result.

Tahap post processing yaitu tahap menganalisis data keluaran REMO, seperti mengeluarkan hanya beberapa parameter yang kita inginkan dan menghitung nilai rata rata bulanan. Tahap ini terdiri dari beberapa proses menggunakan software tambahan. Proses pertama ialah ekstraksi output REMO, yaitu mengeluarkan data parameter tertentu dari output REMO menggunakan script.all. Script ini merubah format data output REMO menjadi grid agar dapat dianalisis dengan menggunakan GraDS. Hasil ekstrak data keluaran REMO merupakan data 6 jam dalam sebulan.

Proses selanjutnya ialah masking, yaitu membatasi wilayah kajian, dimana wilayah kajian diberi nilai 1 dan lainnya diberi nilai 0. Wilayah kajian ialah jawa bagian barat, yang terdiri dari 19 pixel ½°.

Gambar 7. Proses masking wilayah analisis Membuat rataan wilayah menggunakan

script2.all. Hasil dari script ini merupakan

rataan bulanan dari data ouput bukan data 6 jam-an. Hasil akhir di analisis menggunakan GraDs dan MS Excel.

3.3.3. Analisis keluaran Model

Analisis data output atau keluaran model dimulai dari tahap post processing sampai pengolahan menggunakan GraDs dan MS Excel. Dalam tahap post processing analisis pertama mencari nilai rataan wilayah parameter yang digunakan. Parameter tersebut adalah SPL, sedangkan untuk curah hujan data outputnya diakumulasikan menjadi curah hujan harian, bulanan, dan musiman. Untuk mencari nilai rataan digunakan script2.all. Perhitungan yang digunakan

n

T

T

n i i

=

=

1 Dimana: T

= nilai SPL rata-rata

Ti = nilai SPL per-6 jam

n = jumlah data, untuk rataan

harian digunakan 4, dan untuk bulanan = jumlah hari dalam satu bulan dikali 4

Untuk curah hujan pengolahan dilakukan di MS Excel. Nilai curah hujan harian dan bulanan merupakan akumulasi data keluaran per 6 jam. Perhitungan yang digunakan ialah sebagai berikut :

(18)

=

=

4 1 p p n

CH

CH

=

=

n n n b

CH

CH

1 z y x m

CH

CH

CH

CH

=

+

+

Dimana :

CHp = curah hujan output REMO

CHn = curah hujan harian

CHb = curah hujan bulanan

CHm = curah hujan musiman

CHx = curah hujan bulan x

CHy = curah hujan bulan y

CHz = curah hujan bulan z

n = jumlah hari dalam satu bulan Setelah di dapatkan nilai harian, bulanan, dan musiman setiap skenario, lalu diperbandingkan per parameter. Metode yang digunakan untuk memperbandingkan tiap parameter menggunakan rumus sebagai berikut.

%

100

×

=

n n m

p

p

p

p

Dimana :

Δp = besarnya perubahan parameter m terhadap parameter normal dalam persentase

Pn = nilai parameter skenario satu atau

skenario normal

Pm = nilai parameter skenario dua atau

tiga

Untuk menentukan sensitivitas curah hujan terhadap SPL dilihat dari besarnya perubahan curah hujan keluaran model REMO skenario dua atau pertukaran SPL terhadap curah hujan kontrol. Untuk menentukan bulan yang sensitif atau tidak stabil digunakan data curah hujan bulanan dan untuk sensitivitas musim digunakan curah hujan permusim.

Untuk menentukan suhu (SPL) kritis, data curah hujan yang digunakan lebih besar dari 5 mm. Hal ini untuk membatasi kajian hanya pada hari hujan. Lalu data curah hujan kontrol dikelompokan berdasarkan nilai SPLnya. Dari pengelompokan curah hujan dilihat berapa banyak data curah hujan skenario tiga atau tambah SPL yang naik atau turun dan diperbandingkan.

Gambar 8. Skema Pengolahan Data

Persiapan Compiler dan Data

Install gcc

Install Lahey Fortran

Run script conv_b2l

Inisialisasi Data Input

Run script ganti_SPL

Run script tambah_SPL

Model REMO

(menjalankan 3 skenario)

Run script remo_ind_chain

Run script put_remo_result

Ekstraksi dan Analisis Data

Run scipt.all

Run script2.all

GraDs

(19)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Parameter Curah Hujan model REMO

Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C142 dan curah hujan konvektif dengan kode C143. Hujan Stratiform adalah hujan kontinu yang dihasilkan awan stratiform akibat kenaikan udara skala luas akibat adanya front, kenaikan topografi atau konvergensi horizontal skala luas. Hujan Konvektif adalah hujan deras yang dihasilkan akibat naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adaiabatik.

4.2. Hujan Stratiform

Hujan stratiform pada data output model pada masing-masing skenario ditunjukan dalam grafik dibawah ini:

0 10 20 30 40 50 60

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

C

H

(m

m

)

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

Gambar 9. Grafik curah hujan Stratiform. Pada skenario 2 atau pertukaran SPL penambahan curah hujan terjadi pada 5 buah bulan dan penurunan terjadi pada 6 buah bulan. Dan jumlah total curah hujan dalam setahun mengalami penurunan sebesar 4 mm. Dari grafik terlihat bahwa penurunan curah hujan terjadi pada bulan-bulan dimusim peralihan, sedangkan pertambahan curah hujan terjadi pada bulan-bulan dimusim hujan dan kemarau.

Dalam grafik terlihat pada skenario 3 atau penambahan SPL terjadi kenaikan jumlah curah hujan kecuali pada bulan November. Kenaikan curah hujan tertinggi pada bulan April sebesar 23 mm. Dan bulan September merupakan bulan yang paling sedikit mengalami perubahan. Total curah hujan dalam setahun mengalami kenaikan sebesar 46%.

Tabel 2. Curah hujan Stratiform

Kontrol (mm) Ganti SPL (mm) Tambah SPL (mm) Jan 20 23 23 Feb 34 42 43 Mar 10 6 18 Apr 9 4 32 Mei 5 4 8 Jun 3 3 7 Jul 9 15 15 Agus 8 15 10 Sep 5 6 5 Okt 19 15 32 Nov 27 18 26 Des 41 35 57 Total 190 186 277

Dan secara musiman, pada skenario 2 terlihat bahwa DJF dan JJA mengalami kenaikan sedangkan MAM dan SON mengalami penurunan curah hujan. Sedangkan untuk skenario 3 atau penambahan SPL terjadi kenaikan pada setiap musimnya. Dengan kenaikan tertinggi terjadi pada musim MAM sebesar 35 mm. 0 20 40 60 80 100 120 140

DJF MAM JJA SON

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

Gambar 10. Grafik curah hujan Stratiform permusim.

Tabel 3. Curah hujan Stratiform musiman

Kontro l (mm) Ganti SPL (mm) Tambah SPL (mm) DJF 94 101 123 MAM 24 14 58 JJA 20 33 32 SON 51 39 64 TOTAL 190 186 277

Pada skenario 2, kenaikan curah hujan statiform terjadi saat musim hujan dan kemarau. Sedangkan pada musim peralihan terjadi penurunan jumlah curah hujan statiform. Pada skenario 3 kenaikan SPL meningkatkan curah hujan statiform setiap musimnya.

4.3. Hujan Konvektif

Hujan konvektif merupakan hujan yang dominan diwilayah Jawa. Curah hujan daerah Jawa mempunyai satu puncak pada bulan November-Maret (NDJFM) dan satu palung pada bulan Mei-September (MJJAS) dan dipengaruhi kuat oleh angin monsun. Puncak musim hujan kontrol terjadi pada bulan Febuari dengan curah hujan sebesar 586 mm.

(20)

0 100 200 300 400 500 600 700

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

C H ( m m )

Kontrol Ganti_SST Tambah_SST

Gambar 11. Grafik curah hujan Konvektif. Dari grafik diatas pada skenario 2 atau pertukaran SPL terjadi penurunan curah hujan sebanyak 7 buah bulan dan kenaikan pada 5 buah bulan yang lain. Penurunan terbesar terjadi pada bulan April sebesar 200 mm. Total curah hujan yang berkurang sebesar 360 mm.

Pada skenario 3 umumnya terjadi kenaikan curah hujan kecuali pada bulan Desember. Kenaikan curah hujan sebesar 576 mm atau 18% dari total curah hujan kontrol. Kenaikan terbesar terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 136 mm.

Tabel 4. Curah hujan Konvektif

Kontrol (mm) Ganti SPL (mm) Tambah SPL (mm) Jan 444 539 580 Feb 586 571 615 Mar 396 305 524 Apr 272 72 390 Mei 62 26 101 Jun 42 21 45 Jul 17 32 30 Agus 51 128 87 Sep 7 34 13 Okt 282 305 392 Nov 472 332 496 Des 559 465 493 Total 3190 2830 3766

Dan secara musiman, pada skenario 2 musim DJF, MAM, dan SON mengalami penurunan curah hujan. Penurunan yang paling besar terjadi pada musim MAM sebesar 327 mm. Sedangkan pada musim JJA mengalami kenaikan sebesar 71 mm. Pada skenario 3 semua musim mengalami kenaikan curah hujan. Musim MAM mengalami kenaikan yang paling besar yaitu 285 mm dan yang paling kecil pada JJA yaitu sebesar 52 mm. Kenaikan 52 mm pada JJA yang

merupakan puncak musim kemarau merupakan kenaikan terbesar secara persentase yaitu sebesar 48%, sedangkan musim DJF merupakan musim yang terkecil secara persentase yaitu sebesar 6%.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

DJF MAM JJA SON

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

Gambar 12. Grafik curah hujan Konvektif. permusim

Tabel 5. Curah hujan Konvektif musiman

Kontro l (mm) Ganti SPL (mm) Tambah SPL (mm) DJF 1590 1575 1688 MAM 730 403 1015 JJA 110 181 162 SON 760 671 901 Total 3190 2830 3766

Pada skenario 2 DJF merupakan musim yang paling stabil. Musim JJA dan MAM merupakan musim yang paling besar perubahan curah hujannya. Total penurunan curah hujan sebesar 360 mm atau sebesar 11%. Sedangkan pada skenario 3 peningkatan SPL meningkatkan jumlah curah hujan pada setiap musim. Terutama pada puncak musim kemarau (JJA) dan MAM.

4.4. Suhu Permukaan Laut

Suhu permukaan laut merupakan unsur penting dalam pembentukan awan hujan. Laut merupakan sumber utama penguapan uap air. Uap air ini dibawa oleh oleh angin keatas daratan dan naik, sehingga mengalami pendinginan dan mengkondensasi menjadi tetes-tetes awan yang kemudian jatuh sebagai persipitasi. Besar kecilnya penguapan ini ditentukan seberapa besar energi yang diterima permukaan laut, atau berbanding lurus dengan suhunya.

Hasil output data kontrol REMO menunjukan SPL disekitar perairan pulau Jawa memiliki satu puncak pada bulan Maret dan palung pada bulan September. Dengan kisaran suhu 299,5 K sampai 303 K atau sekitar 26,5 -30 0C. Perubahan SPL ini

mengikuti pergerakan semu matahari terhadap bumi.

(21)

25 26 27 28 29 30 31

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des

S u h u (0C )

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

Gambar 13. Grafik Suhu Permukaan Laut Tabel 6. SPL rataan 3 skenario REMO

Bulan Kontrol Ganti Spl Tambah SPL

Jan 28.7 27.8 29.7 Feb 28.8 28.6 29.8 Mar 29.3 28.5 30.3 Apr 29.3 28.7 30.3 Mei 28.5 28.8 29.5 Jun 27.8 29.3 28.8 Jul 27.2 29.2 28.2 Agus 26.9 28.5 27.9 Sep 26.8 27.8 27.8 Okt 27.7 27.2 28.7 Nov 28.6 26.9 29.6 Des 28.5 26.8 29.5

SPL wilayah penelitian berada di bumi belahan selatan. Oleh karena itu pada grafik terlihat SPL meningkat ketika pergerakan semu matahari menuju selatan dan menurun ketika matahari bergerak semu ke bumi belahan utara.

Dan secara musiman grafik dapat dilihat dibawah ini : 25 26 27 28 29 30 31 1 7 14 21 28 5 12 19 26 1 8 15 22 28 S u h u (0C )

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

(a) DJF 25 26 27 28 29 30 31 1 8 15 22 29 5 12 19 26 3 10 17 24 31 S u h u (0C )

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

(b) MAM 25 26 27 28 29 30 31 1 8 15 22 29 6 13 20 27 3 10 17 24 31 S u h u (0C )

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

(c) JJA 25 26 27 28 29 30 31 1 8 15 22 29 6 13 20 27 3 10 17 24 S u h u (0C )

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

(d) SON

Gambar 14. Grafik Suhu Permukaan Laut per-musim

(22)

4.5. Curah hujan umum 0 100 200 300 400 500 600 700

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

C H ( m m )

Kontrol Ganti_SPL Tambah_SPL

Gambar 15. Grafik curah hujan Jawa bagian barat Tabel 7. Curah hujan Jawa bagian barat pada 3 skenario

Bulan Kontrol Ganti

SPL

Tambah SPL

Perubahan Terhadap Kontrol

mm % Ganti SPL Tambah SPL Ganti SPL Tambah SPL Jan 463 562 602 99 139 21 30 Feb 621 613 658 -7 37 -1 6 Mar 405 311 542 -94 137 -23 34 Apr 282 75 422 -206 140 -73 50 Mei 67 30 109 -37 41 -55 62 Jun 45 24 51 -21 6 -47 14 Jul 26 47 46 21 20 80 75 Agus 59 143 97 84 38 142 64 Sep 12 40 19 28 7 233 59 Okt 301 320 424 19 123 6 41 Nov 499 351 522 -148 23 -30 5 Des 600 502 551 -98 -49 -16 -8 Total 3380 3018 4043 -362 663 -11 20

Curah hujan hasil keluaran model, memperlihatkan begitu kuatnya pengaruh monsun terhadap pola curah hujan di wilayah Jawa. Dimana curah hujan mencapai puncak pada bulan Febuari dan menurun dibulan Maret sampai bulan Juli, dan meningkat kembali pada bulan Oktober. Bulan terkering pada skenario satu atau kontrol terjadi di bulan September yang merupakan awal musim peralihan bukan pada puncak musim kemarau. Data curah hujan harian keluaran model REMO terlampir.

Curah hujan pada skenario 2 atau ganti SPL mengalami penurunan sebesar 11% atau 362 mm terhadap curah hujan kontrol. Puncak musim hujan terjadi pada bulan Febuari sebesar 613 mm dan terendah pada bulan Juni yaitu sebesar 24 mm. Pertambahan curah hujan terjadi pada 5 bulan dengan

pertambahan terbesar pada bulan September sebesar 233 %. Sedangkan 7 bulan lainnya mengalami penurunan dengan penurunan terbesar terjadi pada bulan April sebesar 73 %.

Penurunan curah hujan dari Febuari sampai bulan Juni sebesar 365 mm, sebagian besar diakibatkan berkurangnya curah hujan pada bulan April. Berkurangnya curah hujan bulan April disebabkan berkurangnya intensitas dan hari hujan. Dari bulan Juli sampai bulan Oktober menambahkan curah hujan sebesar 152 mm, dengan pertambahan terbesar pada bulan Agustus sebesar 84 mm.

Pada data kontrol bulan April merupakan bulan basah dimana curah hujannya sebesar 282 mm, sedangkan pada data keluaran skenario 2 turun menjadi 75 mm. Penurunan curah hujan ini kemungkinan mengakibatkan

(23)

musim hujan lebih sedikit waktunya karena jumlah bulan basah (curah hujan >100mm) pada musim hujan berkurang.

Dari pertambahan dan penurunan curah hujan pada skenario 2 terhadap curah hujan kontrol, mempunyai korelasi yang positif dengan selisih SPL pada skenario 2 dengan SPL kontrol. Ketika selisih SPL positif, maka curah hujan pada skenario 2 mengalami pertambahan dengan time leg kurang lebih 1 bulan. Pada bulan Juli dimana selisih SPL sebesar 2 0C merupakan yang terbesar,

mempengaruhi peningkatan jumlah curah hujan terbesar pada bulan Agustus. Dari hasil ini, respon perubahan SPL akan mempengaruhi curah hujan sebulan kemudian. Hal ini dikarenakan perubahan di laut lebih lambat dibandingkan perubahan di atmosfer.

Sedangkan pada skenario 3 atau penambahan SPL, curah hujan mengalami peningkatan sebesar 20% atau 663 mm terhadap curah hujan kontrol. Dari Januari sampai November terjadi peningkatan curah hujan, dengan peningkatan terbesar pada bulan Juli sebesar 75%. Bulan Desember merupakan satu-satunya bulan yang mengalami penurunan curah hujan, sebesar 8% atau 49 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Febuari sebesar 658 mm dan terendah terjadi pada bulan September sebesar 19 mm.

4.6. Sensitivitas curah hujan terhadap SPL

Sensitivitas atau kestabilan curah hujan terhadap SPL dikaji untuk memahami pengaruh SPL terhadap variabilitas curah hujan. Besar variabilitas curah hujan di Indonesia selain SPL dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain; sirkulasi angin monsun, kejadian El-Nino-La-Nina, ITCZ (Intertropical Convergence Zone) dan topografi daratan.

Pada skenario 2 atau ganti SPL, curah hujan memberikan respon yang beragam terhadap pergantian SPL. Dari tabel4.7 curah hujan mengalami penurunan pada 7 buah bulan dan peningkatan pada 5 bulan lainnya.

Tabel 8. Perubahan Curah hujan Skenario 2

kontrol Ganti SPL Perubahan Kontrol mm mm mm % Jan 463 562 99 21 Feb 621 613 -7 -1 Mar 405 311 -94 -23 Apr 282 75 -206 -73 Mei 67 30 -37 -55 Jun 45 24 -21 -47 Jul 26 47 21 80 Agus 59 143 84 142 Sep 12 40 28 233 Okt 301 320 19 6 Nov 499 351 -148 -30 Des 600 502 -98 -16

Besar kecilnya respon curah hujan terhadap perubahan SPL menentukan tingkat sensitivitas curah hujan bulanan maupun musiman. Pada tabel diatas bulan Febuari merupakan bulan yang paling kecil responnya terhadap SPL. Dengan penurunan curah hujan sebesar 7 mm atau 1 % dari curah hujan kontrol. Dan bulan yang memberikan respon paling tinggi terhadap pergantian SPL ialah bulan September dengan kenaikan curah hujan sebesar 28 mm atau 233 % dari curah hujan kontrol.

Sensitivitas atau kestabilan curah hujan musiman terhadap SPL, ditentukan oleh seberapa besar perubahan curah hujan yang terjadi setelah data SPL dipertukarkan dibandingkan dengan curah hujan musiman normal. Umumnya dari 4 musim (DJF, MAM, JJA, dan SON) terjadi penurunan jumlah curah hujan, kecuali pada musim JJA yang mengalami kenaikan curah hujan.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

DJF MAM JJA SON Kontrol Ganti_SPL Gambar 16. Grafik curah hujan musiman

Tabel 9. Tabel curah hujan musiman pergantian SPL Kontrol Ganti SPL Perubahan Terhadap Kontrol mm mm mm % DJF 1684 1678 -6 0 MAM 754 417 -337 -45 JJA 130 214 83 64 SON 811 710 -101 -12 Total 3380 3018 -362 -11

Pada tabel terlihat bahwa DJF merupakan musim paling stabil atau memberikan respon paling rendah terhadap perubahan SPL dengan penurunan curah hujan sebesar 6 mm. Dan

(24)

musim yang memberikan respon paling besar adalah musim JJA dan MAM. Musim JJA mengalami kenaikan curah hujan sebesar 83 mm atau 64 % dari curah hujan kontrol. Musim MAM mengalami penurunan curah hujan sebesar 337 mm atau 45 % curah hujan kontrol.

Musim DJF merupakan puncak musim hujan pada wilayah kajian. Curah hujan musim ini setelah data SPLnya dipertukarkan tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu hanya penerunan sebesar 6 mm. Curah hujan normal sebesar 1684 mm, setelah dipertukarkan data SPLnya menjadi 1678 mm. Dari hasil ini, musim DJF merupakan musim yang paling stabil terhadap perubahan SPL.

Musim MAM merupakan musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Curah hujan pada musim ini jauh berkurang dibandingkan dengan musim sebelumnya. Curah hujan data kontrol sebesar 754 mm, setelah dipertukarkan data SPL mengalami penurunan yang sangat besar menjadi 417 mm. Penurunan CH sebesar 337 mm ini merupakan yang terbesar dibandingakan dengan perubahan pada musim yang lain. Penurunan CH ini dapat disimpulkan bahwa musim MAM sensitif terhadap perubahan SPL.

Musim JJA yang merupakan puncak Angin monsun Australia–Asia Tenggara (puncak musim kemarau), satu-satunya musim yang mengalami kenaikan curah hujan. Kenaikan sebesar 83 mm adalah perubahan tertinggi dibandingkan dengan musim yang lain, yaitu sebesar 64 % terhadap CH kontrol. Musim JJA berkorelasi positif dengan perubahan SPL.

Musim SON merupakan musim peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Curah hujan pada musim ini meningkat dibandingkan dengan musim sebelumnya (JJA). Curah hujan data kontrol sebesar 811 mm, setelah dipertukarkan data SPL mengalami penurunan sebesar 12 % atau 101 mm menjadi 710 mm.

Sensitivitas atau kestabilan curah hujan terhadap SPL untuk tiap musim berbeda. Musim DJF merupakan musim paling stabil atau tidak bereaksi terhadap perubahan SPL. JJA dan MAM merupakan musim paling sensitif terhadap perubahan SPL.

4.7. Suhu kritis SPL

Suhu kritis SPL merupakan suhu dari SPL yang paling mempengaruhi peningkatan curah hujan. SPL data normal (kontrol) yang telah

ditambahkan nilainya sebesar 1 0C dijadikan

dasar untuk menentukan suhu kritis. Penambahan dilakukan pada setiap data REMO (per 6jam) di setiap gridnya pada daerah yang telah ditentukan.

Penambahan nilai SPL, sebagian besar memberikan peningkatan curah hujan dan pada beberapa data memberikan penurunan curah hujan. Pada bulan Januari sampai bulan November terjadi peningkatan curah hujan. Sedangkan pada bulan Desember terjadi penurunan curah hujan.

Tabel 10. Curah hujan bulanan skenario tiga

Kontrol Tambah SPL Perubahan Terhadap Kontrol mm % Jan 463 602 139 30 Feb 621 658 37 6 Mar 405 542 137 34 Apr 282 422 140 50 Mei 67 109 41 62 Jun 45 51 6 14 Jul 26 46 20 75 Agus 59 97 38 64 Sep 12 19 7 59 Okt 301 424 123 41 Nov 499 522 23 5 Des 600 551 -49 -8 Total 3380 4043 663 20

Total peningkatan curah hujan mencapai 663 mm atau mencapai 20% dari curah hujan normal. Dari data bulanan pada tabel terlihat keragaman respon curah hujan terhadap penambahan SPL. Pada bulan bulan kering (CH<100mm) penambahan SPL meningkatkan curah hujan lebih dari 50%, kecuali pada bulan Juni. Untuk bulan bulan basah terjadi variasi mulai dari berkurang 8% sampai bertambah 50%.

Untuk menentukan suhu kritis data curah hujan keluaran model (per-6 jam) dirubah menjadi data curah hujan rataan wilayah harian. Dari hasil analisis keluaran model REMO, pada SPL maksimum peningkatan SPL sebesar 1 0C masih menyebabkan

peningkatan curah hujan. Pada suhu diatas 29,50C seluruh curah hujan harian mengalami

kenaikan, sebagian besar bertambah lebih dari 50 %. Pada suhu dibawah 29,5 0C dan diatas

29,1 0C terdapat beberapa data curah hujan

yang mengalami penurunan, dan sebagian besar data mengalami kenaikan curah hujan sebesar 50 %. Untuk data pertambahan SPL dibawah 90,1 0C terjadi fluktuasi perubahan

(25)

0 20 40 60 80 100 26,8 27,7 27,9 28,4 28,6 28,8 29,0 29,2 29,4 29,6 SPL (0C) P er u b ah an CH (% ) Kenaikan Penurunan

Gambar 17. Grafik hubungan SPL dengan perubahan CH Dari hasil diatas bila minimal SPL

rata-rata laut sekitar pulau Jawa mencapai 29,5

0C, maka curah hujan wilayah Jawa Barat

akan selalu mengalami peningkatan. SPL 29,5 0C merupakan suhu yang memberikan

pengaruh paling besar dalam peningkatan curah hujan. Data SPL terendah hasil keluaran REMO untuk laut sekitar Jawa ialah 26,6 0C, bila terjadi peningkatan (pemanasan)

SPL sebesar 2,9 0C maka curah hujan akan

selalu meningkat. Dan bila terjadi peningkatan (pemanasan) SPL sebesar 2,5 0C

atau menjadi 29,1 0C maka curah hujan

cenderung meningkat.

Besarnya pertambahan curah hujan pada bulan Maret dan April yang merupakan bulan dengan SPL tertinggi, dengan pertambahan masing-masing lebih dari 135 mm curah hujan bulanan memberikan gambaran lebih jelas tentang hubungan peningkatan SPL dengan peningkatan curah hujan.

Tabel 11. Curah hujan musiman

Kontrol Tambah SPL Perubahan Kontrol mm mm mm % DJF 1684 1811 127 8 MAM 754 1073 319 42 JJA 130 194 64 49 SON 811 965 154 19 Total 3380 4043 663 20

Dari tabel diatas, musim JJA dan MAM merupakan musim yang memberikan respon paling tinggi terhadap pertambahan SPL. Hampir 50 % pertambahan curah hujan tahunan diberikan oleh musim MAM. Sedangkan DJF merupakan musim yang memberikan respon terendah terhadap penambahan SPL dengan pertambahan curah hujan sebesar 8 % dari curah hujan kontrol. Hasil ini memperkuat kesimpulan analisis sensitivitas curah hujan musiman sebelumnya.

(26)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dengan menggunakan model iklim REMO berbagai simulasi dan skenario perubahan iklim dapat dilakukan dengan baik. Simulasi yang dihasilkan memberikan gambaran gejala cuaca/iklim sangat lengkap dan komprehensif. Hasil model ini dipengaruhi oleh analisis skenario model, pemahaman penggunaan dan kemampuan model, dan analisis keluaran model.

Pemanfaatan model REMO dalam kegiatan ini, model menjalankan 3 buah skenario untuk mengkaji variabilitas SPL terhadap curah hujan di Jawa Barat. Dari keluaran model curah hujan di Jawa Barat sangat dipengaruhi siklus monsun. Hujan statiform dipengaruhi oleh kenaikan SPL, dimana pada skenario penambahan SPL terjadi kenaikan sebesar 46% dan pada skenario ganti SPL turun 2%. Hujan konvektif pada skenario ganti SPL mengalami penurunan 11%, sedangkan pada skenario penambahan SPL naik 18%.

Bulan Febuari merupakan bulan yang paling stabil terhadap perubahan SPL. Bulan September merupakan bulan yang memberikan respon tertinggi terhadap perubahan SPL (sensitif). Musim MAM merupakan musim yang paling sensitif terhadap perubahan SPL. Perubahan SPL pada musim MAM memberikan perubahan signifikan terhadap curah hujannya. Musim DJF yang merupakan puncak musim hujan adalah musim memberikan respon terendah terhadap perubahan SPL.

Pertambahan SPL sebesar 1 0C

meningkatkan hampir semua curah hujan bulanan. Pada bulan Maret dan April yang merupakan bulan dengan nilai SPL tertinggi, terjadi penambahan curah hujan sangat signifikan. SPL 29,5 0C merupakan suhu

yang memberikan pengaruh paling besar dalam peningkatan curah hujan. Bila SPL rata-rata belum mencapai 29,5 0C maka

curah hujan belum stabil (ada yang naik atau turun nilainya) dan bila diatas 29,5 0C curah

hujan selalu meningkat.

5.2 Saran

Dalam menggunakan suatu model berbagai skenario dan hasil yang didapat harus divalidasi dengan data lapang atau primer. Selain itu tingkat resolusi dari model harus ditingkatkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Int J Climatology 23: 1435–1452

Aldrian, E., Dümenil-Gates, L., Jacob,

D., Podzun, R., Gunawan, D.

2004. Long-term Simulation of

Indonesian Rainfall with the

MPI Regional Model. Climate

Dynamcs 22: 795-814

Aldrian, E., Sein, D., Jacob, D., Gates, LD Podzun, R. 2005. Modelling Indonesian Rainfall with a Coupled Regional Model. Climate Dynamcs 25: 1-7

Bony S, Lau KM, Sud YC. 1997. Sea Surface Temperature and Large-Scale Circulation Influences on Tropical Greenhouse Effect and Cloud Radiative Forcing. Journal of Climate 10: 2055–2077

DWD. 1995. Documentation des EM/DM-System. Edited by R. Schrödin. [Available from German Weather Service, Zentralamt, D-63004 Offenbach am Main].

Gunawan D, Gravenhorst, G., Jacob, D., Podzun, R.2004. Rainfall Variability Studies in South Sulawesi using Regional Climate Model REMO. Institute of Bioclimatology, Georg-August University, Göttingen, Germany Max Planck Institute for Meteorology, Hamburg, Germany Lau KM, Wu HT, Bony S. 1997. The Role of

Large-Scale Atmospheric Circulation in the Relationship between Tropical Convection and Sea Surface Temperature. Journal of Climate 10: 381–392.

Majewski, D., 1991. The Europamodell of the Deutscher Wetterdienst. In : ECMWF course "Numerical

methods in atmospheric models",

Vol.2, 147 - 191.

Wyser, K., 2001. The Mesoscale Model MM5 as a Regional Climate Model. Regional Climate Group, Earth Science Center, Göteborg University. 5 pp

(27)
(28)

Lampiran 1. Parameter input dan output model REMO

Parameter Input

129 Surface geopotential (orography)

172 Land sea mask

173 Surface roughness length 229 field capacity of soil 200 leaf area index

226 FAO data set (soil data flags)

212 Vegetation type 198 Vegetation ratio

174 Surface background albedo 199 Orographic variance (for

runoff) 134 Surface pressure 130 Temperature 139 Surface temperature 206 Snow temperature 207 Soil temperature TD3 208 Soil temperature TD4 209 Soil temperature TD5 170 Deep soil temperature 183 Soil temperature 131 u-Velocity 132 v-Velocity

133 Specific humidity 153 Liquid water content 140 Soil wetness

232 Glacier mask

194 Skin reservoir content (t-1) 141 Snow depth 156 Geopotential height ‘********************************** Parameter Output 130 Temperature 131 u-velocity 132 v-velocity 133 Specific humidity 153 Liquid water content 134 Surface pressure 135 Vertical velocity 139 Surface temperature 140 Soil wetness

141 Snow depth

142 Large scale precipitation 143 Convective precipitation 144 Snow fall

145 Boundary layer dissipation 146 Surface sensible heat flux 147 Surface latent heat flux 159 ustar**3

160 Surface runoff 162 Cloud cover 163 Total cloud cover 164 Total cloud cover 165 10m u-velocity 166 10m v-velocity 167 2m temperature

168 2m dew point temperature 169 Surface temperature 170 Deep soil temperature 171 10m windspeed

172 Land sea mask

173 Surface roughness length 174 Surface background albedo 175 Surface albedo

176 Net surface solar radiation 177 Net surface thermal

(29)

178 Net top solar radiation 179 Top thermal radiation (OLR) 180 Surface u-stress

181 Surface v-stress 182 Surface evaporation 183 Soil temperature

185 Net surf. solar radiation 186 Net surf. thermal radiation 187 Net top solar radiation 188 Net top thermal radiation 189 Surface solar cloud forcing 190 Surface thermal cloud

forcing

191 Top solar cloud forcing 192 Top thermal cloud forcing 194 Skin reservoir content

(t-1)

195 u-Gravity wave stress 196 v-Gravity wave stress 197 Gravity wave dissipation 198 Vegetation ratio

199 Orographic variance (for runoff)

200 Leaf area index

201 Maximum 2m-temperature 202 Minimum 2m-temperature 203 Top solar radiation upward 204 Surface solar radiation

upward

205 Surface thermal radiation upward

206 Snow temperature 207 Soil temperature TD3

208 Soil temperature TD4 209 Soil temperature TD5 210 Sea ice cover

211 Sea ice depth 212 Vegetation type

213 (effective) sea-ice skin temp

214 Maximum surface temperature 215 Minimum surface temperature 216 Maximum 10m-wind speed 217 Maximum heig of conv cloud

top

218 Snow melt

220 Residual surface heat budget

221 Snow depth change 223 Cloud cover 223 Cloud cover

224 Turbulent kinetic energy 226 FAO data set (soil data

flags)

227 Heat capacity of soil 228 Soil diffusivity 229 Field capacity of soil 230 Vert-ly integ spec.

humidity

231 Vert-ly integ liq water cont

232 Glacier mask

129 Surface geopotential (orography)

(30)

Lampiran 2. Script conv_b2l

#! /bin/bash #

set -ex #

# converts bigendian data to littleendian data # compile uswap in directory uread

# INPUTDIR=/home/yanuar/remo/xa OUTPUTDIR=/home/yanuar/remo/xalin cd ${INPUTDIR} for I in * do

# for ext4,remo etc

uswap -x -i ${I} -o ${OUTPUTDIR}/${I} # for ext8

#uswap -x -d -i ${I} -o ${OUTPUTDIR}/${I} done

(31)

Lampiran 3. Script ganti_SPL

/* program to edit ieg files */

/* use cmd> gantiSPL.x filename1 filename2 */ #include <stdio.h> /* fopen, FILE */

#include <string.h> /****** string manipulation ****/

#define IANZ 6000 /* for REMO Indonesia 101 x 55 is this number enough */

#define SST 139 /* SST96 */ #define LAT 55

#define LON 101

main(argc,argv)int argc;char *argv[];{ FILE *f_ptr1,*f_ptr2,*f_ptr3,*fo_ptr;

int IH[8], IHEAD1[37+122], IHEAD2[37+122], IPDB[37], IGDB[122],dat[55][101];

float DS1[IANZ],DS2[IANZ],XMAX,XMIN,SUM,dummyf;

int i,j,err,ICOUNT,IEJE,IMAX,IMIN,JMAX,JMIN,dummy,spill_dat; int dd,mm,yy,hh,jdd,jdd2;

char f2name[14], nfname[14]; f_ptr1 = fopen(argv[argc-2],"r"); // sprintf(foutname,"%s.06\0",argv[argc-3]); strncpy(nfname,argv[argc-2],14); sscanf(nfname,"e400xa%2d%2d%2d%2d\0",&dd,&mm,&yy,&hh); if (mm == 1) jdd=dd; if (mm == 2) jdd=dd+31; if (mm == 3) jdd=dd+60; if (mm == 4) jdd=dd+91; if (mm == 5) jdd=dd+121; if (mm == 6) jdd=dd+152; if (mm == 7) jdd=dd+182; if (mm == 8) jdd=dd+213; if (mm == 9) jdd=dd+244; if (mm == 10) jdd=dd+274; if (mm == 11) jdd=dd+305; if (mm == 12) jdd=dd+335; jdd2=jdd+91; if (jdd2 > 91){ dd=jdd2-91; mm=4;} if (jdd2 > 121){ dd=jdd2-121; mm=5;} if (jdd2 > 152){ dd=jdd2-152; mm=6;} if (jdd2 > 182){ dd=jdd2-182; mm=7;} if (jdd2 > 213){ dd=jdd2-213; mm=8;} if (jdd2 > 244){ dd=jdd2-244; mm=9;} if (jdd2 > 274){ dd=jdd2-274; mm=10;} if (jdd2 > 305){ dd=jdd2-305; mm=11;} if (jdd2 > 335){ dd=jdd2-335; mm=12;} if (jdd2 > 366){ dd=jdd2-244; mm=1;} if (jdd2 > 397){ dd=jdd2-274; mm=2;} if (jdd2 > 426){ dd=jdd2-305; mm=3;} if (jdd2 > 457){ dd=jdd2-335; mm=4;} if (dd<10 && mm<10 && hh >9) sprintf(f2name,"e400xa0%1d0%1d%2d%2d\0",dd,mm,yy,hh); else if (dd>=10 && mm<10 && hh >9)

sprintf(f2name,"e400xa%2d0%1d%2d%2d\0",dd,mm,yy,hh); else if (dd<10 && mm>=10 && hh >9)

(32)

sprintf(f2name,"e400xa0%1d%2d%2d%2d\0",dd,mm,yy,hh); else

sprintf(f2name,"e400xa%2d%2d%2d%2d\0",dd,mm,yy,hh); if (dd<10 && mm<10 && hh<10)

sprintf(f2name,"e400xa0%1d0%1d%2d0%1d\0",dd,mm,yy,hh); else if (dd>=10 && mm<10 && hh<10)

sprintf(f2name,"e400xa%2d0%1d%2d0%1d\0",dd,mm,yy,hh); else if (dd<10 && mm>=10 && hh<10)

sprintf(f2name,"e400xa0%1d%2d%2d0%1d\0",dd,mm,yy,hh); else if (dd>=10 && mm>=10 && hh<10)

sprintf(f2name,"e400xa%2d%2d%2d0%1d\0",dd,mm,yy,hh); else

sprintf(f2name,"e400xa%2d%2d%2d%2d\0",dd,mm,yy,hh); // else

// sprintf(f2name,"e400xa%2d%2d%2d%2d\0",dd,mm,yy,hh); printf("file 1 %s <== file 2 %s \n",nfname,f2name); f_ptr2 = fopen(f2name,"r"); // sprintf(foutname,"%s.out\0",argv[argc-1]); fo_ptr = fopen(argv[argc-1],"w"); // SST = atol(argv[argc-1]); f_ptr3 = fopen("lsm.txt","r"); if (f_ptr2 == (FILE *) NULL)

printf("Cannot open file\n"); else { err = 1; spill_dat = 0; IEJE=5555; while (err){ for (i=0;i<IANZ;i++){ DS1[i]=0.0; DS2[i]=0.0; } err=fread(&dummy,sizeof(int),1,f_ptr1); // dummy err=fread(&dummy,sizeof(int),1,f_ptr2); // dummy if (err){ for (i=0;i<37+122;i++) { err=fread(&IHEAD1[i],sizeof(int),1,f_ptr1);//r header err=fread(&IHEAD2[i],sizeof(int),1,f_ptr2); //r header } if (IHEAD1[6]== SST) spill_dat = 1; // printf("%d %d\n",IHEAD1[6],spill_dat);

fwrite(&dummy,sizeof(int),1,fo_ptr); // write dummy for (i=0;i<37+122;i++)

fwrite(&IHEAD1[i],sizeof(int),1,fo_ptr); // printf(" bisa kan? ");

for (i=0;i<2;i++){ err=fread(&dummyf,sizeof(float),1,f_ptr2); // dummy err=fread(&dummyf,sizeof(float),1,f_ptr1); // dummy fwrite(&dummyf,sizeof(float),1,fo_ptr); // wrt dummy } for (i=0;i<IEJE;i++){ err=fread(&DS1[i],sizeof(float),1,f_ptr1); // data err=fread(&DS2[i],sizeof(float),1,f_ptr2); // data } if (spill_dat){ // ketemu SST

(33)

/**********************/ for (i=LAT-1;i>=0;i--){ for (j=0;j<LON;j++){ fscanf(f_ptr3,"%1d",&dat[i][j]); } fscanf(f_ptr3,"\n"); } // for (i=LAT-1;i>=0;i--){ // for (j=0;j<LON;j++){ // printf("%1d",dat[i][j]); // } // printf("\n"); // } for (i=LAT-1;i>=0;i--){ for (j=0;j<LON;j++){ if (dat[i][j]==2) DS1[i*LON+j]=DS2[i*LON+j]; } } // printf("I am here\n"); /*********************/ for (i=0;i<IEJE;i++) fwrite(&DS1[i],sizeof(float),1,fo_ptr); }else{ for (i=0;i<IEJE;i++) fwrite(&DS1[i],sizeof(float),1,fo_ptr); } printf("%d ++++\n",IHEAD1[6]); err=fread(&dummyf,sizeof(float),1,f_ptr2); // dummy err=fread(&dummyf,sizeof(float),1,f_ptr1); // dummy fwrite(&dummyf,sizeof(float),1,fo_ptr); // spill_dat = 0; }

//printf("\nThe file has %6d field(s).\n\nSTOP: OK\n",datc); } printf("selesai\n"); fclose(f_ptr1); fclose(f_ptr2); fclose(f_ptr3); } }

Gambar

Gambar 1. Tiga daerah curah hujan dominan di Indonesia (sumber : Aldrian dan Susanto, 2003).
Gambar 2. contoh Output REMO (SPL).
Gambar 4. Daerah studi pulau Jawa dan laut  sekitarnya
Gambar 5. Skema kegiatan penelitian 3.3.2. Menjalankan Model
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada pengujian menggunakan isolator rockwool alumunium foil titik kedua dengan panjang pipa 1 meter nilai heat loss = 15,31 W. Pada pengujian ketiga dengan menggunakan

Secara bersama-sama variabel- variabel bebas dalam penelitian yaitu harga barang sendiri, harga barang lain, pengeluaran rumah tangga, jumlah anggota keluarga,

Jika dibandingkan dengan penelitian lainnya, hasil distribusi lokasi tumor penderita kanker pankreas pada penelitian ini sama, yaitu lebih banyak pada caput

Perihal : Undangan Pelatihan Fasilitator Tahap II (Provinsi Jawa Tengah I) Program Pamsimas III TA 2016 Dalam rangka meningkatkan kapasitas Fasilitator Senior dan

[vierrädriger Pferdewagen] fremd, sonderbar, seltsam, merkwürdig, exzentrisch halten für ..., ansehen als ...; einladen, nötigen schätzen, berechnen, veranschlagen

Tujuan dari terwujudnya aplikasi ini adalah pengguna dapat mengevaluasi kegiatan olahraga bersepeda mereka dengan mengetahui hasil aktivitasnya selama bersepeda,

Ulkus peptikum dapat disebabkan oleh (1) sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung, atau (2) berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalis untuk