BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Penelitian
Dunia pendidikan di Indonesia menghadapi permasalahan yang sampai
sekarang belum dapat terpecahkan. Mudahnya akses untuk mendapatkan
pendidikan tidak selalu diiringi dengan mudahnya output atau lulusan pendidikan
dalam mendapatkan tempat/pekerjaan guna mengamalkan ilmu yang
diperolehnya. Pendidikan yang ditempuh selama bertahun-tahun di sekolah
ternyata harus dihadapkan pada kenyataan bahwa lapangan pekerjaan yang
tersedia tidak sebanding dengan jumlah lulusan yang ada. Hal ini terlihat pada
data Biro Pusat Statistik dari tahun 2013-2015 mengenai angkatan kerja di
Provinsi Jawa Barat (BPS, 2015: 3), sebagaimana di jelaskan Tabel 1.1.
Menurut Tabel 1.1, pada usia 15 tahun ke atas, jumlah angkatan kerja
Provinsi Jawa Barat pada Agustus 2013 mencapai 20,620 juta orang, naik menjadi
21,006 juta orang pada bulan Agustus 2014 atau bertambah 0,38 juta orang
dibanding Agustus 2013, kemudian pada Agustus 2015 turun menjadi 20,586 juta
orang atau turun sebesar 0,42 juta orang dibanding tahun sebelumnya. Penduduk
yang bekerja pada Agustus 2013 sebanyak 18,731 juta orang, naik menjadi 19,230
juta orang pada Agustus 2014 atau bertambah 0,49 juta orang dibanding tahun
sebelumnya, kemudian pada Agustus 2015 turun menjadi 18,791 juta orang atau
menurun sebesar 0,43 dibanding tahun 2014. Sedangkan, jumlah penggangguran
selalu mengalami fluktuasi dari Agustus 2013 hingga Agustus 2015, terakhir
terjadi peningkatan jumlah penggangguran yaitu dari 1.775.196 orang menjadi
1.794.874 orang. Jumlah pengangguran bertambah sebanyak 19.678 orang pada
tahun 2015. Untuk Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2013 sebesar
9,16 persen menurun dibanding TPT Agustus 2014 (8,45 persen), namun pada
Agustus 2015 mengalami kenaikan menjadi 8,72 persen (BPS, 2015).
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa masalah pengangguran
Sedangkan, setiap tahun satuan pendidikan selalu meluluskan alumni yang
jumlahnya tidak sedikit baik di tingkat sekolah menengah maupun perguruan
tinggi. Hal ini tidak dapat dipandang remeh oleh pemerintah karena jumlah
pengangguran yang tinggi akan menyebabkan turunnya tingkat perekenomian
negara serta tingginya angka kriminalitas secara tidak langsung.
Tabel 1.1
Penduduk Provinsi Jawa Barat Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis
Kegiatan Utama, Agustus 2013-Agustus 2015
Jenis Kegiatan Utama 2013 2014 2015
Agustus Agustus Agustus
(1) (2) (3) (4)
Penduduk 15 Tahun ke Atas
Angkatan Kerja
Selain itu, isu mengenai akan diberlakukan Asean-China Free Trade
Agreement (ACFTA) pada tahun 2015 di seluruh wilayah Asean dan China
termasuk di dalamnya negara Indonesia menjadikan pemerintah perlu melakukan
inovasi dalam pengembangan segala sumber daya yang ada termasuk sumber daya
manusia. ACFTA adalah kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN
dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan
menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik
kerjasama masyarakat ASEAN-China (Direktorat Jenderal Kerja Sama
Perdagangan Internasional, 2010). ACFTA akan membuka peluang bagi negara
anggota untuk memasarkan komoditinya secara mudah sehingga masing-masing
anggota akan meningkatkan keunggulan masing-masing komoditinya. Hal ini
tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi wirausahawan dalam negeri untuk
meningkatkan daya saing produknya di dunia internasional atau bertahan
menghadapi persaingan produk-produk impor yang akan membanjiri pasar dalam
negeri dengan harga yang murah dan berkualitas. Namun, permasalahan yang
dihadapi pemerintah sangatlah kompleks selain masalah pengangguran, minimnya
jumlah wirausahawan dalam negeri turut mewarnai tugas pemerintah untuk
mengatasinya. Adapun data Biro Pusat Statistik mengenai Angkatan Kerja
Nasional Tahun 2014 (BPS, 2014:3), dijelaskan dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2 tersebut menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk yang
bekerja pada bulan Agustus 2015, pekerjaan utama yang dominan yaitu bekerja
dengan diberi upah atau gaji dengan jumlah 12.775.991 atau sebesar 66,18 persen
terdiri dari buruh/karyawan, pekerja bebas, dan pekerja keluarga. Sedangkan
pekerjaan sebagai wirausahawan dengan jumlah 6.015.491 orang atau sebesar
33,83 persen terdiri dari berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, dan
berusaha dibantu buruh tetap menempati posisi berikutnya. Artinya bahwa
pekerjaan dengan diberi gaji atau upah merupakan pekerjaan yang sampai saat ini
masih diminati oleh masyarakat.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu lembaga
pendidikan menengah yang menyiapkan lulusannya untuk siap bekerja tentunya
memiliki peranan penting dalam mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia
serta dalam upaya menghadapi era ACFTA yang semakin dekat. Perubahan mind
set (pola pikir) dalam pembelajaran di kelas terhadap siswa harus segera
dilakukan oleh guru yaitu dari job seeker menjadi job creator. Dengan perubahan
pola pikir tersebut maka pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan lebih
kreatif. Selama ini, sebagian SMK di Indonesia lebih banyak menyiapkan
pekerja/karyawan/pegawai dan hanya sebagian kecil SMK yang menyiapkan
siswanya untuk menjadi seorang wirausahawan (Slamet, 2013: 15).
Tabel 1.2
Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja
Menurut Status Pekerjaan Utama, Agustus 2013-Agustus 2015
Status Pekerjaan Utama 2013 2014 2015
Agustus Agustus Agustus
(1) (2) (3) (4)
Berusaha dibantu buruh tidak tetap 2.496.670
(13,33 %)
2.631.805
(13,69 %)
1.971.380
(10,49%)
Berusaha dibantu buruh tetap 638.134
(3,41 %)
Pekerja bebas 2.788.641
(14,89 %)
seperti jurusan Akuntansi, Administrasi Perkantoran, Farmasi, Teknik Mesin,
Teknik Otomotif dan masih banyak lainnya yang kurang diarahkan pada upaya
menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Oleh karena itu, perlu adanya inovasi dalam
dunia pendidikan SMK yaitu pembelajaran yang lebih diarahkan pada
menumbuhkan jiwa berwirausaha siswa serta perubahan pola pikir bahwa
keahlian yang mereka miliki akan lebih mendatangkan kemanfaatan yang luas jika
sendiri maupun bekerja sama dengan orang lain. Selain dapat menumbuhkan
kreativitas diri, menjadi wirausaha juga dapat mengurangi jumlah pengangguran
di Indonesia.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya lulusan SMK dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan ke
dalam kurikulum sekolah (Hakim, 2010: 2). Dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) disebutkan bahwa pendidikan kewirausahaan
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di
lingkungan masyarakat.
2. Berwirausaha dalam bidangnya.
3. Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya.
4. Mengaktualisasikan sikap dan perilaku.
Salah satu prinsip pokok penataan ulang birokrasi oleh Osborne dan
Gaebler (1992: 12) dalam Yoyon Bahtiar I (Tanpa Tahun) menyatakan:
“Pemerintah wirausaha yaitu pemerintahan yang menghasilkan ketimbang membelanjaran. Maksud dari prinsip ini, bahwa organisasi harus
dijalankan dalam perspektif “investasi” secara luas maksudnya
aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan “menyimpan”. Membelanjakan anggaran
untuk organisasi, harus dalam kerangka investasi, kendati tidak menghasilkan uang. Pemimpin organisasi harus mampu menjadikan setiap bawahannya “sadar pendapatan”. Gaji atau insentif yang diberikan pimpinan organisasi harus mampu mendorong bawahannya untuk menghasilkan uang sebagaimana mereka mengeluarkannya.”
Berkaitan dengan prinsip tersebut, setiap organisasi sekolah dalam hal ini
SMK dapat melaksanakan pendidikan yang berwawasan kewirausahaan.
Pendidikan yang berwawasan kewirausahaan mengajak kepada setiap anggota
sekolah tidak hanya menjalankan tugas utama untuk memenuhi kewajiban tetapi
sekaligus melakukan aktivitas lain yang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Menurut Hakim (2010: 2), pendidikan yang berwawasan kewirausahaan adalah
pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah
pembentukan kecakapan hidup (life skill) pada peserta didiknya melalui
pelaksanaan pendidikan di SMK masih ditemukan beberapa masalah. Hal ini
terbukti dari tingginya tingkat pengangguran pada lulusan dari jenjang SMK.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Tahun 2015, jumlah
angkatan kerja yang berasal dari SMK yaitu sebesar 2.372.840 orang, terdiri dari
angkatan kerja yang bekerja sebesar 1.974.158 orang, dan yang tidak bekerja
sebesar 398.682 orang. Sedangkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada
angkatan kerja dari SMK yaitu sebesar 16,80 % dan merupakan yang tertinggi
dibandingkan TPT angkatan kerja dari pendidikan lainnya (BPS, 2015: 8).
Adapun secara lengkap mengenai angkatan kerja berdasarkan pendidikan pada
Provinsi Jawa Barat diuraikan dalam Tabel 1.3.
Tabel 1.3
Penduduk Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Menurut Pendidikan, Agustus 2015
Pendidikan Bekerja Pengangguran Total TPT (%)
Selanjutnya, berdasarkan hasil survey di lapangan terhadap siswa SMK di
Kabupaten Bandung ditemukan bahwa terdapat sebagian siswa yang memilih
berkarir sebagai wirausahawan dan sebagian lainnya memilih berkarir di luar
wirausaha. Fakta dan data di lapangan mengenai pengangguran terutama berasal
dari lulusan SMK, lalu pekerjaan yang diminati masyarakat lebih didominasi oleh
bekerja dengan diberi gaji atau upah dibanding memilih berwirausaha serta
terdapat sebagian siswa SMK yang tidak tertarik memilih karir wirausaha
mengindikasikan bahwa ada masalah rendahnya intensi kewirausahaan. Intensi
berasal dari Bahasa Inggris “intention” yang memiliki arti niat, maksud, tujuan,
atau motif. Azjen (1991: 181-182) menyatakan bahwa intensi sebagai faktor
motivasi yang mempengaruhi perilaku dan menjadi indikasi seberapa keras
individu untuk mencoba, berapa banyak upaya individu untuk mengerahkan
dalam mewujudkan sebuah perilaku. Kemudian, Ajzen menambahkan bahwa
secara umum, semakin kuat niat untuk terlibat dalam perilaku maka semakin besar
kinerja yang mungkin dilakukan, namun niat untuk mewujudkan perilaku tertentu
hanya jika perilaku yang dimaksud di bawah kontrol kehendak, yaitu individu
dapat memutuskan pada kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku
tersebut.
Almeida (2013: 120) dalam Luiz, et.al (2015: 760) mengungkapkan
bahwa, "the intentions are the best predictors of planned behavior, especially
when this behavior is rare, hard to observe and occurs in a space of time called
continuous." Artinya, intensi merupakan prediktor terbaik dari perilaku yang
direncanakan, terutama saat perilaku tersebut jarang dilakukan, sulit diamati dan
terjadi dalam ruang waktu yang kontinyu. Intensi secara umum merupakan niat,
maksud, tujuan atau motif dari perilaku yang akan dilakukan individu. Intensi
dapat juga berupa kesiapan individu dalam mencapai tujuan dari perilaku tertentu.
Berkaitan dengan kewirausahaan, Krueger dan Carsrud (1993) dalam Indarti dan
Rostiani (2008:4) menyatakan bahwa intensi kewirausaahaan merupakan predictor
terbaik bagi perilaku kewirausahaan, seseorang dengan intensi yang kuat untuk
memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik
pernyataan di atas, Riccardo, et.al. (2009: 4) mengungkapkan bahwa, “intensi
kewirausahaan merupakan representasi kognitif dari tindakan yang akan
dilaksanakan oleh individu baik dalam membangun usaha mandiri baru atau
menciptakan nilai baru dalam perusahaan yang ada”. Intensi kewirausahaan dalam
diri individu tidak tumbuh dengan sendirinya tetapi dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi intensi, teori yang
digunakan yaitu teori Planned Behavior (Perilaku Terencana) oleh Icek Ajzen.
Menurut teori Planned Behavior (Ajzen, 1991), intensi dipengaruhi oleh tiga
domain (faktor) yaitu, sikap personal, norma subyektif, dan persepsi kontrol
perilaku.
1. Sikap personal: mengacu pada sejauh mana seseorang mengevaluasi hal yang
menguntungkan atau merugikan atau penilaian terhadap perilaku yang
bersangkutan. Pickens (2005: 44), menambahkan definisi sikap, “are a
complex combination of things we tend to call personality, beliefs, values,
behaviors, and motivations.” Artinya bahwa sikap merupakan kombinasi kompleks dari hal-hal yang sering kita sebut dengan personal, yaitu
kepercayaan, nilai, sikap, dan motivasi.
2. Norma subyektif: mengacu pada tekanan social yang dirasakan dalam
melakukan atau tidak melakukan perilaku. Linan dan Chen (2009: 596)
merujuk pada Ajzen (2001) menyatakan bahwa norma subyektif dapat
mengukur tekanan social yang dirasakan untuk melakukan atau tidak
melakukan perilaku wirausaha. Selain itu, norma subyektif sebagai proses
mental yang dapat mempengaruhi sikap terhadap perilaku dan persepsi
kontrol perilaku. Artinya, sebelum sikap dan persepsi kontrol perilaku
terbentuk, terlebih dahulu individu dipengaruhi oleh norma-norma dalam
dirinya.
3. Persepsi kontrol perilaku: mengacu pada persepsi tentang mudah atau sulitnya
melakukan perilaku dan diasumsikan sebagai refleksi pengalaman masa lalu
serta hambatan dan rintangan yang harus diantisipasi. Sedangkan, Contento
(2011) menyatakan bahwa persepsi kontrol perilaku yaitu gagasan atau
Teori mengenai intensi didukung oleh penelitian seperti yang dilakukan
oleh Alain Fayolle dan Benoit Gailly (2004) yang menunjukkan bahwa ada
korelasi yang kuat antara intensi kewirausahaan dan anteseden intensi berdasarkan
teori Ajzen (Planned Behavior). Didukung pula oleh penelitian Linan dan Chen
(2009), hasilnya yaitu model pengukuran intensi kewirausahaan yang ditemukan
yaitu EIQ (Entrepreneurial Intentions Questionare) dengan merujuk teori
Planned Behavior dari Ajzen dapat mengukur intensi kewirausahaan pada
mahasiswa Taiwan dan Spanyol. Menurut penelitian Linan dan Chen (2009)
menunjukkan bahwa norma subyektif berpengaruh terhadap sikap personal dan
persepsi kontrol perilaku (yang pada akhirnya berpengaruh terhadap intensi),
tetapi tidak berpengaruh secara langsung terhadap intensi. Selain mengukur
intensi kewirausahaan, penelitian ini juga membuka wawasan tentang bagaimana
nilai-nilai budaya mengubah cara individu dalam setiap masyarakat memandang
kewirausahaan. Kemudian penelitian dari Ferreira et.al (2012) menunjukkan
bahwa kebutuhan untuk berprestasi, kepercayaan diri, dan sikap pribadi
berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan, lalu norma subyektif dan
sikap pribadi mempengaruhi persepsi kontrol perilaku.
Penelitian-penelitian lain seperti yang dilakukan Z.X. Peng et.al (2012)
menunjukkan bahwa norma subyektif yang dirasakan mahasiswa berpengaruh
positif dan signifikan terhadap sikap kewirausahaan mereka dan kepercayaan diri
(self-efficacy) berwirausaha, kemudian kedua faktor ini berpengaruh secara
signifikan terhadap intensi kewirausahaan mereka. Kontradiksi dengan penelitian
di atas, penelitian Rijal Assidiq Mulyana (2013) dengan menggunakan instrument
Entrepreneurial Intentions Questionare (EIQ) yang dikembangkan oleh Linan dan
Chen (2009) menunjukkan bahwa: 1) norma subyektif berpengaruh positif
terhadap persepsi kontrol perilaku dan sikap wirausaha siswa SMK; 2) Norma
subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan sikap wirausaha siswa SMK
Muhammadiyah 1 Kadungora tidak berpengaruh positif terhadap minat
berwirausaha baik secara individual maupun simultan, sementara norma
subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan sikap wirausaha yang dimiliki siswa
simultan, tetapi secara individual yang berpengaruh positif hanya persepsi kontrol
perilaku dan norma subyektif.
Dalam penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Couto, Mariano dan
Mayer (2013) juga menggunakan instrument EIQ dalam mengukur intensi
kewirausahaan mahasiswa Brazil, hasilnya menunjukkan bahwa instrument EIQ
tidak efektif dalam mengukur intensi kewirausahaan mahasiswa Brazil. Hal ini
karena pembentukan intensi kewirausahaan dalam budaya Brazil dipengaruhi oleh
faktor yang tidak dapat diramalkan oleh model intensi kewirausahaan. Namun,
menurut Couto, Mariano, dan Mayer (2013), instrument EIQ efektif dalam
mengidentifikasi kesan para mahasiswa mengenai kewirausahaan. Berkaitan
dengan upaya peningkatan intensi kewirausahaan siswa SMK harus dilakukan
dengan melibatkan komponen-komponen dalam proses pembelajaran mulai dari
input, proses dan outputnya. Abin Syamsuddin (2009: 165) mengungkapkan
empat komponen utama yang terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Karakteristik siswa (raw input); menunjukkan bahwa factor-faktor dalam diri
individu yang mungkin akan memberikan fasilitas (facilitative) atau pembatas
(limitation) sebagai factor organismic (O), selain itu akan menjadi motivating
dan stimulating factors (misal; n-Ach). Karakteristik siswa yang dimaksud,
meliputi: kapasitas (IQ), bakat khusus, motivasi (n-Ach), minat,
kematangan/kesiapan, sikap/kebiasaan, dan lain-lain,
2. Instrumental input (sarana); menunjukkan pada kualifikasi serta kelengkapan
sarana yang diperlukan untuk berlangsungnya proses belajar mengajar,
meliputi: guru, metode, teknik, median, bahan sumber, dan program tugas.
3. Environmental input (lingkungan); menunjukkan situasi dan keadaan fisik
(kampus, sekolah, iklim, letak sekolah atau school site, dan sebagainya),
hubungan antarinsasi (human relationships) baik dengan teman (classmate;
peers) maupun dengan guru dan orang-orang lainnya; hal-hal tersebut dapat
juga menjadi penunjang atau penghambat (S factors).
4. The expected output (hasil belajar yang diharapkan), menunjukkan bahwa
tingkat kualifikasi ukuran baku (standard norms) akan menjadi daya penarik
factors (S) yang akan memunculkan response (R). The expected output
meliputi: perilaku kognitif, perilaku afektif dan perilaku psikomotor.
Dalam aliran konvergensi atau interaksionisme, hasil pendidikan
merupakan interaksi dari faktor pembawaan individu dan lingkungan yang
membentuknya (Sagala, 2014: 98-99). Sedangkan, salah satu hasil pendidikan
yang diharapkan terbentuk dalam diri siswa melalui pembelajaran kewirausahaan
yaitu intensi kewirausahaan.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu, penulis menduga bahwa
rendahnya intensi kewirausahaan siswa SMK dipengaruhi oleh faktor sikap
personal, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku wirausaha yang dimiliki
siswa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh sikap personal,
norma subyektif, persepsi kontrol perilaku terhadap intensi kewirausahaan siswa
SMK. Hal ini karena, apabila intensi kewirausahaan siswa tidak dikaji dan diteliti
maka efektivitas proses pembelajaran kewirausahaan tidak dapat diukur serta
evaluasi terhadap pembelajaran kewirausahaan tidak dapat dilakukan secara
maksimal. Adapun hasil penelitian penulis akan dituangkan dalam bentuk tesis
yang berjudul, “Pengaruh Sikap Personal, Norma Subyektif, dan Persepsi
Kontrol Perilaku terhadap Intensi Kewirausahaan Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung”.
1.2Identifikasi dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian, faktor-faktor yang
mempengaruhi intensi kewirausahaan siswa SMK dapat diidentifikasi dari tiga
domain yaitu sikap personal, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku.
Intensi kewirausahaan merupakan niat, keinginan, motivasi atau kesiapan
berwirausaha. Dalam pembelajaran kewirausahaan, hasil belajar yang diharapkan
terbentuk dalam diri siswa yaitu pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan
keterampilan (psikomotor) berwirausaha. Selama ini pembelajaran kewirausahaan
hanya mengajarkan pengetahuan wirausaha belum sampai kepada pembentukan
sikap personal wirausaha, padahal secara teori intensi kewirausahaan dibentuk
perilaku tertentu (Ajzen,2009). Semakin tinggi skor sikap personal maka akan
semakin tinggi intensi kewirausahaan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji
mengenai sikap personal wirausaha sebagai salah salah faktor yang membentuk
intensi kewirausahaan siswa SMK. Selanjutnya, pembentukan intensi
kewirausahaan dipengaruhi oleh norma yang terbentuk dalam diri siswa SMK.
Norma merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan berkaitan dengan
situasi kerja, lingkungan kerja dan jenis pekerjaan. Menurut teori Planned
Behavior, hasil interaksi ini disebut norma subyektif. Norma subyektif mengacu
pada tekanan social yang dirasakan dalam melakukan atau tidak melakukan
perilaku (Ajzen, 2009). Artinya semakin kuat tekanan yang dirasakan individu
untuk melakukan perilaku tertentu maka semakin kuat intensi terhadap perilaku
tersebut. Selain itu, norma subyektif sebagai proses mental yang dapat
memengaruhi penilaian individu terhadap perilaku (sikap) dan persepsi tentang
mudah atau sulitnya melakukan perilaku tertentu (persepsi kontrol perilaku). Oleh
karena itu, penting untuk mengkaji norma subyektif sebagai salah satu faktor
pembentuk intensi kewirausahaan siswa SMK. Lalu, persepsi kontrol perilaku
wirausaha siswa SMK merupakan hasil pengalaman siswa terhadap perilaku
wirausaha. Pengalaman tersebut dapat diperoleh dari pengalaman langsung
(pernah berwirausaha seperti membawa dagangan ke sekolah) atau mengikuti
perlombaan merupakan contoh siswa telah memiliki persepsi kontrol perilaku,
selain itu pengalaman orang-orang terdekat juga akan mempengaruhi keyakinan
(persepsi) mereka akan mudah atau sulitnya berwirausaha. Secara teoritis,
persepsi kontrol perilaku mengacu pada persepsi tentang mudah atau sulitnya
melakukan perilaku dan diasumsikan sebagai refleksi pengalaman masa lalu serta
hambatan dan rintangan yang harus diantisipasi (Ajzen, 2009). Apabila siswa
meyakini bahwa berwirausaha mudah atau mampu dilakukan, maka akan semakin
kuat intensi mereka untuk berwirausaha. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji
persepsi kontrol perilaku sebagai faktor pembentuk intensi kewirausahaan siswa
SMK.
Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini yaitu siswa kelas
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yaitu belum ada yang meneliti
mengenai intensi kewirausahaan siswa SMK di wilayah Kabupaten Bandung
sehingga penulis tertarik untuk menelitinya. Bertolak dari permasalahan tersebut,
maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian yaitu, “Apakah tinggi
rendahnya sikap personal, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku
berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK?” Rumusan masalah
penelitian tersebut dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai
berikut:
1. Apakah tinggi rendahnya norma subyektif berpengaruh terhadap sikap
personal wirausaha siswa SMK?
2. Apakah tinggi rendahnya norma subyektif berpengaruh terhadap persepsi
kontrol perilaku wirausaha siswa SMK?
3. Apakah tinggi rendahnya sikap personal, norma subyektif, dan persepsi
kontrol perilaku berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK?
1.3Tujuan Penelitian
Menganalisis dan memperoleh gambaran empiris tentang:
1. Pengaruh norma subyektif terhadap sikap personal wirausaha siswa SMK.
2. Pengaruh norma subyektif terhadap persepsi kontrol perilaku wirausaha siswa
SMK.
3. Pengaruh sikap personal, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku
terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK.
1.4Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dan
memberikan sumbangan pemikiran mengenai pengaruh sikap personal, norma
subyektif, dan persepsi kontrol perilaku terhadap intensi kewirausahaan siswa
SMK.
2. Secara praktis:
a) Sebagai rujukan bagi guru kewirausahaan untuk meningkatkan kualitas
b) Sebagai informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti
mengenai topik yang serupa atau berkaitan dengan penelitian ini.
3. Secara kebijakan:
a) Sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi pihak sekolah dalam
mempertahankan dan meningkatkan hasil belajar siswa yang berimplikasi
pada peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.
b) Sebagai informasi yang bermanfaat untuk pengambilan kebijakan bagi
lembaga pendidikan dan pemerintah dalam meningkatkan minat belajar
siswa dalam mata pelajaran kewirausahaan sehingga diharapkan dapat