• Tidak ada hasil yang ditemukan

T PEKO 1302895 Chapter 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T PEKO 1302895 Chapter 2"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Konsep Intensi Kewirausahaan

Kata intensi berasal dari Bahasa Inggris “intention” yang memiliki arti niat,

maksud, tujuan, atau motif. Azjen (1991: 181) menyatakan intensi sebagai faktor motivasi yang memepengaruhi perilaku dan menjadi indikasi seberapa keras individu untuk mencoba, berapa banyak upaya individu untuk mengerahkan dalam mewujudkan sebuah perilaku. Sedangkan, Almeida (2013: 120) dalam Luiz, et.al (2015: 760) mengungkapkan bahwa, "the intentions are the best predictors of planned behavior, especially when this behavior is rare, hard to observe and occurs

in a space of time called continuous." Artinya, intensi merupakan prediktor terbaik dari perilaku yang direncanakan, terutama saat perilaku tersebut jarang dilakukan, sulit diamati dan terjadi dalam ruang waktu yang kontinyu. Berdasarkan pengertian intensi yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa intensi dapat mempengaruhi perilaku seseorang, artinya semakin kuat intensi yang dimiliki maka akan semakin besar terwujudnya perilaku yang diharapkan.

(2)

terdiri dari lima dimensi yang dikemukakan oleh Carvalho and Gonzales (2006) dalam Luiz, et.al. (2015: 760), yaitu: kepribadian, pengetahuan bisnis, motivasi berwirausaha, kepercayaan diri dalam berwirausaha, lingkungan pendidikan. Sedangkan, menurut Luiz, et.al (2015: 760) lima dimensi dari intensi kewirausahaan, antara lain:

1. Latar belakang pribadi: dimensi ini meliputi unsur-unsur akademis, yaitu faktor demografi, keluarga dan lingkungan social.

2. Pengetahuan bisnis: sebagai dasar yang fundamental mengenai keterampilan yang dibutuhkan untuk kinerja pelaksanaan kegiatan usaha, dengan mempertimbangkan pengetahuan yang berbeda mengenai manajemen perusahaan. Terutama untuk membedakan pengusaha yang memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi peluang dan mengambil keuntungan penuh dari bisnis yang muncul dari waktu ke waktu.

3. Motivasi berwirausaha: keterampilan ini berhubungan dengan motivasi untuk membuat bisnis pribadi, dengan mempertimbangkan empat faktor motivasi: kebutuhan untuk kebebasan, pengembangan pribadi, memperoleh kemakmuran dan kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan.

4. Auto efektivitas kewirausahaan: menjelaskan sejauh mana seseorang percaya pada kemampuan mereka untuk melakukan tugas yang diberikan.

5. Lingkungan pendidikan: persepsi individu mengenai pengaruh lingkungan, berkaitan dengan lembaga pendidikan tinggi dan bagaimana dapat mempengaruhi aspirasi berwirausaha mereka.

(3)

1. Sikap terhadap perilaku: mengacu pada sejauh mana seseorang mengevaluasi hal yang menguntungkan atau merugikan atau penilaian terhadap perilaku yang bersangkutan.

2. Norma subyektif: mengacu pada tekanan social yang dirasakan dalam melakukan atau tidak melakukan perilaku.

3. Persepsi kontrol perilaku: mengacu pada persepsi tentang mudah atau sulitnya melakukan perilaku dan diasumsikan sebagai refleksi pengalaman masa lalu serta hambatan dan rintangan yang harus diantisipasi.

Sedangkan, Soutaris, et.al (2007) dalam Sarah S. Ahmad, et.al (2014: 167) menemukan bahwa, “entrepreneurship programs significantly raised students’

subjective norms and intentions toward entrepreneurship by inspiring them to

choose entrepreneurial careers.” Artinya, program kewirausahaan secara signifikan meningkatkan norma subjektif siswa dan intensi berwirausaha dengan menginspirasi mereka untuk memilih karir berwirausaha. Selanjutnya, mengacu pada penelitian berbagai ahli, Ferreira, et.al (2012: 429) menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi intensi kewirausahaan dilihat dari dua aspek yaitu: perilaku dan psikologi, seperti Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Model Intensi Kewirausahaan oleh Ferreira, et.al

(2012: 429)

SN

PA

PBC

EI

SC

(4)

Keterangan:

1. Aspek Perilaku: SN (Subjective Norm), PA (Personal Attitude), dan PBC (Perceived Behavioral Control).

2. Aspek Psikologi: SC (Self Confidence), dan NA (Need for Achievement). 3. EI (Entrepreneurial Intention)

Elfving, Brannback, dan Carsrud (2009: 24) mengadaptasi dari Shapero (1982), Krueger (1993), Krueger dan Brazeal (1994), dan Krueger et.al (2000), mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi intensi individu, dalam gambar 2.2. Penjelasan dari gambar 2.2 yaitu faktor-faktor luar seperti pribadi dan situasi dari individu mempengaruhi persepsi tentang norma social (keluarga, teman, rekan kerja, budaya organisasi dan masyarakat) dan persepsi tentang keyakinan diri , kemudian persepsi tentang norma social mempengaruhi persepsi tentang keinginan (perceived desirability) individu dan persepsi tentang kelayakan/kemungkinan (perceived feasibility) dalam usaha individu, yang pada akhirnya mempengaruhi secara signifikan terhadap intensi individu untuk berwirausaha. Untuk mengukur intensi kewirausahan, Linan dan Chen (2009: 613) menggunakan indikator-indikator, sebagai berikut:

1. Siap melakukan segalanya untuk menjadi wirausahawan. 2. Tujuan profesi saya adalah menjadi wirausahawan.

3. Saya akan menghadapi setiap rintangan untuk memulai dan menjalankan usaha saya sendiri.

4. Saya bertekad untuk menciptakan sebuah usaha di masa depan. 5. Saya sangat serius berpikir untuk memulai sebuah usaha.

(5)

sehingga di masa mendatang akan muncul wirausaha-wirausaha baru yang akan meningkatkan perekonomian negara.

Gambar 2.2 Model Intensi Kewirausahaan oleh Shapero (1982), Krueger

(1993), Krueger dan Brazeal (1994), dan Krueger et.al (2000).

2.1.2 Teori Planned Behavior (Teori Perilaku yang Terencana)

Teori Planned Behavior merupakan teori yang ditemukan oleh Icek Ajzen pada tahun 1991. Ajzen mengembangkan teori ini dari teori pemulanya yaitu

Theory of Reasoned Action (Teori Alasan Bertindak) oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein pada tahun 1975 dan 1980. Faktor utama dalam teori ini yaitu intensi individu dalam melakukan perilaku tertentu. Intensi diasumsikan dapat memprediksi faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku, indikasinya yaitu seberapa keras orang bersedia untuk mencoba, berapa banyak dari upaya mereka untuk mengerahkan, dalam rangka mewujudkan perilaku tertentu. Artinya, semakin kuat intensi yang terlibat dalam perilaku, semakin besar kinerja yang dilakukan individu (Ajzen, 1991). Selanjutnya, Ajzen (1991) mengungkapkan bahwa perilaku intensi dapat diekspresikan jika perilaku yang dimaksud berada di bahwa kontrol kehendak, yaitu jika seseorang mampu memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut meskipun perilaku tersebut mudah dilakukan tetapi

(6)

tetap bergantung pada faktor-faktor nonmotivasi seperti ketersediaan peluang, dan sumber daya (waktu, uang, keterampilan, kerja sama dengan orang lain).

Dalam teori Planned Behavior terdapat tiga konsep atau faktor independen yang menjadi penentu intensi, yang digambarkan dalam Gambar 2.3. Berdasarkan Gambar 2.3, Ajzen (2006) menjelaskan bahwa tindakan atau perilaku manusia dipandu oleh tiga macam pertimbangan, yaitu: keyakinan tentang kemungkinan hasil dari perilaku dan evaluasi dari hasil ini (behavioral beliefs), keyakinan tentang harapan normative orang lain dan motivasi kepatuhan (normative beliefs), dan keyakinan tentang adanya faktor yang dapat memfasilitasi atau menghambat kinerja perilaku dan kekuatan yang dirasakan dari faktor-faktor tersebut (control beliefs). Secara agregat, behavioral beliefs menghasilkan sikap yang mendukung atau tidak mendukung terhadap perilaku (attitude toward the behavior), normative beliefs menyebabkan adanya tekanan social yang dirasakan (subjevtive norms), dan control beliefs menimbulkan persepsi kontrol perilaku (perceived behavior controls).

Gambar 2.3 Theory of Planned Behavior oleh Icek Ajzen (1991)

2.1.2.1 Sikap Personal (Attitude Toward the Behavior)

Sikap personal atau Attitude Toward the Behavior mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki penilaian akan hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku tertentu (Ajzen, 1991). Pembahasan mengenai sikap

(7)

merupakan ranah dari bidang psikologi sehingga sikap bersifat internal dan terbentuk dalam diri seseorang akibat dari pengalaman individu maupun pengaruh dari luar individu. Menurut beberapa peneliti, sikap diartikan sebagai predisposisi dari respon belajar secara konsisten akan hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan terhadap objek tertentu (Ajzen, 1975). Sedangkan, Allport (1935) dalam Pickens (2005: 44) mendefinisikan sikap sebagai keadaan mental atau kesiapan saraf, yang diperoleh melalui pengalaman, dengan mengerahkan pengaruh secara langsung atau pengaruh dinamis pada respon individu untuk semua objek dan situasi yang berkaitan. Secara sederhana, sikap adalah pola pikir atau kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu karena pengalaman dan temperamen individu. Pickens (2005: 44), menambahkan definisi sikap, “are a

complex combination of things we tend to call personality, beliefs, values,

behaviors, and motivations.” Artinya bahwa sikap merupakan kombinasi kompleks dari hal-hal yang sering kita sebut dengan personal, yaitu kepercayaan, nilai, sikap, dan motivasi.

Sikap membantu individu dalam menentukan bagaimana melihat situasi, serta bagaimana bersikap terhadap situasi atau objek. Sikap meliputi perasaan, keyakinan dan tindakan, seperti dalam Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Tiga Komponen Model dari Sikap (Pickens, 2005: 45)

Berdasarkan Gambar 2.5, Pickens (2005) memberikan ilustrasi berikut: sikap dapat berupa perasaan seseorang terhadap orang lain atau objek (misalnya, “Aku suka John sebagai rekan kerja terbaik saya”) atau reaksi emosional lainnya

Action

(8)

terhadap objek dan orang-orang (“Saya tidak suka orang yang suka memerintah” atau Jane membuat saya marah”). Ilustrasi selanjutnya, sikap juga mencakup kognisi internal seseorang maupun keyakinan dan pemikiran tentang orang-orang atau objek (misalnya, “Jane harus bekerja lebih keras” atau “Sam tidak suka bekerja di bidang ini”). Berdasarkan dua ilustrasi mengenai perasaan dan keyakinan akan memunculkan sebuah perilaku dengan cara tertentu terhahadap suatu obyek atau orang (misalnya, “Saya menulis dengan jelas dalam grafik pasien karena hal itu akan mengganggu saya ketika saya tidak bisa membaca tulisan tangan orang lain”). Pickens (2005) menambahkan bahwa meskipun perasaan dan keyakinan merupakan komponen internal seseorang yang sulit diamati tetapi sikap seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dihasilkan. Zhang dan Sung (2009: 2049-2050) menyatakan bahwa dalam teori sikap di bidang psikologi social, sikap dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Attitude Toward Object (ATO); merupakan sikap terhadap obyek yang didefinisikan sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan memberikan penilain terhadap sesuatu yang menguntungkan atau merugikan (Eagly dan Chaiken, 1998) atau sebagai kombinasi dari penilaian evaluative tentang obek (Crites, Fabrigar, dan Petty, 1994).

2. Attitute Toward Behavior (ATB); sikap terhadap perilaku yang didefinisikan sebagai perasaan positif atau negative individu (pengaruh penilaian) dalam melakukan perilaku yang menjadi sasaran. Selain itu, ATB merupakan konsep yang terkait erat dengan BI (Behavioral Intention), yang mengacu pada ukuran kekuatan intensi seseorang untuk melakukan perilaku tertentu (Fishbein dan Ajzen, 1975).

Keduanya, ATO dan ATB secara konseptual berbeda dan memiliki pengaruh yang berbeda pula terhadap BI (Behavioral Intention). ATB adalah predictor kuat dari BI, sedangkan dampak ATO terhadap intensi sepenuhnya dimediasi oleh ATB (Fishbein dan Ajzen, 1975; Zhang dan Sung, 2009: 2050).

(9)

seseorang meyakini bahwa perilaku tertentu itu baik atau positif maka ia akan menyukai atau mendukung, sebaliknya jika keyakinan terhadap perilaku tertentu itu buruk atau negative maka ia pun tidak menyukai atau menjauhi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa setiap individu tentunya memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap perilaku tertentu diakibatkan berbedanya keyakinan yang dimiliki, perbedaan tersebut biasanya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang dialami baik yang berasal dari internal maupun eksternal individu. Dalam dunia pendidikan, pengetahuan terhadap sikap sangatlah penting mengingat sikap dapat menentukan perilaku dari peserta didik. Berkaitan dengan pembelajaran kewirausahaan, Linan dan Chen (2009) mengungkapkan indikator-indikator untuk mengukur secara akurat sikap personal tentang kewirausahaan, sebagai berikut:

1. Menjadi wirausahaan memberikan banyak keuntungan daripada kerugian untuk saya.

2. Karir sebagai wirausaha sangat menarik bagi saya.

3. Jika saya memiliki kesempatan dan modal, saya akan segera memulai sebuah usaha.

4. Menjadi seorang wirausahaan memberikan kepuasaan yang besar bagi saya. 5. Dari berbagai pilihan karir, saya lebih memilih menjadi seorang wirausahawan.

Indikator-indikator tersebut dapat digunakan guru sebagai panduan untuk mengetahui dan memahami sikap siswa terhadap dunia kewirausahaan. Dengan demikian, guru lebih mudah membimbing dan mengarahkan siswa mengenai hal-hal apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang wirausahawan mulai dari sekarang saat sedang belajar di sekolah.

2.1.2.2Norma Subyektif (Subjective Norms)

(10)

ketidaksetujuan orang-orang penting atau kelompok berkaitan dengan berlakunya perilaku tertentu (Ajzen,1991; Fini et.al (2009: 11). Merujuk pada Azjen (1991), Contento (2011: 76-77) menyatakan bahwa norma subyektif disebut juga norma hukum (perintah orang lain) dan ditentukan oleh hal-hal berikut:

1. Normative Beliefs (Keyakinan Normatif), yaitu kekuatan keyakinan seseorang bahwa orang-orang penting tertentu/terdekat menyetujui atau menolak perilaku tertentu (misalnya, “teman dekat/orang tua saya berpikir bahwa saya harus/tidak harus memakan daging”).

2. Motivation to Comply (Motivasi Kepatuhan), yaitu kekuatan keinginan seseorang untuk mematuhi pendapat orang-orang penting tertentu/terdekat (misalnya,“berapa banyak yang ingin Anda lakukan seperti apa yang teman -teman Anda pikir harus Anda lakukan?”). Kekuatan ini berkisar dari “tidak sama sekali” sampai dengan “sangat banyak”. Hal ini berkaitan dengan motivasi individu seringkali dipengaruhi oleh persetujuan orang terdekat (misalnya, teman sebaya dan keluarga) dan populasi tertentu (misalnya remaja pada umumnya) terhadap perilaku tertentu.

(11)

(2009) mengukur intensi kewirausaahan dengan menggambarkan modelnya dalam Gambar 2.6.

Di sisi lain, modal individu dan faktor demografi memiliki pengaruh tidak langsung terhadap intensi kewirausahaan (Boyd dan Vozikis, 1994; Lee dan Wong, 2004; Tubbs dan Ekeberg, 1991; Linan dan Chen, 2009). Hal tersebut terlihat pada gambar 2.6, bahwa modal individu dan faktor demografi mempengaruhi sikap personal, norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku yang kemudian berkontribusi langsung dalam intensi kewirausahaan. Modal individu dan faktor demografi yang dimaksud dalam penelitian Linan dan Chen terdiri dari: umur, jenis kelamin, persepsi terhadap figur wirausahawan, pengalaman berwirausaha mandiri dan pengalaman bekerja. Tidak hanya itu, pengetahuan tentang kewirausahaan juga memberikan kontribusi terhadap persepsi yang lebih realistis tentang aktivitas kewirausahaan, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi intensi (Ajzen, 2002; Linan dan Chen, 2009). Dalam fakta lain, pengetahuan yang lebih besar turut memberikan kesadaran yang tinggi bagi pilihan karir seseorang sebagaimana pentingnya keberadaan tokoh atau panutan (Linan, 2004; Linan dan Chen, 2009:596). Seperti yang diungkapkan oleh Kolvereid and Moen (1997); Tkachev and Kolvereid (1999); Fayolle (2002); Fayolle dan Gailly (2004: 2) bahwa, “Entrepreneuship education and teaching programs are influencing student entrepreneurial intentions and behaviours”. Artinya, pendidikan dan pengajaran program kewirausahaan mempengaruhi intensi dan perilaku kewirausahaan siswa. Selain itu, pengetahuan tentang kewirausahaan dapat juga mempengaruhi persepsi kontrol perilaku, sikap personal dan norma subyektif (Scherer et. al., 1991). Oleh karena itu, dengan memodifikasi tingkat pengetahuan kewirausahaan diharapkan dapat memberikan pengaruh yang berbeda dan signifikan terhadap anteseden motivasi dari intensi (Linan dan Chen, 2009: 597). Untuk mengetahui sejauh mana tekanan social mempengaruhi norma subyektif seseorang, Couto, Marino dan Mayer (2013: 453) mengadaptasi indikator-indikator dari Linan dan Chen (2009) sebagai berikut:

(12)

3. Rekan kerja saya akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha.

Gambar 2.6 Entrepreneurial Intention Model versi Linan dan Chen

(2009: 597)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa norma subyektif merupakan nilai yang dianut individu dalam sebuah perilaku yang dipengaruhi oleh orang-orang terdekat atau penting bagi dirinya dan faktor lain seperti faktor demografi meliputi: umur, jenis kelamin, pengetahuan kewirausahaan, pengalaman berwirausaha, dan pengalaman bekerja.

2.1.2.3 Persepsi Kontrol Perilaku (Perceived Behavioral Control)

Perceived Behavioral Control yaitu persepsi kontrol terhadap perilaku yang mengacu pada persepsi kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku dan diasumsikan untuk mencerminkan pengalaman masa lalu serta hambatan dan rintangan yang perlu diantisipasi (Ajzen, 1991). Hal penting dari kontrol perilaku adalah pembuktian diri sampai dimana sumber daya dan kesempatan yang tersedia menentukan kemungkinan pencapaian perilaku. Contento (2011) menambahkan

Human capital and other demographic variables

Personal Attitude

Subjective Norm

Perceived Behavioral Control

(13)

bahwa seseorang seringkali bertindak sesuai dengan persepsinya mengenai berapa banyak kendali mereka terhadap perilaku. Menurut Contento (2011), gagasan atau kemampuan mengatasi hambatan atau dapat melakukan suatu perilaku termasuk dalam teori persepsi kontrol perilaku.

Persepsi kontrol berperan penting dalam teori Planned Behavior karena sebelum memprediksi intensi dan perilaku atau tindakan, hal yang perlu dipertimbangkan adalah membangun konsep persepsi kontrol perilaku dibandingkan konsep lainnya. Persepsi kontrol perilaku berbeda dengan konsep “Perceived Locus of Control” (Persepsi Locus Kontrol) dari Rotters (1991). Persepsi lokus kontrol menekankan faktor-faktor yang secara langsung terkait dengan perilaku tertentu sedangkan persepsi kontrol perilaku mengacu pada persepsi orang-orang tentang kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku yang menjadi perhatian (Ajzen, 1991). Artinya, persepsi lokus kontrol berada di luar kontrol diri, sedangkan persepsi kontrol perilaku bersifat lebih stabil dalam diri individu meskipun terjadi perubahan situasi dan kondisi.

Pendekatan lain yang digunakan untuk persepsi kontrol perilaku ditemukan dalam teori Atkinson (1964) mengenai motivasi berprestasi. Salah satu faktor penting dalam teori ini adalah harapan keberhasilan yang didefinisikan sebagai kemungkinan keberhasilan yang dirasakan pada tugas yang diberikan. Meskipun pandangan ini sangat mirip dengan persepsi kontrol perilaku tetapi motivasi berprestasi yang mengacu pada konteks perilaku yang spesifik dan tidak didisposisikan untuk umum (Ajzen, 1991).

Selain motivasi berprestasi, persepsi kontrol perilaku mirip dengan konsep

(14)

perilaku mencakup pengertian tentang persepsi kesulitan, termasuk dalam hal sumber daya pribadi dan hambatan eksternal.

Dalam penyelidikan yang dilakukan Ajzen (1991), ditemukan bahwa perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan mereka terhadap kemampuan mereka untuk melakukan perilaku itu (perceived behavioral control). Hampir sama dengan teori Bandura, bahwa persepsi self-efficacy dapat mempengaruhi pilihan kegiatan, persiapan untuk kegiatan, usaha yang dikeluarkan dalam kegiatan, serta pola pikir dan reaksi emosional. Oleh karena itu, teori Planned Behavior menempatkan konstruk persepsi self-efficacy atau persepsi kontrol perilaku dalam kerangka yang lebih umum pada hubungan antara keyakinan (beliefs), sikap (attitude), intensi (intention), dan perilaku (behavior) (Ajzen 1991). Sebagai salah satu prediktor intensi, persepsi kontrol perilaku juga dapat berdiri sendiri dan bersama dengan intensi akan membentuk sebuah perilaku atau tindakan, seperti dalam gambar 2.4. Dalam gambar 2.4 terdapat tanda panah titik-titik yang menunjukkan hubungan pengaruh langsung antara persepsi kontrol perilaku (perceived behavior controls) dengan perilaku yang bersangkutan (behavior). Selain itu, tingkat persepsi kontrol perilaku dapat menjadi proxy bagi kontrol perilaku nyata (actual behavior control) dan berkontribusi bagi prediksi perilaku yang bersangkutan. Dalam mengukur persepsi kontrol perilaku secara langsung, alat ukur yang digunakan harus dapat menangkap keyakinan diri seseorang bahwa mereka mampu melakukan perilaku yang diamati serta kesulitan yang dihadapi mereka dapat melakukannya (Ajzen, 2006). Linan dan Chen (2009: 612) menggunakan indikator-indikator di bawah ini untuk mengukur persepsi kontrol perilaku seseorang, yaitu:

1. Untuk memulai sebuah usaha dan membuatnya tetapi berjalan akan mudah bagi saya.

2. Saya siap memulai sebuah usaha yang layak

3. Saya mampu mengontrol proses penciptaan sebuah usaha baru.

4. Saya mengetahui rincian praktis yang dibutuhkan untuk memulai usaha baru. 5. Jika saya mencoba memulai usaha baru, saya akan memiliki kemungkinan tinggi

(15)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku berkaitan dengan keyakinan seseorang akan kemudahan atau kesulitan yang dihadapi terhadap perilaku tertentu. Apabila seseorang meyakini bahwa perilaku tersebut mudah atau mampu dilakukan, maka ia akan berhasil dalam mewujudkan perilaku tersebut, begitu sebaliknya jika seseorang meyakini bahwa perilaku tersebut sulit dilakukan dan ia merasa tidak mampu, maka yang terjadi yaitu ia tidak akan berusaha untuk mewujudkannya. Berbeda kondisi jika ia memiliki keyakinan kuat bahwa ia mampu mewujudkan perilaku yang bersangkutan meskipun terdapat hambatan dan rintangan yang dihadapi, maka keyakinan tersebut akan mendorongnya untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam kegiatan pembelajaran seorang guru hendaknya selalu memberikan motivasi bagi peserta didik agar mereka mampu menghadapi apapun hambatan dan rintangan yang dihadapi untuk mewujudkan cita-cita atau harapan mereka di masa depan.

2.1.3 Konsep Pendidikan Kewirausahaan di SMK

Istilah kewirausahaan pada mulanya berasal dari kata wirausaha. Wirausaha sendiri merupakan terjemahan dari kata “entrepreneur (Bahasa Prancis) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan arti “between taker atau “ go-between (Alma, 2009: 22). Berikut beberapa pengertian wirausaha menurut para ahli:

1. Richard Cantillon (1725); entrepreneur yaitu orang yang menanggung resiko yang berbeda dengan orang yang memberi modal.

2. Bedeau (1797); wirausaha sebagai orang yang menanggung resiko, yang merencanakan, supervise, mengorganisasi dan memiliki.

3. David McLelland (1961); entrepreneur adalah seorang innovator dan membatasi resiko.

4. Joseph Schumpeter; wirausaha adalah orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut (Alma, 2009: 23-24).

(16)

perbuatan dari pelaku usaha. Seperti yang diungkapkan oleh Drucker (1985) bahwa kewirausahaan merupakan proses penggalian keuntungan dari kombinasi sumber daya baru, unik dan berharga di lingkungan yang tidak pasti dan ambigu. Sedangkan, Krizner (1983) menyatakan kewirausahaan sebagai proses memahami peluang keuntungan dan memulai tindakan untuk mengisi kebutuhan pasar saat ini atau melakukan efisiensi terhadap tindakan yang telah dilakukan (Mokaya, Namusonge, Sikalieh (2012: 130).

Lain halnya dengan Suryana (2006: 2), kewirausahaan diartikan sebagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Kemudian, Wiratno (2012: 454) menyatakan bahwa kewirausahaan adalah potensi yang dimiliki seseorang untuk dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan dalam bentuk pengalaman, tantangan, dan keberanian untuk mengambil resiko dalam bekerja dan/atau menciptakan pekerjaan. Dengan kata lain, kewirausahaan merupakan unsur penting yang dibutuhkan seseorang dalam melakukan kegiatan di dunia usaha.

Berkaitan dengan dunia pendidikan, kewirausahaan merupakan salah satu ruang lingkup dalam pendidikan ekonomi yang dimasukkan ke dalam kurikulum baik di sekolah menengah maupun di pendidikan tinggi. Pembahasan mengenai kewirausahaan tidak lepas dari upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekonomi berkaitan dengan pengangguran. Alberti et al. (2004) dalam Fatoki dan Oni (2014:587) mendefinisikan pendidikan kewirausahaan sebagai,

“The structured formal conveyance of entrepreneurial competencies, which in turn refers to the concepts, skills, and mental awareness used by individuals during the process of starting and developing their growth oriented ventures. Entrepreneurship education aims at building entrepreneurial competencies, which are considered as combinations of the different skills, knowledge and attitudes.”

(17)

program kewirausahaan secara signifikan meningkatkan norma-norma subjektif siswa dan intensi kewirausahaan yang mengilhami mereka dalam memilih karir kewirausahaan. Tujuan dari pendidikan kewirausahaan tercantum dalam standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (BSNP, 2006:199) yaitu agar

peserta didik dapat mengaktualisasikan diri dalam perilaku wirausaha. Sedangkan, isi mata pelajaran Kewirausahaan difokuskan pada perilaku wirausaha sebagai fenomena empiris yang terjadi di lingkungan peserta didik serta peserta didik

dituntut lebih aktif untuk mempelajari peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di lingkungannya. Berkaitan dengan itu, maka tujuan mata pelajaran Kewirausahaan yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan:

1. Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat.

2. Berwirausaha dalam bidangnya.

3. Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya 4. Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.

Selain melalui mata pelajaran, semangat dan jiwa kewirausahaan di SMK juga perlu dikembangkan melalui kelas wirausaha (peserta didik mengembangkan kompetensi produktifnya dengan mencoba menjalankan usaha kecil (Dir.Pembinaan SMK (2000) dalam Djuharis (2013: 80)). Djuharis (2013: 80)

kemudian menambahkan bahwa kewirausahaan di SMK sebaiknya dilihat sebagai konsep yang lebih luas bukan hanya sesuatu yang berkaitan dengan bisnis atau hanya ditanamkan melalui 1 (satu) mata pelajaran dan kelas wirausaha, tetapi juga sebuah konsep yang dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik melalui semua mata pelajaran. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (2010) telah menyelenggarakan pendidikan kewirausahaan dalam bentuk program sasaran strategis SMK untuk mempersiapkan para lulusannya siap bekerja melalui layanan pembinaan, pengembangan kewirausahaan. Adapun upaya yang dilakukan pemerintah dalam mendukung pendidikan kewirausahaan di SMK, yaitu:

1. Penyediaan system pembelajaran sesuai dengan SNP,

(18)

3. Penyediaan bantuan pendanaan untuk meningkatkan keterjangkauan layanan SMK berkualitas yang merata di seluruh provinsi, kabupaten dan kota,

4. Penguatan system tata kelola di SMK, Direktorat Pembinaan SMK dan institusi Pembina SMK lainnya (Subijanto, 2013:166).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaran pendidikan kewirausahaan di SMK telah diprogram sedemikian rupa oleh pemerintah melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Namun, untuk mencapai keberhasilan dari program tersebut tentunya memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak yang terkait baik pihak sekolah, masyarakat, maupun dunia usaha dan industry yang menggunakan jasa dari lulusan SMK.

2.1.4 Efektivitas Pembelajaran Kewirausahaan

Efektivitas berasal dari kata “efektif” yang berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); dapat membawa hasil; berhasil guna (tentang usaha, tindakan). Sedangkan efektivitas sama maknanya dengan keefektifan yang artinya keadaan berpengaruh; hal berkesan; keberhasilan usaha atau tindakan (kbbi.web.id). Emitai Etzioni (1982: 54) mengungkapkan bahwa, “efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran. Sedangkan, Komaruddin (1994: 294) menyatakan bahwa, “efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan” (Nani Hartini, 2011:46).

(19)

pembelajaran merupakan proses yang dialami oleh individu dalam perubahan tingkah laku atau kebiasaan. Secara lebih lengkap, Muhammad Asrori (2009: 6) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui pengalaman individu yang bersangkutan. Sedangkan Watkins (2002: 1) mengungkapkan, “Learning … that reflective activity which

enables the learner to draw upon previous experience to understand and evaluate

the present, so as to shape future action and formulate new knowledge”. Artinya pembelajaran merupakan suatu aktivitas reflektif dari pembelajar dalam memanfaatkan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengevaluasi masa depan sehingga membentuk tindakan di masa depan dengan pengetahuan yang baru. Suatu pembelajaran dapat dikatakan efektif jika dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Efektivitas pembelajaran dapat tercapai apabila komponen-komponen dalam proses pembelajaran menyumbang secara signifikan terhadap kegiatan pembelajaran.

Abin Syamsuddin (2009: 165) menggambarkan secara sistematis mengenai empat komponen utama yang terlibat dalam proses pembelajaran dalam Gambar 2.5.

(20)

Adapun penjelasan dari Gambar 2.1 sebagai berikut:

1. The expected output, menunjukkan bahwa tingkat kualifikasi ukuran baku (standard norms) akan menjadi daya penarik (insentif) dan motivasi (motivating factors), selain itu merupakan stimulating factors (S) yang akan memunculkan response (R).

2. Karakteristik siswa (raw input), menunjukkan bahwa factor-faktor dalam diri individu yang mungkin akan memberikan fasilitas (facilitative) atau pembatas (limititation) sebagai factor organismic (O), selain itu akan menjadi motivating dan stimulating factors (misal; n-Ach).

3. Instrumental input (sarana), menunjukkan kepada dan kualifikasikasi serta kelengkapan saran yang diperlukan untuk berlangsungnya proses belajar mengajar.

4. Environmental input, menunjukkan situasi dan keadaan fisik (kampus, sekolah, iklim, letak sekolah atau school site, dan sebagainya), hubungan antarinsasi (human relationships) baik dengan teman (classmate; peers) maupun dengan guru dan orang-orang lainnya; hal-hal tersebut dapat juga menjadi penunjang atau penghambat (S factors).

Sedangkan dalam mengukur efektivitas pembelajaran yang telah dilaksanakan, dapat dilihat dari tercapainya expected output (hasil belajar yang diharapkan) berupa perubahan perilaku. Dalam gambar 2.1, expected output

(21)

Tabel 2.1

Taksonomi Bloom

Ranah (Tingkatan Rendah ke Tinggi)

Kognitif Afektif Psikomotor

Pengetahuan Penerimaan Gerakan Reflek

Pemahaman Penanggapan Gerakan Dasar

Penerapan Perhitungan/Penilaian Gerakan Tanggap Perceptual

Analisis Pengaturan/Pengelolaan Kegiatan Fisik

Sintesis Bermuatan Nilai Komunikasi Tidak Berwacana

Penilaian

Tabel 2.2

Taksonomi Bloom dengan Perbaikan Krathwohl

Taksonomi Bloom Taksonomi Perbaikan

Anderson dan Krathwohl

Pengetahuan Mengingat

Pemahaman Memahami

Penerapan Menerapkan Analisis Menganalisis

Sintesis Menilai

Penilaian Menciptakan

(22)

terhubung, strategi belajar yang lebih luas, pemahaman yang lebih kompleks, peningkatan tindakan yang sesuai dengan tujuan dan konteks, peningkatan keterlibatan dan pengarahan pada diri sendiri, pendekatan yang lebih reflektif, emosi yang lebih positif dan afiliasi untuk belajar, visi yang lebih maju di masa depan, kemampuan belajar bersama dengan orang lain, dan ikut berpartisipasi dalam komunitas belajar.

Merujuk dari berbagai pendapat mengenai efektivitas pembelajaran, maka kaitannya dengan pendidikan kewirausahaan yaitu tercapainya keberhasilan pendidikan kewirausahaan dapat diukur dari efektivitas pembelajaran kewirausahaan dari setiap satuan pendidikan termasuk dalam hal ini di SMK. Efektivitas pembelajaran kewirausahaan dapat diukur dari tercapainya kompetensi-kompetensi yang telah ditetapkan bagi peserta didik. Dalam standar isi KTSP untuk SMK/MAK (BSNP, 2006: 206) disebutkan bahwa dalam mata pelajaran kewirausahaan meliputi aspek-aspek, sebagai berikut:

1. Sikap dan perilaku wirausaha

2. Kepemimpinan dan perilaku prestatif 3. Solusi masalah

4. Pembuatan keputusan.

Aspek-aspek tersebut kemudian dijabarkan ke dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar, dalam Tabel 2.3. Berdasarkan tabel 2.3 dapat dikatakan bahwa pembelajaran kewirausahaan pada intinya adalah menyiapkan lulusan SMK untuk menjadi seorang wirausaha. Pada akhirnya, pembelajaran kewirausahaan terbilang efektif apabila mampu menjadikan peserta didik mencapai kesuksesan dalam kehidupannya di masa mendatang baik sebagai seorang wirausaha mandiri maupun pekerja yang memiliki mental atau jiwa wirausaha. Namun, untuk menjadi seorang wirausaha selain diperlukan pengetahuan yang kuat, keterampilan yang memadai dan sikap yang positif, guru maupun peserta didik juga perlu mengetahui tentang ciri-ciri dari seorang wirausaha, yaitu:

1. Motif berprestasi yang tinggi 2. Perspektif ke depan

(23)

4. Inovasi yang tinggi

5. Komitmen terhadap pekerjaan 6. Memiliki tanggung jawab

7. Kemandirian atau ketidaktergantungan terhadap orang lain 8. Keberanian menghadapi resiko

9. Selalu mencari peluang 10. Memiliki jiwa kepemimpinan 11. Memiliki kemampuan manajerial

12. Memiliki kemampuan personal (Suryana, 206: 30-37).

Tabel 2.3

1. Mengidentifikasi sikap dan perilaku wirausahawan 2. Menerapkan sikap dan perilaku kerja prestatif 3. Merumuskan solusi masalah

4. Mengembangkan semangat wirausaha

5. Membangun komitmen bagi dirinya dan bagi orang lain 6. Mengambil resiko usaha

7. Membuat keputusan Menerapkan jiwa

Kepemimpinan

1. Menunjukkan sikap pantang menyerah dan ulet 2. Mengelola konflik

(24)

Dengan mengetahui ciri-ciri dari seorang wirausaha di atas, maka guru dapat mengelola pembelajaran kewirausahaan dengan menumbuhkan kemampuan-kemampuan yang diperlukan bagi peserta didik untuk menjadi seorang wirausaha. Hasil yang diharapkan dari pembelajaran kewirausahaan yaitu akan tumbuh jiwa, minat dan kesiapan (intensi) dalam diri siswa untuk berwirausaha.

2.2 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian terdahulu yang dipandang memiliki relevansi dengan permasalahan penelitian yang dilakukan peneliti tentang “Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, dan Persepsi Kontrol Perilaku terhadap Intensi Kewirausahaan Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung, Jawa Barat)” diantaranya, yaitu: 1. Alain Fayolle dan Benoit Gailly (2004), Using the Theory of Planned Behavior

to Asses Entrepreneurship Teaching Programs : A First Experimentation.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara intensi kewirausahaan dan anteseden intensi berdasarkan teori Ajzen (Planned Behavior). Selain itu, dalam eksperimen Entrepreneurship Teaching Program (ETP) terhadap 20 mahasiswa teknik pada sebuah universitas teknologi di Perancis selama satu hari untuk mengembangkan kesadaran mereka tentang apa kewirausahaan, situasi kewirausahaan yang sering dikenal dengan corporate entrepreneurship, belajar tentang bisnis yang sedang marak dan memulai usaha baru secara mandiri. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa ETP memiliki pengaruh kuat, terukur, dan berdampak positif pada intensi kewirausahaan, tetapi dampak tersebut tidak signifikan terhadap sikap mereka berkaitan dengan persepsi kontrol perilaku. Hasil ini membawa wawasan empiris tentang pengaruh yang tampaknya bertentangan antara ETP dengan sikap siswa tentang perilaku pengendalian.

(25)

mahasiswa Taiwan dan Spanyol. Selain mengukur intensi kewirausahaan, penelitian ini juga membuka wawasan tentang bagaimana nilai-nilai budaya mengubah cara individu dalam setiap masyarakat memandang kewirausahaan. 3. Rijal Assidiq Mulyana (2013), Pengaruh Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku, dan Sikap Wirausaha terhadap Minat Berwirausaha Siswa SMK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) norma subyektif berpengaruh positif terhadap persepsi kontrol perilaku dan sikap wirausaha siswa SMK; 2) Norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan sikap wirausaha siswa SMK Muhammadiyah 1 Kadungora tidak berpengaruh positif terhadap minat berwirausaha baik secara individual maupun simultan, sementara norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan sikap wirausaha yang dimiliki siswa SMKN 12 Garut tidak berpengaruh positif terhadap minat berwirausaha secara simultan, tetapi secara individual yang berpengaruh positif hanya persepsi kontrol perilaku dan norma subyektif.

4. Couto, Mariano dan Mayer (2013), Entrepreneurial Intention in Brazil: The Challenge in Using International Measurement. Hasil penelitian terhadap mahasiswa Brazil menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan peneliti yaitu Entrepreneurial Intention Questions (EIQ) oleh Linan dan Chen, tidak efektif dalam mengukur intensi kewirausahaan mahasiswa Brazil, hal ini karena pembentukan intensi kewirausahaan dalam budaya Brazil dipengaruhi oleh faktor yang tidak dapat diramalkan oleh model intensi kewirausahaan. Namun, instrument tersebut efektif dalam mengidentifikasi kesan para mahasiswa mengenai kewirausahaan. Oleh karena itu, Akhirnya, hasil dari penerapan EIQ untuk sampel mahasiswa Brasil tidak mencapai tingkat kecukupan reliabilitas dan validitas, seperti yang telah dicapai dalam karya Linan dan Chen (2009).

(26)

dalam kaitannya dengan pengaruh guru tersebut dalam tindakan kewirausahaan.

6. Gelderen, et.al. (2008), Explaining Entrepeneurial Intentions by Means of The Theory of Planned Behaviour. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua variabel yang paling penting untuk menjelaskan intensi kewirausahaan adalah kehati-hatian dalam berwirausaha yang termasuk ke dalam domain persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral control) dan pentingnya mengamankan kekayaan yang termasuk ke dalam domain sikap (attitude).

7. Farouk dan Ikram (2014), The Influence of Individual Factors on The Entrepreneurial Intention. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi, pengalaman kerja dan pengajaran memiliki dampak yang signifikan pada intensi. Selain itu, tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistic antara karakteristik individu (usia dan jenis kelamin) dengan intensi kewirausahaan, tetapi secara global faktor individu memiliki dampak positif pada intensi kewirausahaan.

8. Z.X. Peng et.al (2012), Entrepreneurial Intentions and Its Influencing Factors: A Survey of The University Student in Xi’an China. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma subyektif yang dirasakan mahasiswa berpengaruh signifikan positif terhadap sikap kewirausahaan mereka dan kepercayaan diri (self-efficacy) berwirausaha, kemudian kedua faktor ini berpengaruh secara signifikan terhadap intensi kewirausahaan mereka.

9. Fayolle, Gailly dan Clerc (2006), Effect and Counter Effect of

Entrepreneurship Education and Social Context on Student’s Intention. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ETP (Entrepreneurship Teaching Program) dapat memiliki pengaruh kuat pada beberapa mahasiswa, tergantung dari latar belakang dan perspektif awal mereka pada intensi kewirausahaan. Di waktu yang sama, ETP dapat juga secara aktual menurunkan tingkat intensi kewirausahaan (counter effect) terhadap mahasiswa lain yang belum mengenal kewirausahaan.

(27)

bahwa kebutuhan untuk berprestasi, kepercayaan diri, dan sikap pribadi berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan. Selain itu, norma subyektif dan sikap pribadi mempengaruhi persepsi kontrol perilaku. Hasil penelitian ini memiliki dampak yang signifikan terhadap pengetahuan tentang kontribusi teori perilaku dan psikologis dalam mencapai tujuan kewirausahaan. 11. Olawale Fatoki (2014), Parental dan Gender Effect on The Entrepreneurial

Intention of University Student in South Africa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa laki-laki memiliki tingkat yang lebih tinggi terhadap intensi kewirausahaan dibandingkan mahasiswa perempuan, namun secara statistic perbedaannya tidak signifikan. Selanjutnya, mahasiswa yang orang tuanya terlibat dalam bisnis memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang orang tuanya tidak terlibat dalam bisnis. Namun, perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistic.

12. Ricardo Fini,, et.al (2009), The Foundation of Entrepreneurial Intention. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh karakteristik psikologis, keterampilan individu dan pengaruh lingkungan. Selain itu, dukungan lingkungan yang datang dari pemerintah, konteks dan universitas tidak relevan dalam membentuk intensi kewirausahaan.

2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

(28)

Peningkatan angka pengangguran di kalangan terdidik menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di negara Indonesia masih terbilang rendah karena ketidakmampuan lulusan terserap di dunia kerja. Selain itu, jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lulusan yang ada sehingga terjadi ketimpangan yang tinggi. Permasalahan tersebut jika tidak diatasi maka akan menimbulkan permasalahan baru yaitu menurunnya taraf hidup masyarakat. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai salah satu lembaga pendidikan menengah yang menyiapkan lulusannya untuk siap bekerja tentunya memiliki peranan penting dalam mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Perubahan

mind set (pola pikir) dalam pembelajaran Kewirausahaan diupayakan untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan siswa sehingga nantinya lulusan SMK tidak cenderung untuk menjadi pencari kerja tetapi dapat menciptakan lapangan kerja baik mandiri maupun bekerjasama dengan orang lain. Selama ini, pembelajaran kewirausahaan dinilai belum efektif untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan siswa SMK karena terbukti lulusan yang ada lebih berminat menjadi pekerja dibanding wirausahawan.

(29)

Sementara tinggi rendahnya sikap personal dipengaruhi oleh norma subyektif siswa SMK, begitu pula persepsi kontrol perilaku wirausaha siswa SMK dipengaruhi oleh norma subyektifnya.

Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran pada Gambar 2.7. diajukan 5 model penelitian, yaitu:

1.

2.

3.

4.

5.

Gambar 2.8 Model Penelitian

Sikap Personal

Norma Subyektif

Persepsi Kontrol Perilaku

Intensi Kewirausahaan

X2 X1

X2 X3

X1 Y

X1

X2

X3

Y

(30)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran dan model penelitian di atas, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Norma subyektif berpengaruh positif terhadap sikap personal siswa.

2. Norma subyektif berpengaruh positif terhadap persepsi kontrol perilaku siswa. 3. Sikap personal berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan siswa. 4. Norma subyektif berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan siswa. 5. Persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan

Gambar

Gambar 2.1 Model Intensi Kewirausahaan oleh Ferreira, et.al
Gambar 2.2 Model Intensi Kewirausahaan oleh Shapero (1982), Krueger (1993), Krueger dan Brazeal (1994), dan Krueger et.al (2000)
Gambar 2.3 Theory of Planned Behavior oleh Icek Ajzen (1991)
Gambar 2.4 Tiga Komponen Model dari Sikap (Pickens, 2005: 45)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kusioner diisi sendiri oleh peneliti dengan cara diisi langsung oleh responden, Hasil penelitian distribusi frekuensi responden berdasarkan mobilisasi dini didapatkan hasil seluruh

Storyboarding your app in Interface Builder 163 ❍ Making images for the tabs 167 ❍ Making the face view 168 Making the disguise views 170 ❍ Changing tabs with code

Masuknya bisnis ini cukup besar mengingat industri kreatif dan startup juga berkembang pesat. Pengembangan merek awal tidak membutuhkan biaya yang besar selain biaya

Dalam setiap penerbitan Rekomendasi Pembangunan Hutan Tanaman Industri oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, agar Saudara berpartisipasi aktif menyampaikan

Manfaat yang diharapkan dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah untuk membantu user mengetahui perbandingan cara kerja algoritma L-Queue dan algoritma

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi agar segera melakukann inventarisasi tanah-tanah

4.7 Pengaruh Kompetensi dan Lingkungan Kerja Fisik Terhadap Kinerja Karyawan

Masalah rendahnya kinerja karyawan bagian food and beverage department di The Premiere Hotel Kota Pekanbaru selain dapat dilihat dari tingkat turnover , kehadiran dan