• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK KEDOKTERAN

Ringkasan Disertasi

S.Tri Herlianto NIM 110 101 10 500040

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

(2)

i

TIM PEMBIMBING

Prof. Dr. H. Barda Nawawi Arief, S.H. (Promotor)

(3)

ii

Tim Penguji Ujian Terbuka (Promosi) Doktor

Ketua :

Prof.Dr.R.Benny Riyanto,SH.,M.Hum.,CN.

Sekretaris :

Dr. RB.Sularto,SH.,M.Hum.

Anggota :

1. Prof. Dr.dr.Anies, M.Kes.,PKK. (Penguji). 2. Prof.Dr.Suteki,SH.,M.Hum. (Penguji).

3. Prof.Dr.Supanto,SH.,M.Hum. (Penguji Eksternal). 4. Dr.Pujiono,SH.,M.Hum. (Penguji).

(4)

iii MOTTO

Terlahir dan dibesarkan oleh Ibu Pertiwi,

hidup dan bertaruh nyawa untuk menjaga Bangsa dan Negara, dalam tugas sukses tidak dipuji,

gagal dicacimaki, tertangkap tidak diakui,

hilang tidak dicari, matipun tidak dihormati,

karena jiwa ragaku terlahir untuk Negara,

(5)

iv

PERSEMBAHAN

Disertasi ini saya persembahkan kepada: Almamaterku tercinta:

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu memimpin langkah pemikiran kepada penulis dalam menyelesaikan

disertasi ini dengan judul “ Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran”

Disertasi yang diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar doktor Ilmu Hukum di Program Studi Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Disertasi ini merupakan hasil penelitian terhadap penyelesaian hukum atas kasus-kasus tindak pidana praktik kedokteran/malpraktik antara dokter sebagai pelaku tindak pidana dengan korban pasien yang terjadi pada beberapa kota di Palembang, Lampung, Bandung, DKI Jakarta yang penulis terlibat langsung meneliti ke lapangan.

Penulis menyadari bahwa selama empat tahun lebih berproses di PDIH Undip tidak terlepas dari dorongan, bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkenan membantu. Ucapan terimakasih disertai rasa bangga, penulis sampaikan kepada Universitas Diponegoro yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk turut mengusung dan mengibarkan tinggi-tinggi Panji Diponegoro.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. sebagai Promotor dan Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H. sebagai Co-Promotor, yang telah menanamkan etos kerja keras, kedalaman budi pekerti, kesabaran, kepercayaan, kebanggaan, pencerahan dan kemuliaan hidup dalam menyelesaikan disertasi ini. Semoga beliau berdua selalu diberkati Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat kesehatan , panjang umur, selalu dalam kebaikan dan kemurahan hati, damai sukacita didalam Tuhan dan dimudahkan meraih kesuksesan dan kemuliaan hidup, amin.

Ucapan terima kasih dan rasa bangga pula penulis sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum dan Dr.Heni Siswa to,SH.,MH yang telah berkenan menjadi teman diskusi, tempat bertanya dan selalu menyemangati untuk terus berproses dan siap menghadapi segala dinamika

„sekolah‟ S3. Semoga beliau selalu diberkati kelimpahan damai sejahtera, sehat, dikaruniai panjang umur, selalu dalam kebaikan dan kemurahan hati, dan dimudahkan mencapai kesuksesan serta kemuliaan hidup, amin.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada yang terhormat:

(7)

vi

b. Prof. Dr.R.Benny Riyanto, S.H., M.Hum.,CN, Dekan Fakultas Hukum Undip dan para Pembantu Dekan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti jenjang pendidikan tertinggi di Undip.

c. Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, S.H., M.Hum., Ketua PDIH Undip; Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, S.H., M.S., mantan Ketua PDIH Undip; Dr. Nanik Trihastuti, S.H., M.Hum., mantan Sekretaris PDIH Undip; Para Sekretaris PDIH Undip, Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum. (Sekretaris Bidang Akademik) dan Dr. R.B. Sularto, S.H., M.Hum. (Sekretaris Bidang Keuangan) yang telah memberikan bantuan selama menempuh pendidikan.

d. Para dosen penguji, baik pada Ujian Kualifikasi, Ujian Seminar Usulan Penelitian, Ujian Seminar Hasil Penelitian, dan Ujian Kelayakan yaitu: Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.Hum.; Prof. Dr. dr. Anies, SpKK, S.H.,; Prof. Dr. Suteki, SH.,M.Hum,Prof. Dr. Supanto,S.H.,M.Hum, Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum.; Dr. R.B. Sularto, S.H., M.Hum. yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini.

e. Semua Dosen Pengajar di PDIH Undip yang dengan tulus ikhlas membagikan ilmunya dan memberikan pencerahan keilmuan kepada penulis: Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H.; Alm. Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA.; Alm. Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, S.H., M.S.; Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.; Prof. Dr. Yusriyadi, S.H., M.S.; Prof. Dr. F.X. Sugiyanto, S.E., M.S.; Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.; Prof. Drs. Bambang Setiadi, M.Sc., Ph.D.; Prof. Dr. Liek Wilardjo; Prof. Dr. Mahfud M.D.; Prof. Dr. I Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H.; Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.H.; Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Suteki,S.H.,M.Hum, Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.

f. Rekan-rekan kuliah di PDIH KPK Undip-Unila Angkatan III Tahun 2010-2011: Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H.,M.H.;Bapak Marsudi Utoyo, S.H., M.H.; BapakDr. F.X. Sumarja, S.H., M.Hum.; Bapak Sunaryo, S.H., M.Hum.; Bapak Didiek R. Mawardi, S.H., M.H.;; Ibu Kingkin Wahyuningdyah, S.H., M.H.; Ibu Amnawaty, S.H., M.H.; Ibu Elly Nurlaeli, S.H., M.H.; Ibu Dr.Erlina Bachri, S.H., M.H.; Bapak Dr. Tami Rusli, S.H., M.H.; Ibu Candra Perbawati, S.H., M.H.; Ibu Zuhraini, S.Ag., M.H.; Zulfikar Ali Butho, S.H., M.H.; Ery Setyanegara, S.H., M.H.; Bapak Shafruddin, S.H., M.H. yang terus menyemangati. Saya mengucapkan salam 3-17.Bravo.

g. Teman-teman Korps Badan Inteljen Negara, Badan Inteljen Strategis, Batalyon Kesehatan, Para Dosen Universitas Pertahanan Negara, Para Dosen Sekolah Tinggi Inteljen Negara, senior,yunior,seangkatanKorps Sandi Negara.

(8)

vii

i. Para narasumber penelitian:Dr.dr.Asep Sukohar,M.Kes.; Dr.Hj. Anny Isfandyarie, Sp.An., S.H.; Prof.dr. I Made Widnyana, S.H.,M.H.; Dr. Heni Siswanto,S.H.,M.H.;Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.Hum.; Prof.Dr.dr. Ajeng Saraswati, Sp.J.; Prof.Dr. dr. Hari Nugroho, Sp.B.; Dr.dr. Ananta Adi, Sp.D.; Dr.dr. Billi, Sp.B.An.

j. Teman-teman di PDIH Undip: ibu Linda; ibu Alvi; ibu Diah; ibu Dendy; ibu Dian; Mas Delta; bapak Jumadi; bapak Yuli; bapak Robby; bapak Abdul Gofur Taufik; bapak Muhadi; dan ibu/bapak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis menghaturkan terima kasih atas perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama ini.

Penulis mendoakan kepada seluruh pihak, dilimpahi Berkat Kasih Karunia Tuhan atas kebaikan, kepedulian dan perhatian, bantuan, kemurahan hati, kejujuran, keikhlasan dan dorongan semangat selama masa-masa perkuliahan, pembimbingan dan pelaksanaan ujian, dari sejak awal kuliah sampai berakhirnya studi S3 ini, semoga budi baik Bapak dan Ibu menjadi amal ibadah yang akan menjadikan suatu Berkat Kasih Karunia Tuhan yang berlimpah.

Penulis menyadari disertasi ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang konstruktif selalu diterima dengan hati dan tangan terbuka. Mudah-mudahan disertasi yang sederhana ini dapat bermanfaat dalam rangka turut membangun, mengembangkan dan mewujudkan SPP dan ilmu hukum Indonesia yang integral, berkualitas, berkebenaran dan berkeadilan Pancasila, amin.

Tuhan Memberkati Kita Semua.

Semarang, Agustus 2015

(9)

viii

DAFTAR ISI

Tim Pembimbing ... i

Tim Penguji Ujian Terbuka (Promosi) Doktor ... ii

Motto ... iii

Persembahan ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Metode Penelitian ... 3

E. Jenis Penelitian ... 4

II. PEMBAHASAN A. Mediasi Penal dari Perspektif Perundang-Undangan serta Penerapannya dalam Perkara Malpraktik Kedokteran ... 5

1. Mediasi Penal dari Perspektif Perundang-Undangan saat ini ... 8

2. Penerapan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran saat Ini ... 12

3. Perspektif Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Hukum Pidana ... 14

B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran dalam Pembaharuan Hukum Pidana masa yang akan datang ... 22

1. Kebijakan Penentuan Pidana dalam Perkara Malpraktik Kedokteran yang dapat dimediasi ... 22

2. Kebijakan Penerapan Mediasi Penal dalam Pembaharuan Hukum Pidana Praktik Kedokteran sebagai bagian dari Proses Peradilan Pidana ... 24

a. Mediasi Penal dalam Perkara Malpraktik Kedokteran di Luar Proses Peradilan Pidana ... 24

b. Mediasi Penal dalam Perkara Malpraktik Kedokteran sebagai bagian Proses Peradilan Pidana ... 24

III. PENUTUP A. Kesimpulan ... 35

B. Saran ... 37

C. Implikasi ... 39

Daftar Pustaka ... 41

(10)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana praktik kedokteran/malpraktik kedokteran semakin banyak terjadi dan diliput dalam pemberitaan media massa nasional, baik itu media cetak maupun media elektronik. Menurut LBH Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat bahwa terdapat kurang lebih 210 kasus pertahunnya dugaan malpraktik kedokteran di Indonesia,1walaupun sebagian besar tidak sampai ke pengadilan. Tampaknya kondisi sekarang sudah berubah, hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik dan berdasarkan kepercayaan (fiduciary relationship) mulai goyah. Pemicu terjadinya sengketa adalah kesalahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidakjelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut, curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan terjadinya keadaan yang tidak terduga serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi juga dunia kedokteran. 2 Dilain pihak tuntutan masyarakat terselenggaranya pelayanan medis bermutu tinggi dan tidak pernah salah dan sudah tentu dengan biaya murah. Benturan antara kepentingan inilah yang menimbulkan berbagai konflik/sengketa dan tuduhan dugaan tindak pidana dalam praktik kedokteran yang kemudian masuk dalam ranah hukum, baik perdata maupun pidana.

Keadaan yang terjadi sekarang, sentimen korps profesi kesehatan yang saling melindungi sesama profesional akan menyulitkan upaya pengusutan yang obyektif, sehingga kasus-kasus dugaan malpraktik hanya masuk ”peti es” dan tidak ditangani lagi. Hal tersebut mengakibatkan pihak pasien perpendapat bahwa tenaga kesehatan kebal hukum dan selalu berlindung di balik etika tenaga kesehatan agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya. Sebaliknya, kalangan kesehatan berpendapat bahwa pihak pasien sangat kuat kedudukannya sehingga dapat dengan begitu saja menuntut atau menggugat tenaga kesehatan untuk suatu hasil pengobatan yang negatif atau tidak memenuhi harapan pasien. Padahal dampak tuntutan itu terkadang sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination terhadap tenaga kesehatan yang dituntut atau di gugat. Pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan yang merawat. Dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan perbuatan merupakan malpraktik atau tidak, harus dilakukan dengan pendekatan (yang bersifat khusus) kedokteran atau kesehatan dan ilmu hukum secara proporsional. Dalam hal tersebut profesinya (dokter/tenaga medis) menjadi terlalu sangat berhati-hati dan timbul yang dinamakan negative defensif professional practice, yang

1Data pada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, bagian pembelaan hukum, Jakarta:

Biro Hukum PB IDI, 2012.

2H.R. Hariadi, Sorotan Masyarakat Terhadap Profesi Kedokteran, makalah disampaikan

(11)

2

mengurangi kreatifitas dan dinamika profesional tindakan dokter atau tenaga medis.

Dalam proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non litigasi/konsensual/non-ajudikasi. Memahami bahwa proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan waktu. Sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, sering kali menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagi pihak yang kalah. Sementara itu kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlalu padat, lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta dianggap terlalu formalistik dan terlampau teknis. Itu sebabnya masalah perlunya peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efesian terjadi dimana-mana. Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses pengadilan beserta hasilnya dianggap tidak efesien dan tidak adil.

Kelemahan dan ketidakpuasan terhadap operasionalisasi sistem peradilan pidana mendorong untuk dicari penyelesaian alternatif dari sistem peradilan pidana dengan penyelesaian perkara di luar jalur penal, yaitu dengan cara mediasi sebagai perwujudan restorative justice, yaitu perlu adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana melalui jalur alternative dispute resolution (ADR) dengan maksud agar dapat menyelesaikan konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban, juga guna mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem peradilan pidana yang berlaku, menghindari efek negatif dari sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternatif to imprisonment/ alternative to custody), dan upaya penyelesaian dalam perkara malpraktik kedokteran yang lebih bersifat kekeluargaan, musyawarah dan masih mempertahankan harkat dan martabat manusia serta penyelesaiannya memuaskan kedua belah pihak (win-win solution) serta untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (the problem of court case overload) 3 dan untuk penyederhanaan proses peradilan pidana.

Asas hukum pidana positif Indonesia, perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walau dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan. Akan tetapi, praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi penegak hukum, mekanisme perdamaian secara kekeluargaan, mekanisme musyawarah, lembaga adat dan sebagainya.

3Upaya untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara) di beberapa negara

lain yang juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan”

(12)

3

Implikasi praktik penyelesaian perkara malpraktik di luar pengadilan selama ini belum ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi suatu perkara malpraktik secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme musyawarah kekeluargaan, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum positif yang berlaku. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di bidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses peradilan pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata tidak begitu besar dan menjadi tidak berfungsi.

Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran selain bermanfaat bagi pasien maupun keluarganya, masyarakat dan dunia kedokteran, pelayanan kesehatan masyarakat, juga sejalan dengan perkembangan hukum dalam tataran global, serta hukum yang hidup dan berkembang dalam tataran lokal, yakni masyarakat adat/kearifan lokal di Indonesia yang telah memiliki mekanisme penyelesaian perkara melalui perundingan atau permusyawarahan untuk mencapai kesepakatan.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran dari perspektif perundang-undangan serta penerapannya pada saat ini?

b. Bagaimanakah kebijakan legislasi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dalam pembaharuan hukum pidana masa yang akan datang?

C. Tujuan Penelitian

Mengkaji, memahami mediasi penal dari perspektif perundang-undangan serta penerapannya dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran pada saat ini serta menemukan kebijakan legislasi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaiannya dalam pembaharuan hukum pidana yang akan datang.

D. Manfaat Penelitian

(13)

4

pasien, masyarakat dan juga berbagai kalangan pemerhati dan pengkaji alternatif penyelesaian perkara yang timbul akibat terjadinya malpraktik kedokteran khususnya dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum pidana serta pengambil kebijakan yang kompeten, baik dalam menyusun konsep, mengaplikasikan maupun menegakan hukum pidana di bidang praktik kedokteran.

E. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian4 yang dipandang sesuai dengan penelitian disertasi ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris5 atau penelitian hukum doktrinal dan nondoktrinal dengan pendekatan studi sosiolegal6 (socio-legal studies) dengan mendasarkan pada paradigma kritikal. Penelitian socio-legal7 dengan landasan filsafat hermeneutik dan teori kritik melalui pendekatan interpretive/ verstehen, penelitian hukum yang lebih berorientasi kepada kemanusiaan.

Penelitian ini tidak lagi melihat hukum sebagai realitas yang otonom, obyektif, netral, imparsial, dan dapat digeneralisasikan.8 Oleh karena itu, penelitan ini bertujuan untuk menganalisis mediasi penal dalam sistem peradilan pidana dan merekonstruksi sistem peradilan pidana secara integral dan berkualitas dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal.

4

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad menyatakan ada 2 (dua) jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Pembagian ini sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Ronny Hanitijo Soemitro, dalam Dualisme P enelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm., 153.

5

FX Adji Samekto, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-Modernisme, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012, hlm. 155.

6Sulistyowati Irianto memaparkan bahwa studi sosiolegal sebenarnya bukan studi yang

benar-benar baru. Studi yang bersifat interdisipliner ini merupakan hibrida dari studi besar tentang ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari perspektif kemasyarakatan yang lahir sebelumnya. Kebutuhan untuk menjelaskan persoalan hukum secara lebih bermakna secara teoretikal. Sementara itu secara praktikal, studi ini juga dibutuhkan untuk menjelaskan bekerjanya hukum dalam hidup keseharian warga masyarakat, dalam Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, makalah dalam op.cit., Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 173.

7 Kajian sosiolegal merupakan kajian yang memadukan kajian hukum doktrinal dengan

kajian sosial. Pemaduan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa aturan hukum tidak pernah bekerja di ruang hampa. Aturan hukum bekerja di ruang yang penuh dengan sistem nilai, kepentingan yang bisa dominan, tidak netral. Dalam kajian sosio-legal dilakukan studi tekstual terhadap pasal-pasal dalam peraturan hukum. Selanjutnya dilakukan analisis secara tajam apakah aturan-aturan itu di dalam masyarakat dapat mewujudkan keadilan, kestabilan hidup dan kesejahteraan di dalam masyarakat.Untuk itulah dilakukan penelitian sosial yang untuk akurasi dan pencapaian kebenarannya didasarkan pada paradigma. Dari penelitian sosial itu lalu bisa disimpulkan aturan-aturan hukum itu dapat memberikan keadilan atau tidak. Dalam kajian sosio-legal, hukum dikonsepsikan sebagai norma aturan yang berlaku dan sekaligus sebagai fakta sosial. Di dalam sosio-legal, hukum dilihat sebagai faktor penentu dalam sistem sosial yang dapat menentukan dan ditentukan, dalam F.X. Adji Samekto, Menempatkan Paradigma Penelitian dalam Pendekatan Hukum Non-Doktrinal dan Penelitian dalam Ranah Sosio-Legal, Makalah, 2012.

8

(14)

5

Melalui kajian itu dicoba memahami norma hukum yang tertuang dalam sejumlah teks peraturan perundang-undangan terkait dengan perkara malpraktik kedokteran.

II. PENBAHASAN

A. Mediasi penal dari perspektif perundang-undangan dan penerapannya dalam perkara malpraktik kedokteran.

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari penerapan restorative justice, yaitu konsep yang memandang kejahatan atau tindak pidana bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana (dokter) dengan Negara yang mewakili korban (pasien), dan meninggalkan proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku (dokter) dan Negara (Jaksa penuntut umum). Restorative justice menuntut proses peradilan pidana untuk memberikan pemenuhan kepentingan - kepentingan korban (pasien dan/atau keluarganya) sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan pelaku (dokter). Sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.

Kecenderungan dalam perkembangan hukum pidana dan pemidanaan serta pembaharuan peradilan pidana baik dalam teori maupun praktik, lebih dikembangkan bentuk rekonsiliasi atau mediasi dalam penyelesaian perkara pidana. Hal ini mengingat secara etik, tren ini bersandar pada asas pertanggung jawaban individu, dalam hukum pidana substantif, dengan mengacu pada pengambilan pertanggungjawaban pelaku terhadap sanksi pidananya, dalam hukum pelaksanaan sanksi. Metode alternatif resolusi kesepakatan ini juga memberikan lebih besar kepentingan korban yaitu pasien serta keluarganya dan membuat ruang bagi manajemen konflik rasional. Mengingat pandangan etik pula sebuah reaksi terhadap sebuah tindak pidana adalah sebuah kejahatan tersendiri, tapi tidak diperlukan timbulnya kerugian atau luka baru terhadap pelaku tindak pidana9.

Ide yang mendasari mediasi penal adalah menyatukan pihak-pihak yang menginginkan untuk merekontruksi model peradilan pidana yang sangat panjang dengan model resolusi, yang akan memperkuat posisi korban (pasien) dan mencari alternatif pidana, serta mencari cara untuk mengurangi kerugian dan beban berat pada sistem peradilan pidana mengingat sistem ini lebih efektif dan efesien10.

Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut11.

9Diater Rossner, Mediation as a Basic Element of Crime Control : Theoretical and

Empirical Coments, www.bufallo university journal.

10Recommendation No. R (99) 19. ( the Committee of Ministers of the Council of Europe)

15 September 1999. 11

(15)

6

a. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konflikbearbeitung): b. Berorientasi pada proses (Process Orientation;

Prozessorientie-rung):

c. Proses informal ( Informal Proceeding - Informalitat):

d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Partiticipation Parteiautonomie/Subjektivierung)

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti simpulkan keuntungan-keuntungan mediasi penal dalam alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran adalah sebagai berikut:

1. Keuntungan mediasi bagi korban (pasien dan/atau keluarganya), tekanan berkurang dibanding jika berperkara di pengadilan, tidak perlu membawa saksi, tidak perlu menyewa pengacara, dan mendapat kesempatan untuk mengkontrol hasilnya.

2. Bagi pelaku tindak pidana (dokter) dapat diuntungkan karena terhindar dari pemidanaan, catatan kejahatan atau denda dan biaya-biaya perkara yang lebih besar.

3. Mediasi juga dapat mempererat atau mempersatukan kembali hubungan dokter dengan pasiennya serta keluarga pasien tersebut jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya dengan kesepakatan damai dan pembayaran ganti kerugian, serta memberikan pelajaran bagi dokter untuk melayani pasiennya dengan hati-hati dan lebih baik untuk dapat menghindari konflik di masa mendatang.

Hasil dari penelitian penulis didapat bahwa pada saat ini dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran secara damai telah dilakukan oleh dokter sebagai tersangka dengan pasien sebagai korban melalui mediasi aparat kepolisian walaupun masih menimbulkan kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dengan alasan bahwa secara yuridis formal, tindakan aparat hukum yang tidak mengajukan perkara kepengadilan secara tegas melanggar asas legalitas yang menghendaki setiap perkara pidana harus diajukan kepengadilan.

Demikian halnya pendapat yang menyatakan bahwa fenomena penghentian perkara pidana malpraktik kedokteran dengan alasan perdamaian sangat bertentangan dengan asas oportunitas. Oleh karena yang berhak mengenyampingkan perkara hanyalah Jaksa Agung sebagaimana yang tertera pada Pasal 35 UU. No. 16 th 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67 yang menegaskan bahwa:

“Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”

(16)

7

aspek kepentingan negara semata, melainkan harus pula meliputi aspek-aspek kepentingan umum yang lainnya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Bemmelen bahwa kepentingan umum dalam kaitannya dengan penyampingan perkara adalah demi kepentingan negara, masyarakat dan pribadi.

Dengan dasar itulah penulis berpendapat bahwa penyelesaian tindak pidana secara damai dapat dibenarkan dengan alasan;

1. Perdamaian untuk menyelesaikan suatu perkara pidana, sejauh perkara tersebut belum diajukan kemuka pengadilan, merupakan suatu hal yang regular terjadi, oleh karenanya dapatlah hal ini disebut sebagai regularity;

2. Sikap tindak ajek (regularity) ini, merupakan pemantulan dari budaya hukum (legal culture) yang hidup dalam masyarakat; 3. Perdamaian disini dapatlah diartikan sebagai suatu hubungan yang

serasi (harmonis) antara mereka yang bersangkutan, yang berorientasi pada keadilan dan kebenaran.

Dengan diterimanya sistem peradilan pidana dảri berbagai negara secara resmi, pandangan bahwa peradilan pidana bukanlah satu-satunya cara menyelesaikan masalah kejahatan. Bahkan suatu penyimpangan/pengalihan (diversion) yang dilakukan oleh kepolisian dan penuntut umum terhadap kejahatan sering dianggap lebih baik.12

Diversion tidak mementingkan dikeluarkannya putusan pengadilan (pidana). Diversion bukan berarti menghindarkan terdakwa dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan, dengan mengupayakan penjatuhan hukuman alternatif. Lebih lauh lagi, diversion yang menghindarkan terdakwa dari proses peradilan pidana.

Dalam teori diversion yang dilakukan oleh kepolisian disebut sebagai police caution. Polisi dalam penanganan tindak pidana kedokteran yang melakukan delik untuk ditawarkan mengadakan perbaikan terhadap korban (minta maaf, ganti rugi). Jika disepakati, maka proses pidana tidak dilanjutkan. Kelemahan sistem ini cukup membahayakan, yaitu dapat membuat polisi sebagai penuntut umum, hakim dan sekaligus pelaksana putusan.13

Dalam restorative justice, pemecahan masalah sangat bergantung kepada kesepakatan para pihak yang bertikai (pelaku dan korban) dengan melakukan pendekatan rekonsiliasi dan negosiasi. Pihak pelaku atau keluarganya biasanya melakukan hubungan informal dengan pihak korban atau keluarganya untuk mencari suatu solusi yang paling tepat diantara mereka. Ini berarti, pendekatan hukum perdata dipandang sebagai sarana yang paling tepat untuk menyelesaikan setiap konflik.

Penulis berpendapat bahwa dibutuhkan suatu konsep proses hukum yang adil yang tidak hanya memberikan jaminan perlindungan hukum kepada pelaku semata, dalam hal ini tersangka/terdakwa, melainkan juga kepada korban, terutama perlindungan berupa hak

12Chairul Huda, Kedudukan Subsistem Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, I

dalam Jurnal Hukum No.12 Vol.6 1999, hal.142.

13

(17)

8

berpartisipasi dalam hal penyelesaian konflik hal tersebut masih sulit di implementasikan, mengingat kedudukan pasien sebagai korban malpraktik kedokteran belum diakui sebagai suatu subsistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini. Untuk itu, perlu adanya suatu pengaturan yang bertalian dengan kedudukan korban malpraktik kedokteran ini dalam hukum acara pidana positif kita, sehingga ketimpangan dalam proses peradilan pidana, baik yang bertalian dengan pidana mapun masalah hak-hak korban dapat diatasi.

Salah satu alasan perkara malpraktik kedokteran tidak diajukan oleh kepolisian ke Kejaksaan Negeri atau ke Pengadilan yaitu bahwa telah diselesaikan secara damai antara dokter dan pasien sebagai korban atau keluarganya. Penyelesaian perkaranya baik yang ringan/luka berat maupun berakibat meninggal, pihak dokter sebagai tersangka/terdakwa telah memberikan restitusi kepada korban atau keluarganya.

Jadi, dari hasil penelitian karena permintaan dua belah pihak didamaikan oleh pelaksana hukum pidana dengan mewajibkan dokter mengganti kerugian kepada pasiennya dan/atau keluarganya dan minta maaf perkaranya tidak lagi dilanjutkan ketingkat selanjutnya.

1. Mediasi penal dari perspektif perundang-undangan saat ini

Konklusi dasar dari hasil penelitian tentang mediasi penal dari perspektif perundang-undangan saat ini dalam perkara malpraktik kedokteran menunjukkan kecenderungan polarisasi bahwa mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia telah dikenal oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim Peradilan Umum Indonesia.

Dan bila dikaji dari perspektif asas, norma dan teori, mediasi

penal disebutkan antara “ada” dan “tiada. Dikatakan “ada” oleh karena

ternyata praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran telah dilakukan oleh para penegak hukum, para pihak pelaku tindak pidana yaitu dokter dan korban yaitu pasien beserta keluarganya serta penyelesaiannya dilakukan diluar pengadilan seperti melalui mekanisme musyawarah kekeluargaan maupun lembaga pelayanan kesehatan baik Rumah Sakit maupun Lembaga profesi kedokteran atau mekanisme lembaga lainnya.

Dikatakan “tiada” dikarenakan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dalam ketentuan undang - undang tidak dikenal dan belum diatur dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial.

(18)

9

Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.B006/R-3/I/1982 serta Putusan Makamah Konstitusi No.4/PVV/2007 tentang sengketa medis.

Pendapat penulis bahwa pada saat ini mediasi penal dalam perkara tindak pidana malpraktik kedokteran belum diatur baik dalam KUHP, KUHAP, Undang - Undang Kesehatan, Undang - Undang Praktik Kedokteran dan/atau Undang - Undang tersendiri, oleh karena itu kedepan (ius contituendum) hendaknya perlu dipikirkan secara lebih mendalam dalam ketentuan apa sebaiknya mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran tersebut akan diatur, apakah diatur dalam KUHP, KUHAP dan Undang - undang tersendiri serta Peraturan di bawah Undang-Undang atau Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dalam hukum pidana positif, mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara tindak pidana diluar pengadilan belum diatur. Ketentuan tentang mediasi penal sebagai bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan bukan hanya belum diatur, tetapi bahkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan dinyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan hanya berlaku untuk penyelesaian perkara perdata.14

Meskipun alternatif penyelesaian melalui mediasi penal di luar pengadilan belum diatur, namun dalam hal-hal tertentu, terdapat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan penyelesaian perkara malpraktik kedokteran diselesaikan di luar proses pengadilan. Secara implisit perundangan yang dimaksud adalah:

1. Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Menurut Undang - undang tentang Kekuasaan Kehakiman, semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-Undang, tetapi tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian, selanjutnya di dalam Undang–Undang dimaksud disebutkan pula bahwa, Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.15

Undang–Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman juga mengatur tentang kewajiban Hakim dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai–nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

14 Alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan di Indonesia, hanya dimungkinkan

dalam perkara perdata. Untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Ketentuan yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan tidak berlaku terhadap perkara tindak pidana dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, di dalam Pasal 4 disebutkan bahwa perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata.

15 Lihat Pasal 2 ayat (3) dan (4) dan Pasal 10 ayat (2) Undang undang Nomor 48

(19)

10

masyarakat, agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.16

Ketentuan - ketentuan tersersebut sebagaimana diuraikan di atas dapat pula menjadi acuan, bahwa pada prinsipnya proses peradilan adalah proses untuk memberikan keadilan bagi masyarakat yang

sesuai dengan „rasa keadilan masyarakat‟. Jadi apabila

penyelenggaraan peradilan di pengadilan tidak berlangsung efektif dan efisien sertakurang memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka tidak tertutup emungkinan penyelenggaraan peradilan dilakukan di luar pengadilan.

2. Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa, untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa, bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat sertaresiko dari tindakannya dan betul– betul untuk kepentingan umum.

Di dalam penjelasan umum Undang-undang dimaksud dinyatakan bahwa, selaku pengayom, peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia perlu dikembangkan melalui pemantapan kewenangan bertindak menurut penilaian sendiri untuk kepentingan umum, sehingga upaya perlindungan dan pelayanan terhadap masyarakat dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 29 menyebutkan bahwa “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu

melalui mediasi” hal ini menunjukan bahwa pada tiap kasus

sengketa medik atau dalam setiap perkara tindak pidana praktik kedokteran perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cara mediasi terlebih dahulu sebelum atau tanpa melalui proses pengadilan. 4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran

Menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang praktik Kedokteran Pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa “Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwewenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan

menetapkan sanksi” hal ini menunjukan bahwa pada setiap kasus

16 Lihat: Pasal 5 ayat (1) Undang undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

(20)

11

sengketa medik atau tindak pidana praktik kedokteran yang paling berwewenang menentukan salah tidaknya tindakan dokter dan memberi sanksi sanksi adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Jadi perkara tersebut dapat diselesaikan tanpa melalui proses pengadilan.

5. Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.B006/R-3/I/1982, Jaksa Agung Tanggal 19 Oktober 1982 tentang Perkara Profesi Kedokteran

Didalam Surat Edaran Petunjuk Rahasia Kejaksaan Agung tersebut

menyebutkan “Bahwa dalam hal kasus malpraktik kedokteran agar

tidak meneruskan perkaranya sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik Indonesia”.Hal tersebut menunjukan bahwa dengan surat edaran dari Kejaksaan Agung memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk dapat melakukan perdamaian dengan dimediasi oleh pejabat Dinas Kesehatan.

6. Putusan Makamah Konstitusi No.4/PVV-V/2007

Didalam surat putusan Makamah Konstitusi menyebutkan bahwa

“sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan

profesi”. Amar putusan Makamah Konstitusi tentang sengketa medis untuk terlebih dahulu melalui peradilan profesi bahwa perkara praktik kedokteran akan lebih tepat penanganannya melalui peradilan profesi guna dapat menyatakan benar salahnya tindakan dokter dalam pelaksanaan profesinya sebelun dilimpahkan keproses hukum selanjutnya disinipun ada peluang untuk dokter jika ternyata bersalah dalam tindakannya untuk melakukan mediasi kepada korban pasien .

(21)

12

2. Penerapan Mediasi Penal dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran saat ini .

Deskripsi analisis hasil penelitian terhadap penerapan mediasi penal saat ini dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran telah dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan cara perdamaian kekeluargaan antara pelaku (dokter) dan korban (pasien) maupun keluarganya yang diakhiri dengan pembayaran ganti kerugian kepada korban (P enal mediation out of court) maupun dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap–tahap proses peradilan pidana yang kesepakatan dan pembayaran ganti kerugiannya dari pelaku kepada korban hanya dijadikan sebagai pertimbangan yang meringankan tuntutan pidana dan penjatuhan pidana (penal mediation within court).

Pada tahap penyidikan, utamanya dalam perkara malpraktik kedokteran, apabila hanya menimbulkan kerugian yang kecil biasanya diselesaikan dengan mediasi di antara dokter dan pasien atau keluarganya dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku (dokter) dan korban (pasien) ataupun keluarganya. Namun demikian jika perkara tindak pidana malpraktik yang diakibatkan kesengajaan dan menimbulkan kerugian yang besar seperti, nyawa atau cacat seumur hidup maka mediasi tidak dapat dilakukan, adapun pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan penguburan jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa.

Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kesepakatan mengganti kerugian tidak menghapuskan tindak pidananya, karena dokter sebagai terduga pelaku tindak pidana dalam praktik kedokteran tetap saja disidik dan diproses sesuai dalam sistem peradilan pidana.

Pada delik aduan yang diproses penyidikannya didasarkan pada pengaduan korban yaitu pasien dan/atau keluarganya, penulis menemukan adanya penyelesaian dengan mediasi, baik sebelum dilakukannya pengaduan sehingga korban (pasien) atau keluarganya tidak jadi mengajukan pengaduan, maupun jika pengaduan telah dibuat oleh korban, akan tetapi korban masih mempunyai kesempatan untuk menarik pengaduannya. Di sini pun peran polisi bukan sebagai mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang menyaksikan diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan perdamaian. 17 Di samping delik aduan dalam perkara praktik kedokteran biasanya pasien dan/atau keluarganya menyelesaikan sendiri perkara tersebut dengan mediasi yaitu dalam tindak pidana praktik kedokteran ringan sekali pun tindak pidana yang dilakukan oleh dokter bukan merupakan delik aduan, akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat dan semua pihak maka penyelesaian secara mediasi seringkali menjadi pilihan.

Sementara itu pada tahap penuntutan juga ditemukan adanya penyelesaian dengan mediasi sebelum dilakukannya penuntutan. Dalam

17

(22)

13

mediasi ini pihak korban pasien dan/atau keluarganya meminta ganti kerugian kepada pihak pelaku yaitu dokter maupun lembaga tempat dokter berpraktik seperti pada rumah sakit, namun demikian walaupun telah terjadi kesepakatan dari pihak pasien dan/atau keluarganya dan dokter untuk mengganti kerugian, kesepakatannya tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan sebagaimana mestinya dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan tetap di tangan hakim.

Mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum dari akta kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi, pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu dalam menangani kasus malpraktik kedokteran yang masuk ke dalam katagori „delik

biasa‟, seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medis seperti Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain), maka dilakukan mediasi dengan negosiasi di mana korban pasien dan/atau keluarganya meminta ganti kerugian kepada dokter dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Dalam hasil penelitian praktik mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran oleh hakim tidak pernah dilakukan, oleh karena tidak ada peraturan normatif yang mengaturnya, karena hal-hal yang menyangkut kesepakatan para pelaku yaitu dokter dan korban (pasien) ada pada tingkat penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan dalam surat dakwaan yang salah satunya kesepakatan yang dicapai melalui mediasi sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.

(23)

14

3. Perspektif pendekatan restoratif dalam sistem hukum pidana

Penulis berpendapat bahwa keterlibatan korban pasien dan/atau keluarganya dalam proses upaya penyelesaian perkara malpraktik kedokteran , merupakan cerminan dari pelaksanaan prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Pelibatan pasien dan/atau keluarganya sebagai korban untuk ikut serta dalam proses upaya penyelesaian tindak pidana bukan hanya semata-mata untuk memberikan kesempatan atau keseimbangan, tetapi hal tersebut berkaitan erat dengan proses pencapaian makna keadilan itu sendiri. Keadilan restoratif, memaknai keadilan hanya dapat diberikan melalui keterlibatan para pihak dalam upaya menyelesaikan suatu konfik yang timbul akibat tindak pidana, dan bukan sekadar pemenuhan keadilan menurut ketentuan perundang-undangan. Memberikan hak kepada pelaku dan korban untuk dapat menyelesaikan konfik yang terjadi di antara mereka, merupakan hal yang utama dalam pandangan keadilan restoratif karena keadilan restoratif memandang suatu tindak pidana bukan semata-mata merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum negara tetapi merupakan suatu perbuatan dari seseorang kepada orang lain yang menimbulkan kerusakan atau kerugian yang harus dipulihkan. Dengan prinsip pemulihan dan bukan penghukuman serta prinsip mendahulukan pemulihan dan penjatuhan sanksi bersifat memulihkan dan menjahui sanksi pemenjaraan.

Dengan melihat penjelasan tersebut, maka terdapat beberapa dampak positif yang dapat ditawarkan oleh keadilan restoratif terhadap sistem peradilan pidana, antara lain sebagai berikut.

a. Keadilan restoratif akan memberikan alternatif-alternatif penanganan terhadap tindak pidana dengan memberikan ruang bagi tercapainya suatu out of court settlemem dalam lingkup bidang hukum pidana.18

b. Dapat meniadakan proses penuntutan dan persidangan yang akan memakan waktu yang panjang akan sangat membantu mengurangi tunggakan perkara dan sekaligus akan mengurangi beban biaya yang sangat besar.

c. Dapat menghindarkan penjatuhan sanksi hukuman penjara yang sering justru memberikan dampak negatif yang lebih besar dibanding dengan hal-hal positif yang dikehendaki (ada anggapan bahwa pada masakini, sanksi pemenjaraan cenderung tidak lagi menimbulkan efek jera bagi pelaku, tetapi sanksi pemenjaraan

18Gagasan integrasi pendekatan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana maupun

(24)

15

justru membuat pelaku memiliki ruang belajar untuk lebih jahat lagi melalui lembaga pemasyarakatan, dan hal-hal lain yang merupakan dampak negatif dari pemenjaraan).

d. Dapat menghindari terjadi beban kelebihan penghuni terhadap kapasitas penjara (over population).

e. Dicapainya penghematan anggaran keuangan negara sehingga dapat dipergunakan untuk suatu keperluan lain yang penting.

Hal tersebut dapat dimulai dảri tahapan-tahapan antara lain;

1.Tahap penyidikan dengan diversi.

Diversi adalah proses dimana pelanggar dipindahkan dari proses pengadilan yang konvensional ke dalam proses program-program alternatif, yaitu suatu konsep berbasis pada pelaku dan kebanyakan program diversi dikembangkan untuk membantu pelanggar dan/atau mengurangi beban-beban dari sistem peradilan pidana.

Namun dimungkinkan untuk menciptakan prosedur-prosedur diversi yang pula konsultasi korban, pemulihan perbaikan dan (bila terdapat kepentingannya) adalah mediasi dengan pelaku. Diversi biasanya mensyaratkan suatu pengakuan bersalah dari pelaku dan disertai oleh suatu syarat untuk memenuhi suatu kondisi tertentu. Diversi pada hakikatnya dapat ditempatkan pada tiap tahapan apa pun dalam proses peradilan, termasuk pada rahapan penahanan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, penjatuhan hukuman dan tahapan pasca penjatuhan hukuman. Apabila syarat-syaratnya dipenuhi, hasilnya dapat berupa suatu penangguhan atau di petieskannya kasus tersebut dari proses-proses acara Peradilan yang formal.

Menurut Apong Herlina,19 selain mendapatkan keadilan untuk semua, tujuan diversi ini antara lain untuk menghindari penahanan untuk menghindari cap atau label sebagai penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi si pelaku, pada saat telah berada di luar; agar si pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya; serta untuk mencegah pengulangan tindak pidana.

Diversi yang dilakukan oleh polisi adalah suatu praktik yang umum terjadi di berbagai negara dan beberapa bentuk darinya tidak perlu ditetapkan dalam suatu legislasi. Namun, dapat pula disediakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan dengan mengadopsi suatu skema pemberitahuan atau skema lain yang sejenis. Di Indonesia, pasal 16 ayat (1) huruf I undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) menyatakan bahwa:

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

19Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3 No. III

(25)

16

Tindakan lain tersebut adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut.20 a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.

c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa. e. Menghormati hak asasi manusia.

Ketentuan yang serupa dapat dijumpai di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7 ayat (1) huruf j, yang menyatakan bahwa penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab".

Apabila perintah untuk melakukan diversi telah diputuskan dan mediasi telah dilaksanakan dengan membawa hasil yang positif maka dapat diterbitkan apa yang dalam praktik hukum disebut dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penuntutan). Terbitnya SP3 tersebut adalah berkenaan dengan tidak dipenuhinya bukti permulaan yang cukupatas proses penyidikan, sehingga konsekuensi yuridisnya adalah bahwa terhadap dugaan terjadinya kasus pidana bersangkutan harus dihentikan penyidikannya. Namun keluarnya SP3 tersebut bukanlah berarti kasusnya telah selesai. Jaksa dapat membuka kembali kasus tersebut apabila memang telah dijumpai alat bukti lain sehingga prasyarat bukti permulaan yang cukup telah dipenuhi.

Perihal bagaimanakah prosedur tersebut harus dibentuk secara legislatif adalah untuk memberikan kewenangan umum kepada jaksa penuntut umum dan menyediakan sedikit petunjuk atau tidak sama sekali tentang prosedur-prosedur atau konsultasi dengan yang lainnya. Jaksa penuntut umum dapat diberikan kewenangan atas pertimbangannya sendiri untuk meniadakan kasusnya berdasarkan pertimbangan hukum "pemberian keringanan atau reduksi atas unsur kesalahan (culpabilitas), atau apabila antara pelaku dan korban telah tercapai suatu penyelesaian damai, atau dengan persetujuan dari pengadilan, jaksa penuntut umum dapat mendismiss kasusnya dan mewajibkan dilakukannya suatu mediasi atau memerintahkan agar dilakukan pembayaran ganti rugi.21

Dapat pula jaksa penuntut umum diberikan otoritas untuk mendiversikan suatu permasalahan ke mediasi, misalnya setelah mendapat rekomendasi dari lembaga tertentu. Jadi, diversi ke mediasi berada ditengah-tengah antara dismissal kasusnya, dengan pengenaan sanksi formal.

Perihal siapa yang harus terlibat dalam proses yang dirujuk, adalah untuk menetapkan tujuan-tujuan dari diversi dan mendesain

20Pasal 16 ayat (2) UU Kepolisian 21

(26)

17

pertanggungjawaban untuk implementasi tertentu dari tujuan-tujuan itu semua, tetapi dengan tidak melegislasikan proses-proses tertentu. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya konsistensi secara keseluruhannya dalam implementasi maupun fleksibilitas dalam implementasinya.22 Perihal sejauh mana uraian rinci berkenaan dengan program-program diversi itu harus dicakup dalam draft legislasi yang diajukan, adalah untuk menyediakan suaru rincian prosedural yang lebih besar, baik melalui legislasi maupun melalui regulasi (administratif).23 Menurut pandangan penulis landasan yuridis untuk dilakukannya diversi adalah

tidak' dapat didasarkan atas pertimbangan “mengesampingkan perkara

demi kepentingan umum”.24

Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas,yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Apabila legislasi mengenai diversi yang dipergunakan, maka legislasi tersebut harus menyampaikan kriteria-kriteria terpilih dan prosedur-prosedur untuk menetapkan mengenai kasus-kasus mana yang dapat didiversikan. Empat metode alternatif untuk melakukan hal ini adalah perumusan yang membolehkan ke depannya pilihan-pilihan diversi, pertimbangan wajib oleh suatu pengadilan mengenai apakah suatu kasus harus didiversikan, arahan-arahan legislatif untuk bila mana diversi Itu wajib dilakukan, bersifat diskresionari atau tidak boleh dilakukan dan pedoman rinci bagi kepolisian, petugas hukuman percobaan, penuntut umum dan petugas-petugas lain dalam wujud peraturan tetap atau regulasi-regulasi yang diberlakukan berlandasan undang-undang.

22The Minnesota Community Correctional Service Act mensyaratkan kepada para jaksa

penuntut umum untuk menetapkan program-program diversi pada tahap pra persidangan. Program-program tersebut dirancang dan dioperasikan untuk tujuan-tujuan lebih dari UU tersebut (yaitu menyediakan suatu respon pendekatan restoratif bagi para pelaku, mengurangi ongkos-ongkos dan muatan atau tunggakan kasus dalam sistem peradilan, mengurangi residivisme, meningkatkan pemungutan dana untuk restitusi, meningkatkan opsi-opsi alternatif yang tersedia dalam sistem per-adilan, dan mengembangkan pemograman pelembagaan berbasis budaya secara khusus.

23

SkemaHalt di Belanda adalah suatu respon diversi bagi tindak pidana atas harta kekayaan (property crimes) yang dilakukan oleh remaja. Sejak tahun '1995, skema tersebut memiliki suatu basis UU, yaitu polisi dapat menggunakannya sebagai sebuah alternatif bagi suatu sanksi peringatan ringan (simple warning) yang'dipergunakan untuk tindak pidana atas harta kekayaan yang agak kurang berat. Regulasi-regulasi yang diberlakukan atas dasar undang-undang tersebut, menetapkan prosedur-prosedur terperinci untuk digunakannya program itu.

24Terdapat inkonsistensi pengaturan mengenai kewenangan mengesampingkan perkara

(27)

18

2. Dalam tahapan di pengadilan

Pada suatu proses restoratif, kepentingan-kepentingan korban adalah jauh bersifat sentral di banding dalam proses-proses hukum acara pidana saat ini. Di beberapa negara telah mengadopsi suatu legislasi yang menetapkan hak- hak prosedural yang dimiliki oleh korban sepanjang suatu proses hukum acara pidana.25 Di Indonesia, pengaturan perlindungan korban dalam tahap beracara di pengadilan terdapat pada:

1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,26 dalam Pasal 9 ayat (l) menyediakan prosedur ganti rugi bagi mereka yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Selanjutnya hal ini diatur dalam Pasal 95 KUHAP. 27

2) undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 77 diatur tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Kemudian pada Pasal 98 KUHAP dan seterusnya diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatandan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.28

3. Dalam Tahapan Penjatuhan Sanksi Pidana

Perundang-undangan Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan hak korban di dalam konteks penjatuhan sanksi terdapat dalam:

1) Pasal 14c KUHP ayat (1) yarg berbunyi '..., hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh delik tadi.29Jadi dalam pasal ini dinyatakan bahwa hakim dapat, menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang harus

25Suatu contoh menarik dijumpai di lndiana, di mana korban harus diberikan tawaran suatu peluang .untuk berpartisipasi dalam sebuah program lembaga VOM apabila lembaga itu tersedia. Korban tidak diwajibkan untuk berpartisipasi, namun penawaran untuk turut berpartisipasi harus diajukan kepada korban. Pembatasan signifikan terhadap "hak korbatan ini adalah tidak adanya suatu keharusan bahwa program VOM ini harus tersedia.

26

Telah digantikan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 9 ayat (1) yang selengkapnya berbunyi: "(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi."

27Muladi, op.,cit.,hlm. 88 28Muladi, Ibid

29

(28)

19

dipenuhi selama masa percobaan. Syarat khusus tersebut berupa kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidanadatam waktu terentu.30 Menurut Muladi, dalam hukum pelaksanaan pidana, khususnya yang berkaitan dengan persoalan lepas bersyarat (Pasal 15 KUHP) dalam pelaksanaannya diperlukan persyaratan antara lain izin berupa si korban. Dalam hal ini sering terlihat perbenturan antara kepentingan pelaku tindak pidana dalam rangka resosialisasi dan kepentingan korban yang memerlukan pelayanan. sebagai contoh adalah SE, Direktur Pembinaan dalam Lembaga pemasyarakatan No.DDP- Z,I/4/144 tanggal 10 Desember 1980. Di sini diatur bahwa bilamana surat perdamaian dari pihak keluarga sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang sebab-sebabnya.31

2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi Junto Undang-undang Nomor20 Tahun 2001tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi32 dimana dalam salah satu ketentuannya dalam terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Dalam kaitan ini Muladi menjelaskan bahwa apa yang dinamakan korban kejahatan tidak harus berupa individu manusia melainkan dapat pula berupa kolektivitas berupa negara dan sebagainya (collective victim).33 3) Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan,

Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.34 ini memuat ketentuan yang memungkinkan penjatuhan tindakan tata tertib kepada terhukum berupa kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain

.

30Lihat Muladi dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai HukumPidana,

Alumni 1992,hlm. 87

31Ibid., hlm.88

32Semula adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi 33Muladi, op.cit, hlm. 87.Ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 34 huruf c UU no. 3

Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kini terdapat dalam pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Perubahan Atas UUNo. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selengkapnya berbunyi : “(1) Selain Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a ….; b pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi…..

34lbid. Lihat Pasal 8 huruf d UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan,

(29)

20

4. Tahapan Pasca Penjatuhan Sanksi

Suatu proses pemulihan tindak pidana, dapat juga dilakukan pada tahapan pasca penjatuhan sanksi, yaitu setelah hakim menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana.

Banyak negara yang mengatur penegakan hukum yudisial yang bersifat tindakan-tindakan restoratif. Sebagai contoh, di Prancis terdapat suatu pemulihan melalui "tindakan perbaikan" atas perintah pengadilan setelah pelaku dijatuhi sanksi pidana yang kemudian dilakukan supervisi oleh seseorang atau oleh suatu badan publik pemegang wewenang supervisi, dan ketika "tindakan perbaikan" telah secara penuh diimplementasikan, hakim harus diberitahu dalam bentuk laporan tertulis dari otoritas pemegang wewenang supervisi tersebut.35

Di lndonesia, peluang untuk melakukan keadilan restoratif pada tahapan pasca penjatuhan sanksi terdapat dalam rangka pelepasan bersyarat, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman, terdapat suatu persyaratan diperolehnya surat perdamaian dari pihak keluarga agar pelaku dapat memperoleh pelepasan bersyarat. Jadi kesempatan untuk proses "pemulihan''dengan penerapan keadilan restoratif dimungkinkan, sekalipun Surat Edaran Direktur Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan No. DDP. Z.1/4/144 tanggal 10 Desember 1980 mengatur lebih lanjut, yaitu bilamana surat perdamaian dari pihak keluarga sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang sebab-sebabnya.

Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengintegrasian keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Mengingat ditinjau dari sistem hukum yakni dari aspek substansial dan aspek strukturalnya telah didukung.

Prospek pengintegrasian tersebut sangat dimungkinkan ditinjau dari aspek substansi hukum, oleh karena perundang-undangan yang mengatur tentang sistem peradilan pidana di Indonesia memberi ruang untuk terjadinya pengintegrasian baik dalam lingkup bidang diversi, prosedur pengadilan, penjatuhan sanksi waupun dalam pengawasaan paska penjantuhan sanksi hukuman. Sementara itu berkenaan dengan aspek struktur hukumnya, penerapan keadilan restoratif di Indonesia dapat dipilih untuk ditempatkan pada sub-sistem peradilan pidana pada lembaga kejaksaan misalnya, atau pada setiap komponen dari sistem peradilan pidana diIndonesia.

Berkenaan dengan bentuk-bentuk tersebut, penulis berpendapat bahwa kebijakan untuk melakukan penerapan pendekatan restoratif dalam upaya penyelesaian perkara dan penanggulangan malpraktik kedokteran dapat digolongkan ke dalam bentuk kebijakan di luar dari

35The New Zealand Children, Young Persons, and Their Famities Act of 1989, mengatur

(30)

21

tiga bentuk kebijakan tersebut yaitu suatu kebijakan yang paling tidak mencakup elemen-elemen berikut.

1) Pemberdayaan para pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana (pelaku, korban dan/atau keluarganya) untuk bersama-sama mencari jalan keluar dan sekaligus penyelesaiannya dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta implikasinya di masa mendatang.

2) Meningkatkan penghormatan dan perlindungan hukum atas hak-hak, kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingan dari korban pasien dan/atau keluarganya dengan pelaku dokter dan seluruh pihak-pihak lainnya, termasuk pemberian ganti rugi kepada korban atau perbaikan kerusakan termasuk melakukan rehabilitasi terhadap korban antara lain melalui penyediaan dan penggalangan dana bantuan bagi korban atau keluarganya.

3) Menggunakan sarana non-penal saja dan atau sarana penal, termasuk mencari bentuk-bentuk alternatif lain selain dari dilakukannya suatu penuntutan, dengan cara menghindarkan efek-efek pemenjaraan ;

4) Bertujuan utama memulihkan perdamaian yang ada di tengah masyarakat dan sekaligus dapat membantu menurunkan muatan atau tunggakan kasus dari pengadilan pidana dan meningkatkan penyatuan pendekatan-pendekatan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diperlukan sehingga dapat dibangun suatu integrated criminal justice system Indonesia yang bersifat restorative responsive.

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka penulis simpulkan bahwa upaya penyelesaian dan penegakan hukum terhadap malpraktik kedokteran di Indonesia telah dimulai sejak tahun1950-an yang kemudian diikuti dengan beberapa ketentuan perundang-undangan yang baru yang mengatur tentang penyelesaian dan penegakan hukum atau pemidanaan terhadap malpraktik kedokteran, namun upaya tersebut belum dapat memberi rasa keadilan kepada korban pasien dan/atau keluarganya. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kurangnya penilaian terhadap hak-hak pasien sebagai korban dalam perumusan kebijakan pidana dalam sistem perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana praktik kedokteran di Indonesia. Upaya penyelesaian perkara dan penanggulangan yang ada masih lebih menekankan pendekatan yang bersifat represif dan retributif yang cenderung lebih menekankan aspek pembalasan untuk memberi efek jera kepada dokter sebagai pelaku mengakibatkan kepentingan si korban pasien dan/ atau keluarganya kurang terwakili dan sering terabaikan.

(31)

22

B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Malpraktik Kedokteran Dalam Pembaharuan Hukum Pidana.

Dalam penyusunan formulasi tentang mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran , diperlukan formulasi tentang asas-asas dan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam proses mediasi penal yaitu;

1) Asas bebas dan suka rela.

Bahwa pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada kehendak bebas dan suka rela dari korban (pasien) atau keluarganya dan pelaku tindak pidana (dokter/tenaga kesehatan), sehingga dalam memutuskan apakah perkara pidananya akan di mediasikan ataupun tidak harus berdasarkan persetujuan bebas (freely consent) dari para pihak.

2) Kebebasan para pihak untuk menarik diri selama proses mediasi.

3) Asas kerahasiaan (Confidential).

Proses mediasi penal bersifat rahasia, dalam arti para pihak baik korban (pasien) atau keluarganya, pelaku tindak pidana(dokter/tenaga kesehatan) maupun mediator harus memegang kerahasian yang terjadi selama proses mediasi, termasuk kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang dinyatakan para pihak, alasan-alasan jika tercapai kesepakatan maupun hal-hal lain yang timbul saat proses mediasi penal berlangsung.

Tujuan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dapat penulis dirumuskan sebagai berikut;

a) Menyelesaikan konflik pidana malpraktik kedokteran dengan mengadakan rekonsiliasi antar pelaku tindak pidana (dokter/tenaga kesehatan) dan korban (pasien) atau keluarganya.

b) Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban (pasien) atau keluarganya berupa restitusi dan ganti kerugian dari pelaku (dokter/tenaga kesehatan) kepada korban (pasien) atau keluarganya.

c) Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara dokter sebagai pelaku dan pasien sebagai korban atau keluarganya karena adanya tindak pidana malpraktik.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil eksperimen yang telah dilakukan, diperoleh sensitivitas tertinggi sensor sebesar 0,219 dB/A pada rentang pengukuran arus listrik 9-17 A dengan span sebesar 8

Menurut Direktorat Jenderal PHPA (1988), senjata yang diperbolehkan untuk membunuh satwa buru hanyalah senjata api. Berdasarkan perhitungan dan kajian literatur,

Seni ukir kayu motif khas Timor merupakan salah satu produk budaya asli Timor yang patut dilestarikan. Modernisasi menggerus hampir semua nilai dan aspek kehidupan, sehingga

Pengaruh risiko operasional terhadap ROA adalah negatif, karena kenaikan pada biaya operasional yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan pendapatan

Tabel 3 juga menunjukkan bahwa mahasiswa kelompok rendah mengalami peningkatan kemam- puan problem solving yang relatif sama dengan ma- hasiswa kelompok sedang Hal

dan data-data keuangan lainnya sebagai sarana untuk menilai kinerja perusahaan dan potensi pertumbuhan perusahaan di masa mendatang. Analisis fundamental berasumsi bahwa harga

• Medical numbering and storage system: introduction to medical filing , introduction to various kinds of data standards, numbering (coding), medical classification and

Sedangkan dari perhitungan antara variabel lingkungan kerja non fisik (X2) terhadap kinerja karyawan (Y2) pengaruh langsungnya yaitu sebesar 0,237 dan pengaruh tidak