• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergumulan Agamawan dalam Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pergumulan Agamawan dalam Politik"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Pergumulan Agamawan dalam Politik

EMHA FAIQ

MENJADI semakin jelas, bahwa pembentukan PPP Reformasi tidak lagi menjadi wacana publik, melainkan telah benar-benar diwujudkan dalam aksi nyata. Sebagai sebuah aksi politik,

peristiwa ini telah menimbulkan banyak spekulasi. Tetapi ada satu catatan menarik, bahwa motor lahirnya gerakan ini adalah Zainuddin MZ, seorang agamawan yang lebih dikenal sebagai juru dakwah. Lalu bagaimanakah meneropong peristiwa ini secara metodologis, teoretis maupun praksis; dan apa pulakah konsekuensi yang akan lahir

dari peristiwa ini?

Bagi sebagian kelompok, peristiwa ini akan menjadi satu catatan betapa para agamawan kadang-kadang tidak bisa memformulasikan dirinya dalam konteks kepolitikan. Karena politik, sebagai sebuah bidang kehidupan seringkali diperlawankan dengan dakwah, atau dengan kata lain, seorang agamawan sangat tabu untuk memasuki dunia ini, karena sangat mungkin ia justru akan terbawa arus besar politik yang umumnya hanya bermuara pada kekuasaan. Tetapi bisa juga muncul interpretasi yang berlawanan, bahwa justru politik adalah satu sarana dakwah yang teramat efektif.

Dengan memegang kekuasaan, maka kebijakan akan mudah diambil yang dengan sendirinya persoalan dakwah akan menjadi tidak begitu

problematik.

Tindakan melahirkan PPP Reformasi, secara politis sebenarnya akan menjadi cermin bahwa kekuatan politik Islam mulai retak. Aksi ini juga memperkuat kesan bahwa umat Islam ternyata gagap kekuasaan. Umat Islam dengan sangat mudah bisa bersatu ketika kekuasaan tidak memihak kepadanya, atau bahkan ketika berada dalam posisi politik yang marginal. Tetapi sayang, persatuan itu menjadi sangat rentan dan potensi perpecahan menjadi semakin nyata ketika

kekuasaan telah berada di tangan. Karena itu sulit untuk mempercayai bahwa lahirnya PPP Reformasi ini tidak berhubungan dengan

upaya perebutan kekuasaan. Karena jika tidak menginginkan kekua saan, mengapa orang susah-susah masuk partai politik?

Secara tidak disadari, peristiwa ini akan menjadi stigma bagi

agamawan. Bahwa seharusnya agamawan bertindak sebagai "penengah" dan penyejuk bagi seluruh persoalan yang terjadi di segala level

kehidupan, termasuk yang terjadi dalam bidang politik. Dengan lahirnya peristiwa ini, agamawan akan terkurangi kredibilitasnya. Meksipun terlalu simplistis menarik kesimpulan ini, karena masih banyak agamawan yang "setia" di jalurnya, tetapi ini menjadi satu pelajaran berharga bagi peran yang harus dimainkan oleh agamawan dalam kehidupan politik.

(2)

dan spiritual dalam kehidupan bernegara. Ketika agamawan mulai terseret ke dalam kaukus kekuasaan dan meninggalkan wilayah otoritasnya, maka kondisi ini akan memperteguh kesan tentang paradoks wajah agama di tengah erah di mana batas-batas budaya, moral dan bahkan geografis menjadi sangat kabur.

Paradoks yang menimpa agama itu sebenarnya tidak dapat dipisahkan

dari paradoks global bagi level mundial yang makin begitu terasa aksentuasinya menjelang milenium ke tiga, melalui berbagai simbol

linguistik yang menggunakan awalan "post", seperti post-industry, post-ideology, post-western, post-literacy_, bahkan post-history. Berangkat dari kondisi semacam inilah mengapa post-modernisme sering dianggap sebagai sebuah konsep yang penuh dengan ambigui tas dan absurditas, karena ia merupakan wadah yang memuat seluruh simbol "post" tersebut.

Agama dan agamawan seringkali tidak bisa menghindarkan diri dari gelombang itu. Tidak jauh berbeda dengan modernisme, post-modernisme juga selalu mengukur kesuksesan dengan parameter-parameter material. Sementara, di sisi lain, agama hadir di dunia, sebenarnya untuk menyeimbangkan wilayah material dan spiritual. Tetapi tidak jarang agama justru tampil sebagai enti

tas dan sistem yang memberhalakan "materi". Kelompok agamawan yang mencoba untuk menarik-narik agama ke dalam kaukus kekuasaan, untuk meraih kekuasaan dalam konteks semacam ini dapat disebut sebagai politisasi agama atau pemberhalaan politik oleh agamawan. Kondisi semacam ini oleh Bassam Tibi dalam bukunya _The Challenge of Fundamentalism_ disebut sebagai politisasi agama, yakni penda saran aktivitas politik pada terma-terma dan ideologi agama dan bahkan kharisma spiritual untuk meraih tujuan-tujuan sosio-politik dan ekonomi.

Sejarah agama-agama dunia memang sulit dipisahkan dari persoalan politik. Sejarah Islam, misalnya, mencatat bahwa yang mula-mula lahir ternyata bukan persoalan teologis, melainkan persoalan politik.

(3)

kajian detail pada sejarah Islam akan menyatakan hal yang sebaliknya. Intrik politik, pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan

menjadi warna yang cukup kental dalam sejarah Islam.

Karena itu, politisasi agama oleh kalangan agamawan sebenarnya sangat potensial melahirkan perpecahan di kalangan masyarakat agama, baik intra maupun antaragama. Membiarkan politisasi agama menjadi hal yang mendominasi praktik keberagamaan masyarakat Indonesia tentu sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak. Di tengah lahirnya kesadaran baru untuk mewujudkan "unitas" agama-agama dunia dalam satu komitmen etika global, justru politisasi agama

lahir dan bahkan dominan, di sebagian besar agama.Karena itu, ada dua model konsensus yang hendak ditawarkan untuk

menghindari hal tersebut, yaitu membangun _konsensus teologis dan _konsensus struktural_. Konsensus teologis adalah nilai-nilai relijius yang disepakati akan menjadi nilai dasar kehidupan

masyarakat, tak terkecuali kehidupan politik. Sementara konsensus struktural adalah kesepakatan mengenai sarana, proses dan prose

dur untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat, termasuk dalam masyarakat politik. Dengan segala relativitasnya, inilah yang akan membantu mengembalikan agama dan agamawan ke dalam peran politik yang proporsional dan fungsi _divine_ yang harus dimainkannya. _Wallahu a'lam bi al-shawwab.

_Penulis adalah mantan Ketua Umum PC IRM Paciran-Lamongan, aktivis LS Religion and Social Studies (R_‰_SIST) Malang, dan kini studi S1 Psikologi di UMM

Referensi

Dokumen terkait

mediated the relationship between organizational procedural fairness and OCBO, whereas Study 2. showed that workgroup commitment mediated the relationship between

Hasil penelitian pada tahun 2002 yang telah membandingkan efek antara metoprolol dan esmolol secara intravena terhadap perubahan tekanan darah serta laju nadi akibat tindakan

Pada hakekatnya, penyelenggaraan upacara tradisional mengandung suatu ajaran yang diwujudkan dalam bentuk simbol atau lambang yang mana lambang tersebut mempunyai

Pada bagian pertama akan dilakukan pembandingan objek-objek yang terdapat pada virtual map dengan objek aslinya, sedangkan pada bagian kedua akan dilakukan

Dengan demikian diketahui bahwa nilai r hitung lebih besar dari r tabel (0,64 > 0,29), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan

Dengan mengetahui para pesaing, terpenting mereka yang berhasil juga dapat membuat Anda mengetahui apa saja yang sepatutnya dijalankan dan hal-hal yang tak dijalankan3. Semakin

Doktrin atau prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati – hati dalam meproduksi dan menyalurkan produk, baik barang dan/atau jasa.

Bioetanol merupakan salah satu solusi untuk mengurangi eksploitasi energi fosil yang dihasilkan dari fermentasi biomassa.Pembuatan bioetanol dapat dilakukan terhadap