• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Standar Perlindungan Hak – Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional T1 312008059 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Standar Perlindungan Hak – Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional T1 312008059 BAB II"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HAM DAN HUKUM PIDANA

Hak Asasi manusia (HAM) dan Hukum Pidana mempunyai keterkaitan yang erat , HAM membutuhkan hukum pidana untuk mengkriminalisasikan pelanggaran HAM itu, sedangkan hukum pidana dalam pelaksaannya harus berpedoman pada prinsip – prinsip HAM agar tidak terjadi kesewenang – wenangan para penegak keadilan dalam menjalankan kewajibannya. Bila HAM dikaitkan dengan hak tersangka atau terdakwa , penelitian ini akan membahas mengenai hak tersangka atau terdakwa di dalam hukum nasional kita (baca : KUHAP) bila di tinjau dari standar hukum internasional mengenai hak tersangka atau terdakwa.

(2)

dalam hukum internasional yang dimuat dalam kompendium PBB. Oleh sebab itu penulis akan meneliti dan mengkaji lebih dalam lagi mengenai standar perlindungan hak – hak tersangka atau terdakwa yang diatur di dalam hukum nasional maupun hukum internasional.

(3)

1. HAM

a. Pengertian HAM

Dilihat dari sejarah peristilahan hak asasi manusia, pertama kali dikenal adalah istilah Natural Right. Karena istilah ini kurang membudaya dalam masyarakat internasional, maka dipakai istilah Right of Man sebagai penggantinya. Namun istilah yang kedua ini juga kurang populer. Alasannya adalah dengan istilah tersebut, maka hak-hak kaum perempuan tidak ter-cover. Dan sebagai padanan istilah yang dapat meng-cover hak-hak kaum laki-laki dan perempuan maka digunakanlah istilah Human Right. Kesadaran hak asasi manusia didasarkan pada pengakuan bahwa semua manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai derajat dan martabat yang sama.

Hak asasi dalam pengertian umum adalah hak – hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugrah Tuhan yang dibawa sejak lahir oleh karena itu hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa, berikut adalah beberapa pengertian HAM :

a. Black’s Law Dictionary

(4)

should be able to claim as a matter of right in the society in which they live. 1

b. Mahfud MD

Menurut Mahfud MD , Hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan , dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara. 2

c. Bagir Manan

Bagir Manan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan HAM adalah : 3

1. Hak – hak asasi baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat sosial Hak yang bersifat klasik terdapat dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 29 ayat (2) UUD 1945.4

Sementara hak yang bersifat sosial dirumuskan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 31 ayat (1), dan pasal 24 UUD 1945. 5

1

Bryan A. Black’s Law Dictionary Ninth Edition – Garder Edition in Chief, WEST, United States of America, 2009

2

Prof . Moeljatno, SH , Asas – asas Hukum Pidana , hlm 2 3

Bagir Manan, Demokrasi Pancasila, makalah, disampaikan pada Lokakarya Pengajar Pancasila di Bandung , Juli 1998, hlm 35

4

HAM klasik , seperti hak untuk hidup dengan pengertian larangan bagi negara untuk melakukan tindakan yang melanggar hak – hak tersebut.

5

(5)

2. Hak asasi yang berlaku khusus pada warga negara atau hak asasi yang timbul karena hukum

Hal ini dapat kita baca pada pasal 27 ayat (2), pasal 30 ayat (1), dan pasal 31 ayat (1) UUD 1945.

Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menunjukan nilai normatifnya Hak Asasi Manusia sebagai hak yang fundamental. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 “semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak.

Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak

sesama manusia dalam semangat persaudaraan” . Didalam pasal

(6)

b. Prinsip – prinsip HAM

Prnsip – prinsip HAM meliputi : 6

- Bersifat universal dan tidak dapat dicabut

Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan seluruh umat manusia di dunia memikinya. Hak-hak tersebut tidak bisa diserahkan secara sukarela atau dicabut. Hal ini selaras dengan pernyataan yang tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia :

“Setiap umat manusa dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya.”

- Tidak bisa dibagi

Semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat, dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarkis.

- Saling bergantung dan berkaitan satu sama lain

Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian.

- Sederajat dan tanpa diskriminasi

Setiap umat manusia berhak sepenuhnya atas hak-haknya tanpa ada pembedaan dengan alasan apapun, seperti yang didasarkan atas perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lainnya, kewarganegaraan dan latar

6

(7)

belakang sosial, cacat dan kekurangan, tingkat kesejahteraan, kelahiran atau status lainnya

- Turut berpatisipasi dan berperan aktif

Setiap orang dan seluruh masyarakat berhak untuk turut berperan aktif secara bebas dan berarti dalam partisipasi dan berkontribusi untuk menikmati kehidupan pembangunan, baik kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya demi terwujudnya hak asasi dan kebebasan dasar.

- Ada pertanggungjawaban dan penegakan hukum

Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia.

2. Hukum Pidana

a. Pengertian Hukum Pidana Formil

Yang dimaksud hukum pidana formil adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana alat-alat perlengkapan negara melaksanakan

(8)

Berikut beberapa definisi hukum pidana formil menurut 7: 1. P.A.F. Lamintang

Tindak Pidana Formil adalah tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan hukuman oleh undang-undang.

2. Sudarto

Tindak Pidana Formil adalah merupakan tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang. tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana tersebut (tanpa Melihat akibatnya)

b. Prinsip – prinsip hukum HAM universal yang terkait dengan Hukum Acara

Berdasarkan prinsip – prinsip HAM yang universal berikut adalah prinsip – prinsip yang terkait dengan hukum acara yang merupakan hak – hak dasar yang harus dihormati , yaitu : 8

1. Non Diskriminasi

Pengadilan mengadili harus menurut hukum dengan tidak membedakan orang (diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)

7

http://muhammadnurulhuda15.blogspot.com/2011/07/tindak-pidana-materiil-dan-tindak.html . diunduh pada tgl 22/10/2012 . pukul 22.47 wib

8

(9)

2. Prinsip yang memberikan Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan atau tindakan pemidanaan yang kejam , tidak manusiawi atau merendahkan yang lain

3. Prinsip yang memberikan Hak atas kebebasan dan Hak – hak terpidana

4. Prinsip mengenai Fair Trial

5. Prinsip mengenai peraturan tentang Juvenile Justice yaitu pengaturan tentang batas minimum pertanggung jawaban pidana.

3. Hubungan antara HAM dengan Hukum Pidana

a. Hukum Pidana sebagai reaksi terhadap pelanggaran HAM

Indonesia yaang merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila harus mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: 9

- Pengakuan dan perlindungan hak asaasi yang mengandung persamaan dalam bidng politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural, dan pendidikan.

- Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh suatu kekuasaan/kekuatan apapun;

9

(10)

- Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan, yang dimaksud kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakan.

Penegakan hukum pidana yang dilakukan para penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk mengadili tersangka atau terdakwa harus berpedoman pada HAM agar hak – hak tersangka atau terdakwa tidak dilanggar oleh sebab itu perlu mengacu pada prinsip – prinsip dalam peradilan yang meliputi :

1. Prinsip Legalitas

Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP menegaskan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana , kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang – undangan pidana yang telah ada” hal ini tercermin pula pada “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau “nullum crimen sine lege”

Prinsip ini juga terkandung di dalam berbagai intrumen HAM yaitu : - DUHAM

(11)

- ICCPR

Pasal 15 ayat (1): “Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional...”

dan Indonesia sudah meratifikasi ICCPR sehingga terikat pada ketentuan ini.

2. Prinsip Non Retroaktif

Prinsip ini biasanya dikaitkan dengan asas yang ada di dalam hukum pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang – undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan)

3. Prinsip Presumption of Innocence

(12)

4. Prinsip Ne bis in Idem

Prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum karena seseorang tidak boleh diadili kedua kalinya untuk dakwaan yang sama. Prinsip ini diatur didalam pasal 76 ayat (1) dan (2) KUHP.

5. Prinsip in Dubio pro Reo

Menurut “Kamus Hukum” yang ditulis oleh Simorangkiret.al. (hlm. 73), frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa”. 10

Oleh karena itu bila dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.

6. Prinsip Daluwarsa

Yang dimaksud daluarsa adalah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut.

10

(13)

7. Prinsip Fair Trial

Fair Trial atau Prinsip Keadilan dinyatakan dalam sebuah prinsip dasar yang berlaku secara universal berikut ini :

"Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang; setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas proses peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya." 11

Implementasi asas hukum pidana nasional dalam kriminalisasi sebagaimana dikenal hukum pidana jangan untuk pembalasan semata – mata maka bila memperhatikan pancasila yang pada dasarnya tidak lepas dari hak – hak asasi manusia dengan pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai sumber hukum pidana positif, melakukan kriminalisasi terhadap contempt of court (menghina pengadilan) untuk melindungi kebebasan peradilan, melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan genosida, melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan – perbuatan sebagaimana tercantum di dalam UN declaration against torture (deklarasi PBB menentang penyiksaan) , menyempurnakan perumusan tentang kejahatan perkosaan dalam kaitannya dengan perlindungan hak – hak asasi wanita dan anak.

11

(14)

Yang dimaksud pelanggaran HAM bila mengacu kepada UU nomor 39 tahun 1999 dan UU nomor 26 tahun 2000 (Pengadilan HAM), maka dikenal dua bentuk pelanggaran HAM, yaitu palanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat.

Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pengertian Pelanggaran HAM terdapat dalam Pasal 1 butir 6 dan pengertian Pelanggaran HAM Berat terdapat dalam penjelasan UU No. 39 tahun 1999 yaitu dalam Pasal 104 ayat 1.

Pasal 1 butir 6 menyatakan :

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Sedangkan Di dalam penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 mengenai pengertian pelanggaran HAM berat diuraikan dalam Pasal 104 ayat 1 menyatakan :

(15)

(arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara sistematis

Hal ini membuktikan bahwa hukum pidana dapat dijadikan sarana untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM baik itu pelanggaran HAM biasa maupun pelanggaran HAM berat yang telah diatur di dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

b. HAM sebagai pembatas penegakan Hukum Pidana

(16)
(17)

11 UDHR, Pasal 28 UUD 1945, dan Pasal 18 butir 1 s/d 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Oleh sebab itu HAM membutuhkan hukum pidana untuk dapat merespon dan memberikan hukuman bagi pelanggaran HAM dan kejahatan internasional . Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat (1) “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM.

4. Perlindungan terhadap Tersangka atau Terdakwa

(18)

preventif pencegahan pelanggaran hak-hak tersebut. Di lain sisi, wujud perlindungan ini berupa perlindungan hak-hak seorang (yang diduga) pelaku tindak pidana agar dalam penyelenggaraan peradilan pidana tidak terjadi pelanggaran hak-hak berikutnya.

Secara normatif sebenarnya KUHAP telah mengakomodasi hak – hak tersangka atau terdakwa namun dalam prakteknya seringnya dilanggar hak – hak tersangka atau terdakwa , masalahnya terletak pada penegakan hak – hak tersangka yang dimaksudkan masalah penegakan hak – hak tersangka atau terdakwa , berkaitan dengan : 12 a. Ketidaktahuan tersangka atau terdakwa akan hak – haknya yang

dilindungi oleh hukum dan undang- undang

b. Pejabat penegak hukum tidak memberitahukan informasi mengenai hak – hak yang dimiliki tersangka atau terdakwa

c. Tidak ada ketentuan yang tegas mengatur mengenai konsekuensi hukum apabila hak – hak tersangka atau terdakwa tidak diberitahukan d. Peran serta penasehat hukum dalam pemerksaan yang bersifat pasif 13

Hak-hak tersangka adalah hak konstitusional seorang baik yang

didapat sejak mereka lahir (HAM) maupun hak-hak yang yang diberikan undang-undang. Hak-hak yang diberikan undang-undang ini

12

Al Wisnubroto , G . Widiartana , Pembaharuan Hukum Acara Pidana , hlm 51 - 52 13

(19)

terkait dengan statusnya sebagai tersangka. Hak-hak itu diatur dalam KUHAP baik secara eksplisit maupun imflisit dalam rumusan pasal-pasalnya yang antara lain; (a) Hak untuk mengetahui dasar alasan penerapan Upaya Paksa; (b) Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi; (c) Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan; (d) Hak untuk diam, dalam pengertian tidak mengeluarkan peryataan atau pengakuan; (d) Hak untuk mengajukan saksi a-de charge mulai dari proses penyidikan; (e) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, dan seterusnya lebih rinci akan dibahas di dalam Bab III.

B. KONSEP LEGISLASI PERLINDUNGAN HAK ASASI

TERSANGKA / TERDAKWA

(20)

dalam sebuah konsep yang tertulis dikenal sejak lahirnya Magna Charta 1215 di Inggris. Dengan lahirnya Magna Charta tersebut bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan absolut dan selalu bertindak sewenang-wenang, harus dibatasi menjadi kekuasaan yang bersifat relatif agar dapat membatasi kesewenang-wenangannya. Sehingga dengan konsep ini para raja mulai dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih baik (konkrit) yaitu dengan lahirnya “Habeas Corpus Act” (1679) serta lahirnya “Bill of Right” (1689) pada masa ini mulai nampak adagium yang intinya bahwa semua manusia sama di muka hukum (all man equal before the law). Dari adagium ini tidak hanya melahirkan hak-hak yang fundamental, tapi mendorong juga lahirnya negara hukum dan demokrasi. Bill of right yang melahirkan asas persamaan pada prinsipnya akan melahirkan pula hak kebebasan jika asas persamaan tersebut telah dapat diwujudkan, sebab hak kebebasan baru ada atau dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.

(21)

kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan bersalah.

Meskipun piagam PBB belum mengakui pentingnya sikap tidak boleh ikut mencampuri urusan domestik negara lain namun piagam ini juga menganggap bahwa HAM adalah masalah yang menjadi perhatian dan keperihatinan internasional. Oleh karena itu PBB terus memajukan dan mengembangkan pengkodifikasian HAM ke dalam sebuah Bill of Rights dan berusaha mengimplementasikan dan menguniversalisasikan HAM serta memanusiawikan Hukum Internasional.

(22)
(23)

C. Kompendium PBB

1. Pengertian Kompendium

Kompendium PBB dalam skripsi ini merujuk pada dokumen “UN Compendium Norms and Standards in Criminal Justice 2006” yang merupakan kumpulan pedoman, norma dan standar dalam penegakan hukum pidana, termasuk norma dan standar dalam penahanan dan pemenjaraan, yang mengatur tentang prisoner (termasuk untried prisoner / tahanan) dan Deklarasi menentang penyiksaan yang bisa dibahas bersama dengan Konvensi Antipenyiksaan, yang memuat Aturan Standar Minimum untuk Perlakuan terhadap tahanan Disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial, 31 Juli 1957 (resolusi 663 CI (XXIV)), atas rekomendasi dari Kongres Pertama serta Deklarasi Melawan Penyiksaan dan, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Diadopsi oleh Majelis Umum, 9 Desember 1975.

2. Latar belakang munculnya Kompendium

(24)

norma dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana yang berisi prinsip-prinsip normatif yang diakui secara internasional dan standar dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana yang mencakup berbagai isu seperti peradilan anak, perlakuan terhadap pelanggar, kerjasama internasional, pemerintahan yang baik, perlindungan korban dan kekerasan terhadap perempuan .

Sistem peradilan pidana berbeda dari satu negara ke negara lain dan tanggapan mereka terhadap perilaku antisosial tidak selalu homogen. Namun, selama bertahun - tahun standar dan norma PBB dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana telah memberikan visi kolektif bagaimana sistem peradilan pidana harus terstruktur. Meskipun bersifat "lunak-hukum", standar dan norma-norma telah membuat kontribusi yang signifikan untuk mempromosikan lebih efektif dan adil struktur peradilan pidana dalam tiga dimensi.

Pertama, standar dan norma di dalam Kompendium dapat

dimanfaatkan di tingkat nasional dengan meningkatkan mendalam penilaian yang mengarah pada adopsi yang diperlukan reformasi peradilan pidana. Kedua, Kompendium juga dapat membantu negara-negara untuk mengembangkan strategi subregional dan regional.

(25)

"praktek terbaik" yang dapat disesuaikan oleh Negara untuk memenuhi kebutuhan nasional. 14

Untuk itu Kompendium ini disusun sesuai dengan sistem pengelompokan dalam empat bagian:

1. Standar dan norma terkait terutama untuk orang-orang dalam tahanan, non-penahanan sanksi, peradilan anak dan keadilan restoratif;

2. Standar dan norma terkait terutama untuk pengaturan hukum, kelembagaan dan praktis bagi kerja sama internasional;

3. Standar dan norma terkait terutama untuk pencegahan kejahatan dan masalah korban, dan

4. Standar dan norma terkait terutama untuk pemerintahan yang baik, independensi peradilan dan integritas pegawai peradilan pidana.

Sehingga diharapkan Kompendium ini akan memberikan kontribusi bagi kesadaran yang lebih luas dan penyebaran standar PBB dan norma-norma dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dan akibatnya akan memperkuat penghormatan terhadap aturan hukum dan HAM dalam pemerintahan keadilan.

3. Isi Kompendium

Kompendium ini terdiri dari 4 bagian yang mana masing – masing mengatur mengenai hal – hal berikut :

(26)

Bagian I mengatur mengenai Orang dalam tahanan,

non-penahanan sanksi, peradilan anak dan keadilan restoratif , yang

di bagi menjadi 4 sub pokok pengaturan norma, yaitu :

1. Pengobatan tahanan

a. Standar Minimum Peraturan bagi Perlakuan terhadap Narapidana b. Prosedur untuk pelaksanaan yang efektif dari Standard Minimum

Aturan untuk Perlakuan terhadap Narapidana

c. Tubuh Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang di bawah Setiap Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan

d. Prinsip Dasar untuk Perlakuan terhadap Narapidana e. Kampala Deklarasi tentang Kondisi Penjara di Afrika f. Status warga negara asing dalam proses pidana g. Deklarasi Arusha Praktek Penjara yang baik

2. Peradilan anak

a. Aturan Standar Minimum untuk Administrasi dari Peradilan Anak (Beijing Rules)

(27)

3. Alternatif penjara dan keadilan restoratif

a. PBB Aturan Standar Minimum untuk Non-penahanan Tindakan (Peraturan Tokyo)

b. Kadoma Deklarasi Layanan Masyarakat dan rekomendasi dari seminar berjudul "Peradilan pidana: tantangan penjara kepadatan penduduk ", diselenggarakan di San Jose 03-07 Februari 1997

c. Prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan program keadilan restoratif di hal – hal pidana

4. Penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman

a. Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Merendahkan Manusiawi atau Merendahkan Martabat b. Prinsip Etika Medis yang relevan dengan peran kesehatan personil,

khususnya dokter, dalam perlindungan tahanan dan tahanan terhadap penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat

(28)

5. Hukuman mati a. Hukuman mati

b. Perlindungan menjamin perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati.

c. Pelaksanaan perlindungan perlindungan menjamin dari hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati

d. Prinsip Pencegahan Efektif dan Investigasi Ekstralegal, Sewenang-wenang dan Ringkasan Eksekusi

e. Perlindungan menjamin perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati

f. Pertanyaan tentang hukuman mati

Bagian II mengatur mengenai Hukum, kelembagaan dan praktis

pengaturan kerjasama internasional

Yang dibagi menjadi 2 sub pokok pengaturan norma , yaitu : 1. Model perjanjian

a. Model Perjanjian tentang Ekstradisi.

b. Model Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

c. Model Traktat tentang Pengalihan Prosiding dalam Masalah Pidana d. Model Perjanjian Pengalihan Tahanan Luar Negeri dan rekomendasi

(29)

e. Model Traktat tentang Pengalihan Pengawasan Pelanggar Persyaratan Dihukum atau Persyaratan Rilis

f. Model perjanjian untuk pencegahan kejahatan yang melanggar hak warisan budaya masyarakat dalam bentuk harta bergerak

g. Model Bilateral Perjanjian Pemulangan Dicuri atau Menggelapkan Kendaraan

h. Model Bilateral Perjanjian tentang Berbagi Sitaan Hasil Kejahatan atau Properti

2. Deklarasi dan rencana aksi

a. Pernyataan prinsip dan program aksi dari Amerika Bangsa pencegahan kejahatan dan program peradilan pidana

b. Naples Politik Deklarasi dan Rencana Aksi Global melawan Terorganisir Transnasional Crime

c. Wina Deklarasi tentang Kejahatan dan Peradilan: Rapat Tantangan Abad Dua puluh satu

d. Rencana aksi untuk implementasi Deklarasi Wina pada Kejahatan dan Peradilan: Memenuhi Tantangan Kedua Puluh Satu Century

(30)

Bagian III mengatur mengenai Pencegahan kejahatan dan

masalah korban , yang terdiri dari 3 sub pokok pengaturan norma , yaitu :

1. Pencegahan kejahatan

a. Pedoman kerjasama dan bantuan teknis di lapangan pencegahan kejahatan perkotaan

b. Deklarasi PBB tentang Kejahatan dan Keamanan Publik

c. Senjata api regulasi untuk tujuan pencegahan kejahatan dan publik kesehatan dan keselamatan

d. Pedoman untuk Pencegahan Kejahatan

2. Korban

a. Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan

b. Implementasi Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan

c. Rencana aksi untuk implementasi Deklarasi Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan kekuasaan

(31)

3. Kekerasan terhadap perempuan

a. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

b. Model Strategi dan Langkah-langkah Praktis tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Bidang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana

Bagian IV mengatur mengenai Tata pemerintahan yang baik,

kemandirian peradilan dan integritas pegawai peradilan pidana,

yang mengatur beberapa norma , yaitu : a. Kode etik untuk aparat penegak hukum

b. Pedoman pelaksanaan efektif dari kode etik petugas penegak hukum c. Prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api

oleh pejabat penegak hukum

d. Prinsip-prinsip dasar tentang Independensi peradilan

e. Prosedur pelaksanaan yang efektif dari Dasar prinsip tentang Independensi peradilan

f. Prinsip-prinsip Dasar tentang Peran Pengacara g. Pedoman Peran Jaksa

h. Internasional Kode Etik Pejabat Publik

(32)

4. Kekuatan mengikat kompendium

Untuk mengetahui kekuatan mengikat Kompendium harus membahas sumber – sumber hukum internasional dikarenakan pada hakekatnya kompendium PBB bukan merupakan suatu perjanjian internasional melainkan kumpulan norma – norma mengenai standar penegakan hukum pidana dan perlindungan terhadap suatu praktek perlakuan terhadap tahanan, tersangka atau terdakwa secara internasional yang mengikat dan dipraktekan oleh negara – negara secara luas walaupun demikian kompendium PBB ini mengikat seluruh negara – negara dalam prakteknya untuk berpedoman kepada isi aturan atau standar penegakan hukum pidana , perlakuan dalam penegakan hukum pidana yang dimuat di dalam kompendium sesuai dengan latar belakang munculnya Kompendium tersebut.

a. Sumber – sumber hukum internasional

Sumber hukum dalam arti formal yakni berupa peraturan – peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif , dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Pada garis besarnya sumber hukum internasional terdiri dari : 15

15

(33)

1. Kebiasaan

2. Traktrat atau perjanjian internasional

3. Keputusan pengadilan atau badan – badan arbiterasi

4. Karya – karya hukum atau pendapat – pendapat para ahli hukum 5. Keputusan atau ketetapan organ – organ lembaga internasional

Dalam pasal 38 paragraf 1 Statuta Mahkamah Internasional , mengadili perkara – perkara menggunakan hal – hal berikut : 16

- Traktat Internasional

- Kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum

- Asas – asas hukum umum yang diakui oleh bangsa – bangsa beradab - Keputusan – keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana terkemuka

dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah – kaidah hukum.

b. Kekuatan mengikat

Sesuai dengan pendapat Michael Akheurst , hukum kebiasaan internasional dapat dilihat dan diamati serta di buktikan eksistensinya , misalnya dalam bentuk : 17

16

Ibid hlm 31-32 17

(34)

- Prilaku atau tindakan pejabat – pejabat negara - Perjanjian – perjanjian internasional

- Perundang – undangan nasional negara – negara

- Keputusan – keputusan pengadilan internasional maupun nasional - Tulisan – tulisan atau karya – karya yuridis para sarjana

(35)

sesuai dengan standar minimum perlakuan tersangka atau terdakwa menurut hukum internasional yang termuat di dalam Kompendium PBB.

1. Hukum kebiasaan

Peraturan – peraturan ini pada umumnya telah mennjalani proses historis yang panjang yang berpuncak pada pengakuannya oleh masyarakat internasional. Istilah “kebiasaan” (costum) dan “adat istiadat” (usage) sering digunakan secara bergantian namun diantara keduanya terdapat suatu perbedaan teknis yang jelas, adat istiadat mendahului kebiasaan sedangkan kebiasaan mulai dimana adat istiadat berhenti. Kebiasaan , dalam hukum adalah adat istiadat yang memperoleh kekuatan hukum. 18

Dalam pasal 38 ayat (1) sub b Statuta Mahkamah Internasional , mengemukakan bahwa international costum as evidence of a general practice accepted as law artinya kebiasaan internasional dianggap sebagai praktek umum yang diterima sebagai hukum, namun hanya praktek – praktek yang diterima dan diakui oleh negara – negara atau masyarakat internasionalsebagai hukum dalam hubungan satu sama lainnya yang pada hakekat tertentunya telah memenuhi rasa keadilan dan rasa prikemanusiaan masyarakat internasional. Agar dapat

18

(36)

dikatakan hukum kebiasaan internasional merupakan sumber hukum internasional harus memenuhi dua persyaratan atau unsur sebagai berikut : 19

1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum

Maksudnya adalah perlu adanya suatu kebiasaan atau praktek dari suatu pola tindakan yang berlangsung lama atau dilakukan secara berulang kali yang merupakan rangkaian tindakan yang serupa terhadap hal yang sama.

2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum

Adanya element yang merupakan persyaratan psikologis yang dikenal dengan istilah Opinio Juris Sive Neces Sitatis , agar suatu kebiasaan internasional itu dapat diterima sebagai hukum maka harus memenuhi persyaratan antara lain : 20

o Memenuhi ketentuan kaidah atau memenuhi suatu kaidah hukum o Harus ada keyakinan timbal balik bahwa kebiasaan internasional itu

adalah akibat dari peraturan yang memaksa

o Negara – negara sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional

harus mengakui dan menerima kebiasaan internasional sebagai ketentuan yang mengikat dalam hubungan internasional.

19

Alma Manupati , dkk , Hukum Internasional, hlm 130 20

(37)

2. Prinsip – prinsip umum hukum internasional

Sumber hukum internasional ketiga menurut pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah prinsip – prinsip atau asas – asas hukum umum moderen. Secara terminologi , penggunaan istilah umum dalam menggambarkan hubungan yang terbentuk dengan adanya hukum alam (hukum kodrat) yaitu asas- asas hukum yang berlaku untuk segala waktu di semua tempat serta bagi semua bangsa dan negara atau prinsip yang bersifat universal artinya hal tersebut berlaku juga bagi hukum internasional sebagai suatu sistem hukum .

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pelayanan keperawatan di rawat inap khususnya di Ruang perawatan Anak, standar sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang berkualitas sehingga harus berfikir realistis

Dengan statistik menggunakan uji Chi- Square Test didapat p-value 0.178> (0.05) maka hasil dari penelitian dapat disimpulkan H 0 diterima dan H a ditolak yang

etiga aktor penting inilah yang harus ditumbuh kembangkan agar terjalin kesetaraan, saling he% and (allanes , sehingga tidak terjadi disharmoni, antara aktor yang satu

Dalam tulisan ini dibahas mengenai jumlah dan sebaran hotspot pada bulan Agustus- November 2015 di Provinsi Sumatra Selatan serta kualitas udara di Palembang

Penelitian ini mengangkat suatu kasus tentang perjalanan perkara anak yang masih dibawah umur melakukan tindak pidana pencurian satu unit sepeda motor diwilayah hukum

Setiap pelaku maksiat yang terjadi di zaman ini, (yang menghalalkan perbuatan seperti : riba, minum khamer, dan lain- lain, selunrh perbuatan itu tcrmasuk dalam kategon kufur

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2014 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut :.

[r]