• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ajaran Gereja ini memberikan peluang kepada awam untuk bisa menjalankan tugas-tugas pastoralnya di dalam Gereja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ajaran Gereja ini memberikan peluang kepada awam untuk bisa menjalankan tugas-tugas pastoralnya di dalam Gereja."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

EKSEGESE JALANAN : EKSEGESE POPULER

Tanggapan Atas Seri Buku Eksegese Jalanan Oleh: Petrus Cristologus Dhogo, SVD

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada Penulis Buku Eksegese Jalanan, yang membuat saya tertarik untuk membahas perjalanan peranan kaum awam dalam gereja katolik, khususnya dalam kerasulan Kitab Suci. Makalah tanggapan saya terhadap buku Eksegese Jalanan ini dibagi ke dalam beberapa bagian. Saya akan memulainya dengan melihat peranan kaum awam dalam perjalanan kerasulan Kitab Suci, suara Konsili Vatikan II yang menegaskan peranan awam dan posisi Kitab Suci, dilanjutkan dengan trend penafsiran Kitab Suci yang lebih popular pada masa kini dan diakhiri dengan membahas buku Eksegese Jalanan.

Kaum Awam dan Kerasulan Kitab Suci

Saya sengaja memilih membahas bagian ini pada bagian awal karena jauh sebelum Konsili Vatikan II, awam memainkan peranan yang penting dalam pembangunan kehidupan Gereja. Para awam katolik, dalam keterbatasan mereka, baik dalam hal teologi maupun dalam persiapan praktis, menjalankan misi Gereja untuk menguatkan gereja lokal. Ada banyak contoh yang memperlihatkan hal ini. Gereja di Flores misalnya, pada dasawarsa awal 1900-an, muncul „misionaris‟ awam yang umumnya datang dari Flores Timur. Mereka-mereka ini adalah guru-guru awam, yang dengan tekun menjadi pengajar agama.

Jika ditilik dari Katekismus Gereja Katolik, peranan kaum awam pun sejak awal sudah dibicarakan secara khusus. Saya mengutip dua nomor saja yaitu no. 900 dan 910.

Kaum awam, seperti juga semua umat beriman, telah menerima dari Allah tugas kerasulan berkat Pembaptisan dan Penguatan; karena itu mereka mempunyai hak dan kewajiban, baik sendiri-sendiri maupun dalam persekutuan dengan orang lain, untuk berusaha supaya semua manusia di seluruh dunia mengenal dan menerima berita keselamatan ilahi. Kewajiban ini lebih mendesak lagi, apabila orang tertentu hanya melalui mereka dapat menerima Injil dan mengenal Kristus. Dalam persekutuan gerejani kegiatan mereka sekian penting, sehingga kerasulan pastor sering tidak dapat berkembang sepenuhnya tanpa mereka. (KGK 900)

“Kaum awam dapat juga merasa dirinya terpanggil atau dapat dipanggil,untuk bekeja sama dengan para gembala mereka dalam dalam melayani persekutuan gerejani, demi pertumbuhan dan kehidupan persekutuan itu. Dalam pada itu mereka dapat mengambil alih pelayanan yang sangat berbeda-beda, sesuai dengan rahmat dan karisma yang Tuhan anugerahkan kepada mereka (EN 73). (KGK 910)

Ajaran Gereja ini memberikan peluang kepada awam untuk bisa menjalankan tugas-tugas pastoralnya di dalam Gereja.

Peranan mereka tentu saja tidak terbatas pada memberikan pelajaran agama dan cara berdoa. Mereka sudah pasti terlibat dalam kerasulan Kitab Suci. Meski tidak ada catatan yang baik tentang cara dan pola pengajaran mereka, toh tidak bisa dinegasikan begitu saja peranan mereka

▸ Baca selengkapnya: dalam tugas imamiah (menguduskan), seorang awam dapat

(2)

2

dalam bidang Kitab Suci. Sebut saja salah satu contohnya adalah mereka bisa memimpin ibadat, yang tentu saja mereka mesti membacakan Kitab Suci. Bahkan mereka juga memberikan renungan singkat yang ditafsirkan sendiri dengan memperhatikan konteks lokal mereka. Kitab Suci menjadi pedoman untuk memberikan nasehat.

Karena itu, mesti diakui bahwa jauh sebelum Konsili Vatikan II secara resmi membicarakan dan membuka peranan kaum awam, di banyak tempat, mereka telah memainkan peranan yang tak kalah pentingnya. Bahkan mereka justru menjadi pemain utama yang mendekatkan Kitab Suci kepada umat.

Konsili Vatikan II, Peranan Awam dan Dei Verbum

Konsili Vatikan II membuka peluang yang lebih besar kepada kaum awam untuk berperan dalam kehidupan menggereja. Tak tanggung-tanggung, Bapa-Bapa Konsili membahas secara khusus peranan kaum awam ini dalam satu dokumen khusus, Apostolicam Actuositatem. Awam pun secara resmi didorong untuk terlibat secara aktif dalam tugas-tugas pastoral. Pada bagian tertentu, justru awamlah yang lebih mudah menjalankan tugas pastoralnya.

Dalam bidang Kitab Suci, peranan kaum awam pun didukung, meskipun tidak dibahasakan secara khusus. Dei Verbum no. 25 misalnya (yang disahkan pada 18 November 1965) meminta agar semua umat beriman, terutama para religius, membaca Kitab Suci dengan setia sehingga bisa memperoleh pengertian yang baik akan Yesus Kristus. Dokumen ini juga menganjurkan agar masing-masing orang menghadapi ayat-ayat Kitab Suci secara pribadi yang dibuat dalam doa sehingga bisa terwujud dialog atau wawancara antara Allah dengan dirinya.

Pernyataan ini secara langsung menunjukkan bahwa tugas pendalaman Kitab Suci dan tugas pewartaan bukan saja merupakan tugas orang-orang tertentu, seperti imam, biarawan atau seorang katekis. Tugas ini adalah tugas semua umat beriman. Setidak-tidaknya, tugas pertama dan utama adalah menemukan maksud Tuhan dalam Kitab Suci untuk dirinya sendiri. Memang harus diakui bahwa dokumen Dei Verbum tetap memberikan catatan terhadap peran orang-orang khusus yang belajar tentang Kitab Suci. Mereka-mereka ini diminta untuk secara serius untuk mempelajari Kitab Suci yang membantu dirinya dan lebih banyak orang untuk memahami Kitab Suci dengan lebih baik (DV 23). Dengannya diharapkan agar makin banyak orang memiliki pemahaman yang lebih utuh yang berimbas pada penarikan makna teks secara lebih holistik. Kerasulan Kitab Suci pun tidak lagi menjadi tugas dari kelompok tertentu. Tugas ini adalah tugas semua anggota Gereja. Konsekuensinya adalah tidak ada monopoli pembacaan, pendalaman dan penafsiran Kitab Suci di dalam Gereja Katolik. Semua memiliki hak yang sama. Gereja sama sekali tidak melarang siapa pun untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci. Sebaliknya, Gereja mendesak (bukan saja mendorong) agar semua umat beriman menjadikan Kitab Suci sebagai pegangan hidupnya (bdk. DV 25).

(3)

3

Dua Pendekatan Terhadap Kitab Suci

Melanjutkan apa yang sudah ditegaskan dalam Dei Verbum, paling tidak ada dua pendekatan yang dilakukan terhadap Kitab Suci, yaitu pendekatan ilmiah dan pendekatan populer. Pertama, pendekatan ilmiah. Pendekatan ini umumnya dilakukan oleh kaum akademisi. Kitab Suci dibaca dan didalami dengan memperhitungkan sitz im Leben-nya: konteks sosial, penulis, pendengar dan seterusnya pada saat Kitab Suci atau teks tersebut ditulis. Pendekatan ini umumnya bermacam-macam pula. Ada historis kritis yang fokus pada konteks historis pada masa tersebut, ada pula kritik redaksi yang memfokuskan penelitian pada bagaimana sebuah teks tersebut dijalin dari berbagai sumber, dan sebagainya.

Pendekatan ilmiah ini tidak serta merta memberikan penjelasan yang komprehensif terhadap sebuah teks. Malah bisa terjadi bahwa penjelasan-penjelasan yang ada malah merumitkan pemahaman atas teks yang ada. Meskipun demikian, pendekatan ini dalam sejarah perjalanan Kitab Suci, telah membantu banyak orang untuk melihat teks secara baru. Penemuan-penemuan arkeologis di wilayah Timur Dekat membantu para akademisi (=ekseget) untuk memahami teks secara baru.

Pada sisi lain, pendekatan ilmiah ini kadangkala tidak berujung pada penarikan makna teks. Fokus pada penjelasan ilmiah kadangkala membuat teks tersebut didekati sebagai sebuah teks sastra. Padahal Kitab Suci merupakan teks yang hidup yang berguna bagi perkembangan iman. Untuk sampai ke tujuan ini, teks Kitab Suci mesti dapat dipahami maknanya.

Pendekatan kedua adalah pendekatan populer. Pendekatan ini dilakukan oleh siapa saja, termasuk yang tidak memiliki pendidikan khusus dalam hal teologi atau dalam bidang Kitab Suci. Disebut pendekatan populer karena yang diutamakan adalah makna teks tersebut bagi hidup seseorang. Teks dibaca, didengarkan, direnungkan dan ditarik maknanya sesuai dengan konteks orang yang membaca atau mendengarkannya. Berbeda dengan pendekatan ilmiah yang memusatkan perhatian terhadap sejarah teks, pendekatan populer lebih memusatkan orang kepada aplikasi praktis dari Kitab Suci.

Ciri-ciri pendekatan populer adalah Kitab Suci dibaca dalam konteks kekinian, umumnya penjelasannya singkat dan lebih berorientasi kepada happy ending. Kitab Suci dibaca secara baru di mana pembaca bisa langsung menghubungkan teks dengan konteks-nya di masa kini. Hal seperti ini umumnya terjadi dalam sharing-sharing pengalaman yang berdasarkan Kitab Suci. Pembaca atau pendengar bisa langsung menghubungkan teks tersebut dengan pengalaman hidupnya sendiri yang kemudian berujung pada apa tindakan selanjutnya. Di sini Kitab Suci menjadi inspirasi baginya untuk melanjutkan hidupnya.

Pendekatan populer juga tidak membutuhkan penjelasan atau uraian yang detail (dan karenanya menjadi panjang) terhadap sebuah teks. Teks didekati dengan sederhana dan langsung kepada bagian-bagian yang dirasakan menarik atau yang kira-kira sesuai (sejalan, semirip) dengan konteks kekinian. Yang paling penting dari pendekatan ini adalah orang mengerti secara cepat

(4)

4

sebuah teks. Penjelasan yang mendetail dan panjang kadangkala terlalu merumitkan orang-orang sederhana dan karenanya ditinggalkan.

Ciri lainnya adalah pendekatan populer umumnya berorientasi pada happy ending. Berbeda dengan pendekatan ilmiah yang tidak secara otomatis mengakhiri penjelasan ilmiah dengan happy ending statement, permenungan sebuah teks dalam pendekatan populer umumnya berakhir dengan happy ending. Formulasinya bisa bermacam-macam. Misalnya, jika anda berbuat seperti ini, maka anda akan selamat. Atau janji-janji lainnya. Dalam pendekatan ilmiah, kadangkala akhir dari sebuah pembahasan menjadi terbuka dan diberikan kepada pembaca untuk menarik kesimpulannya sendiri.

Lalu, apa yang perlu diperhatikan dalam pendekatan populer ini? Pertama, karena pendekatan ini lebih berorientasi pada konteks kekinian, kadangkala terjadi bahwa teks dipaksa untuk menjawabi situasi hidupnya. Hal ini misalnya dilakukan oleh teologi-teologi pembebasan. Tanpa melihat latar belakang terbentuknya teks, sebuah teks kadangkala menjadi teks yang membenarkan konteks kekinian. Makna sebuah teks pun bisa menjadi sangat temporal, tidak lintas waktu. Kedua, karena teks tidak dijelaskan secara mendetail, maka kadangkala ada titik yang hilang antara kontak si pembaca dengan teks itu sendiri. Pembaca atau pendengar bisa saja kurang teliti membaca teks sehingga penjelasannya kurang mewakili teks. Padahal, prinsip utama dari menafsir (eksegese) teks adalah membaca teks secara teliti dan mengetahui detail setiap teks. Itu ibarat, agar orang bisa memperkenalkan sahabatnya dengan baik, orang tersebut mesti mengetahui dengan baik sifat-sifat khusus atau keunikan dari sahabatnya. Ketiga, orientasi pada happy ending akan membuat pendekatan populer ini amat diminati. Imbas dari pendekatan ini adalah teks menjadi amat terbatas atau dibatasi (dan orientasi popularitas dipertegas). Padahal ketika membaca dan merenungkan sebuah teks, orang mesti terbuka, pun termasuk teks berakhir dengan sad ending.

Dari sini, pertanyaannya, mana pendekatan yang patut diambil? Idealnya, kedua pendekatan ini mesti berjalan bersama. Namun mengingat banyak orang yang tidak mendalami Kitab Suci secara khusus, maka agaknya pendekatan populer patut diperkenalkan, sembari terus menerus mengajak orang untuk membaca juga pendekatan ilmiah. Salah satu contoh yang dibuat adalah Bahan Katekese Nasional pada Bulan September. Selalu ada gagasan pendukung yang membantu para pemandu atau fasilitator untuk menemukan penjelasan atas teks-teks yang dipakai dalam katekese tersebut.

Pendekatan ilmiah tetap harus dibuat namun pendekatan populer juga mesti terus menerus digalakkan. Kitab Suci ditulis berdasarkan inspirasi dari Roh Kudus, karena itu Kitab Suci juga menjadi inpirasi bagi setiap orang untuk menjalani hidupnya. Jika ini yang dimaksudkan maka pendekatan terhadap Kitab Suci tidak bisa hanya berhenti pada menjelaskan teks sebagai teks. Ia mesti berujung pada pengambilan makna teks tersebut untuk menjadi inspirasi bagi hidup.

(5)

5

Eksegese Jalanan dan Pendekatan Populer

Perkenalan saya dengan seri buku Eksegese Jalanan adalah seri ketiga yaitu Tahun liturgi C. Jujur saya katakan bahwa dari beberapa seri buku ini (yang ada pada saya itu 4 seri yaitu buku pertama, tahun liturgi A – jilid 2, tahun liturgi B – jilid 2 dan tahun liturgi C), saya baru membaca hampir seluruhnya pada seri tahun C. Sedangkan seri-seri lainnya saya belum baca. Kalau pun sempat baca, pembacaan saya atas tulisan tersebut dilakukan secara acak saja. Karena itu, agaknya tidak terlalu komprehensif jika saya membuat tanggapan ini. Meskipun demikian, dari yang sempat saya baca, saya akan memberikan juga tanggapan saya.

Pertama-tama saya mengapresiasi terbitnya buku-buku ini. Harus diakui bahwa banyak sekali awam yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk membaca, merenungkan dan menghasilkan penafsiran yang amat baik atas Kitab Suci. Kadangkala saya sendiri temukan bahwa seorang katekis malah lebih menarik menafsirkan Kitab Suci daripada pastor parokinya atau dari saya sendiri yang belajar khusus Kitab Suci. Tidak segan-segan saya sendiri mengutip tafsiran mereka dan saya dalami lagi teks-teks tersebut. Sayangnya, tidak semua ungkapan atau „penemuan‟ kaum awam ini yang didengarkan dan apalagi yang dibukukan seperti seri Eksegese Jalanan ini. Karena itu, amat jarang kita temukan makna-makna lain dari sebuah teks dari posisi kaum awam. Metode

Diakui oleh penulis bahwa tulisan-tulisan atau uraian-uraian dalam buku ini tidak menggunakan metode sistematis, sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh para akademisi atau teolog atau ekseget yang belajar khusus tentang Kitab Suci. Secara jujur, penulis mengakui bahwa yang paling penting dari tulisan ini adalah bagaimana orang menyentuh Kitab Suci dan menemukan perubahan positif yang ada dalam hidupnya, “....banyak yang sehat secara fisik, sehat secara rohani (yang malas ke gereja atau ke mesjid berubah menjadi rajin) dan banyak juga yang sehat secara sosial bahkan secara spiritual” (2015: 8-9).

Hemat saya, konsekuensi dari sebuah pendekatan populer adalah tidak adanya sebuah metode yang pasti. Teks didekati secara apa adanya dan orang „ditarik‟ oleh teks. Sebuah metode akan menjadi arahan atau petunjuk agar orang hendaknya memperhatikan hal-hal khusus atau langkah-langkah tertentu. Padahal, ketika orang benar-benar masuk ke dalam teks, justru teks itulah yang menarik orang tersebut. Di sini, metode-metode tertentu tidak lagi berlaku. Metode itu hanya membantu orang masuk ke dalam teks dan teks itulah yang memberikan maknanya tersendiri. Ibaratnya, orang menonton sinetron, lalu ia ditarik ke dalam alur-alur kisah sinetron tersebut dan pada akhirnya ia sendiri menjadi dipengaruhi oleh sinetron tersebut. Sebuah teks Kitab Suci adalah „sinetron‟ yang dihidupkan ketika orang masuk ke dalam teks tersebut dengan hati.

Pendekatan yang „serampangan‟ ini membuat „eksegese‟ (saya lebih suka menyebutnya permenungan) yang dilakukan oleh penulis lebih bervariatif dan menyentuh aspek feeling, perasaan. Ini yang berbeda dengan pendekatan ilmiah yang umumnya menyapa aspek kognitif.

(6)

6

Karena itu bisa dipahami pengakuan akan perubahan pada orang yang membaca permenungan ini dan memperoleh „kesembuhan‟. Ketika menyentuh perasaan, orang akan digugah dan ditarik ke arah yang lebih dalam.

Seturut pengamatan saya, umumnya rangkaian penulisan „eksegese‟ ini dimulai dengan satu paragraf pengantar lalu penjelasan singkat atas 3 bacaan (dari hari Minggu yang bersangkutan), lalu permenungan atas teks-teks tersebut. Permenungan pun dibuat dalam satu alur dengan berusaha melihat benang merah dari ketiga bacaan tersebut. Pada akhirnya, penulis berupaya untuk menegaskan kembali poin yang diangkat dalam uraian-uraian tersebut.

Langkah-langkah „eksegese‟ seperti ini cukup mudah dimengerti dan ketika membacanya, orang dihantar untuk melihat teks lalu konteks dan kemudian orang dibawa kepada penegasan akhir yang umumnya bersifat aplikatif. Saya kira, model seperti ini memang merupakan model yang biasa. Yang berbeda adalah teks lebih banyak didekati dengan konteks kekinian. Uraian atas teks memang ada namun kadangkala tidak terlalu proporsional dengan konteks. Uraian atas konteks kekinian kadangkala amat panjang daripada teks. Bisa pula terjadi sebaliknya, uraian teks lebih panjang daripada konteks kekinian.

Isi

Agaknya tidak terlalu tepat jika saya memberikan tanggapan terhadap isi buku ini karena secara keseluruhan saya belum membacanya. Lagipula, untuk membedah sebuah buku permenungan, agak-agaknya susah juga untuk menentukan kriterianya. Pasalnya, sebuah permenungan atau kotbah tidak bisa dinilai isinya dengan kriteria-kriteria akademis. Sebagaimana yang dikatakan penulis, apa yang tertulis di sini merupakan ungkapan hati yang kemudian menyentuh hati para pembaca. Kriteria penilaiannya pun amat bergantung dari masing-masing pembaca.

Meskipun demikian, ada satu dua hal yang patut saya angkat. Pertama, uraian penulis atas teks Kitab Suci – meskipun mengaku bahwa tidak pernah studi teologi atau Kitab Suci dan pernah „meninggalkan‟ membaca Kitab Suci – cukup baik. Penulis cukup setia menggumuli teks yang ada dan menjelaskannya dengan baik. Kesulitan terbesar dari permenungan-permenungan yang dibuat dan dibawakan di hadapan publik adalah melebarkan uraian dari teks yang ada. Orang kurang setia terhadap teks dan mengambil teks (paralel) dari tempat lain.

Satu hal yang patut diperhatikan oleh penulis sehubungan dengan pendalaman teks ini adalah tidak terburu-buru untuk menarik kesimpulan teks pada tempat lain dengan tokoh sentral Yesus. Ini misalnya terjadi pada uraian di teks liturgi tahun C. Teks dari kitab Amsal langsung dikenakan dengan Yesus. Kesimpulan yang demikian terlalu cepat dan terlalu dipaksakan. Teks mesti didekati dengan menghargai teks tersebut.

Kedua, adalah menarik untuk melihat uraian penulis yang berupaya menghubungkan ketiga bacaan dalam satu benang merah. Upaya ini – sejujurnya – termasuk upaya yang luar biasa karena biasanya susah untuk menghubungkan bacaan kedua (yang biasanya dari Perjanjian Baru)

(7)

7

dengan bacaan pertama dan bacaan Injil. Di tangan penulis, relasi ketiga bacaan ini dapat terbaca dengan jelas. Alur pemikiran yang fokus pada „satu tema bersama‟ ini dikaji dengan amat baik dan diakhiri dengan aplikasi yang juga tepat. Butuh kesabaran dan konsentrasi (atau permenungan) yang mumpuni untuk bisa mencapai hal seperti ini.

Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa pada bagian-bagian tertentu ada kesan bahwa penulis berupaya untuk „menyejajarkan‟ tema itu satu sama lain. Maksudnya, teks sepertinya dipaksakan untuk memiliki tema yang seragam tersebut. Upaya ini memang susah, namun tidak berarti sebuah teks harus memiliki tema yang sama. Bisa jadi, temanya merupakan antitesis dari tema yang ada.

Ketiga, karena permenungan-permenungan dalam buku ini umumnya ditulis dengan mengikuti „bisikan‟ dari Roh Kudus maka tulisan ini umumnya cukup menyentuh aspek kejiwaan (=spirit, roh) dari pembaca. Bisa jadi, penulis sendiri mengungkapkan isi hatinya dengan terbuka dan apa adanya di hadapan Terang Sabda Tuhan dan yang dipantulkan dari teks itulah yang ditulis. Apa yang menjadi pergumulan jiwa inilah yang membuat penulis (semoga tidak salah!) membuat penekanan yang amat kuat pada keselamatan jiwa. Di banyak tempat disebutkan tentang dikotomi yang (cukup) tajam antara jiwa dan raga atau jiwa dan fisik. Menurut penulis, keselamatan jiwa itulah yang utama. Jiwa itulah yang harus diperhatikan.

Konsentrasi seperti ini benar namun perlu juga diperhatikan bahwa dalam tradisi teologi Katolik, meskipun jiwa mendapatkan perhatian yang utama, namun kita tidak mengabaikan keberadaan tubuh, fisik kita. Keselamatan yang secara penuh akan terjadi pada akhir zaman, namun sudah dimulai pada masa kini. Istilah yang seringkali didengungkan adalah already but not yet artinya keselamatan itu sudah dimulai pada saat manusia itu masih ada di dunia ini, namun belum sempurna. Ia akan menjadi sempurna pada akhir zaman.

Karena itu, pembedaan yang tajam antara jiwa dan fisik akan bisa membuat orang apatis terhadap hidupnya dan tidak menganggap hal-hal yang berhubungan dengan keberadaannya di dunia ini sebagai hal yang juga penting. Yang mesti diperhatikan adalah orang tidak mendewa-dewakan yang duniawi.

Penutup

Demikian tanggapan saya terhadap buku Eksegese Jalanan. Menutup uraian ini saya sekali lagi mengapresiasi apa yang dibuat oleh penulis. Tugas mewartakan Sabda Tuhan tidak menjadi tugas sekelompok orang, karena Gereja tidak terdiri dari sekelompok orang tersebut. Gereja membutuhkan sosok-sosok seperti Rasul Paulus yang adalah seorang Farisi garis keras, yang belajar secara mendalam Kitab Suci; namun Gereja pula membutuhkan sosok-sosok seperti para rasul yang sederhana, yang tidak belajar Kitab Suci (sampai ada yang dikecam oleh Yesus dalam perjalanan ke Emaus), namun yang terbuka terhadap Sabda Tuhan. Toh pada akhirnya, Paulus mesti juga mendengarkan kata para rasul yang sederhana sehubungan dengan persoalan sunat (dalam Konsili pertama tahun 40).

(8)

8

Eksegese Jalanan menghadirkan sisi lain dari gaya „mendekati‟ Kitab Suci. Sebagaimana sastra populer yang berada di pinggiran arus utama legitimasi sebuah karya, dia memang kelihatan berada di jalanan pergulatan iman. Meskipun demikian, dia menghadirkan pula mutiara „dari kumpulannya yang terbuang‟. Soli deo gloria!

***

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, yang memandang latar belakang ayat dan kondisi sosial yang melingkupi masyarakat Mekkah ketika Al-Qur’an diturunkan sebagai sesuatu

Selain neutrofil, nampak pula adanya limfosit pada gambaran histopatologi sinus infraorbitalis ayam yang menunjukkan gejala snot (Gambar 6).. Limfosit merupakan sel

Untuk mencapai kompetensi dalam pemasangan infus tersebut, mahasiswa kedokteran perlu belajar melalui berbagai cara pembelajaran, antara lain dengan belajar

Dalam “Perancangan Wedding Magazine Pernikahan Adat Minangkabau di kota Padang” dalam bentukvisualisasi gambar foto ini dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang digunakan

Beberapa gejala sistem muskuloskeletal yang timbul pada masa pasca. partum antara lain: a) Nyeri

Madrasah Mu’allimaat Yogyakarta tahun 2018-2019, banyak persepsi yang dirasakan oleh siswi setelah melakukan permainana Kahoot, umumnya melihat dari hasil quisioner

Dari hasil pengolahan data yang diperoleh dalam penelitian berdasarkan pada rata-rata jawaban benar mahasiswa dalam menjawab pertanyaan dalam angket tes menunjukkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa pertama tipe investigatif berada pada kategori tinggi yaitu 80%, karena siswa pertama tipe investigatif tidak memenuhi 1