• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b)."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), gas hidrogen sulfida (H2S), nitrogen dioksida (NO2), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau

Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan

Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km.

Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1) sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17).

(a) (b)

(2)

(a) (b)

Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

5.1 Kualitas Udara

Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi. Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi. Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP (debu) dan NO₂ konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO₂. Hasil perbandingan parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010

Parameter Hasil Nilai Baku Mutu Yogyakarta Solo Sebelum Letusan Merapi Setelah Letusan Merapi Sebelum Letusan Merapi Setelah Letusan Merapi SO₂ (µg/Nm³) 535,60 51,2 9,28 15,41 900 NO₂ (µg/Nm³) 57,59 533,6 24,808 81,54 400 TSP(debu) (µg/Nm³) 172 418 * * 230

Keterangan : * = Nilai TSP (debu) < 10 µg/Nm³ Sumber : BLH Yogyakarta (2010) dan BLH Solo (2010)

Data kualitas udara Kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Lampiran 5). Hal tersebut dikarenakan, data hasil pemantauan kualitas udara merupakan lokasi terdekat dengan lokasi

(3)

pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri dari TSP (debu) dan NO₂. Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan Gunung Merapi terukur 172 µg/Nm³ (Lampiran 6 – 15), sedangkan kadar debu setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/Nm³. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah.

Kadar NO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 533,6 µg/Nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/Nm³. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 900 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah.

Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami penurunan dibandingkan kadar SO₂ sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini mengeluarkan gas SO₂ secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung Merapi, kadar gas SO₂ yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh karena itu, kadar SO₂ pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan.

(4)

Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/Nm³ (Lampiran 16 – 23). Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³ Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo (2010), kadar debu di Kota Solo dari tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan Gunung Merapi.

Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto (2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi (pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi (pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat (Scorer 1968).

Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara.

(5)

Sastrawijaya (2000) menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6°C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi.

Tingginya konsentrasi NO₂ dan debu di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun (Bell & Treshow 2002). Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Riikonen et al. 2010). Mudd dan Kozlowzki (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandung SiO2 yang bersifat tajam (Sinuaji 2011).

5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) 5.2.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal

Hasil pengamatan sayatan paradermal daun angsana baik pada Kota Yogyakarta maupun Solo, hubungan antara stomata dan sel epidermis dapat diklasifikasikan bahwa tipe susunan stomata angsana yaitu tipe stomata

anomositik atau ranunculaceous. Tipe stomata anomositik atau ranunculaceous

adalah tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial.

(6)

Tanaman angsana memiliki trikoma tidak berkelenjar dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat (Gambar 18).

Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Tidak Berkelenjar

Gambar 18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm).

Hasil pengamatan sayatan paradermal tanaman angsana tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon anatomi daun. Pengamatan sayatan paradermal angsana dijumpai beberapa parameter yang menunjukkan berbeda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo. Parameter pengamatan yang berbeda nyata tersebut terdiri dari kerapatan stomata, indeks stomata, dan panjang stomata (Tabel 2). Stomata pada jenis tanaman ini dijumpai hanya pada bagian abaksial (bawah) daun. Tanaman angsana memiliki jenis trikoma tidak berkelenjar yang menyerupai rambut-rambut kasar.

(7)

Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2

Parameter Nilai Rata-rata

Kota Yogyakarta Nilai Rata-rata Kota Solo Nilai Signifikasi Hasil uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 133,33 190,26 0,001 BN Indeks stomata 7,76 10,51 0,002 BN Panjang stomata (µm) 26,65 24,15 0,003 BN Lebar stomata (µm) 18,17 18,43 0,603 TBN

Kerapatan trikoma tidak

berkelenjar (jumlah/mm²) 6,00 6,26 0,883 TBN

Panjang trikoma tidak

berkelenjar (µm) 140,56 148,33 0,591 TBN

Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Kerapatan stomata pada tanaman angsana di Kota Yogyakarta yang terpolusi bahan polutan Gunung Merapi (133,33 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan stomata pada tanaman kontrol atau tanaman di Kota Solo (190,26 jumlah/mm²) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,001 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar polusi udara, secara anatomi memberikan respon dengan cara mengurangi jumlah stomata. Menurut Dickinson (2000), stomata yang berfungsi sebagai tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Frekuensi stomata diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensivitas tanaman dan ketahanan daun. Kerapatan stomata ini juga diikuti dengan indeks stomata yang rendah juga.

Indeks stomata pada Kota Yogyakarta (7,76) lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo (10,51) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,002. Pada Kota Yogyakarta, kerapatan stomata yang rendah diikuti dengan ukuran panjang stomata yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Willmer (1983) yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran stomata maka jumlah frekuensi stomata akan meningkat. Ukuran panjang stomata daun angsana pada Kota Yogyakarta (26,65 µm) lebih tinggi dibandingkan ukuran panjang stomata di Kota Solo atau kontrol (24,14 µm) dan berbeda nyata secara uji-t dengan nilai signifikasi 0,003. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini merupakan indikasi adaptasi tanaman terhadap pencemar udara. Menurut Muud dan Kozlowski (1975), tanaman yang tumbuh di lingkungan terpolusi cenderung akan mempertahankan dirinya dengan meningkatkan ukuran stomata. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini

(8)

sangat membantu dalam penyerapan CO₂ untuk fotosintesis. Selain itu, karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan, dan indeks stomata banyak digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring udara (Balasooriya et al. 2008). Kerapatan dan indeks stomata yang menurun serta ukuran panjang stomata yang meningkat pada jenis daun angsana di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat polusi gas dan materi vulkanik.

Selain itu, menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran stomata diduga merupakan modifikasi tanaman angsana untuk mengoptimumkan penangkapan gas CO₂ yang digunakan untuk proses fotosintesis. Respon struktur anatomi yang meliputi menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran panjang stomata juga terjadi pada

Nicotiana tabacum karena adanya cekaman lingkungan dari gas polutan yang

dilaporkan oleh Pedroso & Alves (2008). Hasil yang berbeda disampaikan oleh Gostin (2009), salah satu respon Trifolium montanum dan Trifolium repens terhadap cekaman gas polutan adalah dengan meningkatkan kerapatan dan indeks stomata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap polutan udara, baik gas maupun partikel.

Tanaman angsana memiliki trikoma dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat. Trikoma pada tanaman ini merupakan trikoma tidak berkelenjar. Kerapatan trikoma daun angsana pada Kota Yogyakarta (6,00 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan trikoma di Kota Solo (6,26 jumlah/mm²) namun tidak berbeda nyata secara uji-t. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpolusi gas dan materi vulkanik secara anatomi tidak mempengaruhi kerapatan trikoma. Kondisi perilaku ini tidak lazim karena pada umumnya daun yang memiliki trikoma apabila tercemar gas polutan akan meningkatkan jumlah trikoma tersebut guna mempertahankan dirinya (Azmat et

al. 2009). Esau (1977) menjelaskan bahwa peran dari trikoma pada tanaman

adalah jelas, yaitu pada beberapa tanaman trikoma dapat mencegah kehilangan air. Selain itu, fungsi trikoma tidak berkelenjar diantarnya adalah mencegah kehilangan air, pertahanan fisik terhadap serangga, dan sebagai biomonitoring lingkungan (Azmat et al 2009).

(9)

5.2.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal

Daun angsana bertipe dorsiventral atau bifasial. Dorsiventral atau bifasial adalah daun yang memiliki jaringan palisade di satu sisi daun dan jaringan bunga karang di sisi lainnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini hanya memiliki satu lapis saja, baik tanaman angsana di Kota Yogyakarta maupun di Kota Solo. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun angsana, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Tebal daun angsana pada Kota Yogyakarta lebih besar dibandingkan tebal daun pada Kota Solo yang dapat dilihat pada Gambar 19. Tebalnya daun pada Kota Yogyakarta dipengaruhi peningkatan tebal jaringan palisade.

Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 4 = Epidermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 5 = Palisade

3 = Epidermis Adaksial 6 = Bunga Karang

Gambar 19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

Hasil pengamatan sayatan transversal daun tanaman angsana yang menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo, yaitu tebal jaringan palisade adaksial. Tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal kutikula adaksial dan abaksial tidak menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo yang disajikan pada Tabel 3.

(10)

Tabel 3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo

Parameter Nilai Rata-rata

Kota Yogyakarta Nilai Rata-rata Kota Solo Nilai Signifikasi Hasil uji-t Tebal daun (µm) 168,40 140,69 0,078 TBN

Tebal epidermis adaksial (µm) 19,65 19,93 0,931 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 13,13 12,15 0,422 TBN

Tebal palisade (µm) 43,40 33,47 0,02 BN

Tebal bunga karang (µm) 79,03 86,18 0,727 TBN

Tebal kutikula adaksial (µm) 2,39 1,78 0,168 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 1,92 1,06 0,091 TBN

Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Pada tanaman angsana dijumpai perbedaan ketebalan pada jaringan palisade. Ketebalan jaringan palisade adaksial pada Kota Yogyakarta (43,40 µm) lebih tinggi dibandingkan Kota Solo (33,47 µm) dan berbeda nyata secara uji-t. Tebal jaringan palisade yang meningkat pada Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon pertumbuhan angsana dengan beradaptasi terhadap gas dan materi vulkanik di sekitar tanaman. Hal yang serupa dilaporkan oleh Dickison (2000), yang menyatakan bahwa gas polutan kendaraan bermotor dapat menyebabkan pertambahan tebal daun dengan bertambahnya tebal jaringan palisade. Selain itu, Ribas et al. (2005) juga melaporkan bahwa pada tanaman Oleo europea juga mengalami peningkatan ketebalan palisade akibat polutan gas ozon. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Maulana (2004) yang menyatakan bahwa tebal palisade pada tanaman Canarium commune pada keadaan terpolusi gas kendaraan bermotor lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.

Reaksi tanaman terhadap polusi udara akan memodifikasi jaringannya dengan meningkatkan ketebalan palisade (Radoukova 2009). Tingkat perubahan bentuk pada jaringan palisade akan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman, terutama pada proses fotosintesis. Menurut Fahn (1991) dan Jahan dan Iqbal (1992), menjelaskan bahwa jaringan palisade terdapat kloroplas yang berfungsi untuk fotosintesis.

Selain menurunkan kerapatan dan indeks stomata akibat gas dan materi vulkanik, tanaman angsana juga merespon dengan meningkatkan ketebalan jaringan palisade. Kerapatan stomata dan indeks stomata di Kota Yogyakarta relatif lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo. Namun, di sisi lain tanaman memodifikasi dirinya dengan penebalan jaringan palisade yang berfungsi untuk

(11)

meningkatkan efisiensi fotosintesis. Adanya modifikasi jaringan palisade pada tanaman angsana menunjukkan bahwa tanaman ini dapat beradaptasi secara baik terhadap lingkungan yang tercemar oleh polutan gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Menurut Bell dan Treshow (2002), tanaman yang biasa hidup dan tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran polutan gas dan partikel yang tinggi mampu beradaptasi dengan menebalkan jaringan palisade. Jaringan palisade yang meningkat ini mempengaruhi proses pertumbuhan pada tanaman. Hal ini didukung dengan penelitian pada tanaman Lolium pereme yang cenderung tumbuh lebih baik di lokasi yang terpolusi oleh polutan gas dibandingkan dengan lokasi yang tidak terpolusi (Mansfield 1976).

Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lokasi yang terpolusi gas dan partikel. Hal ini sesuai dengan penelitian Roziaty (2009) yang melaporkan bahwa Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi (toleran) terhadap polutan gas dan partikel. Selain itu, polutan seperti partikel dapat menghambat pertumbuhan pada suatu tanaman, tetapi tanaman angsana memiliki mekanisme adaptasi dan pertahanan dengan memodifikasi dirinya agar dapat terus bertahan hidup. Hal ini berkaitan bahwa, tanaman angsana banyak ditemukan di sekitar Kota Yogyakarta yang setiap empat tahun sekali terpapar bahan polutan gas dan materi vulkanik erupsi Gunung Merapi.

5.3 Stuktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.) 5.3.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal

Hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin dijumpai stomata bertipe parasitik atau rubiaceous. Tipe stomata parasitik atau rubiaceous adalah stomata dimana sel penjaganya bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, membentuk sumbu yang sejajar dengan sumbu sel penjaganya (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial, sedangkan pada sisi atas daun atau adaksial tidak dijumpai stomata (Gambar 20). Selain itu, hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak

(12)

terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo.

Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Kelenjar

Gambar 20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm).

Keterangan: 1 = Trikoma Kelenjar

Gambar 21 Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar di di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

(13)

Hasil pengamatan sayatan paradermal abaksial daun beringin pada kedua lokasi ditemukannya trikoma kelenjar unisel (Gambar 21). Trikoma kelenjar berfungsi untuk mencegah kekeringan pada tanaman, untuk sekresi berbagai bahan seperti larutan garam, nektar, terpentin, dan polisakarida (Fahn 1991). Menurut Cutter (1978), trikoma kelenjar adalah sel sekretori yang dapat mengeluarkan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat berperan sebagai agen penolak serangga.

Parameter pengamatan sediaan sayatan paradermal pada jenis tanaman beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo tidak berbeda nyata untuk semua parameter pengamatan yang (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo

Parameter Nilai Rata-rata

Kota Yogyakarta Nilai Rata-rata Kota Solo Nilai Signifikasi Hasil uji-t Kerapatan stomata abaksial

(jumlah/mm²) 215,79 239,82 0,688 TBN

Indeks stomata 4,66 4,77 0,903 TBN

Panjang stomata (µm) 30,95 29,48 0,754 TBN

Lebar stomata (µm) 28,07 26,88 0,801 TBN

Kerapatan trikoma kelenjar

(jumlah/mm²) 14,00 24,58 0,163 TBN

Diameter trikoma kelenjar (µm) 6,42 7,11 0,274 TBN

Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Parameter kerapatan stomata pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun tanaman beringin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun, nilai kerapatan stomata cenderung menurun. Menurunnya kerapatan stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Tanaman akan memodifikasi dirinya apabila mendapat cekaman dari lingkungan yang terdapat gas dan materi vulkanik. Menurut Gostin (2009), tanaman yang mengurangi jumlah stomata akibat cekaman polusi udara merupakan salah satu respon untuk mengurangi masuknya gas polutan.

Ukuran stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta dan Solo terlihat berbeda, namun hasil uji-t pada panjang maupun lebar stomata tidak menunjukkan beda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman beringin cenderung di Kota Yogyakarta yang terpapar gas dan materi vulkanik memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar dibandingkan Kota Solo (Gambar 20). Daun

(14)

dengan stomata yang ukurannya lebih besar memiliki kemampuan menyerap polutan gas lebih banyak dibandingkan daun dengan stomata yang berukuran lebih kecil (Lambers et al. 2000). Namun modifikasi tersebut memungkinkan tanaman lebih optimum untuk menyerap gas CO₂ yang akan digunakan dalam proses fotosintesis. Hal yang senada juga disampaikan oleh Jahan dan Iqbal (1992), salah satu respon tanaman Ficus bengalensis terhadap polusi gas dan partikel adalah dengan meningkatkan ukuran stomata, baik panjang maupun lebar stomata.

5.3.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal

Struktur anatomi daun tanaman beringin bertipe isolateral atau isobilateral (Gambar 22). Isolateral atau isobilateral adalah daun yang memiliki jaringan palisade terdapat di kedua sisi daunnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini terdiri dari satu hingga dua lapisan. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan struktur anatomi daun akibat gas dan materi vulkanik dan semua parameter pengamatan tidak berbeda nyata secara statistik dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa gas dan materi vulkanik Gunung Merapi tidak memberikan pengaruh terhadap struktur anatomi daun tanaman beringin (Tabel 5)

Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo

Parameter Nilai Rata-rata

Kota Yogyakarta Nilai Rata-rata Kota Solo Nilai Signifikasi Hasil uji-t Tebal daun (µm) 269,44 253,06 0,701 TBN

Tebal epidermis adaksial (µm) 8,61 8,26 0,803 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 7,15 6,67 0,523 TBN Tebal palisade adaksial (µm) 47,08 44,03 0,646 TBN Tebal palisade abaksial (µm) 18,61 17,99 0,668 TBN Tebal bunga karang (µm) 137,57 105,21 0,267 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 4,11 3,56 0,572 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 3,97 3,64 0,736 TBN Tebal hipodermis adaksial (µm) 49,72 45,76 0,748 TBN Tebal hipodermis abaksial (µm) 10,83 10,76 0,748 TBN

Keterangan: TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Namun jika dilihat dari hasil data, terdapat kecenderungan untuk semua parameter menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada Kota Yogyakarta dibandingkan Kota Solo. Daun yang lebih tebal di Kota Yogyakarta juga diikuti dengan dengan meningkatnya ketebalan palisade dan bunga karang. Jaringan

(15)

palisade dan bunga karang yang menebal di Kota Yogyakarta ini terkait dengan jumlah kloroplas yang terkandung di kedua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis untuk menangkap sinar matahari (Jahan & Iqbal 1992).

Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 6 = Hipodermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 7 = Palisade Adaksial 3 = Epidermis Adaksial 8 = Palisade Abaksial 4 = Epidermis Abaksial 9 = Bunga Karang 5 = Hipodermis Adaksial

Gambar 22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

Berdasarkan hasil pengamatan anatomi daun pada sayatan transversal, tanaman beringin tidak memberikan respon terhadap polusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman beringin tahan terhadap cekaman polusi udara akibat erupsi Gunung Merapi, karena setiap empat tahun sekali di Kota Yogyakarta terpolusi gas dan partikel yang dapat masuk dan menutup permukaan daun pada tanaman. Penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Nurmal (2000) yang melaporkan bahwa tanaman beringin sangat tahan terhadap pengaruh polutan gas dan debu. Daya tahan suatu tanaman menurut Gultom (1996) dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman itu dan kondisi lingkungannya.

Gambar

Gambar 16  Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).
Gambar 17  Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).
Gambar  18    Penampang  sayatan  paradermal  adaksial  daun  angsana  di  Kota  Yogyakarta  (A)  dan  Kota  Solo  (B)  ;  dan  paradermal  abaksial    di  Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm)
Tabel 2  Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan  sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pengadilan Agama Tahuna sebagai lembaga di bawah Mahkamah Agung RI, dalam menetapkan kerangka regulasi mengacu pada realisasi program pemerintah dalam RPJM tahun

Yahya, Arbitrase Ditinjau Dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes, UNCITRAL Arbitration Rules,

Berdasarkan peta masalah tersebut, fokus penelitian ini meliputi persamaan atau perbedaan antara bentuk kata Sansker- ta dalam bahasa Indonesia dan bahasa Thai; persamaan

pentingnya catu daya maka penulis membuat “Alat Pendeteksi Tegangan Yang Dilengkapi Dengan Pemberi Peringatan Melalui Sms.” Untuk Mengingatkan Supaya Tidak Terjadi

Or you can click the System Preferences icon on the Dock and choose Desktop &amp; Screen Saver from the pop-up menu. The Desktop &amp; Screen Saver preferences pane appears, as

coherence. As we know the objects discourse are writing, conversation, communicative event are variously defined in terms of coherent sequences of sentences,

Dengan dernikian adanya konsep manajemen qalbu di MTs Nahdlatul Ulama Durungbedug Candi Sidoarjo sangat berperan pada guru dalam meningkatkan leadership sebagai seorang guru