• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gunung Api Merapi merupakan salah satu gunung api paling aktif di dunia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gunung Api Merapi merupakan salah satu gunung api paling aktif di dunia."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 Gunung Api Merapi merupakan salah satu gunung api paling aktif di dunia. Gunung ini terletak diperbatasan paling utara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan Provinsi Jawa Tengah. Dalam sejarah letusannya, beberapa kali Merapi menimbulkan kerusakan dan korban jiwa. Namun erupsi yang terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010 telah mengejutkan banyak pihak, khususnya warga di sekitar Merapi yakni sebagian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Letusan ini menyebabkan lebih dari 353 orang meninggal, yang mengalami cidera sekitar 450 orang dan cukup banyak diantara mereka yang mengalami kecacatan fisik permanen (Bappenas, 2011). Di wilayah Kabupaten Sleman, Kecamatan Cangkringan (4779 ha) merupakan salah satu kecamatan yang paling parah terkena dampak bencana erupsi Gunung Merapi, baik dari jumlah korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur. Dalam bidang kesehatan, bencana menimbulkan permasalahan misalnya: korban luka-luka, kekurangan bahan pangan dan air bersih, sanitasi yang kurang memadai dan sarana pelayanan kesehatan yang terbatas serta sulit dijangkau (DepKes, 2008).

Masalah psikososial dan kesehatan jiwa sering ditemukan pada saat dan pasca bencana karena bencana merupakan salah satu kejadian traumatis bagi yang mengalami (McFarlane, 2005). Korban bencana seringkali secara psikologis mengalami gangguan stres pasca trauma.Kondisi ini pada umumnya dapat

(2)

disembuhkan apabila segera dapat terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat. Apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan tanpa penanganan, maka dapat mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis yang serius yang bersifat permanen dan akhirnya akan mengganggu kehidupan sosial maupun pekerjan penderita (Flannery, 1999 cit. BPP Prov. Jateng 2008 cit. Yulinar, 2013).

Pada tanggal 10 Maret 2014 terjadi hujan abu di sektor selatan tenggara meliputi Desa Umbulharjo, Kepuharjo, Sidorejo, dan Balerante. Pada tanggal 27 Maret 2014 sekitar pukul 13.12 hingga 13.16 WIB terjadi hembusan awan panas dari puncak Merapi sehingga mengakibatkan hujan abu di Desa Kepuharjo, Glagaharjo, Argomulyo, Kendalsari, Ngemplakseneng, Deles, Sidorejo, Tegalmulyo, Tlogowatu, Bumiharjo, dan Balerante.Akibat letusan Gunung Merapi juga menyebabkan hujan abu selama dua jam di wilayah Yogyakarta bagian utara meliputi: Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Suara gemuruh terdengar hingga di Desa Pakem, Argomulyo, dan Glagaharjo. Gunung Merapi kembali bergemuruh disusul lava pijar dari puncak gunung sejauh 1 kilometer pada 20 April 2014 yang mengakibatkan hujan abu vulkanik di wilayah lereng Merapi sampai dengan jarak 50 kilometer dari puncak Merapi. Sejak tanggal 27 April 2014 warga sekitar lereng Merapi sering mendengar suara gemuruh yang berasal dari Gunung Merapi namun pada saat itu status Gunung Merapi masih normal (Priliawito, 2014). Pada tanggal 30 April 2014 status Gunung Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada (Setiawan, 2014). Hal tersebut menjadi stresor baru bagi remaja di Cangkringan sehingga menambah dampak baik psikologis maupun perilaku dari

(3)

remaja tersebut. Mereka menjadi lebih cemas dan waspada jika mendengar gemuruh dari Merapi.

Menurut Tarazona dan Gallegos (2011) cit. Yulinar (2013) dan Veenema, et al., (2007) cit. Sumarni (2014) bencana akan memberikan dampak dan mempengaruhi terutama populasi yang rentan. Anak-anak merupakan bagian yang paling rentan dan implikasi bencana pada anak-anak terutama yang usianya lebih muda, bisa bertahan sampai jangka waktu panjang. Bencana alam merupakan peristiwa yang sangat traumatis bagi anak yang akan memicu munculnya gangguan jiwa dan kondisi ini sering bertahan sampai masa remaja bahkan masa dewasa (Hubband, et al., 1995 cit. Sumarni, 2014). Anak-anak yang terpapar bencana lebih beresiko mengalami gangguan mental dibandingkan dengan anak yang tidak terpapar bencana (Zang, et al., 2010 cit. Sumarni, 2014). Lebih lanjut lagi, dampak bencana dari segi psikologis akan mempengaruhi pikiran, emosi dan perilaku dalam menjalani kehidupannya kembali, dan dapat bertahan sepanjang hidupnya (Heni, 2008).

Erupsi Merapi 2010 menyebabkan warga kehilangan pekerjaan sehingga sebagian orang tua beralih pekerjaan menjadi penambang pasir di Sungai Gendol dan bekerja di Lava Tour Merapi. Masuknya peralatan modern seperti bego-bego yang menguasai penambangan pasir semakin membuat para orang tua yang dahulu biasanya menambang pasir tersisih dan sekarang hanya tinggal sebagai buruh yang mengambil dan membersihkan sisa pasir dibak truk. Serta harus bekerja dari pagi sampai malam hari untuk mendapatkan uang Rp 20.000,-. Munculnya wisata Lava Tour pasca Erupsi Merapi menjadikan sebagian besar

(4)

orang tua baik ibu atau ayah bekerja ditempat wisata sampai larut malam. Pekerjaanya antara lain, tukang parkir, pemandu wisata, dan penjual makanan. Beberapa remaja pun tergiur untuk menjadi pekerja di Lava Tour atau penetek (pembawa) pasir di kali Gendol. Karena mereka dapat memperoleh uang dan dapat menambah penghasilan orang tua serta meringankan beban orangtua. Kesibukan orang tua dalam mencari nafkah sangat mempengaruhi pola asuh pada anaknya sehingga kurang memperhatikan perkembangan masa anak-anak yang menginjak remaja (Sumarni, 2014).

Data wawancara pendahuluan dengan tokoh remaja PIKR Lentera Merapi di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa setelah erupsi Merapi berakhir warga tinggal di Huntap (Hunian Tetap) yang disediakan oleh pemerintah. Kondisi rumah di Huntap terlalu dekat antara satu orang dengan tetangga yang lain sehingga dapat mengakibatkan adanya kompetisi antara satu warga dengan warga yang lain. Sebagai contoh apabila ada satu orang yang merenovasi rumah atau membeli kendaraan baru, maka warga yang lain juga ikut melakukan hal yang sama. Keadaan tersebut membuat orang tua lebih giat lagi untuk bekerja sehingga sering berada diluar rumah. Anak-anak yang ditinggal dirumah sendiri merasa kesepian dan lebih memilih untuk pergi bermain bersama teman-temannya atau berada diluar rumah. Anak merasa kurang mendapat kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Hal ini disebabkan oleh kesibukan orang tua dalam mencari nafkah sehingga mempengaruhi pola asuh yang diterapkan pada anaknya (Sumarni, 2014).

(5)

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan mewawancarai guru SMPN 2 Cangkringan, tokoh remaja pimpinan PIKR di Kabupaten Sleman serta psikolog di Puskesmas Cangkringan didapatkan informasi bahwa sebagian besar orang tua sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang berkomunikasi dengan anaknya. Orangtua cenderung membiarkan anak melakukan segala hal yang diinginkannya. Sehingga pola perilaku anak kurang sopan dan hal ini tampak dari perilaku kurang sopan dalam berbicara bahkan anak menggunakan nada yang tinggi pada saat berbicara, baik pada orang yang seumuran maupun orang yang lebihtua. Menurut Hurlock (1978), model asuhan yang dilakukan oleh orang tua ini dapat dikategorikan pada tipe pola asuh permisif. Pada pola asuh permisif anak bebas berbuat sesuai keinginannya dan kurang menghargai orangtua karena tidak ada control dari orangtua. Orang tua tidak memberikan pengarahan pada anak mengenai pola perilaku yang dapat diterima secara sosial.

Guru di SMPN 2 Cangkringan ini mengidentifikasi beberapa siswa yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Gangguan emosi dan perilaku adalah emosi dan perilaku yang tidak sesuai norma, budaya, atau etnis setempat yang mempengaruhi prestasi belajar atau akademik dan keterampilan sosial yang merupakan respon dari stress lingkungan dan diperlihatkan dalam dua situasi (salah satunya di sekolah) dan bersifat persisten (Forness et al., 2000). Gangguan emosi dan perilaku yang dialami siswa SMP di Cangkringan seperti perilaku yang agresif, membangkang, tidak patuh pada aturan yang berlaku, kurang kendali diri, depresi serta menarik diri dari interaksi sosial. Hal tersebut diatas diperparah dengan kondisi remaja yang menjadi “coker” (meratakan pasir yang telah

(6)

diangkut kedalam truk) dimana remaja sering bersosialisasi dengan orang yang lebih tua, misalnya supir truk dan penambang pasir. Tokoh guru dan tokoh remaja dalam studi pendahuluan ini juga menyebutkan bahwa pengaruh dari sosialisasi di tempat remaja menjadi “coker” menyebabkan remaja mengadaptasi beberapa perilaku mereka yang kurang baik, misalnya berbicara kotor, merokok, minum-minuman keras.

Pola asuh orang tua sangat berpegaruh terhadap pembentukan karakter anak. Sehingga dapat mempengaruhi perkembangan mental emosional dan perilaku pada anak (Ilahi, 2011). Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis (IDAI, 2010). Ottorank dalam Hurlock, 1990 mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa perubahan yang drastis dari keadaan tergantung menjadi keadaan mandiri, bahkan Daradjat dalam Hurlock, 1990 mengatakan masa remaja adalah masa dimana munculnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya fikir yang matang. Masa remaja adalah masa transisi dari anak menuju dewasa dan merupakan masa yang kritis dan penuh gejolak Di masa ini terjadi perubahan biologik, psikologik, dan perubahan sosial.

Pola asuh orangtua memilki korelasi yang signifikan terhadap gangguan emosi dan perilaku anak. Pada penelitian Celina (2002), menyebutkan bahwa pola

(7)

asuh yang keras atau terlalu longgar berkorelasi dengan masalah perilaku pada anak. Gangguan emosi dan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain yaitu: faktor biologi, faktor genetik, faktor nutrisi, faktor belajar dan kognisi, faktor sosial budaya, faktor sekolah (Wicks- Nelson & Israel, 2006). Didalam faktor sosial budaya tersebut meliputi konteks keluarga yang didalamnya terdapat pola asuh orangtua. Menurut Gimpel et al., (2003) pola asuh orangtua berperan dalam munculnya perilaku internal maupun eksternal pada gangguan emosi dan perilaku. Perilaku internal contohnya kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan kecenderungan untuk bunuh diri. Perilaku eksternal contohnya perilaku agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri, dan kurangnya kendali diri (Hallahan & Kauffman, 1988 cit. Mahabbati, 2006)

Menurut Monks (2002) pola asuh orangtua adalah cara orangtua yaitu ayah dan ibu dalam memberikan kasih sayang dan mempunyai pengaruh yang besar bagaimana anak melihat diri dan lingkungannnya. Peran orang tua dalam mengasuh anak penting untuk menjaga perkembangan jiwa anak dari hal-hal yang negatif, serta membentuk karakter dan kepribadiannya. Selain itu mempengaruhi proses sosialisasi dan kematangan mental seorang anak dan remaja. Menurut Ilahi (2013), beberapa contoh pola asuh orangtua antara lain otoriter, demokratis dan permisif.

Pola asuh orangtua yang cenderung memaksa atau otoriter mempengaruhi munculnya perilaku agresif pada anak (Gimpel et al., 2003). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dogan (2011) dengan responden remaja yang

(8)

berusia 12-17 tahun setelah Gempa bumi di Marmara (1999) menyebutkan bahwa perilaku gelisah atau cemas (79%), memiliki temperamen tinggi (79%), masalah perilaku yang mencakup hal-hal yang sengaja dilanggar atau tidak patuh pada aturan (8%). Penelitian pada responden anak-anak yang dilakukan setelah 20 tahun gempa bumi di Armenia oleh Najarian et al., (2011), didapatkan hasil bahwa anak-anak lebih banyak menunjukkan gangguan kecemasan dibandingkan terjadinya PTSD atau depresi.

Rostami et al., (2009), melakukan penelitian terhadap remaja yang tinggal di daerah perang dan pengungsian menyebutkan bahwa skor kecemasan dan masalah perilaku internal lebih tinggi pada remaja yang tinggal di daerah perang dibandingkan di pengungsian. Anak yang mengalami kejadian traumatis memiliki resiko 1,7 kali lebih besar mengalami masalah perilaku termasuk perilaku agresif. Kalantari et al., (2010) mengemukakan bahwa gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 7-13 yang kehilangan orangtua setelah terjadnya gempa bumi di Iran tahun 2003 lebih tinggi daripada gangguan emosi dan perilaku anak dengan orangtua utuh. Penelitian yang dilakukan oleh Wiguna et al., (2010) pada responden anak dan remaja di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSUPN dr. Ciptomangunkusumo, didapatkan hasil bahwa gangguan emosi dan perilaku yang banyak terjadi pada anak dan remaja adalah masalah hubungan dengan teman sebaya 54,8% dan masalah emosional 42,2%.

Berdasarkan teori dan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk mengidentifikasi adanya hubungan antara pola asuh orangtua dengan gangguan emosi dan perilaku pada siswa SMP di Cangkringan pasca Erupsi Merapi.

(9)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan masalah sebagai berikut: “Adakah hubungan pola asuh orangtua dengan gangguan emosi dan perilaku pada siswa SMP pasca erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan”.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dengan gangguan emosi dan perilaku pada siswa SMP pasca erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan.

2. Tujuan khusus:

a. Memperoleh gambaran tentang pola asuh orangtua pada siswa SMP pasca erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan

b. Memperoleh gambaran tentang gangguan emosi dan perilaku pada siswa SMP pasca erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan.

c. Mengetahui tentang hubungan antara pola asuh orangtua demokratis dengan gangguan emosi dan perilaku siswa SMP di Kecamatan Cangkringan

d. Mengetahui tentang hubungan antara pola asuh orangtua permisif dengan gangguan emosi dan perilaku siswa SMP di Kecamatan Cangkringan e. Mengetahui tentang hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan

(10)

D. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas pengetahuan tetang hubungan pola asuh orangtua dengan gangguan emosi dan perilaku remaja.

2. Praktis

a. Remaja di SMP Kecamatan Cangkringan

Memberikan pengetahuan kepada remaja bahwa pola asuh orangtua dapat mempengaruhi gangguan emosi dan perilaku.

b. Perawat jiwa dan komunitas

Menambah keragaman pengetahuan dan penelitian bagi dunia keperawatan jiwa dan komunitas dalam hal deteksi dini gangguan emosi dan perilakuremaja dengan menggunakan alat ukur SDQ dan memberikan tambahan pemahaman mengenai gangguan emosi dan perilaku remaja sehingga dapat dilakukan rencana intervensi.

c. Sekolah

Memberi masukan kepada sekolah yang terkait dalam menindak lanjuti siswa yang mempunyai gangguan emosi dan perilaku.

d. Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian sesuai kaidah yang berlaku

(11)

E. Keaslian Penelitian

Sejauh pengamatan dan penelusuran oleh peneliti, penelitian mengenai hubungan pola asuh orangtua dengan gangguan emosi dan perilaku remaja SMP di Kecamatan Cangkringan pasca Erupsi Merapi belum pernah dilakukan, namun terdapat penelitian yang hampir sama diantaranya:

1. Trisnaningsih (2011) melakukan penelitian yang berjudul“Hubungan Pola Asuh dengan Derajat Depresi pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Di Kota Yogyakarta”. Dari penelitian ini didapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna (p<0.05) pada korelasi pola asuh permisif dengan derajat depresi pada siswa Sekolah Dasar Negeri di Kota Yogyakarta. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah jenis penelitian dan rancangan penelitian yang digunakan yaitu penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Selain itu instrumen yang digunakan juga sama yakni menggunakan instrument Parental Authority Questionaire (PAQ) untuk mengukur pola asuh. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan terletak pada responden yang digunakan, pada penelitian ini responden yang digunakan menggunakan sampel siswa kelas V di SDN Kota Yogyakarta sedangkan responden yang diambil penulis adalah siswa kelas VII SMPN Kecamatan Cangkringan pasca erupsi Merapi. Variabel yang diteliti juga berbeda, pada penelitian ini yaitu pola asuh orang tua dengan derajat depresi sedangkan variabel yang diteliti penulis yaitu pola asuh orangtua dengan gangguan emosi dan perilaku remaja

(12)

2. Sukmawati (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecemasan pada Remaja SMPN di Kecamatan Banjarsari Ciamis”. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menyatakan bahwa kecemasan pada remaja SMPN di Kecamatan Banjarsari berhubungan dengan pola asuh ibu otoriter dan jenis kelamin responden. Persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada rancangan penelitian, variabel bebas yaitu pola asuh orangtua dan instrumen pola asuh Parental Authority Questionaire (PAQ). Perbedaannya terletak pada pendekatannya, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif sedangkan penelitian yang penulis lakukan menggunakan pendekatan kuantitatif. Di samping itu, variabel terikat yang diteliti juga berbeda, pada penelitian ini untuk mengetahui kecemasan anak, sedangkan penelitian yang penulis lakukan untuk mengetahui gangguan emosi dan perilaku.

3. Soekartiningsih (2014) melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Masalah Emosi dan Perilaku Pada Anak Usia Prasekolah di Taman Kanak-Kanak Speak First Klaten”. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian non eksperimental observasional dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel pola asuh permisif dengan masalah emosi dan perilaku pada anak dengan keeratan hubungan yang lemah. Perbedaan dengan penelitian yang penelitiakan lakukan adalah dalam hal subyek penelitian, pada penelitian ini mengambil sampel anak usia

(13)

prasekolah sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti mengambil sampel anak SMP pasca Erupsi Merapi. Instrumen yang digunakan untuk mengukur pola asuh yaitu kuesioner yang dibuat oleh Murdhiati sedangkan instrumen yang peneliti gunakan yaitu PAQ. Tempat dilakukan penelitian juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti, penelitian ini dilakukan di Taman Kanak-Kanak Speak First Klaten sedangkan penelitian yang peneliti lakukan di SMP cangkringan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada hubungan antara variabel yang diteliti yaitu pola asuh orangtua dengan gangguan emosi dan perilaku. Jenis penelitian dan rancangan penelitian yang digunakan juga sama. Instrumen yang digunakan untuk mengukur gangguan emosi dan perilaku juga menggunakan SDQ.

4. Rostami et al., (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Emotional and Behavioral Problems of Afghan Refugees and War-Zone Adolescents”. Penelitian ini membandingkan skor gangguan emosi dan perilaku antara remaja yang berada di pengungsian dengan remaja yang berada di daerah perang. Hasil penelitian ini menunjukkan remaja yang tinggal di daerah perang memiliki skor yang signifikan lebih tinggi pada aspek kecemasan/depresi, withdrawn, gangguan somatik, masalah perhatian dan masalah internal dalam gangguan emosi dan perilaku. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian ini membandingkan skor gangguan emosi dan perilaku antara remaja yang berada di pengungsian dengan remaja yang berada di daerah perang sedangkan penelitian yang peneliti lakukan yaitu mencari hubungan antara pola asuh

(14)

orangtua dengan gangguan emosi dan perilaku remaja. instrumen yang digunakan untuk mengukur gangguan emosi dan perilaku remaja pada penelitian ini menggunakan YSR sedangkan penelitian yang peneliti lakukan menggunakan SDQ. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah responden yang digunakan yaitu remaja siswa SMP.

5. Diananta (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Perbedaan Masalah Mental dan Emosional Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Agama”. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menyatakan bahwa Masalah gejala emosional berdasarkan latar belakang pendidikan agama di SMP Islam Al Azhar 14 Semarang lebih rendah daripada di SMP Negeri 21 Semarang. Persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada variabel bebas yang digunakan yaitu gangguan emosi dan perilaku dan instrumen Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ). Selain itu, sampel yang diteliti adalah siswa SMP. Perbedaannya terletak pada kuesioner yang digunakan untuk mengukur karakteristik responden yang dibuat sendiri oleh peneliti tersebut dan dilakukan uji bivariat dengan variabel gangguan emosi dan perilaku sedangkan penelitian yang peneliti lakukan tidak membuat kuesioner untuk mengukur informasi tentang karakteristik responden. Di samping itu, lokasi penelitian juga berbeda, pada penelitian ini dilakukan di SMP di Semarang yang bukan daerah pasca bencana sedangkan penelitian yang peneliti lakukan di Kecamatan Cangkringan pasca Erupsi Merapi.

(15)

Utami (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Masalah Mental dan Emosional Pada Siswa SMP Kelas Akselerasi dan Reguler Studi Kasus di SMP Negeri 2 Semarang”. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional deskriptif dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menyatakan bahwa prevalensi dan rerata skor masalah mental emosional pada siswa reguler lebih tinggi dibanding siswa akselerasi serta prevalensi masalah mental emosional pada siswa perempuan lebih tinggi dibanding siswa laki-laki. Persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada variabel terikat yang digunakan yaitu gangguan emosi dan perilaku dan instrumen Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ). Selain itu, sampel yang diteliti adalah siswa SMP. Perbedaannya terletak pada variabel bebas yang digunakan yaitu kurikulum sekolah (kelas akselerasi dan kelas reguler) sedangkan pada penelitian yang peneliti lakukan menggunakan pola asuh orangtua. Di samping itu, lokasi penelitian juga berbeda, pada penelitian ini dilakukan di SMP di Semarang yang bukan daerah pasca bencana sedangkan penelitian yang peneliti lakukan di Kecamatan Cangkringan pasca Erupsi Merapi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan dari pola asuh orangtua terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja yang mengonsumsi konten porno dengan kematangan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah dengan perilaku agresif pada anak usia sekolah..

Penemuan lain dalam hasil penelitian tentang hubungan pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya terhadap kecerdasan moral siswa dengan subjek

Pasca erupsi Gunungapi Merapi yang terjadi tahun 2010, Sungai Senowo mengalami gangguan pada sistem sungai dan kondisi morfologi sungainya akibat adanya aliran lahar.. Aliran

Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi proses rekonstruksi hunian tetap pasca bencana Merapi tahun 2010 dengan mekanisme relokasi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.. 1.3

pokok adalah pola asuh orangtua yang kurang baik sehingga mempengaruhi motivasi belajar anak dalam mengikuti proses pembelajaran di SKB Bantaeng.. Ada juga sebagian orangtua

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan pola asuh orangtua dengan aktualisasi diri

penelitian yang dilakukan oleh Lutfi (1991) dengan judul “Hubungan Pandangan Anak terhadap Pola Asuh Permisif Orangtua dengan Pengembangan Disiplin Diri Siswa SMA Negeri 2