• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar II.1 Sistem Rumah Susun sesuai UURS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar II.1 Sistem Rumah Susun sesuai UURS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Kajian Teoritis Kadaster Tiga Dimensi (3D) untuk Kepentingan Pendaftaran Tanah Terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

(HMASRS)

II.1. Rumah Susun dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS) II.1.1 Rumah Susun

Undang-undang No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UURS) memberikan pengertian Rumah Susun adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

Gambar II.1 Sistem Rumah Susun sesuai UURS

Dari pengertian di atas dikatakan bahwa Rumah Susun terdiri dari satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pengertian dari bagian rumah susun tersebut adalah sebagai berikut :

a. Satuan rumah susun (SRS), yaitu bagian rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Jadi setiap SRS harus mempunyai sarana penghubung ke jalan umum sehingga tidak mengganggu dan tidak boleh melalui satuan rumah susun milik orang lain.

(2)

b. Bagian bersama, yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Bagian bersama rumah susun antara lain : pondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, tangga, lift, ruang untuk umum dan lainnya.

c. Benda Bersama, adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Benda bersama pada rumah susun antara lain : tempat ibadah, sarana bermain, tempat olah raga, tempat parkir dan lannya.

d. Tanah bersama, yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisahkan yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan ijin bangunan. (Pasal 1, UURS)

Tujuan pembangunan Rumah Susun dalam pasal 3 UURS, dijelaskan sebagai berikut :

1. a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.

b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang

2. Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat, dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1)huruf a.

Dalam penjelasan UURS, dapat diketahui bahwa latar belakang hingga Undang-Undang Rumah Susun dikeluarkan adalah untuk menjamin dan mengusahakan rakyat banyak agar dapat memiliki tempat tinggal, dalam hal ini rumah susun, artinya disamping semakin sedikitnya tanah yang dapat digunakan untuk membangun rumah secara horizontal, aspek ekonomi dalam arti kebutuhan akan adanya tempat tinggal/rumah untuk rakyat kebanyakan, juga merupakan latar belakang pemikiran yang penting bagi dikeluarkannya Undang-Undang Rumah Susun. Dengan kata lain Undang-Undang Rumah Susun diciptakan untuk mengatur aspek hukum dari rumah susun yang digunakan sebagai tempat hunian.

(3)

Walaupun demikian mengingat dalam kenyataannya ada kebutuhan akan rumah susun yang bukan untuk hunian, misalnya sebagai tempat pembelanjaan, pertokoan dan perkantoran, maka untuk menampung kebutuhan tersebut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Rumah Susun ini dinyatakan berlaku juga terhadap rumah susun bagi keperluan lain dengan penyesuaian seperlunya. (Hutagalung, 2005)

Arah kebijakan rumah susun dalam Undang-Undang Rumah Susun berisi tiga unsur pokok, yaitu :

1. Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan, dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan tinggi. 2. Konsep pengembangan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru,

yaitu SRS yang dapat dimiliki secara perseorangan dengan kepemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah, dan menciptakan hukum baru yaitu perhimpunan penghuni, yang dengan anggaran dasar dan rumah tangganya dapat bertindak keluar dan ke dalam atas nama pemilik SRS.

3. Konsep pembangunan ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkan kredit konstruksi dengan pembebanan hipotik atau fidusia atas tanah beserta gedung yang masih akan dibangun. (Hutagalung dalam Alif, 2006)

Pembangunan Rumah Susun harus memenuhi berbagai persyaratan teknis dan administratif yang lebih berat. Untuk menjamin keselamatan bangunan, keamanan dan ketentraman serta ketertiban penghunian dan keserasian dengan lingkungan sekitarnya, maka satuan rumah susun (SRS) baru dapat dihuni setelah mendapat ijin kelayakan untuk dihuni dari pemerintah daerah yang bersangkutan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada perkembangannya pembangunan rumah susun makin banyak ragamnya mulai dari Rumah Susun Sederhana (Rusuna), kemudian Rumah Susun Menengah seperti Apartemen sampai Rumah Susun Mewah seperti Kondominium, juga termasuk Flat, Town House, Ruko/Rukan, Hotel, Gedung-gedung perkantoran (pembangunan secara vertikal) semuanya mengacu pada UURS sebagai dasar hukum pengaturannya. Dalam bahasa hukum semuanya disebut Rumah Susun. (Alif, 2006)

(4)

Bahkan akhir-akhir ini banyak pengembang yang membangun rumah susun dengan peruntukan campuran (hunian dan non hunian), karena banyak diminati oleh masyarakat dan lebih praktis, dimana lantai 1 – 5 untuk non hunian/kios-kios (komersial) sedangkan lantai selanjutnya digunakan untuk hunian atau yang disebut apartemen atau untuk hotel. Harga jual (nilai komersial) pada rumah susun campuran ditentukan oleh (Hutagalung, 2005) :

1. Untuk non hunian harga jual lebih mahal jika dibandingkan dengan hunian. 2. Harga jual juga ditentukan oleh letak lantai:

a. Untuk hunian makin tinggi letak lantai makin mahal harga jualnya/nilai komersialnya,

b. Untuk non hunian makin rendah letak lantai makin mahal harga jualnya/nilai komersialnya.

Selain rumah susun dengan peruntukan campuran di atas yang banyak diminati masyarakat golongan menengah ke atas, saat ini pemerintah menggalakkan pembangunan rumah susun sederhana untuk golongan masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah merencanakan membangun rumah susun 1000 Tower di beberapa kota besar di Indonesia. Pembangunan rumah susun sederhana untuk masyarakat berpenghasilan menengah bawah dengan mengedepankan efisiensi penggunaan tanah dan penataan pemukiman di kawasan perkotaan, dipandang sudah sangat mendesak untuk dilakukan sehingga pemerintah dengan Keppres No.22 Tahun 2006 telah membentuk Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan.

Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan, sesuai Keppres No.22 Tahun 2006, anggotanya terdiri dari :

a. Ketua merangkap anggota : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; b. Ketua Harian merangkap anggota : Menteri Negara Perumahan Rakyat; c. Anggota : 1. Menteri Dalam Negeri;

2. Menteri Keuangan; 3. Menteri Pekerjaan Umum; 4. Menteri Sosial

5. Menteri Pertahanan

(5)

7. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 8. Direktur Utama Bank Tabungan Negara d. Sekretaris I : Sekretaris Menteri Negara Perumahan Rakyat;

e. Sekretaris II : Deputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah.

Selain itu untuk membantu percepatan pembangunan rumah susun di daerah dan untuk membantu Tim Koordinasi, berdasarkan Keputusan Presiden ini Gubernur harus membentuk Tim Koordinasi Daerah, yang diketuai oleh Gubernur dan beranggotakan unsur-unsur pemerintah provinsi, pemerintah Kabupaten/Kota dan pejabat pemerintah terkait yang dipandang perlu, serta Badan Usaha.

Rumah Susun Sederhana (Rusuna) yang dicanangkan pemerintah saat ini ada dua macam, yang pertama RUSUNAWA atau Rumah Susun Sederhana Sewa. Rusunawa ini dimaksudkan untuk disewakan kepada anggota masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang belum mampu membeli rumah meskipun dengan angsuran melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pembangunan Rusunawa ini sampai saat ini masih sepenuhnya bergantung kepada APBN ataupun APBD. Yang kedua adalah RUSUNAMI atau Rumah Susun Sedehanan Milik. Rusunami ini dibangun untuk maksud diperjualbelikan dalam pasar perumahan. Pembiayaan untuk membangun Rusunami diharapkan melalui peran serta swasta, baik swasta murni maupun dalam bentuk kerjasama dengan Pemerintah, BUMN atau BUMD. (Asy’ari, 2007).

II.1.2 Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS)

Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun ini diciptakan dasar hukum Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS) yang merupakan suatu lembaga hak baru. HMASRS bukan merupakan Hak Atas Tanah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pengertian Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS) adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Selain itu meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

(6)

Dalam kepemilikan HMASRS, pemilik SRS meliputi juga hak atas tanah bersama, maka SRS hanya dapat dimiliki perorangan/Badan Hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama. Rumah Susun hanya dapat dibangun di atas tanah Hak Milik, HGB, Hak Pakai atas Tanah Negara, atau Hak Pengelolaan. Hak atas tanah bersama ini sangat menentukan dapat tidaknya seseorang/badan hukum memiliki SRS. Sehingga pemegang HMASRS harus memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanahnya seperti diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam hal kepemilikan seseorang atas SRS, maka diterbitkanlah sertipikat HMASRS sebagai tanda bukti kepemilikan yang kuat. Sertipikat HMASRS terdiri atas :

a. Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur atas hak atas tanah bersama;

b. Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan, yang menunjukan SRS yang dimiliki;

c. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, dimana kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana dapat dilihat dalam buku tanah HMASRS-nya. (Pasal 9 UURS)

Sertipikat HMASRS pada hakekatnya merupakan produk akhir dari suatu rangkaian proses perijinan yang sangat panjang. Rangkaian perijinan yang akhirnya sampai pada penerbitan sertipikat HMASRS dapat digambarkan sebagai berikut :

(7)

Gambar II.2 Diagram Prosedur Penerbitan HMASRS (Sumber : UURS Jo. PP No.4 Tahun 1988)

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sertipikat HMASRS dapat diterbitkan setelah melalui proses perijinan yang panjang, dimulai dengan pemberian ijin lokasi, pengadaan/perolehan tanah melaui pembebasan tanah kemudian pemberian hak atas tanahnya dengan penerbitan sertipikat hak atas tanah (Hak Milik, HGB atau Hak Pakai). Setelah itu dibuat pertelaan yang harus disyahkan oleh pemerintah derah, pertelaan terdiri dari gambar, uraian dan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Dalam NPP ini di atur hak dan kewajiban penghuni satuan rumah susun. Hak penghuni berdasarkan akta pemisahan rumah susun, yang terbit setelah ijin layak huni sebagai dasar pemecahan sertipikat tanah menjadi sertipikat HMASRS.

Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) mengatur antara lain :

1. Hak yaitu hak pemilik HMASRS terhadap hak atas tanah, benda dan bagian bersama.

2. Kewajiban, yaitu beban biaya pemeliharaan dan perbaikan kepemilikan bersama (tanah, benda dan bagian)

3. Nilai, yaitu dasar penentuan nilai/besarnya pinjaman terhadap HMASRS dan roya partial. (Chaerul dalam Alif, 2006)

(8)

Hak milik atas satuan rumah susun (HMASRS) yang merupakan hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah adalah ruangan dalam bentuk geometri tiga dimensi yang tidak selalu dibatasi oleh dinding. HMASRS yang digunakan secara terpisah merupakan ruangan yang mempunyai luas dan batas tinggi tertentu yang memisahkan hak pemilikan perseorangan terhadap hak pemilikan orang lain. Batas pemilikan rumah susun diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, sebagai berikut :

a. Dalam hal ruangan dimaksud dibatasi dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah, permukaan bagian bawah dari langi-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur, merupakan batas pemilikannya;

b. Dalam hal ruangan dimaksud sebagian tidak dibatasi dinding, misalnya balkon, batas permukaan dinding bagian luar yang berhubungan langsung dengan udara luar yang ditarik secara vertikal merupakan batas pemilikannya, dalam hal ini batas bagian atas setinggi permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur; dan c. Dalam hal ruangan dimaksud keseuruhannya tidak dibatasi dinding, misalnya

tempat usaha yang terbuka (los), tempat parkir yang dimiliki perseorangan secara terpisah, dan sebagainya, garis batas yang ditentukan dan ditarik secara vertikal yang penggunaannya sesuai dengan peruntukannya, merupakan batas pemilikannya, dengan diberi tanda batas yang jelas dan tidak dapat dihapus.

II.2. Pendaftaran Tanah di Indonesia

Dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, dinyatakan bahwa tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA, yaitu tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan (suatu “rechtskadaster” atau “Legal Cadastre”).

Dalam upaya menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan (Harsono, 2005) :

a. Tersedianya perangkap hukum tertulis, yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten;

(9)

Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang berkepentingan akan dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa saja yang ada dalam menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-ketentuan bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyainya.

Selain tersedianya perangkat hukum yang tertulis, dibidang administrasi pertanahan belumlah cukup dan diperlukan penyelenggaraan kegiatan yang disebut pendaftaran tanah yang merupakan suatu legal kadaster, dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah tersebut (Harsono, 2005) :

1. mereka yang mempunyai tanah dengan mudah akan dapat membuktikan haknya atas tanah yang dikuasai dan dipunyainya. Kepada mereka masing-masing diberikan tanda bukti hak oleh pemerintah;

2. mereka yang memerlukan keterangan yang dimaksud di atas, yaitu calon pembeli dan calon kreditor yang akan menerima tanah sebagai jaminan, akan dengan mudah memperolehnya, karena keterangan-keterangan tersebut disimpan di kantor penyelenggara pendaftaran tanah, terbuka bagi umum.

Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. (Pasal 1, PP No.24 tahun 1997)

Obyek Pendaftaran Tanah meliputi (Pasal 9, PP No.24 tahun 1997) :

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;

b. Tanah hak pengelolaan; c. Tanah wakaf;

(10)

d. Hak milik atas satuan rumah susun; e. Hak tanggungan;

f. Tanah negara.

Selanjutnya tujuan Pendaftaran Tanah dalam pasal 3 PP No.24 tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut :

a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidan tanah, satuan rumah susun dan hak hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;

b. untuk menyediakan informasi kepada fihak-fihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Dari tujuan pendaftaran tanah tersebut di atas, maka :

a. Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum;

b. Di zaman informasi ini maka Kantor Pertanahan sebagai kantor di garis depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan, baik untuk kepentingan pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat sendiri. Informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan dimana terlibat tanah, yaitu data fisik dan data yuridisnya, termasuk untuk satuan rumah susun, informasi itu bersifat terbuka untuk umum artinya dapat diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah/bangunan yang ada;

c. Sehingga untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan sesuatu hal yang wajar. (Parlindungan, 1999)

(11)

II.3. Sistem Kadaster dan Kadaster 3 dimensi II.3.1 Sistem Kadaster

Dalam rangka pengelolaan sumber daya tanah yang merupakan sumber daya utama bagi pembangunan di setiap negara diperlukan suatu kegiatan untuk melakukan identifikasi bidang-bidang tanah dan kegiatan pencatatan-pencatatan yang mengandung informasi kepemilikan, penggunaannya dan nilai tanah, yang kemudian dilakukan pengarsipan untuk dapat digunakan berbagai kepentingan. Kegiatan dimaksud lazimnya disebut Administrasi Pertanahan atau dengan istilah lainnya disebut juga Sistem Kadaster.

Pengertian Kadaster telah banyak mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan perkembangan teknik, tujuan dan pengadministrasian pendaftaran tanah di berbagai negara di dunia. Salah satu pengertian kadaster yang diberikan oleh komisi 7 Federation International des Geometres (FIG) tahun 1995, tentang The FIG Statement on the Cadastre, dinyatakan bahwa :

”Cadastre is normally a parcel based, and up to date land information system containing a record of interest in land (e.g. rights, restriction and responsibilities). It usually includes a geometric description of land parcel linked to other record describing the nature of the interests. The ownership or control of those interests, and often value of the parcel and its improvements. It may be established for fiscal purposes (e.g. valuation and equitable taxation), legal purposes (conveyancing), to assist in the management of land and the land use (e.g. for planning and other administrative purpose), and enables suitable development and environmental protection.”

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem kadaster bisa diartikan sebagai system informasi pertanahan yang berisi gambaran geometric atas bidang tanah yang dihubungkan dengan catatan-catatan yang menggambarkan keadaan tanah tersebut. Atas hal tersebut maka terdapat 2 hal yang penting dan harus ada dalam suatu kegiatan kadaster yaitu (Dale & Mc Laughin, 1988) :

1. Kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang menghasilkan peta.

Kegiatan ini untuk dapat mengidentifikasi dan menjelaskan setiap obyek kadaster sehingga jelas letak/posisi dan batas-batasnya.

2. Kegiatan pendaftaran/pencatatan, yang menghasilkan daftar/register.

Kegiatan ini untuk menghasilkan catatan-catatan berupa data yang dapat menjelaskan keadaan suatu obyek kadaster seperti status, subyek/pemilik, penggunaannya, dan lain sebagainya.

(12)

Berdasarkan fungsinya, kadaster dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu legal cadastre, fiscal cadastre dan multipurpose cadastre . Ketiga jenis kadaster adalah sebagai berikut (Dale & Mc Laughin, 1988) :

a. Legal Cadastre/Juridical Cadastre (Kadaster Hukum/Legal), merupakan bentuk kadaster yang memiliki fungsi utama untuk kepastian hukum atas bidang tanah/lahan. Kadaster ini memuat segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek hukum, seperti hak-hak apa yang terdapat dalam suatu lahan, kewajiban pemilik/pemakai lahan dan lain-lain.

b. Fiscal cadastre (kadaster fiskal/pajak), merupakan bentuk kadaster yang memiliki fungsi utama sebagai informasi keuangan/finansial. Kadaster fiskal diambil dari istilah fiskal yang berarti keuangan, dan memuat nilai atas lahan, pajak atas lahan, maupun land use dari lahan tersebut.

c. Multipurpose cadastre (kadaster Multiguna), merupakan konsep kadaster yang digunakan untuk berbagai tujuan. Mutipurpose cadastre merupakan jawaban ideal pada saat ini, terutama sebagai masukan (input) sekaligus tools di dalam perwujudan sistem administrasi pertanahan yang baik dan modern. Multipurpose cadastre merupakan gabungan dari legal cadastre dan fiscal cadastre, dimana di dalamnya termuat seluruh aspek mengenai kadaster, yang meliputi aspek hukum (hak-hak atas tanah), aspek keuangan (nilai atas tanah dan pajak atas tanah) dan aspek lainnya seperti perijinan, land use, maupun konsep pengembangan lebih lanjut.

II.3.2 Kadaster Tiga Dimensi (3D)

Sistem kadaster yang umumnya digunakan di berbagai negara termasuk di Indonesia adalah kadaster 2 Dimensi (2D), yaitu menggunakan persil tanah sebagai entitas dasar kadaster. Kadaster dengan menggunakan persil 2D sebagai entitas dasar dianggap memiliki keterbatasan dalam mengakomodasi perkembangan-perkembangan dari pemanfaatan tanah saat ini. Beberapa keterbatasan yang paling mendasar adalah seperti di bawah ini (Stoter, 2004) :

a. Ruang yang dikenai suatu hak tidak terdaftarkan atau tidak tergambarkan dalam sistem kadaster. Walaupun hak-hak dari suatu properti diketahui namun untuk bangunan bertingkat dengan penggunaan multi fungsi, fungsi dari tiap tingkat tidak diketahui

(13)

b. Tidak ada informasi spasial (bentuk geometrik dan lokasi) dari hak-hak yang terdaftar sehingga apakah properti tersebut merupakan konstruksi di atas atau di bawah permukaan tanah tidak dapat diketahui.

c. Sistem kadaster saat ini menyediakan informasi mengenai pemilik yang memiliki hak atas suatu unit persil atau unit properti, namun kadaster tidak dapat memperlihatkan secara jelas posisi unit-unit tersebut dalam suatu properti.

Keterbatasan–keterbatasan di atas membuat kadaster 2D tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya pada dunia nyata, sehingga diperlukan suatu sistem kadaster 3D yang dapat mengatasi berbagai keterbatasan tersebut. Selain keterbatasan kadaster 2D, kadaster 3D menjadi penting karena beberapa faktor, yaitu (Stoter, 2004) :

a. Nilai suatu properti menjadi semakin tinggi

b. Jumlah terowongan, jaringan pipa dan kabel baik air, listrik, telpon, maupun saluran pembuangan, tempat parkir bawah tanah, pusat pembelanjaan, bangunan-bangunan di atas jalan, serta bangunan-bangunan bertingkat dengan multi fungsi lainnya bertambah secara berarti; dan

c. Perkembangan teknologi 3D seperti 3D GIS, 3D Planning sehingga memungkinkan terwujudnya kadaster 3D.

Kadaster tiga dimensi (3D) dapat diartikan sebagai berikut (Stoter, 2004) :

”A 3 Cadastre is a cadastre which registers and gives insight into rights and restrictions not (only) on parcels but on 3D property units.”

Dari pengertian diatas bahwa kadaster tiga dimensi (3D) merupakan sistem kadaster yang melakukan pendaftaran (register) dan memberikan gambaran pada hak/kewenangan (right) serta batasan-batasan (restrictions), tidak hanya pada persil tanah, tetapi juga pada unit properti 3D.

Properti 3D adalah ruang terbatas (memiliki batas-batas yang jelas) yang dapat dimiliki oleh seseorang dengan suatu hak, sesuai dengan ketentuan. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa (Stoter, 2004) :

3D Property Situations : Refer to situations in which different property units (wich possibly different type of land use) are located on top of each other or constructed in even more complex structures.

(14)

Situasi properti 3D adalah situasi dimana unit-unit properti yang berbeda dengan kemungkinan pemanfaatan yang berbeda pula berada secara bersusun atau berada dalam kontruksi dengan struktur yang komplek.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jantien E. Stoter tahun 2004, terdapat tiga Konsep Model untuk kadaster tiga dimensi (3D) yang dapat diterapkan berdasarkan kerangka teknis dan yuridis, yaitu :

a. 3D tags linked to parcels;

Metode ini tetap mempertahankan kadaster 2 dimensi sebagai entitas dasar registrasi dan kemudian ditambahkan dengan gambaran dari situasi 3 dimensi baik secara dijital maupun analog.

b. Hybrid Cadastre

Pada Metode ini pendaftaran 3 dimensi digabungkan dengan sistem kadaster berbasiskan bidang tanah 2 dimensi yang ada saat ini, sehingga dihasilkan suatu sistem campuran dimana situasi tiga dimensi menjadi bagian dari kumpulan data geografis kadaster 2 dimensi. Metode ini memiliki dua alternatif, yaitu registration of 3D right-volumes dan registration of 3D physical objects

c. Full 3D Cadastre;

Pada konsep ini, volume (ruang 3 dimensi) juga dapat digunakan sebagai entitas dasar dari kadaster, suatu hak atas tanah tidak dapat dikenakan pada bentuk persil tanah saja namun pada bentuk volume (ruang 3 dimensi). Konsep ini memiliki dua alternatif, yaitu metode combined 2D/3D alternative dan metode pure 3D cadastre.

A. 3D Tags Linked To Parcels

Pada konsep ini sistem kadaster 2D yang ada tetap dipertahankan dan kemudian ditambahkan dengan gambaran dari situasi 3D baik secara dijital maupun analog. Data-data kepemilikan yang telah ada diberikan keterangan tambahan berupa gambaran 3D dari properti yang bersangkutan.

(15)

Pada konsep ini hak atas tanah dikenakan pada persil 2D seperti sistem kadaster yang berlaku saat ini. Tetapi keterangan akan suatu situasi 3D dapat ditambahkan dengan memberikan suatu label atau id tertentu terhadap persil. Hal ini berarti setiap persil yang dimiliki oleh lebih dari satu orang pemilik dikategorikan sebagai situasi 3D. Id atau label ini adalah suatu keterangan yang dapat ditambahkan pada sertifikat atau gambar yang menggambarkan situasi 3D. Keterangan ini dapat ditambahkan dengan banyak cara. Cara yang paling mudah adalah dengan memberikan label pada situasi 3D berdasarkan informasi yang didapat dari pemilik. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan keterangan berupa gambar 3D dari properti yang bersangkutan pada kantor kadaster dimana gambar 3D ini dapat berbentuk digital atau analog (misalnya CAD drawing).

Gambar II.3 Diagram model kadaster 2D yang diberi tambahan situasi 3D (Sumber : Stoter, 2004)

Gambaran dari situasi 3D dikelola secara terpisah bukan merupakan bagian dari kumpulan data geografis kadaster. hanya dapat dilihat per persil tidak ada kesatuan dari seluruh situasi, sehingga situasi 3D hanya merupakan sebuah visualisasi dan tidak dapat di-query karena tidak terhubung dengan basis data kadaster. Konsep ini merupakan solusi yang paling mudah untuk diterapkan namun tidak dapat dipakai sebagai solusi jangka panjang karena tidak dapat dijadikan dasar untuk menciptakan suatu sistem yang efisien dan berkelanjutan.

B. Hybrid Cadastre

Pada hybrid cadastre pendaftaran properti secara 3D digabungkan dengan sistem kadaster berbasiskan persil 2D yang ada saat ini, sehingga dihasilkan suatu sistem campuran dimana situasi 3D menjadi bagian dari kumpulan data geografis kadaster

(16)

2D. Situasi 3D ini hanya memberikan pandangan keruangan dan tidak memberikan batas-batas yang legal, batas kepemilikan yang sebenamya ditentukan dari dokumen asli yang telah ada. Apabila terjadi transaksi jual beli maka pihak penjual dan pembeli terlebih dahulu harus menyetujui dokumen mengenai batas kepemilikan dilihat secara tiga dimensi walaupun pada dokumen perjanjian tidak dijelaskan batas-batasnya secara tegas.

Gambar II.4 Diagram Kadaster 3D dengan model Hybrid (Sumber : Stoter, 2004)

Tujuan utama dari konsep ini adalah untuk mendaftarkan bentuk spasial yang dikenai hak serta untuk dapat menggambarkan bentuk konstruksi obyek fisik dari properti secara langsung dalam sistem kadaster.

Hybrid cadastre mempunyai dua altematif. Altematif pertama membahas mengenai properti situasi 3D yang sebenamya sudah terdaftar namun dilihat dari sudut pandang pengenaan hak terhadap bentuk volume. Altematif tersebut digunakan sehagai alat untuk memperoleh keterangan tentang aspek-aspek hak dalam 3D (mis. visualisasi hak 3D sebagai bagian dari kumpulan data geografis kadaster yang dapat dicari dan ditampilkan hasilnya). Altematif kedua adalah pendaftaran objek fisik itu sendiri yang terintegrasi dengan kumpulan data geografis kadaster sehingga dapat dilihat keadaan pada real-world. Pada altematif pertama. hak seseorang atas ruang 3D (volume) merupakan entitas dasar sedangkan pada altematif kedua selain persil, objek fisik properti juga dapat dijadikan entitas dasar.

(17)

Berbeda dengan 3D tags linked to parcel, pada konsep hybrid cadastre ini gambaran dari situasi 3D merupakan bagian dari kumpulan data geografis kadaster sehingga data mengenai 2D dan 3D langsung tersedia dan terintegrasi pada suatu sistem yang sama, hal ini memberikan keuntungan dari sudut pandang kemudahan aksesibilitas.

Dengan adanya hybrid cadastre maka akan diperoleh beberapa keuntungan:

■ terdapat gambaran tiga dimensi dari keadaan sebenarnva karena pendaftaran kadaster telah dilakukan pada ruang di atas dan permukaan tanah.

■ Situasi 3D yang didaftarkan merupakan bagian dari basis data geografis kadaster sehingga dapat terlihat hubungannya dengan persili 2D dalam satu tampilan yang terintegrasi.

■ Informasi spasial yang terdapat pada data hasil survey dapat digunakan untuk memberikan gambaran komponen ruang 3D yang dikenai hak.

■ Gambaran mengenai situasi 3D pada basis data kadaster dapat digunakan untuk aplikasi-aplikasi lain.

C. Full 3D Cadastre

Pada konsep ini selain persil dua dimensi yang membentuk area, volume juga dapat digunakan sebagai entitas dasar dari kadaster, suatu hak atas tanah tidak dapat dikenakan pada bentuk persil saja namun pada bentuk volume yang telah memiliki batas-batas yang jelas. Hal ini menjadi perbedaan yang utama dengan konsep hybrid cadastre yang masih menggunakan persil 2D sebagai entitas dasar kadaster.

Kadaster modern tidak hanya terbatas pada suatu sistem pendaftaran hak semata tetapi sudah berkembang menjadi suatu sistem informasi pertanahan yang dapat digunakan baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta untuk berbagai kepentingan seperti perencanaan. manajemen penggunaan lahan, pengawasan lingkungan,dsb. Dengan fungsinya yang multi guna ini maka bentuk persil dua dimensi sebagai entitas dasar dianggap tidak lagi mencukupi. hal ini menjadi dasar konsep full 3D cadastre.

(18)

Terdapat beberapa keuntungan dengan penerapan konsep full 3D cadastre, yaitu: ■ Situasi yang sebenarnya tidak lagi harus diproyeksikan terhadap permukaan

2D, persil volume tidak didominasi oleh pola persil permukaan

■ Hak seseorang dihubungkan langsung dengan volume dan bukan merupakan volume perpotongan antara dua persil

■ Unit properti 3D dijelaskan dalam dokumen survey 3D dengan properti yang seragam

Full 3D cadastre merupakan solusi terbaik apabila dilihat dari konsep kadaster 3D, namun pada penerapannya akan sangat sulit untuk dilakukan walaupun dari segi teknologi hal ini mungkin untuk direalisasikan, dari segi hukum dan kadaster alternatif ini akan menemui banyak hambatan karena membutuhkan adanya pembaharuan dari sistem yang telah ada.

Gambar

Gambar II.1  Sistem Rumah Susun sesuai UURS
Gambar II.2  Diagram Prosedur Penerbitan HMASRS   (Sumber : UURS Jo. PP No.4 Tahun 1988)
Gambar II.3  Diagram model kadaster 2D yang diberi tambahan situasi 3D  (Sumber : Stoter, 2004)
Gambar II.4  Diagram Kadaster 3D dengan model Hybrid   (Sumber : Stoter, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Berpijak dari hal-hal tersebut, maka diperlukan proses-proses perencanaan pembangunan di tingkat desa yang melibatkan partisipasi langsung warga masyarakat.RPJM Desa

bekerja sesuai tata cara, prosedur dan mekanisme dalam memproses laporan/temuan dugaan pelanggaran dengan menerima, meregistrasi, melakukan klarifikasi terhadap

Sarana kesehatan dengan Kemampuan Pelayanan Gawat Darurat Pada tabel 49 menunjukkan sarana kesehatan dengan kemampuan Pelayanan Gawat Darurat selama tahun 2012 sebesar

Pengukuran konstanta dielektrik pada semen dilakukan dengan menggunakan metode kapasitif pelat sejajar dan pengukuran resistivitas dilakukan dengan menggunakan metode

Secara umum penelitian terhadap Teks Tutur Jong Manten ini bertujuan untuk memberikan masukan dan sumbangan pengetahuan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

berlatih menjadi moderator, pembicara, dan peserta seminar (topik, pertanyaan, jawaban, dan kegiatan pelaku seminar ditayangkan dalam transparansi lalu dikembangkan

Hasil Pembinaan Poktan BKB menunjukkan bahwa sampai dengan bulan September 2010 Jumlah keluarga yang menjadi anggota kelompok BKB secara aktif sebanyak 548.185 atau 95,28 %