• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL PENELITIAN"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1. Sekolah Menengah Atas Islam PB. Soedirman

SMA Islam PB. Soedirman berdiri pada tahun 1971 dengan program yang tersedia adalah Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Sejak tahun 1985 sampai dengan sekarang, telah menyandang sekolah unggulan tingkat Kotamadya dan terakreditasi ”A”. Status SMA Islam PB. Soedirman adalah sekolah swasta yang dikelola oleh Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman dengan lokasi di Jalan Raya Bogor Km.24 Cijantung – Jakarta Timur. Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman membawahi beberapa jenjang sekolah, yaitu TK, SD, SMP, SMA, dan SMK PB. Soedirman.

Luas tanah wilayah Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman adalah 3 ha dan luas bangunan SMA Islam PB. Soedirman adalah 4398 m2. Visi SMA Islam PB.Soedirman adalah menjadikan SMA Islam PB. Soedirman yang memiliki keunggulan kompetitif dalam IMTAQ dan IPTEK pada era global. Sedangkan misi SMA Islam PB Soedirman ada 5 butir, diantaranya meningkatkan prestasi siswa di bidang intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diperlukan untuk berkopetisi pada jenjang pendidikan tinggi.

Jumlah siswa/i secara keseluruhan yang ada di SMA Islam PB. Soedirman tahun ajaran 2007/2008 sebanyak 739 orang. Jumlah siswa/i yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebanyak 61 orang (kelas I) dan 52 orang (kelas II).

(2)

Untuk kelas III tidak dikutkan sebagai responden karena sedang menghadapi ujian akhir. Jumlah pengajar dan staf di SMA Islam PB. Soedirman sebanyak 68 orang. Biaya pendidikan untuk jenjang SMA sebesar Rp 4.800.000,- per tahun.

5.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi variabel dependen, yaitu status gizi lebih siswa dan variabel independen antara lain kebiasaan konsumsi makanan cepat saji modern (fast food), pola aktivitas fisik (waktu tidur, waktu menonton televisi, main komputer dan main video games dan kebiasaan olah raga), pola konsumsi (energi, karbohidrat, lemak dan protein), karakteristik siswa (jenis kelamin, pengetahuan gizi dan uang saku) dan karakteristik orang tua (pendidikan ibu dan pendapatan orang tua).

5.2.1. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi

Berdasarkan pengumpulan data dan analisis data diperoleh gambaran status gizi responden dengan menggunakan indeks BB/TB2 yang dikenal dengan Indeks Massa Tubuh berdasarkan umur menurut baku standar CDC-NCHS (2000) dalam bentuk persentil, dengan pengkategorian sebagai berikut : status gizi kurang < 5th persentil; status gizi normal: 5 – 85th persentil; status gizi lebih: > 85th persentil; dan status gizi obesitas: > 95th persentil. Ternyata diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden mempunyai status gizi normal sebanyak 57,5%, sedangkan secara berturut-turut untuk status gizi lebih, status obesitas dan status gizi kurang sebesar 18,6%, 15% dan 8,8%. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.1

(3)

Tabel 5.1

Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Status Gizi n % Kurang 10 8,8 Normal 65 57,5 Lebih 21 18,6 Obesitas 17 15,0 Jumlah 113 100

Untuk keperluan analisis bivariat maka status gizi responden dibagi menjadi dua kategori, yaitu status gizi lebih (status gizi lebih dan obesitas disatukan) dan status gizi tidak lebih (status gizi normal dan kurang disatukan). Gambaran status gizi responden dapat dilihat pada tabel 5.2

Tabel 5.2

Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Status Gizi n %

Lebih 38 33,6

Tidak Lebih 75 66,4

Jumlah 113 100

Berdasarkan klasifikasi status gizi menggunakan standar CDC-NCHS didapatkan bahwa proporsi responden dengan kategori status gizi tidak lebih jumlahnya lebih banyak (66,4%) daripada proporsi responden dengan gizi lebih (33,6%).

5.2.2. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Makan Makanan Cepat Saji Modern (fast food)

Distribusi responden berdasarkan frekuensi makan makanan cepat saji modern (fast food) dikategorikan menjadi 2, yaitu sering apabila responden mengkonsumsi makanan siap saji modern (fast food) sebanyak ≥ 2x/ minggu dan

(4)

tidak sering apabila responden mengkonsumsi makanan siap saji modern (fast food) sebanyak < 2x/minggu. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3

Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Cepat Saji Modern (Fast Food) Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman

di Jakarta Timur Tahun 2008 Frekuensi

Makan Fast Food

n %

Sering (≥ 2x/minggu) 68 60,2

Tidak sering(<2x/minggu) 45 39,8

Jumlah 113 100

Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki kebiasaan makan makanan siap saji modern (fast food) dengan frekuensi sering (60,2%) lebih banyak dibandingkan responden yang memiliki kebiasaan makan makanan siap saji modern tidak sering (39,8%).

5.2.3. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur, Waktu Menonton TV, Main Komputer/Main Video Games dan Kebiasaan

Olah Raga.

Distribusi responden berdasarkan waktu tidur adalah jumlah jam tidur dalam sehari yang terbagi 2 kategori, yaitu waktu tidur lama (> 7 jam/hari) dan waktu tidur sebentar (≤ 7 jam/hari). Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa responden .lama waktu tidur lebih dari 7 jam sehari lebih banyak (81,4%) dibandingkan dengan responden yang memiliki waktu tidur kurang atau sama dengan 7 jam sehari. Distribusi responden berdasarkan waktu tidur dapat dilihat pada tabel 5.4.

(5)

Responden yang menonton TV, main komputer/main video games lebih dari 2 jam sehari lebih banyak (69,9%) bila dibandingkan dengan respoden lama menonton TV, main komputer/main video games kurang atau sama dengan 2 jam sehari. Distribusi responden berdasarkan waktu menonton TV, main komputer/main video games dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4

Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur , Waktu Menonton TV, Main Komputer/Main Video Games dan Kebiasaan Olahraga

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Waktu Tidur n %

Lama (> 7 jam) 92 81,4

Sebentar (≤ 7 jam) 21 18,6

Jumlah 113 100

Waktu Menonton TV,main komputer/main video games

Lama (>2 jam) 79 69,9

Sebentar (≤ 2 jam) 34 30,1

Jumlah 113 100

Kebisaan Olah Raga

Ringan (< 90 menit) 43 67,2

Berat (≥ 90 menit) 21 32,8

Jumlah 64 100

Olah raga dilakukan secara teratur setiap hari atau 3 kali seminggu minimal 30 menit setiap berolahraga (Depkes, 2002). Olah raga teratur adalah gerakan seluruh organ tubuh dengan cara dan periode tertentu, serta dilakukan secara teratur, agar tubuh terlihat bugar dan sehat. Sesuai yang dianjurkan olah Depkes (2002), olahraga minimal 3 kali seminggu @ 30 menit, maka 3 x 30 menit adalah waktu minimal berolahraga yang paling sedikit dalam seminggu. Jadi berdasarkan hal tersebut maka dibagi 2 kategori uantuk tingkat aktifitas olah raga, yaitu ringan (< 90 menit) dan berat (≥ 90 menit). Tingkat aktifitas olah raga didapat dengan mengalikan lamanya latihan olah raga dengan frekuensi olah raga. Hasil analisis data penelitian

(6)

mendapatkan bahwa sebagian besar responden (67,2%) mempunyai kebiasaan olah raga yang ringan. Hanya sebanyak 32,8% responden yang mempunyai kebiasaan olahraga tinggi. Jenis olah raga yang dilakukan responden adalah basket, volley, sepakbola, renang, senam dan jogging. Distribusi responden berdasarkan kebisaan olah raga dapat dilihat pada tabel 5.4.

5.2.4. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi dan Zat Gizi Makro

Konsumsi energi responden dikelompokkan sesuai kebutuhan berdasarkan umur responden yang dapat dilihat pada angka kecukupan gizi. Distribusi responden berdasarkan konsumsi energi dapat dilihat pada tabel 5.5. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar 57,5% konsumsi energi responden lebih kurang atau sama dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2005 sedangkan 42,5% responden konsumsi energinya diatas rata-rata Angka Kecukupan Energi tahun 2005. Hasil analisis dari 113 responden diketahui bahwa konsumsi energi total terendah adalah 1045 kkal/hari dan tertinggi 5014 kkal/hari. Rerata konsumsi energi total adalah 2280,39±675,80 kkal/hari dengan median 2309,20 kkal/hari.

Berdasarkan rekomendasi Depkes (2002), kategori konsumsi karbohidrat dibagi menjadi lebih (> 60% energi total) dan cukup (≤ 60% energi total). Proporsi konsumsi karbohidrat cukup (89,4%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan konsumsi karbohidrat lebih (10,6%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui bahwa konsumsi karbohidrat terendah adalah 19,25% dan tertinggi 63,80%. Rata-rata konsumsi karbohidrat adalah 48,52 ±9,23% dengan median 48,55%. Distribusi

(7)

Tabel 5.5

Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi, Konsumsi Karbohidrat, Konsumsi Lemak dan Konsumsi Protein

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Konsumsi Energi n %

Lebih (> AKG) 48 42,5

Cukup (≤ AKG) 65 57,5

Jumlah 113 100

Konsumsi Karbohidrat

Lebih (> 60% energi total) 48 42,5

Cukup (≤ 60% energi total) 65 57,5

Jumlah 113 100

Konsumsi Lemak

Lebih (> 30% energi total) 86 76,1

Cukup (≤ 30% energi total) 27 23,9

Jumlah 113 100

Konsumsi Protein

Lebih (> AKG) 91 80,5

Cukup (≤ AKG) 22 19,5

Jumlah 113 100

Berdasarkan rekomendasi Soetjiningsih (2004), kategori konsumsi lemak dibagi menjadi lebih (> 30% energi total) dan cukup (≤ 30% energi total). Proporsi konsumsi lemak tinggi (76,1%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan konsumsi lemak cukup (23,9%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui bahwa konsumsi lemak terendah adalah 18,22% dan tertinggi 68,19%. Rerata konsumsi lemak adalah 36,97±9,46% dengan median 35,53%. Distribusi responden berdasarkan konsumsi lemak dapat dilihat pada tabel 5.5.

Berdasarkan rekomendasi Angka Kecukupan Gizi tahun 2005, konsumsi protein pada penelitian ini disesuaikan dengan kebutuhan menurut umur responden. Kategori konsumsi protein dibagi menjadi lebih (> AKG) dan cukup (≤ AKG). Proporsi konsumsi protein tinggi (80,5%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan konsumsi protein cukup (19,5%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui bahwa konsumsi protein terendah adalah 152,70 gram dan tertinggi 39,20 gram.

(8)

Rerata konsumsi protein adalah 78,90 gram dengan nilai tengah 73,55 gram Distribusi responden berdasarkan konsumsi protein dapat dilihat pada tabel 5.5.

5.2.5. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pengetahuan Gizi dan Jumlah Uang Saku

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dibagi dalam 2 kategori, yaitu laki-laki dan perempuan. Dari data yang dikumpulkan, terlihat bahwa jumlah responden laki-laki lebih banyak (53,1%) dibandingkan responden perempuan (46,9%). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pengetahuan Gizi dan Jumlah Uang Saku

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Jenis Kelamin n % Laki-laki 60 53,1 Perempuan 53 46,9 Jumlah 113 100 Pengetahuan Gizi Kurang (< 80%) 24 21,2 Baik (≥ 80%) 89 78,8 Jumlah 113 100 Uang Saku Besar (≥ Rp. 20.000) 59 52,2 Kecil (< Rp. 20.000) 54 47,8 Jumlah 113 100

Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi responden adalah baik. Dari 17 pertanyaan yang diajukan sebagian besar siswa di SMA Islam PB. Soedirman sebanyak 89 (78,8%) mempunyai tingkat pengetahuan lebih baik dibandingkan dengan responden yang mempunyai tingkat pengetahuan

(9)

cukup sebanyak 24 (21,2%) siswa. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan gizi, dapat dilihat pada tabel 5.6

Uang saku merupakan bagian pendapatan keluarga yang diberikan kepada anak untuk jangka waktu tertentu, yaitu harian mingguan maupun bulanan.Uang saku responden dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu tingkat uang saku besar (≥ median/ Rp 20.000,- per hari) dan tingkat uang saku kecil (< median/ Rp 20.000,- per hari). Sedangkan kisaran uang saku responden untuk 1 minggu sebesar Rp 120.000,- dan untuk 1 bulan sebesar Rp 480.000,-. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 59 (52,2%) siswa temasuk dalam kategori uang saku besar, sedangkan responden yang termasuk dalam kategori kecil sebanyak 54 (47,8%) siswa. Distribusi responden berdasarkan uang saku dapat dilihat pada tabel 5.6.

5.2.6. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu dan Pendapatan Orang Tua

Tingkat pendidikan ibu responden diukur berdasarkan pendidikan formal dari ibu. Pendidikan ibu responden sangat beragam mulai tidak tamat SD samapai tamat perguruan tinggi. Pendidikan ibu responden dikelompokkan menjadi 2 kategori, tingkat pendidikan ibu tinggi (> SMA) dan tingkat pendidikan ibu rendah (≤ SMA). Dari hasil tabel dibawah ini terlihat bahwa responden dengan tingkat pendidikan ibu rendah sebanyak (61,1%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan tingkat pendidikan ibu tinggi (38,9%). Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu dapat dilihat pada tabel 5.7.

(10)

Tabel 5.7.

Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu dan Pendapatan OrangTua Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Pendidikan Ibu n %

Rendah (≤ SMA) 69 61,1

Tinggi (> SMA) 44 38,9

Jumlah 113 100

Pendapatan Orang Tua

Tinggi (≥ Rp. 4.000.000) 71 62,8

Rendah (< Rp. 4.000.000) 42 37,2

Jumlah 113 100

Pendapatan keluarga responden dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu tinggi (≥ median) dan rendah (< median). Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 62,8% responden dengan pendapatan keluarga tinggi (≥ Rp. 4.000.000),

sedangkan responden yang termasuk dalam kategori pendapatan rendah (< Rp. 4.000.000) sebanyak 37,2% siswa. Distribusi responden berdasarkan

(11)

5.3. Rangkuman Hasil Analisis Univariat

Tabel 5.8. Hasil Analisis Univariat No

Variabel Kategori Jumlah

n %

1 Status Gizi Lebih (≥ 85 percentil) 38 33,6 Tidak Lebih (< 85 percentil) 75 66,4 2 Kebiasaan Konsumsi

Fast Food

Sering (≥ 2x/minggu) 68 60,2 Tidak Sering (< 2x/minggu) 45 39,8 3 Waktu Tidur Lama (> 7 jam) 92 81,4 Sebentar (≤ 7 jam) 21 18,6 4 Waktu nonton TV, main

Komputer /main video games

Lama (> 2 jam) 79 69,9 Sebentar (≤ 2jam) 34 30,1 5 Kebiasaan Olah Raga Ringan (< 90 menit) 43 67,2 Berat (≥ 90 menit) 21 32,8 6 Konsumsi Energi Lebih (>AKG) Cukup (≤ AKG) 48 65 42,5 57,5 7 Konsumsi Karbohidrat Lebih (> 60% energi total) 48 42,5 Cukup (≤ 60% energi total) 65 57,5 8 Konsumsi Lemak Lebih (> 30% energi total) 86 76,1 Cukup (≤ 30% energi total) 27 23,9 9 Konsumsi Protein Lebih (> AKG) 48 42,5 Cukup (≤ AKG) 65 57,5

10 Jenis Kelamin Laki-laki 60 53,1

Perempuan 53 46,9 11 Pengetahuan Gizi Kurang (< 80%) 24 21,2 Baik (≥ 80%) 89 78,8 12 Uang Saku Besar (≥ Rp. 20.000) 59 52,2 Kecil (< Rp. 20.000) 54 47,8 13 Pendidikan Ibu Rendah (≤ SMA) 69 61,1 Tinggi (> SMA) 44 38,9 14 Pendapatan Orang Tua Tinggi (≥ Rp.4.000.000) 71 62,8 Rendah (< Rp. 4.000.000) 42 37,2

(12)

5.4. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen kebiasaan konsumsi makanan cepat saji modern (fast food), pola aktifitas fisik (lama tidur, lama menonton televisi/main komputer dan main video games dan kebiasaan olah raga), pola konsumsi (konsumsi energi, karbohidrat, lemak dan protein), karakteristik siswa (jenis kelamin, pengetahuan gizi dan jumlah uang saku), karakteristik orang tua (pendidikan ibu dan pendapatan orang tua) dengan status gizi lebih sebagai dependen. Untuk menguji variabel independen dan dependen yang berbentuk kategorik 2x2 digunakan chi-square, dengan ketentuan dikatakan ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dan dependen bila hasil uji statistik menunjukkan nilai p < 0,05.

5.4.1. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji Modern (fast food) dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan kebiasaan konsumsi makanan cepat saji modern (fast food) dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.9.

Tabel 5.9

Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Fast Food dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Konsumsi

Fast food

Status gizi Total

p-value

Lebih Tidak lebih

n % n % n % Sering (≥ 2x/minggu) 25 36,8 43 63,2 68 100 0,507 Tidak Sering (< 2x/minggu) 13 28,9 32 71,1 45 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,431 (0,636 – 3,222)

(13)

Dari tabel tersebut bahwa terlihat proporsi gizi lebih pada responden dengan makan makanan cepat saji modern ≥ 2x/minggu adalah 36,8%, lebih tinggi daripada responden dengan makan makanan cepat saji modern (fast food) < 2x/minggu (28,9%). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara makan makanan cepat saji modern (fast food) dengan kejadian gizi lebih pada siswa

5.4.2. Aktifitas Fisik

5.4.2.1. Hubungan antara Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara waktu tidur dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.10. Dari tabel tersebut bahwa terlihat proporsi gizi lebih pada responden dengan lama tidur > 7 jam sehari adalah 33,7%, lebih tinggi daripada responden dengan lama tidur ≤ 7 jam jam sehari (33,3%). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara waktu tidur dengan kejadian gizi lebih pada siswa.

Tabel 5.10

Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Waktu Tidur Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lama (> 7 jam) 31 33,7 61 66,3 92 100 1,000 Sebentar (≤ 7 jam) 7 33,3 14 66,7 21 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,016 (0,372 – 2,777)

(14)

5.4.2.2. Hubungan antara Waktu Menonton Televisi, Main Komputer atau Main Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara waktu menonton televisi, main komputer atau main video games dengan kejadian gizi lebih pada siswa. Jika dilihat dari tabel 5.11 ternyata proporsi gizi lebih pada responden yang waktu menonton televisi, main komputer atau main video games > 2 jam sehari adalah 29,1%, lebih rendah dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden dengan ≤ 2 jam sehari (44,1%).

Tabel 5.11

Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Menonton Televisi, Main Komputer atau Main Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Waktu

Menonton TV, Main Komputer/Video

Games

Status gizi Total

p-value

Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lama (> 2 jam) 23 29,1 56 70,9 79 100 0,134 Sebentar (≤2jam) 15 44,1 19 55,9 34 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,520 (0,226 – 1,197)

5.4.2.3. Hubungan Antara Kebiasaan Olahraga dengan Kejadian Gizi Lebih Hubungan antara kebiasaan olah raga dengan kejadian gizi lebih dapat dilihata pada tabel 5.12. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan kebiasaan olah raga berat (> 90 menit seminggu), lebih tinggi (38,1%) dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden dengan kebiasaan olah raga ringan (≤ 90 menit seminggu) (34,9%). Hasil uji statistik didapatkan nilai

(15)

p > 0,05 mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara menonton televisi, main komputer atau main video games dengan kejadian gizi lebih pada siswa.

Tabel 5.12

Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Olah Raga dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Kebiasaan Olah

raga

Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Ringan (<90menit) 15 34,9 28 65,1 43 100 1,000 Berat (≥ 90 menit) 8 38,1 13 61,9 21 100 Jumlah 23 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,871 (0,295 – 2,567)

5.4.3. Pola Konsumsi Makan

5.4.3.1. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih 5.13. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi energi ≤ AKG lebih tinggi (35,4%) dibandingkan proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi > AKG (31,3%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p>0,05 berarti penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih.

Tabel 5.13

Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Konsumsi

Energi

Status gizi Total

p-value

Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lebih (> AKG) 15 31,3 33 68,8 48 100 0,796 Cukup(≤ AKG) 23 35,4 42 64,6 65 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,830 (0,375 – 1,837)

(16)

5.4.3.2. Hubungan antara Konsumsi Karbohidrat dengan Kejadian Gizi Lebih Hubungan antara konsumsi karbohidrat dapat dilihat pada tabel 5.14. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi karbohidrat ≤ 60 % energi total lebih tinggi (34,7%) daripada dengan proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi karbohidrat > 60% energi total. Hasil uji statistik didapatkan nilai p > 0,05 disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan kejadian lebih.

Tabel 5.14

Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Karbohidrat dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Konsumsi

Karbohidrat

Status gizi Total

p-value

Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lebih (>60% energi total) 3 25,0 9 75,0 12 100 0,748 Cukup (≤60% energi total ) 35 34,7 66 65,3 101 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,629 (0,160 – 2,472)

5.4.3.3. Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.15. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi lemak > 30% lebih tinggi (36,0%) dibandingkan proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi lemak ≤ 30% (25,9%). Dari hasil uji statistik didapatkan p> 0,05 berarti dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih.

(17)

Tabel 5.15

Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Lemak dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Konsumsi

Lemak

Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lebih (>30% energi total) 31 36,0 55 64,0 86 100 0,461 Cukup (≤30% energi total) 7 25,9 20 74,1 27 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,610 (0,612 – 4,234)

5.4.3.4. Hubungan antara Konsumsi Protein dengan Kejadian Gizi Lebih Hubungan antara konsumsi Protein dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.16. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi protein ≤ AKG (36,4%)lebih tinggi dibandingkan proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi protein > AKG (33,0%). Dari hasil uji statistik didapatkan p > 0,05 berarti dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih.

Tabel 5.16

Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Protein dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Konsumsi

Protein

Status gizi Total

p-value

Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lebih (> AKG) 30 33,0 61 67,0 91 100 0,959 Cukup (≤ AKG) 8 36,4 13 63,6 22 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,861 (0,325-2,276)

(18)

5.4.4. Karakteristik Siswa

5.4.4.1. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Lebih

Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian lebih dapat dilihat pada tabel 5.17. Data tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden laki-laki (41,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden perempuan (24,5%). Hasil uji statistik didapatka nilai p > 0,05 berarti penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan nkejadian gizi lebih.

Tabel 5.17

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Jenis

Kelamin

Status gizi Total

p-value

Lebih Tidak lebih

n % n % n % Laki-Laki 25 41,7 35 58,3 60 100 0,085 Perempuan 13 24,5 40 75,5 53 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 2,198 (0,978 – 4,937)

5.4.4.2. Hubungan antara Pengetahuan Gizi Responden dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara pengetahuan gizi dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.18. Dari tabel tersebut bahwa proporsi gizi lebih pada respnden dengan pengetahuan baik (39,3%) lebih tinggi dibandingkan proporsi gizi lebih pada responden dengan pengetahuan kurang (12,5%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p<0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan kejadian gizi lebih..

(19)

Tabel 5.18

Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Gizi dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Pengetahuan

Gizi

Status gizi Total

p-value

Lebih Tidak lebih

n % n % n % Kurang (< 80%) 3 12,5 21 87,5 24 100 0,026 Baik (≥ 80%) 35 39,3 54 60,7 89 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,22 (0,061– 0,795)

Dari OR diketahui bahwa responden dengan pengetahuan gizi kurang tidak mempunyai kecenderungan yang lebih (hanya 0,22, tidak lebih dari satu) untuk mengalami gizi lebih.

5.4.4.3. Hubungan antara Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara uang saku dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.19. hasil analisis penelitian didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan uang saku kecil (35,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden dengan uang saku besar (32,2%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p> 0,05 berati tidak ada hubungan antara jumlah uang saku dengan kejadian gizi lebih.

Tabel 5.19

Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Uang Saku

Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Besar (≥Rp.20.000) 19 32,2 40 67,8 59 100 0,892 Kecil (<Rp.20.000) 19 35,2 35 64,8 54 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,875 (0,401 – 1,911)

(20)

5.4.5. Karakteristik Orang Tua

5.4.5.1. Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian Gizi Lebih

Dari hasil analisis data penelitian didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan pendidikan ibu tinggi (38,6%) lebih tinggi dibandingkan proporsi gizi lebih pada responden dengan pendidikan ibu rendah (30,4%) namun hasil uji stsistik mendapatkan nilai p > 0,05, berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian gizi lebih. Hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.20.

Tabel 5.20

Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Pendidikan

Ibu

Status gizi Total

p-value

Lebih Tidak lebih

n % n % n % Rendah(≤SMA) 21 30,4 48 69,6 69 100 0,487 Tinggi (>SMA) 17 38,6 27 61,4 44 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,695 (0,314 – 1,538)

5.4.5.2. Hubungan Pendapatan Orang Tua dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara pendapatan orang tua responden dengan kejadian lebih dapat dilihat pada tabel 5.21. Data tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden yang pendapatan orang tua rendah (38,1%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden yang pendapatan orang tuanya tinggi (31,0%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p > 0,05 berarti penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan orang tua responden dengan kejadian gizi lebih.

(21)

Tabel 5.21

Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Orang Tua dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Pendapatan

Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Tinggi (≥ Rp.4.000.000) 22 31,0 49 69,0 71 100 0,571 Rendah (< Rp. 4.000.000) 16 38,1 26 61,9 42 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,730 (0,328 – 1,625)

(22)

5.4.6. Ringkasan Hasil Analisis Bivariat

Tabel 5.22 Hasil Analisis Bivariat

Variabel Independen Status gizi P value OR 95% CI Lebih Tidak lebih Lower Upper n % n %

Konumsi fast food

Sering (≥2x/minggu) 25 36,8 43 63,2

0,507 1,431 0,636 3,222 Tidak Sering (< 2x/minggu) 13 28,9 32 71,1

Waktu tidur Lama (> 7jam) 31 33,7 61 66,3 1,000 1,016 0,372 2,777 Sebentar (≤ 7 jam) 7 33,3 14 66,7 Waktu nonton TV dll Lama (> 2 jam) 23 29,1 56 70,9 0,134 0,520 0,226 1,197 Sebentar (≤ 2 jam) 15 44,1 19 55,9

Kebiasaan olah raga

Ringan (<90 menit) 15 34,9 28 65,1 1,000 0,871 0,295 2,567 Berat (≥ 90 menit) 8 38,1 13 61,9 Konsumsi energi Lebih (>AKG) 15 31,3 33 68,8 0,796 0,830 0,375 1,837 Cukup (≤ AKG) 23 35,4 42 64,6 Konsumsi karbohidrat

Lebih (> 60% energi total) 3 25,0 9 75,0

0,748 0,629 0,160 2,472 Cukup (≤ 60 energi total) 35 34,7 66 65,3

Konsumsi lemak

Lebih (> 30% energi total) 31 36,0 55 64,0

0,461 1,610 0,612 4,234 Cukup (≤ 30% energi total) 7 25,9 20 74,1

Konsumsi protein Lebih (> AKG) 30 33,0 61 67,0 0,959 0,861 0,325 2,276 Cukup(≤ AKG) 8 36,4 13 63,6 Jenis kelamin Laki-laki 25 41,7 35 58,3 0,085 2,198 0,978 4,937 Perempuan 13 24,5 40 75,5 Pengetahuan gizi Kurang (< 80%) 3 12,5 21 87,5 0,026 * 0,220 0,061 0,795 Baik (≥ 80%) 35 39,3 54 60,7 Uang saku Besar (≥Rp.20.000) 19 32,2 40 67.8 0,892 0,875 0,401 1,911 Kecil (<Rp.20.000) 19 35,2 35 64,8 Pendidikan Ibu Rendah (≤ SMA) 21 30,4 48 69,9 0,487 0,695 0,314 1,538 Tinggi (> SMA) 17 38,6 27 61,4

Pendapatan orang tua

Tinggi (≥ Rp.4000.000) 22 31,0 49 69,0

0,571 0,730 0,328 1,625 Rendah (<Rp. 4.000.000) 16 38,1 26 61,9

(23)

6.1. Keterbatasan Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan, banyak faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gizi lebih, dengan keterbatasan maka variabel yang berhubungan tidak semua diteliti oleh peneliti, sehingga hasil penelitian belum dapat menjelaskan secara menyeluruh tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan gizi lebih pada remaja SMA Islam PB. Soedirman.

6.2. Kualitas Data

Pada metode yang digunakan pada penelitian ini adalah food frequency dan 1x24 hours recall. Dalam pelaksanaan 1x24 hours recall dapat dilaksanakan sekaligus pada semua responden dan selesai dalam 3 hari, dengan jumlah enumerator 3 orang, dimana pelaksanaan recall pada hari pertama di mulai pada kelas 1 dan hari berikutnya dilanjutkan untuk kelas 2. Metode recall memiliki kelemahan karena mengandalkan ingatan responden sehingga dapat terjadi lupa yaitu responden cenderung tidak melaporkan dengan benar apa yang dimakan sehingga sering terjadi pengurangan atau penambahan informasi sehingga estimasi asupan energi menjadi rendah (Gibson 2005).

(24)

Sedangkan untuk mendapatkan kebiasaan makan makanan siap saji modern (fast food) dalam sebulan menggunakan kuesioner food frequency questionnaire (FFQ). Untuk mengurangi kesalahan dalam pengukuran pada metode food frequency questionaire maka peneliti memberikan penjelasan kepada responden dan memberikan kesempatan bertanya bagi siswa yang belum mengerti demi kelancaran pada saat pengisian kuesioner.

6.3. Status Gizi

Penilaian status gizi responden dilakukan dengan menggunakan hasil perhitngan indeks massa tubuh (IMT) menurut umur. Dari nilai IMT ini, kemudian dinilai baku CDC-2000 dalam bentuk persentil. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umun responden memiliki status gizi tidak lebih sebesar 66,4% (normal (57,5%) dan kurang (8,8%)), sedangkan dari hasil penelitian ini besarnya angka kejadian gizi lebih (overweight dan obesitas) sebesar 33,6%. Dari hasil penelitian terlihat tersebut bahwa terjadi double burden masalah gizi, disatu pihak status gizi kurang masih ada dan di pihak lain masalah gizi lebih sudah mulai terjadi.

Bila dibandingkan pada penelitian Fatiha (2003) yang dilakukan di SDK Tirta Marta BPK Penabur Pondok Indah Jakarta selatan menemukan gizi lebih sebesar 43,3% dan gizi tidak lebih 56,4%, angka temuan pada penelitian ini lebih rendah untuk kategori gizi lebih, tetapi lebih tinggi untuk kategori gizi tidak lebih. Terjadinya perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan karena perbedaan karekteristik responden, jumlah sampel dan metode pengambilan sampel. Pada penelitian terdahulu responden yang diambil adalah kelompok siswa

(25)

6.4. Hubungan antara Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat saji Modern (fast food) Dengan Kejadian Gizi Lebih

Makanan modern adalah makanan jenis fast food seperti fried chiken, hamburger, pizza dll, disukai banyak kalangan anak-anak dan remaja. Golongan remaja di perkotaan merupakan sasaran startegis bagi pengusaha makanan tersebut. Makanan modern (fast food) memiliki daya pikat karena lebih praktis dan cepat dalam penyajiannya dan mengandung gengsi bagi kalangan tertentu. Yang menjadi persoalan adalah kandungan gizi yang ada pada fast food tersebut seperti yang diungkapkan para ahli bahwa makanan modern (fast food) mengandung lemak, karbohidrat, kolesterol dan garam yang relatif tinggi. Jika makanan ini sering dikonsumsi secara berkesinambungan dan berlebihan berakibat pada munculnya masalah gizi lebih (over nutrition) dengan kemungkinan akan obesitas (Mudjianto, 1994).

Konsumsi makanan modern (fast food) dalam penelitian ini ingin diketahuinya hubungannya terhadap kejadian gizi lebih yang merupakan gabungan dari 9 jenis fast food (fried chicken, Hamburger, Hotdog, Pizza, Sandwich, Spaghetti, Kentang Goreng, Chicken, Nugget, Dunkin donuts). Pendekatan yang dilakukan untuk menggambarkan pengaruh pola konsumsi makanan modern terhadap kejadian gizi lebih secara penggabungan dengan melakukan pembobotan tiap jenis makanan tersebut dan tiap kategori sesuai dengan frekuensi konsumsi. Akibat penggabungan ini informasi pola konsumsi dengan frekuensi menjadi hilang, yang muncul adalah pola konsumsi sering (≥ 2x/minggu) dan tidak sering (< 2x/minggu).

(26)

Hasil dalam penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi makanan siap saji modern (fast food) dengan kejadian gizi lebih pada remaja SMA Islam PB. Soedirman. Hasil penelitian ini serupa ditemukan dengan penelititian yang dilakukan Mariani (2003) dan Welis (2003) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan fast food dengan gizi lebih.

Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Harini (2005) dan Karnaeni (2005) yang membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan fast food dengan gizi lebih (p < 0,05). Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan karena adanya perbedaan pengkategorian kebiasaan makan fast food.

Tidak bermaknanya kebiasaan makanan cepat saji modern (fast food) dengan kejadian gizi lebih pada penelitian ini meskipun proporsi gizi lebih pada responden yang mengkonsumsi fast food sebanyak ≥ 2x/minggu (36,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan responden gizi lebih yang kebiasaan mengkonsumsi fast food (< 2x/minggu) (28,9%) diduga karena responden gizi lebih yang sering (≥ 2x/minggu) mengkonsumsi fast food tidak pada makanan yang mengandung kalori tinggi oleh sebab itu adanya perbedaan jumlah kalori pada tiap jenis makanan sehingga kontribusinya dalam menimbulkan gizi lebih juga berbeda. Hal ini sama dengan WHO (2003) bahwa yang menyebabkan konsumsi fast food tidak berhubungan dengan gizi lebih adalah kemungkinan ukuran dan jumlah porsi yang dimakan tidak berlebihan. Ukuran porsi yang besar menyebabkan peningkatan berat badan. Menurut Fieldhouse (1995) dalam Nugroho (1999) bahwa ada beberapa

(27)

dikonsumsi, kandungan zat gizi dalam fast food dan bagaimana memilih jenis fast food tersebut erat kaitannya dengan dampak gizinya. Colaguiri (1995) dalam Wellis (2003), dalam penelitiannya menemukan mengkonsumsi fast food 2 kali/minggu dapat meningkatkan kandungan energi diet sebesar 1195 kal (23% energi diet). Kebiasaan mengkonsumsi fast food 2 kali/ minggu juga menimbulkan peningkatan rata-rata energi harian sebesar 750 K joule, yang rata-rata setahun dapat menambah berat badan sebesar 8,8 kg.

6.5. Pola Aktivitas Fisik

6.5.1. Hubungan antara Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa nilai p>0,05 menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama waktu tidur dengan kejadian gizi lebih. Hasil penelitian yang sama ditemukan Welis (2003) dan Karnaeni (2005) yang juga tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna antara lama waktu tidur dengan kejadian gizi lebih. Namun berbeda dengan penelitian Meilinasari (2002) yang membuktikan adanya hubungan ynag bermakna antara lama waktu tidur dengan status gizi lebih.

Proporsi responden dengan status gizi lebih yang mempunyai waktu tidur > 7 jam sehari (33,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden status gizi lebih yang mempunyai waktu tidur ≤ 7 jam sehari (33,3%).

Kemungkinan tidak ada hubungan yang bermakna pada penelitian ini disebabkan meskipun responden tidur lebih dari 7 jam sehari, tetapi aktivitas fisik lain seperti olah raga juga relatif tinggi, sehingga lama tidur tidak berpengaruh terhadap kejadian gizi lebih. Hal ini didukung oleh data tabulasi silang antara lama

(28)

tidur dengan kebiasaan olah raga. Proporsi responden dengan lama tidur lebih dari 7 jam sehari lebih banyak (86,0%) pada responden dengan kebiasaan olah raga berat (≥ 90 menit dengan ≥ 3x seminggu) daripada responden dengan kebiasaan olah raga ringan (< 90 menit dengan < 3x seminggu) (85,7%).

6.5.2. Hubungan antara Waktu Menonton Televisi, Main Komputer atau Main

Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih.

Hasil penelitian ini membuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama waktu menonton TV, main komputer atau video games dengan kejadian gizi lebih. Walaupun demikian, ada kecenderungan bahwa responden dengan status gizi lebih terdapat lebih banyak pada responden dengan waktu menonton TV ≥ 2 jam/hari dibandingkan pada responden yang menonton TV < 2 jam.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Welis (2003), Karnaeni (2005) dan Dasmita (2007) yang tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna antara waktu menonton TV, main komputer/ main video games dengan kejadian gizi lebih. Namun berbeda pada penelitian Marbun (2002) yang menemukan hubungan bermakna antara waktu menonton TV dengan status gizi.

Menurut Pipes dan Christine (1993) dikatakan bahwa status gizi lebih diantaranya dapat disebabkan karena gaya hidup sendetaris, yaitu gaya hidup santai dan meminimasikan aktivitas fisik, seperti menonton TV/video games. Menonton TV terlalu berlebihan dapat berkontribusi terhadap kejadian obesitas, tetapi sebaliknya, obesitas juga berkontribusi untuk menonton TV lebih lama.

(29)

Perbedaan diduga responden pada penelitian ini menonton televisi tidak sambil makan snack. Hal ini karena kemungkinan cara menonton televisi dengan cara tidak terfokus, yang berarti menonton televisi sambil mengerjakan pekerjaan lainnya seperti mengerjakan tugas sekolah sehingga kemungkinan mempengaruhi basal metobolisme.

Menurut Khomsan (2006) meningkatnya kebiasaan mengkonsumsi penganan padat kalori dan banyaknya waktu yang digunakan untuk menonton TV membuat anak rawan terhadap obesitas. Menonton TV tergolong ke dalam aktivitas fisik ringan. Ini berarti tidak banyak energi yang terpakai, sementara itu jika konsumsi energi dari penganan meningkat terus maka terjadilah keseimbangan energi yang positif.

6.5.3. Hubungan antara Kebiasaan Olah Raga dengan Kejadian Gizi Lebih Kebiasaan olah raga merupakan salah satu bentuk aktivitas fisik yang dapat menurunkan berat badan. Olah raga secara teratur adalah gerakan seluruh organ tubuh dengan cara dan periode tertentu serta dilakukan secara teratur. Seseorang yang senang melakukan olah raga pada masa remaja akan membawa kebiasaan ini pada tingkat tertentu di usia dewasa (Kuntaraf, 1992).

Hasil penelitian ini menunjukkan anak gizi lebih yang memiliki kebiasaan olah raga berat memiliki proporsi terbesar (38,1%) dibandingkan dengan anak gizi lebih dengan kebiasaan ringan (34,9%) dan dari hasil analisis p > 0,05 yang berarti tidak adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan olah raga dengan kejadian gizi lebih. Hasil yang sama pada penelitian Dharmawan (2001), Suryana (2002) dan Karnaeni (2005) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan kebiasaan olah raga

(30)

dengan status gizi lebih. Berbeda dengan hasil penelitian Mariani (2003) dan Welis membuktikan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga dengan kejadian gizi lebih.

Penelitian Hanley (2000) menyatakan ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kesegaran jasmani dan perubahan IMT, meliputi keteraturan atau intensitas aktivitas fisik. Olah raga yang intensitasnya rendah menghasilkan kehilangan masa lemak lebih besar dibandingkan intensitas yang tinggi, sebagai akibat tingginya persentase substrate yang berasal dari lemak dan penggunaan lemak perunit waktu berbeda. Selain itu tubuh juga mengkompensasi kekurangan energi selama olah raga dengan meningkatnya asupan energi, menurunkan energi ekspenditur setelah olah raga dan diluar olah raga atau keduanya. Artinya setelah olah raga nafsu makan akan meningkat, karena mengimbangi kekurangan energi selama olah raga. Kemudian kalori yang terbakar selama olah raga hanya berdampak kecil pada pengurangan lemak tubuh dibandingkan pengurangan lemak tubuh pada saat terjadi kelaparan dan puasa.

Jika dilihat dari konsumsi energi ternyata orang yang beraktivitas olah raga ringan mempunyai proporsi konsumsi energi lebih sedikit dibanding orang yang aktivitasnya berat. Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan responden yang beraktifitas ringan cenderung konsumsi energinya kurang dari kecukupan oleh sebab itu antara kebiasaan olah raga dengan kejadian gizi lebih tidak ada hubungan yang bermakna.

Selain itu tingginya proporsi anak gizi lebih yang memiliki tingkat olahraga berat, memberi kesan kemungkinan adanya usaha pada anak gizi lebih untuk

(31)

dan tergolong tingkat olahraga berat sehingga tidak dapat menunjang hubungan olah raga dengan status gizi lebih.

6.6. Pola Konsumsi Makanan

6.6.1. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Kejadian Gizi Lebih

Separuh (57,5%) konsumsi energi responden lebih kurang atau sama dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Rata-rata konsumsi energi sehari pada responden gizi lebih adalah 2217±599 kal/hari, sedangkan pada responden gizi tidak lebih adalah 2313±713 kal/hari. Terdapat kecenderungan proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi energi kurang atau sama dengan AKG lebih tinggi (35,4%) dibandingkan responden dengan konsumsi energi lebih dari AKG (31,3%). Namun dari hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Marbun (2002) dan Wellis (2003) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Meilinasari (2002), Rijanti (2002) dan Daryono (2003) yang mendapatkan ada hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih. Perbedaan hasil ini diduga karena karakteristik responden yang mengambil populasi siswa SD.

Ketidakbermaknaan hasil penelitian ini kemungkinan bagi responden yang merasa mengalami kelebihan berat badan ada yang melakukan pembatasan konsumsi dan kenyataan pada saat wawancara ada responden yang sedang melakukan puasa pada jenis makanan tertentu (seperti lauk hewani). Alasan lain terjadi kemungkinan sebagian responden yang gemuk tidak mau jumlah makanan yang dikonsumsinya

(32)

dilaporkan sehingga tidak bisa diketahui jumlah makanan yang sesungguhnya. Hal ini terkait dengan pendapat Klesgel et al (1992) bahwa pada penelitian crossectional seseorang yang gizi lebih biasanya melaporkan konsumsi makanan mereka sama atau lebih kecil daripada kelompok teman yang tidak gizi lebih (normal).

6.6.2. Hubungan antara Konsumsi Karbohidrat dengan Kejadian Gizi Lebih Rata-rata konsumsi karbohidrat responden per hari adalah 52,2 ± 40,2 %. Rata–rata konsumsi karbohidrat sehari pada responden gizi lebih adalah 60,0±67,9%, sedangkan pada responden tidak lebih adalah 48,27±9,7%. Dilihat dari hasil penelitian bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi karbohidrat ≤ 60% energi total jumlahnya lebih besar (34,7%) dibandingkan proporsi gizi lebih pada responden yang konsumsi karbohidratnya > 60% energi total. Hasil uji statistik mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan kejadian gizi lebih pada responden.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Hanley et al (2000), Wellis (2003) dan Santy (2006) yang menemukan tidak ada hubungan antara konsumsi karbohidrat dengan gizi lebih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rinjani (2002) membuktikan ada hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan kejadian gizi lebih.

Adanya perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan disebabkan pada penelitian ini rata-rata konsumsi energi masih di bawah AKG, sehingga seluruh energi dari zat gizi termasuk karbohidrat digunakan oleh tubuh tanpa adanya penyimpanan. Pernyataan Marsetyo dan Kartasapoetra (1991) bahwa

(33)

pada kondisi tubuh kekurangan energi maka digunakan cadangan karbohidrat dalam tubuh. Karbohidrat merupakan penghasil energi siap pakai.

6.6.3. Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Kejadian Gizi Lebih

Konsumsi Lemak responden sebagian besar (76,1%) > 30%, sedangkan 23,9% responden yang konsumsi lemak ≤ 30%. Rata-rata konsumsi lemak sehari pada responden gizi lebih adalah 36,78±8,64%, sedangkan pada responden tidak gizi lebih adalah 46,67±60,23%. Hasil uji statistik mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan gizi lebih.

Hasil penelitian serupa didapat oleh Wellis (2003) dan Hanley (2000) bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih. Tetapi berbeda dengan penelitian yang dilakukan Daryono (2003) dan Karnaeni (2005) yang mendapatkan ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih.

Anjuran konsumsi lemak menurut Soetjiningsih (2004) adalah tidak lebih dari 30% kebutuhan energi. Konsumsi lemak pada responden gizi lebih dan responden gizi tidak lebih dalam penelitian ini lebih tinggi dari leteratur diatas.

Tingginya persentase responden dengan konsumsi lemak lebih menandadakan bahwa menu makanan yang dimakan oleh responden merupakan makanan yang kaya akan lemak khususnya lemak hewani. Menurut Depkes (2002), bahwa kebiasaan mengkonsumsi lemak hewani yang berlebihan akan menimbulkan penyakit jantung koroner dan penyempitan pembuluh darah. Konsumsi lemak pada remaja harus diwaspadai karena konsumsinya dapat berlebih.

(34)

Penelitian yang dilakukan oleh Willet (1998) menunjukkan bahwa diet tinggi lemak tidak menjadi penyebab utama tingginya peningkatan lemak tubuh di masyarakat dan pengurangan asupan lemak tidak menjadi solusi yang baik tetapi peningkatan aktivitas fisik lebih efektif dalam menurunkan kejadian gizi lebih.

Kemungkinan yang terjadi dari hasil tabulasi silang antara konsumsi lemak dan kebiasaan olah raga disebabkan walaupun konsumsi lemak responden tinggi dan kebiasaan olah raga responden ringan tetapi hasil yang didapat belum bermakna kemungkinan ini bisa terjadi karena responden mengikuti kegiatan sekolah yang begitu padat dari pagi hingga sore.

6.6.4. Hubungan antara Konsumsi Protein dengan Kejadian Gizi Lebih

Sebanyak 80,5% responden konsumsi proteinnya > AKG. Rata-rata konsumsi protein sehari pada responden gizi lebih adalah 78,90±27,90 gram , sedangkan rata-rata konsumsi protein pada responden gizi tidak lebih adalah 84,58±33,85 gram. Hasil uji statistik mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakana antara konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Welis (2003) dan Hanley et al (2000) yang menyatakan tidak ada hubungan antara konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih.

Tidak ada hubungan bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih pada penelitian ini kemungkinan karena protein tidak berkontribusi besar dalam mempengaruhi konsumsi energi dibandingkan karbohidrat dan lemak. Dugaan lain seperti diketahui peran utama protein adalah dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, bukan sebagai sumber ataupun cadangan energi. Dengan demikian

(35)

konsumsi protein lebih dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan apalagi bagi responden yang remaja masih dalam masa pertumbuhan.

6.7. Karakteristik Siswa

6.7.1. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Gizi Lebih

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa responden laki-laki lebih banyak (53,1%) daripada responden perempuan (46,9%). Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian gizi lebih. Namun terlihat adanya kecenderungan lebih besar pada responden pada laki-laki untuk mengalami gizi lebih. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Meilinasari (2002), Marbun (2002) dan Karnaeni (2005) yang menemukan tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian gizi lebih.

Berbeda dengan hasil penelitian Nugroho (1999) dan Wellis (2003) yang keduanya menemukan terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan gizi lebih. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan pada penelitian ini proporsi terbesar responden gizi lebih terdapat pada responden yang berjenis kelamin laki-laki. Pada umumnya penduduk kota memiliki stándar hidup yang lebih baik dan kurang aktivitas fisiknya dibandingkan di pedesaan. Perbedaan jenis kelamin terhadap trens gizi lebih dapat juga dihubungkan dengan munculnya body image pada anak wanita yang lebih menyukai tubuh langsing pada saat memasuki usia pubertas, sementara anak laki-laki tidak begitu cemas dengan berat badannya, dan bangga bila memiliki ukuran tubuh yang besar sehingga kurang berhati-hati terhadap konsumsi makanan dalam diet hariannya.

(36)

Selain itu kecenderungan responden gizi lebih terdapat lebih banyak pada responden laki-laki dibandingkan responden perempuan dalam penelitian ini, dapat disebabkan karena adanya perbedaan asupan makanan. Responden laki-laki kemungkinan mempunyai nafsu besar sehingga mengkonsumsi lebih banyak makanan berkalori tinggi dibandingkan anak perempuan. Menurut Worthington et al (2000) dikatakan bahwa anak laki-laki usia sekolah mengkonsumsi sejumlah energi dan nutrisi lebih besar dibandingkan anak perempuan. Di samping itu, nafsu makan anak laki-laki sangat bertambah hingga tidak akan menemukan kesukaran untuk memenuhi kebutuhan makannya (Pudjiadi, 1990).

6.7.2. Hubungan antara Pengetahuan Gizi dengan Kejadian Gizi Lebih

Pengetahuan merupakan hal penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil dari penca indera. Penngetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman sendiri maupun dari orang lain (Notoatmodjo, 1993). Dengan pengalaman yang memadai terhadap gizi, diharapkan siswa lebih selektif dalam makanan yang akan dikonsumsinya, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas sehingga dapat mempertahankan kondisi kesehatan secara maksimal.

Pengetahuan gizi anak yang baik dapat meningkatkan kemampuan anak memilih makanan dan mencoba makanan baru yang sehat dan berhubungan pula dengan sikap anak terhadap makanan. Walaupun pengaruh sikap dan perilaku pada tingkatannya tidak sekuat dan sekonsisten dibandingkan dengan pengetahuan (Pipes dan Chistine, 1993).

(37)

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi responden dengan kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Gordon-Larsen (2002) yang menemukan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dan kesehatan dengan gizi lebih pada remaja wanita perkotaan Philadelphia. Berbeda dengan hasil penelitian Marbun (2002) dan Welis (2003) dan Kanaeni (2005) yang menemukan tidak ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan kejadian gizi lebih.

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa tingginya pengetahuan gizi dan kesehatan pada siswa SMA Islam PB. Soedirman karena lengkapnya sumber pengetahuan dan materi pengetahuan gizi yang diajarkan tidak dalam mata ajaran khusus. Namun demikian hasil analisis didapatkan bahwa proporsi responden gizi lebih (39,3%) memiliki tingkat pengetahuan baik lebih tinggi dibandingkan dengan responden gizi lebih dengan tingkat pengetahuan kurang, untuk itu diperlukan penyuluhan bagaimana cara hidup sehat guna menghindari masalah kesehatan yang akan dihadapi di masa mendatang seperti gizi lebih.

Pengetahuan gizi sebaiknya diberikan sejak dini sehingga dapat memberi kesan yang mendalam dan dapat menuntun anak dalam memilih makanan yang sehat dalam kehidupan sehari-hari (Irawati, 1998).

6.7.3. Hubungan antara Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih

Menurut hasil analisis proporsi kejadian gizi lebih pada responden dengan uang saku kategori besar lebih rendah (32,2%) bila dibandingkan responden dengan uang saku kategori uang saku kecil (35,2%). Namun hasil uji statistik menunjukkan

(38)

tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah uang saku dengan kejadian gizi lebih.

Tidak terlihatnya hubungan antara jumlah uang saku dengan gizi lebih kemungkinan karena belum tentu semua uang saku yang diterima oleh responden dibelanjakan untuk makan dan bisa juga responden membawa bekal makanan untuk disekolah dan setiap berangkat dan pulang dijemput sehingga uang saku yang didapat masih dalam keadaan utuh atau tidak dikeluarkan untuk membeli makanan atau keperluan lainnya.

Jika dilihat dari hasil tabulasi silang konsumsi lemaknya ternyata antara siswa yang memiliki uang saku > Rp.20.000 dan ≤ Rp. 20.000 mempunyai proporsi yang sama yaitu lebih dari 76,1% mengkonsumsi lemak > 30%. Oleh karena itu tidak ditemukan hubungan yang bermakna antra uang saku besar dan kecil terhadap kejadian gizi lebih.

Pada remaja yang memiliki uang saku, Insel et al (2006) dalam Wulandari (2007) menyatakan bahwa remaja yang telah diberi kepercayaan untuk mengelola uang sakunya sendiri cenderung memiliki kebebasan untuk memilih sesuka hatinya. Kebebasan memilih makanan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi remaja. Dengan memiliki kebebasan untuk memilih sendiri makanannya, remaja cenderung untuk membeli apapun yang disukainya atau yang menarik menurut mereka, tanpa memperhatikan apakah makanan tersebut bergizi seimbang atau tidak. Pemilihan makanan yang salah pada akhirnya dapat berpengaruh pada status gizi mereka.

(39)

6.8. Karakteritik Orang Tua

6.8.1. Hubungan antara Pendidikan Ibu Responden dengan Kejadian Gizi Lebih

Menurut Mariani (2003) tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan makanan. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang baik dalam hal kualitas dan kuantitas dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Makin tinggi pendidikan ibu makin baik status gizi anaknya.

Dalam penelitian ini didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan tingkat pendidikan ibu tinggi (38,6%) sedikit lebih besar atau bahkan dikatakan hampir sama dengan responden yang mempunyai ibu dengan tingkat pendidikan rendah (30,4%). Dari hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang tidak bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian gizi lebih (p > 0,05). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Welis (2003), Mariani (2003) yang membuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian gizi lebih.

Ketidakbermaknaan hasil temuan penelitian ini diduga karena pendidikan bukanlah faktor langsung yang mempengaruhi status gizi, namun pendidikan sangat berpengaruh pada tingkat pengetahuan. Pengetahuan kesehatan dan gizi merupakan faktor yang menonjol dalam mempengaruhi pola konsumsi makan. Meskipun daya beli terhadap makanan tinggi, tetapi bila tidak disertai dengan pengetahuan gizi, masalah gizi akan dapat terjadi. Pendidikan yang tinggi dengan pengetahuan yang memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik

(40)

sehingga dapat mendorong terbentuknya perilaku yang lebih baik (Sedioetama, 1987 dalam Sudiarti, 1997).

Selain itu disebabkan karena tingkat pendidikan tidak selalu sejajar dengan pengetahuan gizi yang dimiliki. Belum tentu pendidikan yang tinggi akan memiliki pengetahuan gizi yang tinggi, hal ini juga dapat dipengaruhi faktor lain seperti : perilaku dalam memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya. Walaupun tingkat pendidikan tinggi dan pengetahuan gizi tinggi namun bila tidak didukung dengan perilaki makan yang tepat (sesuai dengan gizi seimbang) maka akan memberikan dampak pada masalah gizi selanjutnya.

6.8.2. Hubungan antara Pendapatan Orang Tua dengan Kejadian Gizi Lebih Faktor pendapatan merupakan peranan sangat penting dalam persoalan gizi dan kebiasaan pangan masyarakat. Jumlah dan jenis pangan anggota keluarag dipengaruhi oleh status ekonomi. Salah satu ukuran ekonomi adalah pendapatan total keluarga. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan memberikan akan memberikan peluang lebih besar dalam pemilihan pangan baik dalam jumlah dan jenisnya. Peningkatan pendapatan juga menentukan pola makan, dalam artian makanan apa yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut.

Dalam hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan kejadian gizi lebih, dengan nilai p > 0,05. Proporsi gizi lebih pada responden yang mempunyai pendapatan keluarga kategori rendah lebih tinggi (38,1%) dibandingkan dengan responden gizi lebih pada tingkat pendapatan keluarga kategori tinggi (33,7%). Hal ini diperkuat pada

(41)

kelompok ekonomi rendah prevalensi gizi lebih pada remaja lebih tinggi dibandingkan kelompok ekonomi tinggi. Lebih besarnya peluang responden dengan pendapatan rendah untuk mengalami gizi lebih pada penelitian ini diduga karena kualitas makanan yang dikonsumsi tidak mengandung gizi seimbang.

Tetapi pendapatan orang tua responden pada penelitian ini didapatkan bahwa pendapatan orang tua responden sebanyak 62,8% tergolong berpendapatan tinggi (≥ Rp. 4.000.000,-). Menurut Suhardjo (1989) pada keluarga yang berpendapatan tinggi akan terjadi perubahan pola pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan maka semakin rendah bagian penghasilan yang dikeluarkan untuk makanan yang dimakan lebih mahal.

Gambar

Tabel 5.8.  Hasil Analisis Univariat
Tabel 5.22 Hasil Analisis Bivariat  Variabel Independen   Status gizi  P  value OR  95% CI Lebih Tidak  lebih  Lower Upper  n % n %

Referensi

Dokumen terkait

c. Dalam persoalan pengelolaan keuangan desa, azas medebewind tentunya mempunyai faktor pendukung dan penghambat. Karena Tugas pembantuan mengacu pada pemberian

Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan hadits-hadits oleh setiap perawi pertama (shahabat atau tabi’i). Sebagai langkah pertama ialah mengenal terlebih

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa hasil dan pembahasan dari setiap proses yang dilakukan, meliputi proses pengolahan data Foto Udara

Pelaksanaan pembelajaran siklus kedua dilaksanakan pada hari selasa tanggal 17 Juli 2018. Kegiatan yang dilaksanakan pada siklus ini hampir sama dengan kegiatan pada

Pengertian Dumping dalam kamus hukum ekonomi, dumping adalah praktik dagang yang dilakukan pengekspor dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga

Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi melalui lembar pengamatan aktivitas belajar matematika siswa dalam proses pembelajaran yang sudah baik (skor rata-rata

Sesuai dengan masalah yang diajukan, hasil kajian terhadap penerapan pendekatan komunikatif yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran berpidato bahasa Bali pada