• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Peraturan Penerintah Nomor. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Peraturan Penerintah Nomor. pdf"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH

TERLANTAR DI KOTA SEMARANG

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan Program Sarjana (S-1) Ilmu Hukum

Oleh :

Nama : Bramantyo Andhika Putra NIM : B2A 008 040

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

(2)

ii

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH

TERLANTAR DI KOTA SEMARANG

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan Program Sarjana (S-1) Ilmu Hukum

Oleh :

Nama : Bramantyo Andhika Putra NIM : B2A 008 040

Penulisan hukum dengan judul di atas telah disahkan dan disetujui untuk diperbanyak

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(3)

iii

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH

TERLANTAR DI KOTA SEMARANG

Dipersiapkan dan disusun Oleh :

Nama : Bramantyo Andhika Putra NIM : B2A 008 040

Telah diujikan di depan Dewan Penguji pada tanggal

Semarang, 4 April 2012

Dewan Penguji,

Ketua Sekretaris

Dekan FH Undip Pembantu Dekan I FH Undip

(Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum) (Lapon Tukan Leonard, SH, MA) NIP : 1962 1110 1987 03 1004 NIP : 1958 1130 1987 03 1001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Hj. Endang Sri Santi, SH, MH) (Yuli Prasetyo Adhi, SH, M.Kn) NIP : 1951 1101 1981 03 2001 NIP : 1981 0715 2006 04 1001

Dosen Penguji

(4)

iv Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan salam kepada Nabi Muhammad SAW berikut keluarga, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya. Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan skripsi

yang berjudul ”Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010

tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Kota Semarang”. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan Program Sarjana (S-1) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca, khususnya mengenai hukum agraria/pertanahan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka penulisan skripsi ini tidak dapat selesai dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Sudharto P. Hadi, MES, Ph.D selaku Rektor Universitas Diponegoro.

2. Bapak Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

(5)

v

4. Bapak Yuli Prasetyo Adhi, S.H., M.Kn selaku Dosen Pembimbing II yang dengan ikhlas meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan bimbingan, pengarahan, masukan-masukan serta kritik yang membangun dalam penulisan skripsi ini sampai selesai.

5. Bapak Hasyim Asyari, S.H., M.Si, Ph.D selaku Dosen Wali atas bimbingan, arahan, nasehat, dan ilmu yang sangat bermanfaat selama menempuh kuliah.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

7. Bapak Ir. Suyono, S.H. selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis.

8. Bapak Ir. Suti Siswono selaku Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Semarang yang telah memberikan data dan informasi.

9. Ibu I Gusti A Rai Sukaryati, S.I.P selaku Kepala Sub Seksi Pemberdayaan Masyarakat Kantor Pertanahan Kota Semarang yang telah memberikan data dan informasi.

(6)

vi

12. Kawan seperjuangan mahasiswa Agraria, khususnya kepada Budi Prasetyo, Dita Amanda, Danik Gatot, dan Khairina atas doa, dukungan, bantuan, pengalaman, serta kenangan yang tak akan terlupakan.

Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan secara keseluruhan.

Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan perlu dibenahi untuk hasil yang lebih baik lagi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan sebagai masukan dan kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Semarang, Maret 2012

(7)

vii

ABSTRAK

Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Sebagai salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka tanah perlu ditata kembali penggunaannya. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya. Sekarang ini banyak ditemui tanah yang keadaannya terlantar. Permasalahan mengenai tanah terlantar kini sudah ditangani oleh Pemerintah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Sesuai dengan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang, serta untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 dan upaya apa saja yang dilakukan guna lebih mengefektifkan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan socio-legal research untuk mengetahui sampai sejauh mana peraturan hukum yang mengatur tentang tanah terlantar tersebut efektif dilaksanakan, bagaimana kendala-kendala dalam pelaksanaannya, serta bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk lebih mengefektifkannya.

Berdasarkan hasil penelitian maka penulis berkesimpulan bahwa implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang baru sampai tahapan Inventarisasi serta Identifikasi dan Penelitian. Kendala yang dihadapi karena adanya kondisi di lapangan yang kurang mendukung serta jenis hak tanahnya yang lebih banyak adalah Hak Guna Bangunan. Untuk upaya-upaya yang dilakukan yakni dengan meminta perkembangan kemajuan pembangunan dari pemegang hak dan melakukan sosialisasi tentang Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

(8)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGUJIAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Penelitian ... 7

D.Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Tanah ... 11

1. Pengertian Tanah ... 11

2. Tanah Negara ... 12

3. Tanah Hak ... 14

(9)

ix

1. Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah dan Kewajiban

Pemegang Hak Penguasaan Atas Tanah ... 15

2. Tata Jenjang/Hierarki Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah ... 17

3. Hak Penguasaan Atas Tanah Sebagai Lembaga Hukum dan Hubungan Hukum Konkret ... 19

4. Sistematika Pengaturan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah ... 20

C. Tinjauan Mengenai Hak-Hak Atas Tanah ... 21

D. Tinjauan Mengenai Tanah Terlantar ... 22

1. Pengertian Tanah Terlantar ... 22

2. Pengaturan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ... 23

E. Tinjauan Mengenai Penegakan Hukum ... 27

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan... 32

B. Spesifikasi Penelitian ... 33

C. Metode Populasi dan Penarikan Sampel ... 34

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

E. Metode Analisis Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Kota Semarang ... 38

(10)

x

Yang Dilakukan Untuk Mengefektifkan Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang... 63 1. Kendala Yang Dihadapi Dalam Mengimplementasikan

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang ... 63 2. Upaya Yang Dilakukan Guna Lebih Mengefektifkan

Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang ... 66

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Kecamatan di Kota Semarang ... 42 Tabel 2. Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar di Kota Semarang oleh

(12)

xii

1. Surat Keterangan Riset dari Kantor Pertanahan Kota Semarang.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap benda mempunyai harga atau nilai, walaupun ia tidak diperjualbelikan. Demikian pula dengan tanah. Tetapi nilai tanah tidak diukur dari beratnya, kilogram, atau takaran lainnya. Pada hakekatnya tanah dinilai berdasarkan harga yang berlaku di antara penjual dan pembeli. Jadi tanah adalah suatu benda ekonomis pula. Begitu bernilainya suatu bidang tanah bagi seseorang atau bagi manusia, karena di situ ia hidup dan dibesarkan.1

Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, bahkan dapat dikatakan setiap saat manusia berhubungan dengan tanah.2 Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya, tetapi sudah meninggalpun tetap berhubungan dengan tanah. Oleh sebab itu tanah merupakan kebutuhan vital manusia.3 Seperti pepatah jawa yang berbunyi “sedumuk bathuk sanyari bumi, ditohi satumekaning pati” yang artinya meskipun hanya sejengkal

tanah tetap dipertahankan sampai mati.

Di samping itu, tanah juga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan dari kehormatan. Karena itulah tanah bukan saja dilihat dalam hubungan ekonomis sebagai salah satu faktor produksi, tetapi lebih dari itu, tanah

1

John Salindeho, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), halaman 34.

2

Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, (Yogyakarta: Liberty, 1997), halaman 19.

3

(14)

mempunyai hubungan emosional dengan masyarakat. Tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan bernilai dalam kehidupan masyarakat.4

Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, disitu disebutkan

bahwa tanah dinyatakan sebagai “Kekayaan Nasional”. Hal ini menunjukkan

adanya suatu hubungan hukum keperdataan antara Bangsa Indonesia dengan semua tanah yang ada di seluruh Wilayah Negara.5

Sebagai salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata, maka tanah adalah untuk diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Sehubungan dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukumnya dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.

Tanah yang merupakan hajat hidup rakyat banyak perlu ditata kembali penggunaannya, mengenai hak-hak atas tanah, maka si pemegang hak tidak hanya memiliki kewenangan atas tanah yang dihakinya, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang bersangkutan. Tidak hanya Hak Milik, tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, dalam Penjelasan Umum Pasal 6 UUPA fungsi sosial hak-hak atas tanah tersebut disebut

4

I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), halaman 9.

5

(15)

3

sebagai dasar keempat dari Hukum Tanah Nasional kita. Dinyatakan dalam Penjelasan Umum tersebut, yang berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan ataupun tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Demikian pula seorang pemilik tanah tidak dapat dibenarkan bilamana ia tidak mengerjakan tanahnya apalagi dalam masa serba kekurangan bahan makanan, fungsi sosial tanah penting sekali untuk dapat menghasilkan.6

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Meskipun demikian ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum atau masyarakat, Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Dinamika pembangunan mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedang pada sisi lain persediaan akan tanah akan sangat terbatas.7 Seiring dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya, tanah menjadi suatu kebutuhan yang sangat berharga bagi penduduk terutama di perkotaan, sehingga fungsi tanah mengalami pergeseran, yaitu tanah sebagai

6

A.P. Parlindungan, Landreform di Indonesia: Suatu Studi Perbandingan, (Bandung: Mandar Maju, 1991), halaman 61.

7

(16)

komoditas perdagangan. Tanah sebagai komoditas perdagangan dalam penjabarannya adalah tanah sebagai obyek investasi dan tanah sebagai obyek spekulasi. Artinya tanah dapat dijadikan sebagai obyek untuk mencari keuntungan.

Kecenderungan untuk memandang tanah lebih pada nilai ekonomisnya semata, yakni tanah sebagai barang dagangan, tentunya lebih mudah dikuasai oleh mereka yang memiliki kelebihan modal. Sehingga mengakibatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah karena perbedaan akses.8 Penguasaan terhadap tanah hanya memberikan kesempatan bagi sebagian kecil masyarakat yang memiliki kelebihan modal untuk melakukan investasi atau spekulasi yang tentu saja mengakibatkan harga tanah semakin tidak terjangkau.

Tanah memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, untuk itu diperlukan penanganan yang serius dan profesional. Dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, baik pertanian, pemukiman, maupun perindustrian maka kebutuhan akan tanah semakin meningkat pula. Dengan meningkatnya kebutuhan akan tanah semakin meningkat pulalah rnasalah-masalah yang ditimbulkan oleh tanah yang harus ditangani dengan segera.

Permasalahan yang timbul dengan adanya gejala bahwa disatu sisi penyediaan tanah relatif tetap, namun disisi lain permintaan akan tanah senantiasa bertambah karena peningkatan laju pertambahan penduduk adalah masih adanya bidang-bidang tanah yang terlantar keadaannya (abandoned land), jika tidak

8

(17)

5

mendapatkan penanganan serius dari semua pihak, hal ini nantinya akan menghambat jalannya pembangunan.

Persoalan fenomena tanah terlantar sebagaimana tampak dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiadaan kriteria yang jelas, baik mengenai subyek, obyek, dan jangka waktu yang secara signifikan menunjukkan suatu tanah disebut sebagai tanah terlantar membawa akibat semakin maraknya kasus pertanahan.

Indonesia sendiri dihadapkan pada suatu realitas bahwa banyak sekali orang yang tidak dapat memiliki atau menguasai tanah, sementara di sisi lain tidak sedikit orang yang menguasai banyak tanah karena dia memiliki izin penguasaan tanah seperti perkebunan, pertambangan, dan properti yang sebagian tanahnya adalah terlantar.

Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) ternyata luas tanah yang diindikasikan terlantar cukup banyak, pada tahun 2006 (per Juni) luasnya 1.218.554,7300 Ha dan pada 2007 (per Juni) seluas 1.578.915,0620 Ha. Jika diidentifikasikan lebih seksama dan sistematis tentu kenyataannya di lapangan bisa lebih luas lagi.

(18)

1998. Akan tetapi dalam prakteknya penerapan PP ini kurang kondusif, sehingga berdasarkan tuntutan dinamika pembangunan, Pemerintah kembali meninjau dan memperbaharui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Pertimbangan utama penerbitan regulasi ini adalah adanya penelantaran tanah yang menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan rakyat, serta menurunkan kualitas lingkungan. Dalam konteks ekonomi, penelantaran tanah ini mengakibatkan hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah. Namun sebenarnya ada tujuan yang lebih besar dan luas serta strategis dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 yaitu untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Di mana tanah terlantar telah ditetapkan sebagai salah satu objek Reforma Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ini masih terbilang baru, dan pelaksanaannya pun belum bisa dievaluasi sejauh mana keberhasilannya. Begitu pula implementasinya di Kota Semarang. Oleh karena itu, berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DI KOTA SEMARANG”.

(19)

7

bermanfaat bagi khalayak umum, mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tersebut merupakan bagian dari program pembangunan.

Peraturan hukum mengenai penanggulangan tanah terlantar tersebut harus dioperasionalkan atau difungsikan untuk mencapai tujuan hukumnya, yaitu agar orang, badan hukum maupun instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadi kerusakannya, sehingga tanah menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penelitian ini rumusan masalah yang akan diteliti antara lain :

1. Bagaimana implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang ?

2. Apa kendala dalam mengimplementasikan dan bagaimana upaya untuk lebih mengefektifkan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang ?

C. Tujuan Penelitian

(20)

1. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang.

2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang dan untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan guna lebih mengefektifkan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik bagi kepentingan akademis maupun bagi kepentingan praktisi, antara lain :

1. Manfaat secara teoritis, dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi ilmiah guna melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam tentang permasalahan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di wilayah Kota Semarang.

2. Manfaat secara praktis, dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam mengambil langkah-langkah kebijakan selanjutnya dalam pelaksanaan kebijakan Pemerintah terhadap penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di wilayah Kota Semarang.

E. Sistematika Penulisan

(21)

9

lainnya. Sistematika penulisan ini dimaksudkan agar dalam penulisan skripsi ini dapat terarah dan sistematis.

Gambaran yang lebih jelas dalam penulisan skripsi ini dapat dilihat dalam setiap bab, yang antara lain:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini terdiri dari 5 (lima) sub bab, yakni Latar Belakang yang menguraikan tentang hal-hal yang menjadi alasan penulis dalam mengambil judul skripsi. Rumusan Masalah yang berisi tentang permasalahan yang akan diketengahkan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan Penelitian yang berisi tentang tujuan yang diharapkan penulis dari dilakukannya penulisan skripsi ini. Manfaat Penelitian yang berisi tentang manfaat yang diharapakan oleh penulis dari penulisan skripsi ini. Dan yang terakhir Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

(22)

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan tentang Metode Penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan skripsi ini, meliputi Metode Pendekatan, Spesifikasi Penelitian, Teknik Penentuan Informan, Metode Pengumpulan Data, dan Metode Analisis Data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil penelitian lapangan dan pembahasan yang menghubungkan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan maupun penelitian pustaka. Data diolah, dianalisa, dan dikaitkan dengan kerangka teoritik yang dituangkan dalam Bab II, sehingga tampak jelas bagaimana data hasil penelitian itu dikaitkan dengan permasalahan yang telah dirumuskan.

BAB V : PENUTUP

(23)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Tanah 1. Pengertian Tanah

Sebutan tanah itu sendiri dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya tersebut perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan.9 Dalam pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas, yang

dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan (tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan) maupun untuk mendirikan bangunan (tanah bangunan).10

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), tanah adalah : 1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;

2) keadaan bumi di suatu tempat; 3) permukaan bumi yang diberi batas;

4) bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal, dan sebagainya)11

Dalam ruang lingkup hukum agraria (yuridis), tanah merupakan bagian dari bumi yang biasa disebut permukaan bumi, sebagaimana tercantum dalam

9

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2008), halaman 18.

10

Iman Sudiyat, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, (Yogyakarta: Liberty, 1982), halaman 1.

11

(24)

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa :

“Atas dasar hak menguasai dari negara ….. ditentukan adanya macam -macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badan-badan

hukum”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pengertian tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya, dan sebagian dari ruang yang ada diatasnya, dibatasi oleh Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yaitu :

“….. sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan Peraturan-Peraturan Hukum lain yang lebih tinggi”.

2. Tanah Negara

Boedi Harsono menjelaskan pengertian Tanah Negara adalah tanah-tanah yang belum dihaki dengan hak-hak perorangan atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebut tanah yang langsung dikuasai oleh Negara, untuk menyingkat pemakaian kata-kata dalam praktek digunakan sebutan Tanah Negara.

(25)

13

Perangin menjelaskan pengertian Tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara, dikuasai artinya tidak ada pihak lain diatas tanah itu.12

Dari pengertian-pengertian Tanah Negara yang diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang di atasnya belum dilekati dengan suatu hak atas tanah apapun.

Ruang lingkup Tanah Negara meliputi :13

1) Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya;

2) Tanah-tanah yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi; 3) Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris; 4) Tanah-tanah yang ditelantarkan;

5) Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum sesuai dengan tata cara pencabutan hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya dan Pengadaan Tanah yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Adapun macam-macam Tanah Negara, yaitu : 1) Tanah Negara Murni;

2) Tanah Negara dari ketentuan Undang-Undang menjadi Tanah Negara, yaitu tanah bekas partikelir;

(26)

3) Tanah Negara dari Konversi Hak Barat yang jangka waktunya berakhir, sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1979 dan Permendagri Nomor 3 Tahun 1979;

4) Tanah Negara dari Tanah Hak akibat dari perbuatan hukum Pelepasan Hak, Peningkatan/Penurunan Hak, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum;

5) Tanah Negara yang terjadi karena peristiwa alam, misal tanah timbul; 6) Tanah Negara yang berasal dari Tanah Hak dimana pemegangnya tidak

memenuhi salah satu syarat yang ditentukan peraturan yang berlaku sehingga haknya hapus menjadi Tanah Negara.

3. Tanah Hak

Dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan bermacam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum yang bersifat tetap yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam Pasal 53.

(27)

15

B. Tinjauan Mengenai Hak Penguasaan Atas Tanah

1. Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah dan Kewajiban Pemegang Hak Penguasaan Atas Tanah

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. ”Sesuatu” yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat

itulah yang merupakan tolok pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah negara yang bersangkutan.14

Secara yuridis ”berbuat sesuatu” yang dimaksud tersebut dapat berisi

kewenangan publik dan privat. Tegasnya, pengertian penguasaan yang dimaksud dalam Hak Penguasaan atas Tanah berisi kewenangan hak untuk menggunakan dan/atau menjadikan tanah sebagai jaminan yang merupakan kewenangan perdata. Oleh karena itu Hak Penguasaan atas Tanah lebih luas daripada Hak atas Tanah.

Jadi hak penguasaan atas tanah adalah hak yang diberikan kepada pemegang hak berupa wewenang untuk mempergunakan tanah yang dikuasainya. Wewenang tersebut berisi kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang harus diperhatikan oleh pemegang haknya.

Selain kewenangan-kewenangan, hak-hak atas tanah juga berisikan kewajiban-kewajiban. Pada umumnya dapat disimpulkan, bahwa selain memberikan kewenangan untuk mempergunakan tanah yang dihaki, seperti halnya dalam Hukum Adat, hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional

14

(28)

juga meletakkan kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang bersangkutan. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah, yang diatur dalam Pasal

6, 10, dan 15.

Kewajiban pemegang hak penguasaan atas tanah tersebut yaitu: 1) Fungsi sosial hak atas tanah

Pasal 6 memuat suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah, yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional. Pasal tersebut berbunyi : “semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial”.

2) Kewajiban memelihara tanah

Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, ditentukan dalam Pasal 15 bahwa :

“memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan-hukum dengan

tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah”.

Karena memang sudah seharusnya tanah dipelihara dengan baik agar bertambah subur dan dicegah kerusakannya.

3) Kewajiban untuk mengerjakan/mengusahakan sendiri tanah pertanian Dalam Pasal 10 dinyatakan :

”Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai suatu hak atas

tanah pertanian pada asasnya diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara

(29)

17

Kewajiban itu tidak terbatas pada para pemilik tanah saja. Kata-kata

“mempunyai sesuatu hak” menunjuk juga kepada hak-hak lainnya, yaitu

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara.15

2. Tata Jenjang/Hierarki Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah

Dalam Hukum Tanah Nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasionnal kita, yaitu :

1) Hak Bangsa Indonesia

Hak Bangsa Indonesia ini merupakan Hak Penguasaan Atas Tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada di wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi, dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. Pengaturannya diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraia.

2) Hak Menguasai dari Negara

Hak menguasai dari negara tertuju pada negara sebagai subyek hukum (memiliki hak dan kewajiban). Dengan demikian, hak penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah bersifat publik, karena terkandung sejumlah kewajiban dan tanggung jawab yang bersifat publik. Hak tersebut dalam konstitusi (UUD 1945) dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.16 Hakikat hak menguasai negara harus dilihat pada kekuasaan negara

15

Ibid, halaman 295-308.

16

(30)

secara umum, yaitu membangun, mengusahakan, memelihara, dan mengatur hidup bersama, sehingga kalau dikhususkan pada hak menguasai tanah oleh negara, berarti membangun, mengusahakan, memelihara, dan mengatur segala sesuatu mengenai tanah.17

3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut ketentuannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persamaan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan lain yang lebih tinggi”.

Hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum adat (masyarakat hukum adat) untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yag masih merupakan hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan masyarakat hukum adat itu sendiri dan anggota-anggotanya, atau guna kepentingan orang-orang luaran (pendatang atau orang asing) akan tetapi dengan ijinnya dan senantiasa dengan pembayaran pengakuan (rekognisi) dalam pada itu masyarakat hukum adat tetap campur tangan, secara keras atau tidak, juga atas tanah-tanah yang telah diusahakan orang yang terletak di dalam lingkungan wilayahnya.18

17

Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik dalam Darwin Ginting, Ibid.

18

(31)

19

4) Hak-hak perorangan/individual : 19 a) Hak-hak atas tanah :

- primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara;

- sekunder : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa, dan lain-lainnya.

b) Wakaf;

c) Hak Jaminan atas Tanah : Hak Tanggungan;

Hak milik atas satuan rumah susun bukan hak penguasaan atas tanah, melainkan hak atas satuan rumah susun tertentu.

3. Hak Penguasaan Atas Tanah Sebagai Lembaga Hukum dan Hubungan Hukum Konkret

Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, ada yang sebagai lembaga hukum dan ada pula yang sebagai hubungan hukum konkret.

Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai

pemegang haknya. Sedangkan hak penguasaan atas tanah merupakan

19

(32)

hubungan hukum konkret (biasanya disebut “hak”), jika telah dihubungkan

dengan tanah tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.20

4. Sistematika Pengaturan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah21

Dengan pendekatan pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai

“lembaga hukum” dan ”hubungan hukum konkret”, ketentuan-ketentuan

hukum yang mengaturnya dapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal.

Dikatakan “khas”, karena hanya dijumpai dalam Hukum Tanah dan tidak

dijumpai dalam cabang-cabang Hukum yang lain. Dikatakan “masuk akal” karena mudah ditangkap dan diikuti logikanya.

1) Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum :

a) memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;

b) menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;

c) mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;

d) mengatur hal-hal mengenai tanahnya.

2) Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkret :

20

Ibid, halaman 25.

21

(33)

21

a) mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1a di atas;

b) mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain; c) mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain; d) mengatur hal-hal mengenai hapusnya;

e) mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.

Dengan menggunakan sistematika di atas, ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja dapat diadakan, disusun, dan dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan mudah diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk dalam Hukum Tanah dan apa yang bukan.

C. Tinjauan Mengenai Hak-Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang untuk memakai tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum. Pada dasarnya, tujuan memakai tanah adalah untuk memenuhi dua jenis kebutuhan, yaitu untuk diusahakan dan tempat membangun sesuatu.22

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2), 16 ayat (1), dan 53 Undang-Undang Pokok Agraria, disebutkan beberapa hak atas tanah, yaitu :

1) Hak Milik (HM);

2) Hak Guna Usaha (HGU); 3) Hak Guna Bangunan (HGB);

22

(34)

4) Hak Pakai; 5) Hak Sewa;

6) Hak Membuka Tanah; 7) Hak Memungut Hasil Hutan;

8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

Dari beberapa hak atas tanah tersebut di atas, yang merupakan hak atas tanah yang primer ada 4 macam, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.

Dimana hak atas tanah yang primer adalah hak-hak atas tanah yang diberikan oleh negara dan bersumber langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah.

D. Tinjauan Mengenai Tanah Terlantar 1. Pengertian Tanah Terlantar

Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka hal tersebut dapat mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Dalam hal yang demikian tanah tersebut termasuk golongan yang “diterlantarkan”.

(35)

23

tanahnya ditelantarkan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 27 huruf a butir (3), Pasal 34 huruf e, dan Pasal 40 huruf e UUPA. Secara tersirat pengertian tanah terlantar terdapat dalam Penjelasan Pasal 27 UUPA, yaitu : “Tanah

diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan

keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya”.

Pengertian tanah terlantar dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pengertian Tanah terlantar tersebut dirumuskan pada Pasal 1 butir (5) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 sebagai berikut:

“Tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak

atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.”

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 hanya mengatur mengenai obyek penertiban tanah terlantar saja. Tidak dijelaskan mengenai pengertian tanah terlantar. Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2, yakni :

“Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan

hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian

hak atau dasar penguasaannya.”

2. Pengaturan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

(36)

1) Identifikasi adanya tanah terlantar (Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998);

2) Pembentukan panitia penilaian (Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998);

3) Melaporkan hasil identifikasi ke kantor wilayah (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998);

4) Penilaian oleh kantor wilayah (Pasal 12 dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998);

5) Penetapan oleh Menteri (Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998).

(37)

25

Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Jo. Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 pada prinsipnya mengatur tata cara mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, melalui serangkaian tindakan seperti : Identifikasi, Penetapan dan Pendayagunaan tanah terlantar, sebagaimana dibawah ini :

1) Obyek Penertiban Tanah Terlantar

Objek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Pengertian yang dimaksud dengan "tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian

haknya" dalam peraturan ini adalah : (a). Bagi Pemegang hak Perorangan

tidak memiliki kemampuan ekonomi. (b). Bagi Instansi Pemerintah karena keterbatasan anggaran Negara/Daerah, untuk menggunakan tanah dimaksud sebagaimana mestinya.

2) Identifikasi dan Penelitian

(38)

Pakai atau sejak berakhirnya Izin / Keputusan / Surat Dasar Penguasaan, atas tanah dari Pejabat yang berwenang. Hasil penelitian Panitia disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi.

3) Peringatan

Apabila hasil penelitian Panitia menyimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah BPN secara tertulis memberikan Peringatan Pertama (ke I) kepada pemegang hak, agar dalam tempo 1 bulan segera menggunakan tanahnya sebagaimana mestinya. Jika Peringatan Pertama tidak juga dilaksanakan, segera diikuti Peringatan ke II dan ke III (semua surat peringatan dilaporkan ke Kepala BPN RI dan Pemegang Hak Tanggungan / Kreditur, jika tanah dimaksud sedang terikat Hak Tanggungan). Dan apabila Peringatan ke III tidak juga direspon oleh pemegang hak, maka Kepala Kantor Wilayah BPN segera mengusulkan ke Kepala BPN RI untuk menetapkan tanah dimaksud sebagai Tanah Terlantar. Selama proses pengusulan sebagai tanah terlantar, status atas tanah dimaksud dinyatakan dalam keadaan status quo (tidak dapat dilakukan perbuatan hukum apapun).

4) Penetapan Tanah Terlantar

(39)

27

langsung oleh Negara. Tanah yang sudah dinyatakan sebagai Tanah Terlantar, dalam jangka waktu 1 bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak dari benda-benda yang ada diatasnya dengan biaya sendiri, dan apabila bekas pemegang hak tidak memenuhi kewajiban tersebut, maka benda-benda yang ada diatas tanah dimaksud tidak lagi menjadi miliknya, melainkan dikuasai langsung oleh Negara.

5) Pendayagunaan

Atas obyek tanah dimaksud, maka selanjutnya untuk : peruntukkan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan, akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui Reforma Agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan

negara lainnya.

E. Tinjauan Mengenai Penegakan Hukum

Hukum sebagai salah satu sarana implementasi kebijakan dapat bekerja efektif apabila pelaksanaannya didukung oleh sejumlah faktor yang memadai, yaitu: faktor hukum atau peraturannya, pelaksana atau petugas, fasilitas atau sarana dan prasarana, kesadaran masyarakat dan budaya hukum masyarakat.23

Faktor kaidah hukum atau peraturan dapat mempengaruhi efektifitas bekerjanya hukum di masyarakat. Kaidah hukum yang tidak sesuai dengan kaidah yang tercantum dalam hukum di atasnya dan bertentangan dengan

23

(40)

kebiasaan yang hidup di masyarakat akan menghambat efektifitas bekerjanya hukum.

Faktor mentalitas petugas yang menerapkan dan menegakkan hukum harus baik supaya tidak memfungsikan hukum sesuai dengan kemauannya. Faktor fasilitas yang menunjang proses pelaksanaan ikut menentukan efektifitas bekerjanya hukum di masyarakat. Faktor lain yang mendasar adalah faktor kesadaran hukum masyarakat.

Bekerjanya hukum dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dalam ilmu hukum dogmatis, bekerjanya hukum itu terus berkaitan dengan masalah penerapan atau implementasi hukum, penafsiran hukum, pembentukan konstruksi hukum dan lain sebagainya. Selanjutnya dari segi lain bekerjanya hukum dilihat sebagai pranata yang hidup dalam masyarakat. Ada yang disebut Law in The Book dan ada juga yang disebut Law in Action. Bekerjanya hukum dalam penelitian ini adalah bagaimana hukum dalam kenyataan di masyarakat atau law in action atau bagaimana hukum itu diterapkan dalam masyarakat.

Penerapan hukum pada hakikatnya adalah konkretisasi kaidah-kaidah hukum ke dalam tingkah laku manusia secara nyata di masyarakat. Apabila dalam penerapan tersebut terjadi kesesuaian antara kaidah dengan perilaku nyata dalam masyarakat, maka hukum tersebut dapat dikatakan telah bekerja efektif atau hukum berfungsi dengan baik. Hukum dapat bekerja atau berfungsi dengan baik harus memenuhi tiga persyaratan pokok, yaitu syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis.24 Syarat yuridis artinya isi hukum tidak bertentangan dengan hukum lain

24

(41)

29

dan dibuat melalui prosedur formal. Secara sosiologis, hukum tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah, kebiasaan-kebiasaan, atau tradisi yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan secara filosofis hukum sesuai dengan cita-cita hukum yang terkandung dalam falsafah negara.

Berfungsinya hukum secara yuridis, sosiologis, dan filosofis sangat bergantung pada tingkat kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum merupakan modal penting untuk mematuhi hukum. Derajat kepatuhan terhadap hukum sangat menunjang efektifitas bekerjanya hukum di masyarakat.

Efektifitas bekerjanya hukum juga dapat ditelaah dengan pemikirannya Laurence M. Friedman yang menyatakan, bahwa efektifitas bekerjanya hukum dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu struktur, substansi, dan kultur.25 Faktor struktur adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan aparatur hukum, lembaga-lembaga hukum, birokrat dan instansi lain yang terkait. Faktor struktur sering diidentikkan dengan kekuasaan pemerintah. Faktor substansi adalah faktor yang berkaitan dengan isi atau kaidah yang terkandung dalam hukum. Isi atau kaidah hukum yang jauh dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat akan mengurangi efektifitas bekerjanya hukum. Sedangkan faktor kultur adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat. Sebagai contoh, budaya kurang menghargai hukum, budaya suka main hakim sendiri, menempuh jalan pintas dalam proses hukum, dan lain sebagainya. Budaya-budaya tersebut akan menghambat bekerjanya hukum dalam masyarakat. Ketiga faktor tersebut dapat berdiri sendiri atau dapat pula menjadi serangkaian yang saling berkaitan.

25

(42)

Kualitas peraturan perundang-undangan ditentukan oleh segi substansi dan proses pembentukannya. Dari segi subtansi, ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 perlu dilandasi oleh prinsip-prinsip pemanfaatan dan pengelolaan tanah secara optimal. Dari segi proses, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 perlu dilandasi semangat demokrasi dengan melibatkan masyarakat. Masukan dari masyarakat dalam berbagai bentuk perlu diterima dengan tangan terbuka dan dijadikan bahan pertimbangan untuk melengkapi substansi yang diatur. Konsultasi interaktif dengan masyarakat merupakan perwujudan peran serta masyarakat secara aktif dan transparansi dalam pembentukan kebijakan publik.26

26

(43)

31

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk mengetahui sesuatu yang masih asing dan sama sekali baru, seorang peneliti dapat diumpamakan sebagai orang baru yang baru saja tiba di lingkungan baru tersebut. Semuanya tampak asing, mau pergi ke mana tidak tahu letaknya padahal mungkin jaraknya dekat dan banyak kendaraan seperti taksi, bus, dan becak. Dia memerlukan bantuan agar dapat memecahkan masalah keterasingannya tersebut. Keterasingan para peneliti juga seperti keterasingan orang yang tinggal di tempat baru. Mereka memerlukan alat untuk dapat memecahkan problem keterasingan tersebut, alat tersebut yakni metodologi penelitian.27

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.28

Metode penelitian merupakan suatu hal yang mutlak dalam suatu proses penelitian, oleh karena penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai ilmu untuk mengungkapkan dan menerangkan

27

Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), halaman 1.

28

(44)

gejala-gejala alam atau gejala-gejala sosial dalam kehidupan manusia, dengan mempergunakan prosedur kerja yang sistematis, teratur dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Begitu pula di dalam penyusunan penulisan skripsi yang berjudul “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban

dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Kota Semarang” ini. Diperlukan data yang akurat baik data primer maupun data sekunder, guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan pada Bab Pendahuluan.

Guna mendapatkan data yang diperlukan sehingga memberikan gambaran secara jelas mengenai permasalahan-permasalahan seperti penulis maksudkan, maka diperlukan suatu langkah-langkah atau metode dalam penelitian.

Dari uraian di atas metode merupakan unsur mutlak guna melakukan penelitian. Sehingga dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode penelitian, yaitu:

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio-legal research. Dalam hal ini terdapat dua aspek penelitian, yakni aspek socio-legal

research dan aspek socio research. Aspek legal research, objek yang diteliti adalah seperangkat peraturan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, sebagai hukumnya. Sedangkan aspek socio research, objek yang diteliti adalah bekerjanya hukum atau seperangkat peraturan dalam masyarakat.

Pendekatan socio legal bermaksud melakukan penjelasan atas permasalahan

(45)

33

menjelajahi realitas yang ada dalam masyarakat. Hukum tidak hanya dilihat

sebagai suatu norma, melainkan juga dilihat sebagai bagian riil dari sistem sosial

yang berkaitan dengan variabel sosial yang lain.

Dengan demikian metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan socio legal mengingat permasalahan yang diteliti dan dikaji adalah Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Kota Semarang.

Metode pendekatan socio legal dalam penyusunan penulisan ini digunakan untuk mengetahui sampai sejauh mana peraturan hukum yang mengatur tentang tanah terlantar tersebut efektif dilaksanakan oleh aparat pelaksana kepada masyarakat, bagaimana kendala-kendala dalam pelaksanaannya, serta bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat pelaksana untuk lebih mengefektifkannya.

B. Spesifikasi Penelitian

Sebagaimana dikemukakan dalam uraian tentang permasalahan, penelitian ini merupakan penelitian terhadap aspek-aspek hukum sebagai salah satu bentuk penelitian hukum. Penelitian terhadap aspek-aspek hukum ini dilakukan untuk menemukan kenyataan mengenai pelaksanaan dan penerapan aturan-aturan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.

(46)

tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Kota Semarang. Sedangkan deskriptif analisis, artinya dalam penelitian ini analisis datanya tidak keluar dari lingkup sampel, bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan data lainnya.29

C. Teknik Penentuan Informan

Untuk memperoleh kedalaman materi yang disajikan serta validitas data yang diperoleh, maka pemilihan informan menjadi sesuatu yang sangat penting mengingat dari mereka lah awal mula data diperoleh dan dikembangkan dalam proses selanjutnya. Dalam penulisan ini, informan adalah orang-orang yang pengetahuannya luas dan mendalam mengenai masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Informan dipilih berdasarkan kriteria tertentu dengan menggunakan metode purposive, yaitu suatu penentuan informan berdasarkan tujuan atau pertimbangan tertentu. Adapun informan dalam penelitian ini adalah Pejabat Kantor Pertanahan Kota Semarang, yakni Bapak Suti Siswono selaku Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan serta Ibu I Gusti A Rai Sukaryati selaku Kepala Sub Seksi Pemberdayaan Masyarakat.

29

(47)

35

D. Metode Pengumpulan Data

Oleh karena metode pendekatan yang digunakan adalah socio legal, maka penulis akan menggunakan data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research). Penelitian lapangan yang dilakukan merupakan upaya memperoleh data primer berupa :

a. Observasi (pengamatan)

Yaitu pengamatan yang dilakukan terhadap obyek penelitian, yakni kenyataan fisik dari tanah-tanah terlantar yang ada di lapangan.

b. Interview (Wawancara)

Wawancara langsung terhadap subyek penelitian untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Wawancara tersebut baik terstruktur maupun tidak, wawancara terstruktur dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disediakan peneliti terlebih dahulu, sedangkan wawancara tidak terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan tanpa berpedoman pada daftar pertanyaan.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research) atau studi dokumentasi. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk

(48)

perundang-undangan, literatur dan karya tulis ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari :

a. Data sekunder umum, data sekunder yang bersifat publik : 1) data arsip;

2) data resmi yang terdapat di Kantor Pertanahan Kota Semarang. b. Data sekunder bidang hukum, meliputi :

1) Bahan hukum primer

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat (Peraturan Perundang-Undangan), terdiri dari :

a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

b) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar;

c) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar;

2) Bahan hukum sekunder

Yaitu bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, terdiri dari :

(49)

37

E. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif yakni analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan secara sistematis sehingga diperoleh gambaran mengenai masalah atau keadaan yang diteliti.30

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, selanjutnya akan dilakukan proses editing (pengeditan data). Setelah pengeditan data selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah pengolahan data. Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya akan dilakukan analisis data secara analisis kualitatif.

30

(50)

38

A. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Kota Semarang 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Sejarah Kota Semarang31

Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Poo Kong (Gedung Batu).

Pada akhir abad ke-15 M ada seseorang ditempatkan oleh Kerajaan Demak, dikenal sebagai Pangeran Made Pandan (Sunan Pandanaran I),

(51)

39

untuk menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang.

Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II (kelak disebut sebagai Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran II atau Sunan Pandanaran Bayat atau Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran). Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Rabiul Awal tahun 954 H disahkan oleh Sultan Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Tanggal 2 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Semarang.

(52)

dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Wali kota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan Jepang.

Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang dikepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15 - 20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan balatentara Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik. Perjuangan ini dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari.

(53)

berpindah-41

pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R.Prawotosudibyo dan Mr Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti pada masa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. Tanggal 1 April 1950 Mayor Suhardi, Komandan KMKB, menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono, seorang pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri di Yogyakarta. Ia menyusun kembali aparat pemerintahan guna memperlancar jalannya pemerintahan.

b. Keadaan Geografis Kota Semarang32

Kota Semarang merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah yang terletak di bagian utara Jawa Tengah. Kota yang luas wilayahnya 373,70 km2 ini terletak pada garis 6050‟ – 7010‟ Lintang Selatan dan garis 109035‟ –

110050‟ Bujur Timur. Kota Semarang memiliki posisi geostrategis karena

berada pada jalur lalu lintas ekonomi pulau Jawa, dan merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan koridor

(54)

Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/Grobogan, dan koridor Barat menuju Kabupaten Kendal.

Secara administratif Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. Dari 16 Kecamatan yang ada, kecamatan yang mempunyai wilayah terluas adalah Kecamatan Mijen dengan luas wilayah 57,55 km2, terletak di bagian selatan yang merupakan wilayah perbukitan yang sebagian besar wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan perkebunan. Sedangkan kecamatan yang mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan Semarang Selatan dengan luas wilayah 5,93 km2.

(55)

43

Sedangkan batas wilayah administratif Kota Semarang sebelah barat adalah Kabupaten Kendal, sebelah timur dengan Kabupaten Demak, sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang dan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai mencapai 13,6 kilometer.

Secara topografis Kota Semarang terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai, dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan dan tonjolan. Daerah pantai hampir 65,22 % wilayahnya adalah dataran dengan kemiringan 25 %, dan 37,78 % sisanya merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan 15 % - 40 %. Wilayah Kota Semarang sendiri berada pada ketinggian antara 0 sampai dengan 348,00 meter dpl (di atas permukaan air laut). Secara topografi terdiri atas daerah pantai, dataran rendah dan perbukitan, sehingga memiliki wilayah yang disebut sebagai kota bawah dan kota atas. Kota Semarang sangat dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang membentuk suatu kota yang mempunyai ciri khas yaitu terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai. Dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan tanah berkisar antara 0 % - 40 % (curam) dan ketinggian antara 0,75 – 348,00 meter dpl.

(56)

lebih 30 % lainnya memiliki jenis tanah latosol coklat tua. Jenis tanah lain yang ada di wilayah Kota Semarang memiliki geologi jenis tanah asosiasi kelabu dan aluvial coklat kelabu dengan luas keseluruhan kurang lebih 22 % dari seluruh luas Kota Semarang. Sisanya alluvial hidromorf dan grumosol kelabu tua.

Untuk penggunaan tanah di Kota Semarang, digunakan untuk Perumahan, Tegalan, Kebun campuran, Sawah, Tambak, Hutan, Perusahaan, Jasa, Industri dan Penggunaan lainnya. dengan rincian sebarannya sebagai berikut : Perumahan sebesar 33,70 %, Tegalan sebesar 15,77 %, Kebun campuran sebesar 13,47 %, Sawah sebesar 12,96 %, Penggunaan lainnya yang meliputi jalan, sungai dan tanah kosong sebesar 8,25 %, Tambak sebesar 6,96 %, Hutan sebesar 3,69 %, Perusahaan 2,42 %, Jasa sebesar 1,52 % dan Industri sebesar 1,26 %.

2. Pelaksanaan Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 di Kota Semarang

(57)

45

diterbitkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Jo. Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 mengatur tata cara mengenai penertiban tanah terlantar melalui serangkaian tahapan sebagai berikut :

1) Tahap Inventarisasi

Inventarisasi tanah yang terindikasi terlantar dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN yang informasinya diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh Kantor Wilayah BPN, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas/instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat, atau pemegang hak. Data ini digunakan sebagai dasar pelaksanaan identifikasi dan penelitian. Untuk mendukung kegiatan inventarisasi ini, pemegang hak berkewajiban melaporkan penggunaan dan pemanfaatn tanah sesuai dengan keputusan pemberian hak atas tanah atau dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.

Inventarisasi tanah yang terindikasi terlantar dilaksanakan melalui : a) pengumpulan data mengenai tanah yang terindikasi terlantar meliputi

data tekstual dan data spasial;

b) pengelompokkan data tanah yang terindikasi terlantar, dilakukan menurut wilayah kabupaten/kota dan jenis hak/dasar penguasaan; c) pengadministrasian data hasil inventarisasi tanah yang terindikasi

(58)

2) Tahap Identifikasi dan Penelitian

Tanah terindikasi terlantar yang telah diinventarisasi ditindaklanjuti dengan identifikasi dan penelitian. Kegiatan identifikasi dan penelitian meliputi :

a) nama dan alamat pemegang hak;

b) letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah, dan keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak;

c) keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar.

Identifikasi dan penelitian dilaksanakan oleh Panitia C yang terdiri dari unsur Kantor Wilayah BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukkan tanah yang bersangkutan. Panitia C ini dibentuk dan diketuai langsung oleh Kepala Kantor Wilayah. Kegiatan yang dilakukan Panitia C dalam tahap identifikasi dan penelitian meliputi :

a) melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;

b) mengecek Buku Tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;

c) meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait; d) melaksanakan pemeriksaan fisik dengan menggunakan teknologi

(59)

47

e) melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;

f) membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar; g) menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;

h) melaksanakan sidang panitia untuk membahas dan memberikan saran pertimbangan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN dalam rangka tindakan penertiban tanah terlantar; dan

i) membuat dan menandatangani Berita Acara. 3) Tahap Peringatan

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah BPN memberitahukan sekaligus memberikan peringatan pertama kepada pemegang hak secara tertulis agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, pemegang hak mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan/sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya.

Gambar

Tabel 1. Daftar Kecamatan di Kota Semarang
Tabel 2. Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar di Kota Semarang

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa cara dalam menarik minat siswa SD dalam belajar yaitu dengan menerapkan metode Adaptive Learning, yang mana dengan

Sensor Suhu DS18B20 Handcuff Sensor Tekanan MPX5050DP Arduino Uno R3 Pin Digital (8) Arduino Pin Analog (0) Arduino Fuzzy Tingkat Stres Tampil LCD Perhitungan Tekanan Darah Dan

Filsafat pendidikan yang mantap hanya mungkin dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang hakikat manusia, potensi bawaannya,

Uji radionuklida gipsum dengan metode LIBS menggunakan objek gipsum berukuran 1 cm × 3 cm dan proteksi radiasi dengan metode jarak menggunakan Surveymeter dengan objek papan

Skripsi berjudul Pengaruh Harga, Kualitas Produk, dan Citra Merek Terhadap Keputusan Pembelian Handphone Berbasis Android, (Studi Kasus pada Mahasiswa UMK Fakultas Ekonomi

a. Nama produk, logo kementerian dan tulisan “KEMENKES RI” serta tulisan “TABURIA”. Urutan pencantuman dimulai dengan logo Kemenkes dikuti tulisan KEMENKES RI di

Dari masing-masing kelompok diukur kadar kortisol sebelum dan 6 jam pasca operasi , setelah 7 hari pasca operasi dilakukan pengambilan sampel dari cairan

Menggunakan operasi dan manipulasi aljabar dalam pemecahan masalah yang beraitan dengan: bentuk pangkat, akar, logaritma, persamaan dan fungsi komposisi