• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan parameter penelitian, fondasi suatu konstruk teoritik, acuan kerangka pikir, dan penyusunan hipotesis penelitian. Komitmen Organisasi dalam konteks teoritik dan konteks hubungannya dengan motivasi kerja, kepuasan kerja, dan usia dipaparkan dalam bab ini. 2.1 Komitmen Organisasi

Beberapa hal penting dalam proses pemahaman Komitmen Organisasi adalah definisi, teori, komponen, dan faktor-faktor yang memengaruhinya. 2.1.1 Definisi Komitmen Organisasi

Blau & Boal (Robbins & Judge, 2009 h. 100) mendefinisikan Komitmen Organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi yang tinggi dapat diartikan memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Komitmen dalam konteks sikap individu ialah keinginan yang kuat untuk kekal dalam organisasi. Selanjutnya Meyer & Allen (1990) menyatakan Komitmen Organisasi merupakan kelekatan emosi, identifikasi, dan keterlibatan karyawan dalam perusahaan, serta keinginan untuk tetap menjadi anggota perusahaan (Suseno & Sugiyanto, 2010 h. 96). Komitmen terhadap organisasi terdapat dalam tiga komponen yang berbeda, yaitu komitmen sebagai kelekatan afeksi kepada organisasi, komitmen dipandang sebagai biaya yang timbul jika meninggalkan organisasi, dan komitmen sebagai kewajiban untuk tetap berada dalam organisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa komitmen organisasi mengandung elemen keinginan, kebutuhan, dan kewajiban.

Mowday, Porter, & Steers (Luthans, 2006 h. 249) mendefinisikan Komitmen Organisasi sebagai suatu keinginan yang kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai

(2)

12

keinginan organisasi, dan keyakinan tertentu serta penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Sementara Spector (2000) menyatakan bahwa Komitmen Organisasi adalah sejauh mana individu mengidentifikasikan diri dan terlibat di dalamnya serta tidak ingin meninggalkan organisasinya. Berdasarkan definisi tersebut, maka penulis merujuk definisi komitmen organisasi yang disampaikan Meyer, Allen & Smith bahwa komitmen organisasi merupakan kelekatan emosi, identifikasi, dan keterlibatan karyawan dalam perusahaan atau organisasi.

Guru non pegawai negeri sipil dalam lingkup organisasi yayasan juga seharusnya menerapkan komitmen organisasi dimana mereka bekerja. Guru-guru yang berada di bawah suatu organisasi tidak hanya bertugas untuk mengajar saja, tetapi juga dituntut untuk mempunyai kelekatan, identifikasi, dan keterlibatan demi maju dan berkembangnya organisasi yang diikutinya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa komitmen organisasi merupakan perasaan seseorang sebagai bagian dalam suatu organisasi dan keterlibatan untuk mengembangkan organisasi di mana individu tersebut bekerja.

2.1.2 Teori Komitmen Organisasi

Mowday et al (1982) menyatakan bahwa anggota dalam suatu organisasi yang memiliki komitmen tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan berusaha untuk mencapai tujuan organisasi. Prinsip dari komitmen organisasi ini adalah menerima nilai-nilai organisasi dimana anggota menaruh kepercayaan terhadap nilai-nilai yang ditetapkan dalam organisasi, mendukung kegiatan yang mendorong kemajuan dan kepentingan organisasi dengan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dengan berusaha bekerja sebaik mungkin demi kepentingan organisasi, dan keinginan menjadi anggota organisasi yang memiliki keterikatan dengan pekerjaannya dan tetap menjadi bagian dalam organisasinya. O’Reilly & Chatman (1986, dalam Unuvar, 2006) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan keterikatan secara psikologis karyawan

(3)

13 dengan organisasi, dan lebih lanjut dijelaskan bahwa komitmen organisasi memiliki dimensi kepatuhan, identifikasi, dan internalisasi.

Allen & Meyer (1990) mengemukakan tiga komponen organisasi, yaitu komitmen afektif (affective commitment), komitmen berkelanjutan (continuance commitment), dan komitmen normatif (normative commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah dilihatnya komitmen sebagai kondisi psikologis yang menggambarkan hubungan individu dengan organisasi dan mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi. Komitmen afektif berkaitan dengan aspek emosional, identifikasi, dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Hal ini merupakan proses sikap dimana seseorang berpikir tentang hubungannya dengan organisasi dengan mempertimbangkan kesesuaian antara nilai dan tujuannya dengan nilai dan tujuan organisasi. Komitmen kontinuitas merupakan persepsi karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan perusahaan. Komitmen normatif merupakan perasaan-perasaan seperti tanggungjawab, loyalitas, atau kewajiban moral terhadap organisasi. Komitmen Organisasi mempunyai komponen-komponen yang digunakan sebagai indikator yang dapat menunjukkan komitmen organisasi seorang karyawan terhadap organisasi yang merekrut mereka. Robbins & Judge (2009 h. 101) mengutip pendapat Meyer, Allen, & Smith yang mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen komitmen organisasi yaitu:

a) Komitmen afektif, merupakan perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya.

b) Komitmen berkelanjutan, yaitu nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut.

c) Komitmen normatif, yaitu kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis.

(4)

14

Berdasarkan uraian di atas, penulis menggunakan tiga komponen komitmen organisasi yaitu komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif yang dikemukakan oleh Allen & Meyer (1990) untuk mengukur Komitmen Organisasi.

Dalam kaitannya dengan organisasi pendidikan, guru yang memiliki komitmen afektif tinggi mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi dan akan menunjukkan keterlibatan dirinya dalam organisasi, sehingga ia akan bergabung dan tetap menjadi menjadi anggota organisasi karena keinginannya sendiri; guru yang memiliki komitmen berkelanjutan lebih menekankan persepsi tentang kerugian yang akan dihadapi jika meninggalkan organisasi karena ia membutuhkan pekerjaan; sedangkan guru yang memiliki komitmen normatif cenderung lebih menekankan keputusan untuk setia pada organisasi dan dalam melaksanan kewajiban tanggung jawabnya sebagai pendidik dan pengajar.

2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Komitmen Organisasi Januarti (2006, dalam Yudhaningsih) menyatakan bahwa komitmen organisasi akan terbangun bila tiap individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan atau profesi meliputi identifikasi yaitu pemahaman atau penghayatan dari tujuan organisasi, involment yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan bahwa pekerjaannya adalah menyenangkan, dan loyality yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempat bekerja dan tempat tinggal. Menurut David yang dikutip Yudhaningsih (n.d.) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:

a) Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian.

b) Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan, konflik, peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan.

c) Karakteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk organisasi (sentralisasi/desentralisasi), kehadiran serikat pekerja.

(5)

15 d) Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan dalam organisasi.

Sementara itu, William (2012), Alhaji & Fauziah (2011), dan George & Sabapathy (2011) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi komitmen organisasi adalah motivasi kerja. Faktor kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan dukungan organisasi juga merupakan faktor yang memengaruhi komitmen organisasi, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Salim et al (n.d.). Senada dengan Salim et al (n.d.) penelitian yang dilakukan oleh Susanj & Jakopec (2012), Bull (2005), serta Chavez (2012) menyatakan bahwa faktor kepuasan kerja memengaruhi komitmen organisasi.

Senada dengan penelitian-penelitian sebelumnya, faktor komitmen organisasi juga dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, motivasi berprestasi, kepuasan kerja, dan faktor demografi, hal ini berdasarkan hasil penemuan Salami (2008). Penelitian lain juga dilakukan oleh Teeraprasert et al (2012) yang menemukan gaji dan kepuasan kerja berpengaruh pada komitmen organisasi. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka ditemukan banyak sekali faktor yang memengaruhi komitmen organisasi guru, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Oleh karena itu dari hasil penelitian-penelitian terdahulu menguatkan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi pula oleh motivasi kerja dan kepuasan kerja, serta komitmen organisasi dapat dilihat pula dari usia. Faktor lainnya yang juga memengaruhi komitmen organisasi juga ditemukan oleh Qureshi (n.d.) hasil penelitiannya menemukan komitmen organisasi tergantung pada jenis kelamin, usia, status perkawinan, pendidikan, dan pengalaman.

(6)

16

2.2 Motivasi Kerja

2.2.1 Definisi Motivasi Kerja

Mengutip dari Effendy (1989), “motif” atau dalam bahasa Inggris “motive” berasal dari kata “motion” yang bersumber pada perkataan bahasa Latin “movere” yang berarti bergerak, jadi motif adalah daya gerak yang mencakup dorongan, alasan, dan kemajuan yang timbul dalam diri seseorang yang menyebabkan ia berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu. Lebih lanjut Effendy (1989) menyatakan bahwa motivasi merupakan pembangkitan atau penimbulan motif; dapat pula dikatakan suatu kegiatan menjadi motif.

Semua tingkah laku manusia pada dasarnya mempunyai motif. Menurut Munandar (2001 h. 320), selama bekerja motivasi tenaga kerja mengalami perubahan-perubahan sebagai hasil dari interaksi antara tenaga kerja dengan lingkungan kerjanya, sehingga dapat dikatakan pula bahwa motivasi kerja merupakan keluaran dari tenaga kerja. Sedangkan menurut McClelland motivasi merupakan timbulnya tingkah laku yang diakibatkan karena adanya pengaruh kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam diri manusia (As’ad, 2002).

Menurut Robbins & Judge (2009 h. 222) motivasi ialah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Luthans (2006 h. 270) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk suatu tujuan atau insentif. Sementara itu menurut Marle (Subandono, 2011) mengatakan “Motivation is usually defined the initiative and direction of behavior and the study of motivation is in effect of course of behavior”, maksudnya motivasi secara umum didefinisikan sebagai inisiatif dan pengarahan tingkah laku dan pelajaran motivasi sebenarnya merupakan pelajaran tingkah laku. Sedangkan menurut Wexley & Yukl yang dikutip oleh As’ad (2002 h. 45) memberikan batasan mengenai motivasi sebagai

(7)

17 “the process by which behavior is energized and directed”, yang mengartikan bahwa suatu proses di mana tingkah laku tersebut dipupuk dan diarahkan. Dari batasan tersebut motivasi melatar belakangi individu berbuat untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja.

Dari berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli mengenai motivasi kerja di atas, maka penulis menggunakan definisi motivasi kerja yang telah diungkapkan oleh McClelland yang menyatakan bahwa motivasi kerja merupakan sebuah tingkah laku yang dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan (motif) yang ada dalam diri manusia. Dapat dikatakan bahwa motivasi kerja yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, yakni faktor keinginan bekerja, melainkan motivasi seseorang untuk bekerja dapat dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh individu tersebut, diantaranya motif kekuasaan, motif afiliasi, dan motif berprestasi.

2.2.2 Teori Motivasi Kerja

Berbagai teori tentang motivasi muncul seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Motivasi merupakan hal yang penting untuk dipahami secara khusus. Bila diperhatikan bahwa tingkat motivasi yang dimiliki antara seseorang dengan orang lain berbeda. Mengingat hal ini teramat penting jika dikaitkan dengan kehidupan organisasional, yang menjadi sasaran utama pemberian motivasi oleh para pemimpin kepada bawahannya adalah peningkatan prestasi kerja para karyawan dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi tersebut.

Perilaku seorang karyawan umumnya berorientasi pada sebuah tujuan yang senantiasa dirangsang dan didorong untuk mencapainya. Bagi para pemimpin yang bijaksana perlu memahami latar belakang kemampuan, kebutuhan, serta harapan-harapan dari karyawannya. Hal ini bertujuan

(8)

18

agar potensi yang dimiliki oleh para karyawan dapat diberikan semaksimal mungkin kepada organisasi tersebut untuk sebuah keberhasilan dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan karyawan.

Telah berkembang berbagai teori mengenai motivasi kerja oleh para ahli psikologi yang salah satu di antaranya ialah teori motivasi isi. Menurut Mullins & Matteson (dalam Wijono, 2012) terdapat empat teori kebutuhan yang termasuk dalam teori motivasi isi. Pertama, teori motivasi yang dikembangkan oleh Maslow yakni kondisi manusia berada dalam kondisi mengejar yang berkesinambungan. Jika suatu kebutuhan dapat dipenuhi, maka kebutuhan tersebut akan diganti dengan kebutuhan yang lain. Lebih dalam, menurut Maslow terdapat lima kelompok kebutuhan yang akan dicapai menurut tingkat kepentingannya sebagai berikut:

1. Kebutuhan fisiologis (pysiological needs) merupakan kebutuhan primer seperti kebutuhan untuk makanan, minuman, udara segar (oksigen). Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka individu akan berhenti eksistensinya.

2. Kebutuhan rasa aman (safety needs) mencakup kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan ancaman fisik. Dalam pekerjaan kebutuhan ini dijumpai dalam bentuk 'rasa asing' sewaktu menjadi tenaga kerja baru atau pindah ke kota yang baru.

3. Kebutuhan sosial (social and belongingness needs) mencakup memberi dan menerima persahabatan, cinta kasih, dan rasa memiliki. 4. Kebutuhan harga diri (self esteem needs) dapat terungkap dalam

keinginan untuk dipuji dan keinginan untuk diakui prestasi kerjanya. 5. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) yaitu kebutuhan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan ini menekankan kebebasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.

(9)

19 Kedua, ialah teori ERG (Existence, Relatedness, dan Growth needs) yang dikembangkan oleh Alderfer. Teori ini mengelompokkan kebutuhan dalam tiga kelompok:

a. Kebutuhan eksistensi merupakan kebutuhan yang bersifat material. b. Kebutuhan hubungan merupakan kebutuhan untuk membagi pikiran

dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan mereka menikmati hal-hal yang sama dengan kita.

c. Kebutuhan pertumbuhan merupakan kebutuhan yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan kecakapan yang dimiliki secara penuh.

Ketiga kelompok kebutuhan tersebut terletak pada satu kesinambungan kekonkretan.

Ketiga, teori dua faktor atau dikenal dengan teori hygiene-motivasi yang disampaikan oleh Herzberg. Dalam penelitiannya, Herzberg menemukan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja dinamakan faktor motivator, yang isinya mencakup isi dari pekerjaan dan merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu:

1. Tanggung jawab (responsbility), besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja,

2. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya,

3. Pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya,

4. Capaian (achievment), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi,

5. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya.

(10)

20

Faktor-faktor lainnya yang menimbulkan ketidakpuasan kerja termasuk ke dalam kelompok hygiene. Jika faktor-faktor dalam kelompok ini tidak diberikan, maka tenaga kerja akan merasa tidak puas dan banyak mengeluh. Faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan berkaitan dengan konteks dari pekerjaan dan merupakan faktor ekstrinsik dari pekerjaan yang meliputi:

a. Adminitrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan.

b. Penyeliaan, derajat kewajaaran penyeliaan yang dirasakan diterima oleh tenaga kerja.

c. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk kerja.

d. Hubungan antarpribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.

e. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya.

Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor motivator cenderung merupakan faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan faktor yang termasuk dalam kelompok faktor hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif.

Keempat, teori kebutuhan berprestasi yang disampaikan oleh McClelland. Menurut McClelland (As’ad, 2002) timbulnya perilaku karena dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam manusia. Dalam diri manusia terdapat tiga kebutuhan yang pokok yang mendorong tingkah laku manusia. Dalam teorinya, McClelland mengemukakan bahwa terdapat tiga motif yang berpengaruh pada prestasi kerja. Ketiga motif itu ialah kekuasaan, afiliasi, dan berprestasi. Ketiga kebutuhan ini akan selalu muncul dalam tingkah laku individu, hanya saja kekuatannya tidak sama

(11)

21 antara kebutuhan-kebutuhan itu pada diri seseorang. Ketiga kebutuhan akan muncul dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik.

Di dalam motivasi terdapat komponen atau elemen atau dapat diistilahkan pula dimensi yang digunakan untuk mengukur motivasi kerja seseorang. Komponen motivasi menurut Robbins & Judge (2009 h. 222) terdapat tiga hal, yaitu intensitas, arah, dan ketekunan. Intensitas yang tinggi tidak akan menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Berbicara mengenai elemen yang ketiga ialah ketekunan, ketekunan merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya. Individu-individu yang termotivasi bertahan melakukan suatu tugas dalam waktu yang cukup lama demi mencapai tujuan mereka.

Menurut McClelland (Wijono, 2012) terdapat tiga dimensi motivasi yakni: a) Motif kekuasaan (memberikan peran penting dalam meningkatkan sebuah organisasi). Motif kekuasaan lebih digunakan oleh pemimpin untuk memotivasi dan mengarahkan karyawannya agar mereka menunjukkan prestasi kerja yang baik.

b) Motif afiliasi merupakan hubungan interpersonal antara pemimpin dengan karyawan agar tercipta suasana yang kondusif agar tercapai tujuan organisasi.

c) Motif berprestasi lebih mengarah kepada kepentingan di masa depan untuk memeroleh prestasi yang lebih baik dalam bekerja.

Melihat dari berbagai teori motivasi yang ada, maka penulis merujuk pada teori motivasi berprestasi yang dikembangkan oleh McClelland. Seperti yang telah disampaikan, bahwa tingkah laku yang dilakukan manusia didorong oleh tiga kebutuhan. Ketiga kebutuhan manusia tersebut akan muncul berdasarkan situasi yang dihadapi oleh individu. Di dalam pekerjaannya, tidak hanya karyawan yang membutuhkan motivasi kerja, namun sebagai guru juga dibutuhkan motivasi untuk bekerja. Motivasi

(12)

22

kerja guru jika dilihat dari motivasi berprestasi, juga didorong oleh kebutuhan guru itu sendiri.

2.3 Kepuasan Kerja

2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja

Howell & Dipboye (1986, dalam Munandar, 2001 h. 350) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai hasil dari keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Siegel & Lane (1982, dalam Munandar 2001 h. 350) menerima batasan kepuasan kerja yang didefinisikan oleh Locke sebagai: "the appraisal of one's job as attaining or allowing the attaiment of one's important job values, providing these values are congruent with or help fulfill one's basic needs" yang dapat dikatakan bahwa tenaga kerja yang puas dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya. Dari definisi Locke tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hal unsur penting di dalam kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan dasar. Menurut Howell & Robert (1986, dalam Wijono, 2012 h. 122) mengatakan kepuasan kerja ialah hasil keseluruhan dari derajat rasa suka dan tidak sukanya karyawan terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Wexley & Yukl (1977, dalam As’ad, 2002) mendefiniskan kepuasan kerja “is the way an employee feels about his her job”, yang diartikan sebagai “perasaan seseorang terhadap pekerjaan”. Blum & Naylor (1986, dalam Wijono, 2012 h. 123) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai hasil dari berbagai sikap yang ditunjukkan oleh seorang karyawan.

Sedangkan, Robbins & Judge (2009 h. 99) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi mempunyai perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut. Lebih lanjut, Locke (dalam Luthans, 2006 h. 243) memberikan definisi yang lebih lengkap dari kepuasan kerja yang

(13)

23 meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja ialah keadaan emosi yang senang atau emosi yang positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Luthans (2006 h. 243) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaa mereka memberikan hal yang dinilai penting. Herzberg (1959, dalam Izmail, 2012) mendefinisikan kepuasan kerja dengan teori dua faktor, yakni bahwa karyawan dalam bekerja memiliki dua jenis kebutuhan yang dapat menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan.

Tiffin (1958, dalam Munandar 2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan. Kemudian Blum (1956, dalam Munandar, 2001) berpendapat bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individual di luar kerja.

Guru sebagai seorang pengajar sekaligus tenaga kerja di bidang pendidikan tentunya juga mempunyai kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang dimiliki oleh guru sama halnya dengan kepuasan kerja karyawan. Definisi kepuasan guru jika dilihat dari definisi Herzberg, maka kepuasan kerja didefinisikan sebagai hal-hal yang memberikan kepuasan.

2.3.2 Teori Kepuasan Kerja

Teori mengenai kepuasan kerja seperti yang dikemukakan oleh Wexley & Yukl (1977, dalam As’ad, 2002) terdiri dari tiga macam. Teori-teori ini dikenal dengan teori:

a. Discrepancy Theory atau yang dikenal degan teori ketidak sesuaian dipelopori oleh Porter (1961, dalam As’ad, 2002) dan Locke (dalam Wijono, 2012 h. 125-126) menyampaikan teori ketidaksesuaian (Discrepancy Theory) yang mengungkapkan

(14)

24

bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dari berapa aspek pekerjaan menggunakan dasar pertimbangan dari dua nilai, yaitu :

1. Ketidaksesuaian yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dia terima dalam kenyataannya,

2. Apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu tersebut.

Menurut Locke, kepuasan kerja secara keseluruhan bagi individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan individu. Perasaan puas atau tidak puas yang dimiliki oleh individu bersifat pribadi, karena perasaan tersebut muncul tergantung dari cara pandang individu. Lebih lanjut, Locke mengatakan seorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil keluaran, tambahan waktu libur juga akan menunjang kepuasan kerja yang meikmati waktu luang setelah bekerja (Munandar, 2001 h. 354). b. Equity Theory yang dikembangkan oleh Adams (1963, dalam

As’ad, 2002) yang menyampaikan orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan keadilan atau tidak atas suatu situasi. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan sumbangan dan hasil yang diperolehnya dengan sumbangan dan hasil yang diperoleh orang lain.

c. Two factor Theory yang menekankan prinsip bahwa kepuasan kerja dan ketidak puasan kerja merupakan dua hal yang berbeda seperti yang disampaikan oleh Herzberg (1966, dalam As’ad, 2002). Menurut penelitian Herzberg, yang memengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya ialah adanya motivator atau satisfiers dan hygiene factors atau dissatisfiers. Motivator merupakan faktor yang menjadi sumber kepuasan kerja. Apabila hadirnya faktor motivator ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi

(15)

25 jika tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidak puasan. Sedangkan hygiene factors atau dissatisfiers merupakan sumber ketidak puasan. Dijelaskan lebih lanjut pula oleh Herzberg (Siagian, 2012) bahwa kepuasan kejra didasarkan pada faktor-faktor yang sifatnya intrinsik, sebaliknya para pekerja merasa tidak puas dengan pekerjaannya dikaitkan pada faktor yang bersifat ekstrinsik atau yang bersumber dari luar diri pekerja yang bersangkutan.

Kepuasan kerja mempunyai aspek-aspek ataupun dikenal dengan komponen, dimensi, ciri-ciri, faktor maupun karakteristik. Komponen tersebut yang akan digunakan untuk mengukur kepuasan kerja. Lima komponen yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja menurut Locke (dalam Luthans, 2006 h. 243) antara lain; pekerjaan itu sendiri, gaji atau sejumlah uang yang diterima, kesempatan promosi, pengawasan serta rekan kerja. Sedangkan komponen-komponen kepuasan kerja, menurut pembatasan Locke (1976), Wagner III, & Hollenbeck (1995) yang dikutip oleh Wijono (2012 h. 120) bahwa terdapat tiga komponen yaitu; nilai yang dipandang dari keinginan sesorang, kepentingan membedakan nilai yang dipegang, dan persepsi individu.

Dalam penelitiannya, Herzberg menemukan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja dinamakan faktor motivator, yang isinya mencakup isi dari pekerjaan dan merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu:

a. Tanggung jawab (responsbility), besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja,

b. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya,

c. Pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya,

(16)

26

d. Capaian (achievment), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi,

e. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya.

Faktor-faktor lainnya yang menimbulkan ketidakpuasan kerja termasuk ke dalam kelompok hygiene. Jika faktor-faktor dalam kelompok ini tidak diberikan, maka tenaga kerja akan merasa tidak puas dan banyak mengeluh. Faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan berkaitan dengan konteks dari pekerjaan dan merupakan faktor ekstrinsik dari pekerjaan yang meliputi:

a. Adminitrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan.

b. Penyeliaan, derajat kewajaaran penyeliaan yang dirasakan diterima oleh tenaga kerja.

c. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk kerja.

d. Hubungan antarpribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.

e. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya.

Berdasarkan beberapa komponen yang telah diungkapkan, maka penulis memilih komponen yang disampaikan oleh Herzberg (dalam Munandar, 2001) bahwa komponen kepuasan kerja atau motivator lebih dilihat dari faktor intrinsik yang terdiri dari tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, capaian, dan pengakuan. Sedangkan ketidak puasan kerja dilihat faktor hygiene dari faktor ekstrinsik yang terdiri dari kebijakan perusahaan, penyeliaan, gaji, hubungan antar pribadi, dan kondisi kerja. Sama halnya dengan karyawan, kepuasan kerja guru dan ketidak puasan kerja guru dapat dilihat dari faktor motivator dan faktor hygiene

(17)

27 disampaikan oleh Herzberg di mana kedua faktor ini dapat mengukur tingkat kepuasan kerja guru-guru dan ketidak puasan kerja guru di dalam dunia pendidikan. Merujuk dari beberapa teori kepuasan kerja yang telah disampaikan, maka penulis lebih memilih menggunakan Two factor Theory yang disampaikan oleh Herzberg, yang mengungkapkan bahwa kepuasan kerja dan ketidak puasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Guru juga memiliki kepuasan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja itu sendiri tidak dapat dilihat dari ketidak puasan yang dialami oleh guru. Karena yang menjadi sumber kepuasan kerja jika tidak ada belum tentu menjadi sebuah ketidak puasan kerja.

2.4 Usia

Jika melihat pada perkembangan dunia kerja saat ini, maka dapat dilihat jika dunia kerja saat ini tidak membatasi antara pekerja yang berusia produktif dengan pekerja yang usia tidak produktif. Usia merupakan salah satu faktor demografis yang sedikit banyak memengaruhi pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang pekerja. Seperti halnya profesi sebagai guru, faktor usia akan menjadi salah satu faktor yang akan memberikan pengaruh pada komitmen guru tersebut pada pekerjaannya. Tentunya komitmen pada pekerjaan yang dihasilkan oleh guru-guru yang masih berada pada usia produktif akan berbeda dengan guru-guru yang sudah berada di atas usia produktif. Usia produktif yang dimaksud ialah usia di bawah 40 tahun. Seperti penelitian yang sudah dilakukan oleh Wang (2007) dan Yucel & Bektas (2012) yang menemukan bahwa tingkat komitmen organisasi guru yang berusia di atas 40 tahun lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat komitmen organisasi guru yang berusia di bawah 40 tahun. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Butucha (2013) yang menyatakan bahwa usia dapat membedakan komitmen organisasi karyawan meskipun pengaruhnya hanya kecil.

(18)

28

2.5 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian sebelumnya juga penting dalam menyusun penelitian ini. Dengan adanya hasil temuan dari penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini akan semakin kuat untuk dilaksanakan.

2.5.1 Hubungan Motivasi Kerja dengan Komitmen Organisasi Motivasi kerja bagi anggota organisasi sangat diperlukan karena akan meningkatkan produktivitas organisasi. Jika karyawan mempunyai motivasi yang rendah dalam pekerjaannya akan membawa akibat yang kurang menguntungkan baik itu bagi suatu organisasi maupun bagi diri anggota organisasi itu sendiri.

Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh William (2012) yang menemukan hubungan yang positif antara motivasi dengan komitmen organisasi. William melakukan penelitian antara motivasi dan komitmen kerja guru di empat Sekolah Menengah Atas di Ashanti. Penelitian ini melibatkan 100 guru (masing-masing sekolah 25 guru yang dipilih secara acak). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen para guru cukup tinggi dengan skor rata-rata komitmen 57.92 (standar deviasi =7.39) dan ada korelasi yang positif dari motivasi sebesar 0.020. Salami (2008) juga menemukan bahwa motivasi berprestasi memengaruhi komitmen organisasi. Lebih lanjut, Choong et al (2011) melakukan penelitian pada 247 pendidik dari empat universitas di Malaysia, dan menemukan bahwa motivasi intrinsik berhubungan secara signifikan dengan komitmen organisasi dan ketiga komponen yang ada di dalam komitmen organisasi itu sendiri, yakni komitmen afektiv, komitmen normatif, dan komitmen berkelanjutan. Hasil penelitian ini dilihat bahwa motivasi intrinsik dapat memprediksi komitmen organisasi dengan nilai R-square = 0.106). Hasil yang serupa ditemukan George & Sabapathy (2011) dalam penelitian yang dilakukan mereka menemukan hasil penelitian hubungan yang positif antara motivasi kerja guru dan komitmen organisasi dengan nilai r=0.50 yang diperoleh dari 450 responden guru di Kota Bangalore. George & Sabapathy menggunakan Work Motivation

(19)

29 Questionnaire yang diadaptasi dari K G Agarwal, sedangkan untuk mengukur komitmen organisasi mereka menggunakan Organizational Commitment Scale (Allen & Meyer) yang diadaptasi dari Dr.Thomas C Mathew. Alhaji & Fauziah (2011) menemukan hasil penelitian yang telah dilakukannya bahwa motivasi kerja karyawan akan memengaruhi komitmen organisasi dan komitmen organisasi dapat meningkatkan efektivitas organisasi melalui motivasi. Sementara itu, Altindis (2011) melakukan penelitian antara motivasi kerja dan komitmen organisasi staff kesehatan di rumah sakit dan menemukan bahwa motivasi intrinsik dan komitmen afektif serta komitmen normatif berhubungan, serta menunjukkan bahwa komitmen afektif mempunyai hubungan yang lemah dengan motivasi eksternal.

Hasil penemuan yang cukup menarik ditemukan oleh Berg (2011) pada penelitiannya, karena hasil penelitian Berg cukup bertentangan. Berg melakukan penelitian dari data yang dikumpulkannya dari dosen perguruan tinggi yang terdiri dari professor, asisten professor, asosiasi professor, dan kandidat PhD yang berjumlah 162 orang. Berg melakukan pengukuran komitmen organisasi menggunakan skala yang disusun oleh Allen dan Meyer yang menggunakan skala Likert dengan nilai 1 hingga 5. Sedangkan untuk mengukur motivasi kerja Berg menggunakan skala yang telah digunakan oleh Amabile yang terdiri dari 20 butir. Dari hasil penelitiannya, Berg menemukan hubungan yang negatif antara motivasi intrinsik dan komitmen organisasi dengan hasil (-0.20), tetapi juga menemukan hubungan yang negatif antara motivasi ekstrinsik dan komitmen organisasi dengan hasil korelasi (-0.25).

Penelitian yang sama dengan Berg dilakukan oleh Tella et al (2007). Tella et al melakukan penelitian motivasi kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasi diantara personil perpustakaan di perpustakaan Akademik dan Penelitian di Oyo State, Nigeria. Hasil penelitian Tella et al ini, menunjukkan bahwa ada korelasi antara persepsi motivasi, kepuasan kerja,

(20)

30

dan komitmen, meskipun hubungan antara motivasi dan komitmen negatif dengan nilai koefisien r = -0.1767. Tidak ada perbedaan diamati dalam motivasi yang dirasakan personil perpustakaan profesional dan non-profesional. Selain itu, temuan juga menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam kepuasan kerja tenaga perpustakaan di perpustakaan akademik dan penelitian, dan bahwa tidak ada hubungan antara komitmen organisasi personil perpustakaan dengan tahun pengalaman mereka.

Serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tella et al, Tahere et al (2012) melakukan penelitian yang korespondennya perawat-perawat yang ada di rumah sakit Ghaem di kota Mashhad, Iran. Sampel penelitian ini terdiri dari 50 perawat, dan hasil penelitian ini menujukkan bahwa tidak ada korelasi antara motivasi kerja dan komitmen organisasi dengan hasil koefisien 0.104. Tetapi hasil penelitian ini juga menemukan bahwa kepuasan kerja berkorelasi positif dengan komitmen organisasi dengan hasil koefisien 0.426.

Melihat dari berbagai hasil penelitian mengenai motivasi kerja yang erat hubungannya dengan komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan, maka penulis pun mengambil kesimpulan bahwa motivasi kerja karyawan mempunyai pengaruh yang cukup kuat pada komitmen organisasi karyawan tersebut pada organisasi di mana ia bekerja. Karyawan yang memiliki motivasi kerja yang tinggi akan memiliki komitmen organisasi yang tinggi pula pada organisasinya, sehingga karyawan tersebut akan bekerja semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan organisasinya. Tidak hanya karyawan yang membutuhkan motivasi yang tinggi, namun guru sebagai pengajar juga membutuhkan motivasi kerja yang tinggi hal ini diharapakan ketika guru memiliki motivasi kerja yang tinggi, guru juga akan memiliki komitmen organiasai yang tinggi pada organisasi sekolahnya. Sehingga guru akan bekerja dengan maksimal untuk mencapai apa yang menjadi tujuan dari organisasi sekolah tersebut.

(21)

31 2.5.2 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi Kepuasan kerja bagi anggota organisasi sangat diperlukan karena akan meningkatkan produktivitas organisasi. Jika terjadi ketidakpuasan pada anggota dalam pekerjaannya akan membawa akibat yang kurang menguntungkan baik itu bagi suatu organisasi maupun bagi diri anggota organisasi itu sendiri. Chavez (2012) melakukan penelitian pada 200 guru dan menemukan bahwa kepuasan kerja guru secara signifikan berkorelasi tinggi dengan komitmen organisasi dengan nilai r=0.488, namun dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja signifikan sebagai prediktor komitmen organisasi guru. Sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, Eliyana et al (2012) mengungkapkan faktor-faktor dalam kepuasan kerja secara signifikan memengaruhi komitmen organisasi karyawan dengan nilai r=0.967. Sementara itu penelitian lain pada pekerja industri yang dilakukan oleh Salami (2008) juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja memengaruhi komitmen organisasi pekerja industri. Senada dengan penelitian sebelumnya, Wijono (2012) mengemukakan bahwa ketidakpuasan kerja akan menyebabkan masalah terhadap anggota organisasi yaitu kecenderungan berhenti kerja, sering kali absen (bolos) bahkan menyebabkan stres pekerja. Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Bull (2005) bahwa kepuasan kerja guru memengaruhi komitmen organisasi guru sekolah tinggi. Bull melakukan penelitian pada 237 Sekolah Menengah Atas di Western Cape dan hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi (r=0.434, ρ<0.01). Senada dengan penelitian Bull, penelitian antara kepuasan kerja dengan komitmen kerja pernah dilakukan oleh Ustuner (2009). Ustuner melakukan penelitian pada komitmen organisasi guru. Pada penelitiannya, sampel terbagi dari dua kelompok guru. Kelompok yang pertama terdiri dari 310 guru sukarela yang bekerja di Provinsi Malatya dan kelompok yang kedua terdiri dari 201 guru yang bekerja di 20 sekolah yang berbeda. Untuk mengukur kepuasan kerja guru, Ustuner menggunakan Minnesota

(22)

32

Satisfaction Questionnaire (MSQ). Sedangkan untuk mengukur komitmen kerja guru, Ustuner menggunakan Teachers’ Organizational Commitment Scale (TOCS). Dari hasil penelitiannya, ditemukan korelasi yang positif antara kepuasan kerja guru dengan komitmen kerja guru.

Malik & Nawab (2010) juga melakukan penelitian kepuasan kerja dan komitmen organisasi dosen dan pendidik di universitas di sektor umum yang ada di Pakistan pada 2010. Enam ratus kuesioner didistribusikan kepada dosen, asisten professor, asosiasi professor, dan professor yang bekerja di dua sektor umum universitas di Pakistan. Hasil penelitian Malik & Nawab (2010) menunjukkan bahwa pekerjaan itu sendiri, kualitas supervisi dan kepuasan gaji mempunyai pengaruh yang positif pada komitmen organisasi responden yang telah diteliti. Hal yang sama dilakukan Susanj & Jakopec (2012) yang menemukan kepuasan kerja memberikan kontribusi pada komitmen organisasi pada responden yang berjumlah 537 orang. Dalam penelitian ini, Susanj & Jakopec menggunakan alat ukur Job Satisfaction Questionnaire berdasarkan Gregson (1987) untuk mengukur kepuasan kerja dan Organizational Commitment Questionnaire yang dikembangkan oleh Maslić-Seršić yang berpedoman dari Meyer, Allen, & Smith untuk mengukur komitmen organisasi. Hasilnya ditemukan bahwa kepuasan kerja memengaruhi komitmen organisasi dengan nilai =0.08, ρ<0.01.

2.6 Dinamika Psikologis

Kemajuan dan keberhasilan organisasi tidak terlepas dari anggota-anggotanya. Setiap anggota tentunya mempunyai motivasi kerja dan kepuasan kerja dalam melaksanakan tugasnya di organisasi tersebut. Guru adalah pekerja yang berada di bawah sebuah organisasi. Jika guru termasuk pegawai negeri sipil, guru berada di bawah organisasi pemerintahan. Tetapi jika guru tidak termasuk pegawai negeri sipil dan termasuk guru swasta, maka guru berada di bawah organisasi yang biasa disebut dengan yayasan. Komitmen organisasi tidak hanya dibutuhkan

(23)

33 oleh karyawan yang berada di sebuah perusahaan, namun komitmen organisasi itu selayaknya juga dibutuhkan oleh para guru karena mereka juga berada di dalam sebuah organisasi yang menaungi pekerjaan mereka. Selain mengajar, guru juga sudah seharusnya mempunyai komitmen organisasi supaya dapat mengembangkan sekolah yang menjadi tempat di mana mereka bekerja dapat berhasil dan berkembang dengan baik. Komitmen organisasi pada guru apabila dilihat dari teori yang telah ada serta beberapa hasil temuan penelitian sangat dipengaruhi oleh motivasi kerja dan kepuasan kerja. Motivasi kerja dan kepuasan kerja individu yang berada dalam organisasi mempunyai pengaruh yang kuat pada komitmen organisasi. Seperti yang disimpulkan oleh Choong et al (2011) bahwa motivasi kerja mempunyai hubungan dengan komitmen organisasi. Kepuasan kerja menurut Ustuner (2009) dan Malik & Nawab (2010) juga sangat berpengaruh pada komitmen organisasi.

Karyawan dalam hal ini guru mempunyai tingkat motivasi kerja dan kepuasan kerja yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Motivasi dan kepuasan kerja yang berbeda-beda ini tentunya juga akan berpengaruh pada komitmen organisasi yang dimiliki. Semakin tinggi motivasi kerja yang dimiliki oleh guru semakin tinggi juga komitmen organisasi yang dimiliki guru. Demikian pula halnya dengan kepuasan kerja guru. Apabila tingkat kepuasan kerja guru tinggi, makan komitmen organisasi yang dimiliki oleh guru juga akan tinggi. Terlebih lagi jika motivasi kerja yang tinggi diimbangi dengan kepuasan kerja guru yang sama-sama tinggi akan berpengaruh pada komitmen organisasi yang tinggi. Dengan adanya komitmen organisasi yang tinggi maka karyawan akan semakin loyal pada organisasi itu dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk kemajuan dan keberhasilan organisasi itu. Demikian halnya dengan guru yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan semakin loyal pada sekolah yang menaunginya. Guru akan memberikan

(24)

34

kualitas pelayanan pendidikan yang baik ketika mempunyai komitmen organisasi yang tinggi.

Tidak hanya mengenai motivasi kerja dan kepuasan kerja yang dapat memengaruhi komitmen organisasi guru, akan tetapi jika dilihat dari faktor demografi yang ada yakni usia guru, komitmen organisasi guru berbeda. Faktor usia memengaruhi kematangan berpikir seseorang. Ketika seorang guru berada pada usia produktif (di bawah 40 tahun) memiliki keputusan yang rendah untuk berkomitmen pada pekerjaannya, hal ini dikarenakan masih ada peluang untuk bekerja di tempat lain. Sedangkan guru yang usianya di atas 40 tahun memiliki tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi dibandingkan guru yang berusia di bawah 40 tahun. 2.7 Model Penelitian

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu dan landasan teori di atas, maka model penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah hubungan antara motivasi kerja guru dan kepuasan kerja secara bersama dengan komitmen organisasi guru dan dilihat dari usia guru, maka model penelitian dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

Motivasi Kerja

Kepuasan Kerja

Komitmen Organisasi

(25)

35 2.8 Hipotesis

Berdasarkan teori-teori yang ada dan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang sudah dipaparkan, maka yang menjadi hipotesis pada penelitian ini adalah:

a) Terdapat hubungan antara motivasi kerja guru dan kepuasan kerja guru dengan komitmen organisasi guru di Yayasan Pendidikan Eben Haezer Salatiga

b) Terdapat pengaruh interaksi antara motivasi kerja guru dan usia guru dengan komitmen organisasi guru di Yayasan Pendidikan Eben Haezer Salatiga

c) Terdapat pengaruh interaksi antara kepuasan kerja guru dan usia guru dengan komitmen organisasi guru di Yayasan Pendidikan Eben Haezer Salatiga

d) Terdapat perbedaan komitmen organisasi guru ditinjau dari usia guru di Yayasan Pendidikan Eben Haezer Salatiga

(26)

Referensi

Dokumen terkait

Alasan lainnya adalah harga bahan bakar minyak yang saat ini semakin meningkat menyebabkan biaya produksi penyaradan dengan menggunakan buldoser akan semakin tinggi sehingga penggunaan

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian Karya Tulis

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2O00 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun,

Dari hasil ujicoba data primer oleh 30 Siswa SMAN 1 Imogiri kelas X3 dan atlet putra putri bola tangan yang sudah dilakukan pada tanggal 13 Maret 2017 secara

Teori ini menjelaskan bahwa dalam diri manusia ada dua motivasi, yakni motif primer atau motif yang yang tidak dipelajari, dan.. motif skunder atau motif yang dipelajari

Teori ini menjelaskan bahwa dalam diri manusia ada dua motivasi, yakni motif primer atau motif yang yang tidak dipelajari, dan.. motif skunder atau motif yang dipelajari

Oleh karena itu kegiatan produksi yang dilakukan berdasarkan pesanan (order) maka jumlah produksinya biasanya sedikit atau relatif kecil, sehingga perencanaan produksi