• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN TERHADAP TERJADINYA KATARAK PADA PASIEN YANG BEROBAT DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT NUSA TENGGARA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN TERHADAP TERJADINYA KATARAK PADA PASIEN YANG BEROBAT DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT NUSA TENGGARA BARAT"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN

TERHADAP TERJADINYA KATARAK

PADA PASIEN YANG BEROBAT

DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT

NUSA TENGGARA BARAT

NI NYOMAN SANTI TRI ULANDARI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(2)

PENGARUH PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN

TERHADAP TERJADINYA KATARAK

PADA PASIEN YANG BEROBAT

DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT

NUSA TENGGARA BARAT

NI NYOMAN SANTI TRI ULANDARI NIM. 1292161015

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

PADA PASIEN YANG BEROBAT

DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT

NUSA TENGGARA BARAT

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI NYOMAN SANTI TRI ULANDARI

NIM 1292161015

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA

TANGGAL 03 JULI 2014

Pembimbing I,

Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH NIP. 194712111976021001

Pembimbing II,

dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH NIP. 197608182003122003

Mengetahui

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001

(5)

iv

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 03 Juli 2014

Paniti Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No: 2060/UN14/4/HK/2014, Tanggal 03 Juli 2014

Ketua : Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH Anggota :

1. dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH

2. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS 3. Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si

(6)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : Ni Nyoman Santi Tri Ulandari

NIM : 1292161015

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul Tesis :PENGARUH PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN TERHADAP TERJADINYA KATARAK PADA PASIEN YANG BEROBAT DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT NUSA TENGGARA BARAT

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI Nomor: 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 03 Juli 2014

(7)

vi

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asungkerta

wara nugraha-Nya/karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. N. AdiPutra, MOH, selaku pembimbing I yang telah dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. Ayu Swandewi Astuti, MPH selaku pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Pogram Magister pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku Ketua Program Studi

(8)

vii

Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udaya dan semua dosen serta staf di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS, Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App Bsc., Ph.D yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kepala Balai Kesehatan Masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat dr. Bagio Ariyono Murdjani, beserta staf yang telah memberikan ijin dan bantuan untuk melakukan penelitian.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia c.q Bapak Koordinator KOPERTIS Wilayah VIII dan Bapak Sekretaris Pelaksana KOPERTIS Wilayah VIII yang telah memberikan ijin tugas belajar dan membantu dalam bentuk finansial kepada penulis. Demikian juga kepada Drs. H. Sutiman A.A. (Alm), selaku pendiri STIKES MATARAM yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi kejenjang Magister. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan arahan dari dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid. Akhirnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua penulis serta mertua yang telah memberikan semangat dan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada suami tercinta Brigadir I Nyoman Budi Rastika serta anak Putu Nanda

(9)

viii

semua keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman angkatan IV MIKM Universitas Udayana dan teman-teman STIKES MATARAM atas dukungan dan doa-nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, 03 Juli 2014

(10)

ix

DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT

NUSA TENGGARA BARAT

ABSTRAK

Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang jika berlangsung lama dapat menyebabkan kebutaan. Menurut hasil survei Kebutaan Nasional 2007, angka kebutaan di Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 1,2%, sedangkan angka kebutaan Nasional sebesar 0,4%. Katarak adalah penyebab kebutaan yang paling tinggi dengan angka kejadian sebesar 0,1 %. Angka kejaadian katarak ini apabila dikaitkan dengan jumlah penduduk NTB (4.363.756 jiwa), maka diperkirakan akan terjadi penumpukan penderita katarak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Nusa Tenggara Barat.

Disain penelitian ini adalah kasus-kontrol, dengan terlebih dahulu memasangkan variabel umur dan jenis kelamin. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 pasang kasus-kontrol. Data dikumpulkan dengan penelusuran dokumen, observasi, dan wawancara menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan den gan menggunakan STATA SE 12.1 dan secara bertahap meliputi analisis univariat, bivariat (McNemar) dan multivariat (Conditional Logistic Regression).

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa 92,5% subjek berumur ≥ 40 tahun, 85,0 % tidak diabetes melitus, 80,0% tidak merokok, 63,8% berpendidikan rendah, 53,8% berpendapatan rendah, 60,0% pekerjaannya berisiko, 57,5% berjenis kelamin perempuan, 83,8% terpapar asap setiap hari, dan 53,7% terpapar sinar matahari ≥ 4 jam. Sebagian besar responden masih ada yang tidak menggunakan alat pelindung diri saat melakukan pekerjaan di luar gedung, sehingga kemungkinan terpapar langsung dengan sinar matahari cukup besar. Hasil uji bivariat terdapat empat variabel yang meningkatkan odds katarak yaitu pendidikan, pendapatan, pekerjaan, dan paparan sinar matahari. Pada analisis multivariat di dapatkan variabel yang paling berperan meningkatkan faktor risiko adalah pendidikan OR=25 (95%CI=1,96-336,61) dan pekerjaan OR=13 (95%CI=1,71-113,25). Pendidikan rendah dapat meningkatkan terjadinya katarak 25 kali dibandingkan dengan yang memiliki pendidikan tinggi, sedangkan untuk pekerjaan yang berisiko dapat meningkatkan kejadian katarak 13 kali dibandingkan yang tidak berisiko.

Disarankan perlu adanya promosi dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang penggunaan alat pelindung diri (APD) berupa topi. Hal ini berkaitan dengan banyaknya masyarakat NTB yang memiliki pekerjaan di luar gedung, dan sebagain besar memiliki pendidikan rendah.

(11)

x

AT THE EYE HEALTH CENTER OF WEST NUSA TENGGARA

ABSTRACT

Cataract is a vision disorder that can cause blindness. According to Regional Health Survey 2007, the rate of blindness was as high as 1.2%, while the national level was 0.4%. The incidence rate of cataract was 0.1%, and in NTB with the population of 4,363,756, this means that people who are blind because of cataracts recently in NTB amount to 4,363 people per year, each year the number continues to increase so that it undergoes a backlog. The aim of this study was to obtain a dominant risk factors on the incidence of cataracts in patients seeking treatment at the Eye Center in NTB.

The design of the study was case-control, by matching variable of age and sex. The number of counted being 40 pairs of samples. Data were collected by tracking document and interviews by means of a questionnaire. Data analysis was stata se 12,1 and conducted in stages covering univariate, bivariate (McNemar) and multivariate (Conditional Logistic Regression).

The results obtained were as follows; the subject of the study was 92.5% aged ≥ 40 years, 85.0% did not have diabetes mellitus, 80.0% did not smoke, 63.8% had low education , 53.8% had low income, 60.0% had risky jobs, 57.5 were female, 83.8% were exposed to smoke every day, and 53.7% had exposure to sunlight ≥ 4 hours / risky. In bivariate test results, there were four variables that increased risks, namely, education, income, employment, and exposure to sunlight. In multivariate analysis, it was found that the most dominant variables served to increase the risk factor was education OR=25 (95% CI 1.96 to 336.61) and occupation OR=13 (95% CI 1.71 to 113.25).

The suggestion was that there was a need for promotion and health education related to the use of personal protective equipment (PPE) when working outdoors, and an increase in the ability to minimize the number of cataract surgeries buildup.

(12)

xi

HALAMAN SAMPUL DALAM………… ……….. i

PERSYARATAN GELAR………. ii

LEMBAR PENGESAHAN……….. ………. iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI………. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……… v

UCAPAN TERIMA KASIH………... vi

ABSTRAK……….. ix

ABSTRACT……… x

DAFTAR ISI…..……… xi

DAFTAR TABEL………..……… xv

DAFTAR GAMBAR…….. ………... xvi

DAFTA SINGKATAN……….. xvii

LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ……….……….……….……….……….……….…… 1 1.2 Rumusan masalah ……….……….……….……….……….……….. 5 1.3 Tujuan penelitian……….……….……….……….……….……….… 6 1.3.1 Tujuan umum……….……….……….……….……….………. 6 1.3.2 Tujuan khusus….……….……….……….……….……….…… 6 1.4 Manfaat penelitian……….……….……….……….……….………… 7 Halaman

(13)

xii

2.2 Gejala dan tanda katarak……….……….……….……….……….…… 9 2.3 Jenis-jenis katarak……….……….……….……….……….……….…. 11

2.4 Faktor risiko katarak……….……….……….……….……….……….. 12

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka berpikir……….……….……….……….……….………….. 19

3.2 Konsep……….……….……….……….……….……….……….. 21

3.3 Hipotesis……….……….……….……….……….……….……… 22

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian……….……….……….……….……….………. 24

4.2 Lokasi dan waktu penelitian……….……….……….……….………… 25

4.2.1 Lokasi penelitian……….……….……….……….……….……… 25

4.2.2 Waktu penelitian……….……….……….……….……….……… 25

4.3 Penentuan sumber data……….……….……….……….……….…….. 25 4.3.1 Populasi………….……….……….……….……….……….….. … 25

4.3.2 Besar sampel……….……….……….……….……….………….. 26

4.3.4 Definisi kasus-kontrol……….……….……….……….………….. 27

(14)

xiii

4.5 Instrumen penelitian………. 28

4.6 Definisi operasional penelitian……….……….……….……….…… 29

4.7 Alur penelitian……….……….……….……….……….……….…… 32

4.8 Pengolahan dan analisis data……….……….……….……….…….. 33

4.8.1 Pengolahan data……….……….……….……….……….…….. 33

4.8.2 Analisis data……….……….……….……….……….…………. 33

4.9 Etika penelitian………. 35

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran umum BKMM………. 37

5.1.1 Pengorganisasian……….. 38

5.1.2 Jumlah kunjungan………. 39

5.2 Distribusi karakteristik responden……… 40

5.3 Analisis bivariat………. 43

5.4 Analisis Multivariat……… 47

(15)

xiv

7.2 Saran………. 64

DAFTAR PUSTAKA……….……….……….……….……….……….……… 65

(16)

xv

Tabel 4.1 Tabel perhitungan besar sampel……….. 26

Tabel 4.2 Definisi operasional variabel……… 29

Tabel 4.3 Tabel 2x2 perhitungan odds ratio……… 34

Tabel 5.1 Tabel jumlah dan jenis ketenagaan………. 39

Tabel 5.2 Jumlah kunjungan pasien………. 40

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi responden……… 41

Tabel 5.4 Tabel distribusi faktor risiko katarak……… .. 43

Tabel 5.5 Tabel analisis multivariat.……… 47 Halaman

(17)

xvi

Gambar 3.1 Modifikasi bagan segitiga epidemiologi……….. 20

Gamar 3.2 Konsep………….……….. 21

Gambar 4.1 Rancangan kasus-kontrol………. 24

Gambar 4.2 Alur penelitian………. 32

Gambar 5.1 Bagan struktur organisasi UPTD BKMM……… 38 Halaman

(18)

xvii BKMM : Balai Kesehatan Mata Masyarakat CI : Confidence Interval

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

DM : Diabetes Mellitus

NTB : Nusa Tenggara Barat

OR : Odds Ratio

PNS : Pegawai Negri Sipil

SD : Sekolah Dasar

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SMA : Sekolah Menengah Atas

THT : Telinga Hidung Tenggorokan

UPT : Unit Pelayanan Teknis

UPTD : Unit Pelayanan Teknis Daerah UPTB : Unit Pelayanan Teknis Badan

UV : Ultraviolet

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah sosial yang cukup besar di Indonesia. WHO memperkirakan pada tahun 2000 terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, di mana sepertiganya berada di Asia Tenggara. Dengan pertambahan jumlah penduduk dunia dan peningkatan umur harapan hidup maka jumlah kebutaan akan meningkat paling sedikit 1 juta orang pertahun (Depkes RI , 2006).

Indonesia menjadi salah satu negara dengan risiko kebutaan tinggi di dunia. Namun, sampai saat ini penanggulangan masalah kebutaan belum menjadi prioritas pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Berdasarkan hasil Survei Penglihatan dan Kebutaan Depkes RI tahun 1993 -1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,47%. angka kebutaan di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kebutaan di Negara lain (Bangladesh 1,0%, India 0,7%, Thailand 0,3%, Afrika Sub-sahara 1,40%). Angka kebutaan ini menurun menjadi 1,2% berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 (Depkes RI, 2003).

Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78 %), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14 %), dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia (0,38 %) (Depkes RI, 2006). Katarak adalah penyebab kebutaan yang paling banyak ditemui, katarak terjadi akibat kekeruhan pada lensa mata yang mengakibatkan

(20)

terganggunya cahaya masuk ke dalam bola mata sehingga menyebabkan bayangan pada retina menjadi kabur. Bila lensa mata kehilangan sifat beningnya atau kejernihannya maka penglihatan akan berkabut atau tidak dapat melihat sama sekali (Ilyas, 2003).

Proses terjadinya katarak membutuhkan waktu yang cukup lama dan tidak disertai dengan rasa sakit pada mata, namun secara perlahan-lahan akan mulai mengganggu pandangan mata, jika dibiarkan maka lama-kelamaan selaput putih tersebut akan menutupi lensa mata sehingga mengganggu masuknya cahaya ke dalam mata.

Insiden katarak di Indonesia sebesar 0,1% (210.000 orang) per tahun, namun baru sekitar 80.000 orang per tahun yang menjalani operasi. Keadaan ini menimbulkan penumpukan penderita katarak yang cukup tinggi (backlog) (Depkes RI, 2003). Apabila ingin mengurangi backlog, maka jumlah operasi katarak harus sama dengan jumlah penderita katarak. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi

backlog penderita katarak adalah jarak jangkau antara rumah penderita katarak

dengan pelayanan kesehatan.

Seperti yang telah diketahui, kesehatan mata mendapatkan perhatian yang besar dari dunia internasional maupun tingkat nasional, hal ini dapat dilihat pada tahun 1999 WHO telah mencanangkan program Vision 2020 The Right to Sight. Di Indonesia sendiri program ini mulai dilaksanakan pada tahun 2000, dengan diadakannya program ini berarti pemerintah telah memberikan hak bagi setiap

(21)

warganegara Indonesia untuk mendapatkan penglihatan yang optimal (Depkes RI, 2006).

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia dengan tingkat kejadian katarak yang masih tinggi. Menurut hasil Survei Kebutaan Nasional angka kebutaan di NTB sebanyak 1,2 %, sedangkan tingkat Nasional sebesar 0,4 % (Riskesdas, 2013). Penyebab utama kebutaan adalah katarak, kelainan refraksi, pterigium dan glaukoma. Dari ke empat penyebab kebutaan tersebut, katarak adalah penyebab kebutaan yang paling besar dengan incidence rate (angka kejadian) adalah 0,1 %, dan dengan jumlah penduduk NTB sebesar 4.363.756 jiwa, ini berarti penduduk yang mengalami kebutaan baru karena katarak pertahun mencapai 4.363 orang (BKMM Prov. NTB, 2012).

Riskesdas (2007) melaporkan prevalensi katarak cukup tinggi pada jenis pekerjaan tertentu, yaitu petani/nelayan/buruh sebesar 17,8% dan ibu rumah tangga (IRT) sebesar 16,1%. Penduduk NTB sebagian besar memiliki pekerjaan dibidang informal seperti buruh dan petani, Saat ini jumlah buruh yang bekerja di oven tembakau di wilayah NTB khususnya di pulau Lombok sangat besar, yaitu sekitar, 119.710 jiwa. perusahaan tembakau yang beroperasi di Pulau Lombok telah mencapai 18 unit dengan oven tembakau sebanyak 11.971 unit tungku (Pemprov. NTB, 2012).

Selain itu, jumlah warga NTB yang memiliki pekerjaan sebagai petani dan nelayan adalah sekitar 1.005.240 jiwa, sedangkan yang bekerja sebagai buruh bangunan sebanyak 85.007 jiwa Pada tahun 2011 penduduk NTB berjumlah

(22)

2.132.933, maka dapat diketahui bahwa penduduk NTB yang berisiko untuk terjadinya katarak adalah sekitar 56,73% (Kemenaker RI, 2013).

Hasil observasi awal yang dilakukan terhadap 10 orang pasien katarak di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Provinsi NTB yang diwawancarai yang berusia antara 30-45 tahun, di mana 4 orang adalah nelayan, 3 orang sebagai pekerja oven tembakau, 1 orang buruh bangunan, dan 2 orang ibu rumah tangga.

Proporsi penduduk usia 30 tahun ke atas pada yang mengaku memiliki gejala katarak (penglihatan berkabut dan silau) memiliki pendidikan ≤ 6 tahun sekitar 28,7%, dan bertempat tinggal tinggal di desa 25,5%. Di Provinsi NTB setengah penduduknya tidak merokok, yang terdiri dari mantan perokok 1,9% dan bukan perokok 68% (RISKESDAS NTB, 2007).

Pada tahun 2000 pemerintah daerah NTB mendirikan sebuah Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) di Provinsi Nusa Tenggara Barat, untuk mengatasi masalah kesehatan mata termasuk katarak. BKMM ini merupakan unit pelayanan teknis (UPT) dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggar Barat yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kesehatan mata masyarakat melalui pelayanan, pendidikan dan penelitian. BKMM NTB telah melakukan pengobatan katarak dengan cara operasi mata, di mana jumlah operasi katarak yang telah dilakukan selama tahun 2011 oleh Tim Balai Kesehatan Mata Masyarakat mencapai 556 orang (rata-rata 46 orang/bulan) dengan rincian sebanyak 478 orang dilaksanakan di dalam gedung

(23)

Balai Kesehatan Mata Masyarakat dan 78 orang lainnya di laksanakan di luar gedung Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM Prov. NTB, 2012).

Banyak faktor dikaitkan dengan terjadinya katarak antara lain umur, jenis kelamin, penyakit diabetes melitus (DM), pajanan terhadap sinar ultraviolet (sinar matahari), merokok, tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, paparan asap, riwayat penyakit katarak, dan pekerjaan. Melihat dari latar belakang tersebut dan dikaitkan dengan penyebab terjadinya katarak yang bersifat multifaktorial dan belum diketahui secara pasti, maka perlu di cari beberapa faktor risiko yang dianggap berhubungan dengan terjadinya katarak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pekerjaan di luar gedung merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB?

2. Apakah paparan asap merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB? 3. Apakah pendidikan merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada

pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB?

4. Apakah diabetes melitus merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB?

(24)

5. Apakah riwayat penyakit katarak merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB?

6. Apakah pendapatan merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB? 7. Apakah merokok merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada

pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB?

8. Apakah paparan sinar matahari merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Nusa Tenggara Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko:

1. Pekerjaan di luar gedung terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

2. Pengaruh paparan asap terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

(25)

3. Pendidikan terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

4. Diabetes melitus terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

5. Riwayat penyakit katarak terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

6. Pendapatan terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

7. Perilaku merokok terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

8. paparan sinar matahari terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui berbagai faktor risiko sebagai penyebab terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Nusa Tenggara Barat, serta dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.

(26)

1.4.2 Manfaat praktis 1. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan wawasan peneliti serta menjadi media untuk menerapkan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya faktor risiko sebagai penyebab terjadinya katarak. 2. Bagi tenaga kesehatan

Sebagai bahan masukan untuk membuat program kesehatan, sebagai bahan penyuluhan, sebagai promosi kesehatan yang disampaikan oleh tenaga kesehatan kepada masyarakat luas mengenai berbagai faktor risiko katarak.

3. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penggunaan alat pelindung diri pada saat bekerja di luar gedung, dan menjadi sumber pengetahuan masyarakat tentang pengaruh berbagai faktor risiko terhadap katarak.

(27)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Katarak

Katarak merupakan kelainan lensa mata yang keruh di dalam bola mata. Kekeruhan lensa atau katarak akan mengakibatkan sinar terhalang masuk ke dalam mata sehingga penglihatan menjadi menurun. Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina sehingga menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi. Katarak berasal dari kata Yunani ”Cataracta” yang berarti ”Air terjun”, hal ini disebabkan karena penderita katarak seakan-akan melihat sesuatu seperti tertutup oleh air terjun di depan matanya (Ilyas, 2003).

2.2 Gejala dan Tanda Tatarak

Katarak biasanya tumbuh secara perlahan dan tidak menyebabkan rasa sakit. Pada tahap awal kondisi ini hanya akan mempengaruhi sebagian kecil bagian dari lensa mata dan mungkin saja tidak akan mempengaruhi pandangan mata. Saat katarak tumbuh lebih besar maka noda putih akan mulai menutupi lensa mata dan mengganggu masuknya cahaya ke mata, pada akhirnya pandangan mata akan kabur.

Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 60 tahun ke atas. Akan tetapi, katarak dapat pula terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus pada

(28)

saat hamil muda. Delapan gejala yang biasanya terjadi pada seseorang yang mengalami katarak.

1. Terjadi pada usia lanjut sekitar usia 50 tahun ke atas 2. Gatal-gatal pada mata

3. Sering keluar air mata

4. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu 5. Penglihatan kabur pada malam hari

6. Tidak dapat menahan sinar lampu atau kilau cahaya yang langsung menembus mata

7. Penderita akan merasa seperti melihat awan di depan penglihatannya, menutupi lensa mata

8. Bila sudah mencapai tahap akhir atau stadium lanjut penderita katarak akan kehilangan penglihatannya

Kecepatan terjadinya gangguan penglihatan akibat katarak pada seseorang tidak dapat diprediksi, karena katarak pada setiap individu berbeda. Tanda yang jelas terlihat pada katarak yang telah lanjut adalah adanya kekeruhan atau warna keputih-putihan pada pupil. Pemeriksaan mata bagian dalam dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop (Ilyas, 2006).

Hingga saat ini belum ada obat-obatan, makanan, atau kegiatan olah raga yang dapat menghindari atau menyembuhkan seseorang dari katarak. Pengobatan katarak adalah dengan pembedahan yang ditentukan berdasarkan tajam penglihatan yang

(29)

sudah menurun sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari, apabila tidak dioperasi maka akan terjadi kebutaan total (Ilyas dkk., 2008).

2.3 Jenis-jenis Katarak

Menurut Ilyas, dkk (2002), katarak dapat dibagi menjadi beberapa jenis.

1. Katarak kongenital adalah katarak yang telah timbul sejak lahir. Katarak kongenital dianggap sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang terinfeksi virus atau menderita penyakit tertentu.

2. Katarak sekunder adalah katarak yang terjadi setelah dilakukan operasi katarak sebelumnya.

3. Katarak senil adalah jenis katarak yang paling sering dijumpai. Pada umumnya terjadi pada usia lanjut, gejala yang biasa dirasakan adalah penglihatan yang semakin menurun atau kabur. Secara klinik proses ketuaan lensa sudah tampak sejak terjadinya pengurangan kekuatan akomodasi lensa akibat mulai terjadinya sklerosis lensa.

4. Katarak traumatika adalah katarak yang disebabkan oleh trauma pada lensa mata, dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam.

5. Katarak juvenile merupakan katarak yang terjadi pada anak-anak sesudah lahir. Kekeruhan lensa terjadi pada saat serat-serat lensa masih berkembang. Biasanya katarak juvenile merupakan bagian dari suatu gejala penyakit keturunan.

(30)

6. Katarak komplikata adalah katarak yang terjadi akibat gangguan sistemik seperti diabetes mellitus, hipoparatiroid, miotonia distrofia, tetani infantil, dan lain-lain.

2.4 Faktor Risiko Katarak

Etiologi katarak masih tidak jelas dan mekanisme terjadinya masih belum sepenuhnya dimengerti. Katarak umumnya merupakan penyakit usia lanjut, namun katarak juga dapat diakibatkan oleh kelainan kongenital (Tamsuri, 2004). Faktor yang dikaitkan dengan katarak cukup banyak. Berdasarkan teori segitiga epidemiologi, timbulnya suatu penyakit disebabkan oleh faktor lingkungan (Enviromment), faktor penjamu (host), dan faktor penyebab (agent). Banyak faktor dikaitkan dengan katarak, yaitu umur sebagai faktor utama, dan faktor lainnya antara lain penyakit diabetes melitus (DM), pajanan kronis terhadap sinar ultraviolet (sinar matahari), konsumsi alkohol, nutrisi, merokok, tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan pekerjaan (Tana dkk., 2009).

Walaupun teknologi yang aman dan efektif telah tersedia untuk memperbaiki penglihatan pada sejumlah besar penderita katarak, namun katarak yang belum dioperasi masih merupakan beban yang terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah kasus katarak meningkat seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, sedangkan jumlah dokter spesialis mata tidak sebanding dengan jumlah katarak yang akan dioperasi di samping biaya operasi yang relatif tinggi. Hal ini menimbulkan

(31)

Meskipun tindakan operasi merupakan satu-satunya pilihan pengobatan efektif yang ada, namun mengidentifikasi faktor risiko katarak akan membantu untuk menentukan langkah-langkah pencegahan dan strategi yang tepat, dan untuk memperlambat terjadinya katarak dapat dilakukan sesuai dengan faktor risiko. Faktor risiko katarak antara lain.

1. Umur

Bertambahnya umur harapan hidup di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang, menyebabkan bertambah banyaknya jumlah orang tua secara cepat. Hal ini dapat menimbulkan fenomena pertambahan kasus katarak, karena dengan sendirinya jumlah kebutaan karena katarak akan bertambah banyak. Katarak senilis (lebih dari 40 tahun) merupakan penyebab yang terbanyak penurunan penglihatan pada orang usia lanjut. Pada penelitian

cross sectional dikatakan bahwa prevalensi katarak sekitar 50 % pada usia

antara 65 smpai 74 tahun dan meningkat 70 % pada usia di atas 75 tahun. (Wisnujono, 2004). Survei yang dilakukan oleh Tana, dkk (2006), dari 382 total responden yang diteliti, 125 responden menderita katarak pada usia 60-65 tahun.

2. Jenis kelamin

Menurut Rasyid, dkk (2010) kejadian katarak lebih banyak terjadi pada perempuan dari pada laki-laki, ditujukan dengan hasil penelitian yang menemukan 114 orang (71,7%) penderita katarak berjenis kelamin

(32)

perempuan, sedangkan 57 orang (63,4%) penderita katarak berjenis kelamin laki-laki.

3. Riwayat penyakit keturunan

Katarak kongenital terjadi akibat penyakit keturunan, atau infeksi ibu hamil akibat rubella, virus sitomegali, varisela, sifilis, dan toksoplasmosis pada usia kehamilan 1-2 bulan. Sebagaian besar katarak kongenital terjadi pada kedua mata dan berhubungan dengan keturunaan atau sifat genetik (Tana dkk., 2006).

4. Pekerjaan

Katarak erat kaitannya juga dengan pekerjaan yang berada di luar gedung, dimana sinar ultraviolet (UV) merupakan faktor risiko terjadinya katarak. Sinar ultraviolet yang berasal dari sinar matahari akan diserap oleh protein lensa dan kemudian akan menimbulkan reaksi fotokimia sehingga terbentuk radikal bebas atau spesies oksigen yang bersifat sangat reaktif. Reaksi tersebut akan mempengaruhi struktur protein lensa, selanjutnya menyebabkan kekeruhan lensa yang disebut katarak.

Menurut Sinha, dkk (2009) menyatakan ada hubungan yang bermakna antara tingkat kematangan katarak senilis dengan pekerjaan. Dalam penelitiannya, Sinha menyebutkan bahwa, pekerjaan responden yang berada di luar ruangan (lapangan) tingkat kematangan kataraknya terlihat meningkat. Responden pada kelompok pekerja lapangan dengan tingkat

(33)

kematangan katarak lebih tinggi (62%) dibanding dengan responden pada kelompok pekerja di dalam ruangan (41.9%).

5. Pendapatan

Katarak dikaitkan dengan status sosial ekonomi yang rendah. Seseorang dengan tingkat ekonomi yang rendah dalam hal penghasilan memiliki ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi setiap harinya. Status ekonomi juga dihubungkan dengan rendahnya tingkat pengetahuan seseorang yang berkaitan dengan kemauan untuk mencari informasi mengenai pengobatan katarak, sehingga munculnya tanda-tanda akan terjadinya katarak tidak disadari oleh seseorang karena dirasakan masih belum menganggu.

Pada umumnya seseorang akan mengunjungi tempat pelayanan kesehatan mata setelah merasa terganggu pada matanya. Selain itu juga penderita katarak yang berasal dari golongan ekonomi rendah tidak akan mampu mengobati penyakitnya ke rumah sakit atau klinik swasta yang mahal, sehingga pengobatan katarak tidak menjadi prioritas bagi mereka. Jarak yang jauh dari sarana pelayanan menyebabkan ongkos transportasi dan biaya untuk keluarga yang mengantar menjadi mahal (Pujiyanto, 2004).

6. Pendidikan

Dari beberapa suvei di masyarakat diperoleh prevalensi katarak lebih tinggi pada kelompok yang berpendidikan lebih rendah. Dalam penelitian

(34)

yang dilakukan oleh Pujiyanto (2004) menyimpulkan pendidikan rendah berpengaruh terhadap kejadian katarak 4 kali dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi.

7. Paparan Asap

Sseperti yang telah diketahui bahwa polusi udara dapat menyebabkana terjadinya gangguan kesehatan, beberepa contoh dari polusi udara tersebut adalah asap yang berasal dari hasil pembakaran kayu bakar oleh ibu-ibu yang memasak, serta asap kendaraan bermotor. Asap kayu bakar menghasilkan zat kimia seperti karsinigen, karbon monoksida, dan hydrogen yang dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan (United For Sigth, 2003)

Penelitian yang dilakukan oleh Suparlan (2009) menyebutkan bahwa intensitas paparan asap dapur dapat meningkatkan kejadian katarak 3,5 kali pada perempuan yang memasak di dalam ruangan di Kabupaten Lombok Tengah.

8. Diabetes Melitus

Diabetes melitus dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, salah satunya adalah katarak. peningkatan enzim aldose reduktase dapat mereduksi gula menjadi sorbitol, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan osmotik sehingga serat lensa lama-kelamaan akan menjadi keruh dan menimbulkan katarak (Pollreisz dan Erfurth, 2010).

(35)

9. Merokok

Dari beberapa faktor risiko terjadinya katarak, salah satunya adalah merokok. Rokok berperan dalam pembentukan katarak melalui dua cara yaitu, pertama paparan asap rokok yang berasal dari tembakau dapat merusak membrane sel dan serat-serat yang ada pada mata. Ke dua yaitu, merokok dapat menyebabkan antioksidan dan enzim-enzim di dalam tubuh mengalami gangguan sehingga dapat merusak mata (United For Sigth, 2003 )

Pada penelitian dengan menggunakan kasus-kontrol, di mana kasus sebanyak 54 orang dan kontrol 35 orang, hasil uji multivariat (OR=2,287) menunjukkan hubungan merokok dapat meningkatkan kejadian katarak 2 kali dibandingkan dengan yang tidak merokok.

10. Paparan Sinar Ultraviolet (UV)

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dkk. (2013) mengatakan bahwa responden pada kelompok yang bertempat tinggal di daerah pantai dengan tingkat kejadian katarak persentasenya lebih tinggi (61%) dibanding yang bertempat tinggal di daerah pegunungan yaitu sekitar (36%).

Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan dengan penderita di daerah subtropik (Suharjo, 2004). Penyelidikan epidemiologi menunjukkan bahwa di daerah-daerah yang sepanjang tahun selalu ada sinar matahari yang kuat, insiden

(36)

katarak akan meningkat. Radiasi sinar ultraviolet dari matahari akan diserap oleh lensa, sehingga lensa menjadi keruh (Tamsuri, 2004).

(37)

19 BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Katarak adalah suatu jenis penyakit pada mata karena lensa mata menjadi keruh sehingga menghalangi cahaya yang masuk. Penglihatan penderita katarak menjadi terganggu dan bahkan bisa menjadi buta bila semakin parah dan tidak ditangani secara baik. Penyebab kekeruhan yang terjadi pada lensa mata bisa bermacam-macam, bisa terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa, atau dapat juga akibat dari kedua-duanya. Biasanya menyerang kedua mata dan berjalan progresif.

Katarak biasanya dikaitkan dengan penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor lingkungan (enviromment), faktor penjamu (host) dan faktor penyebab penyakit (agent). Faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia serta pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia, faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap katarak adalah paparan sinar matahari dan paparan asap. Faktor penjamu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, perilaku merokok, riwayat penyakit katarak, diabetes melitus. Sedangkan faktor penyebab penyakit belum diketahui.

Upaya pencegahan dan penundaan terjadinya katarak dapat dilakukan dengan mengubah berbagai faktor tersebut. Pengaruh faktor umur dan keturunan tidak dapat

(38)

di ubah, maka pengaruh faktor lainnya masih dapat di ubah ataupun diupayakan untuk dikurangi.

Penelitian ini disusun berdasarkan rangkuman tinjauan teori tentang timbulnya penyakit, khususnya mengenai hubungan berbagai faktor risiko dengan terjadinya katarak. Teori segitiga epidemiologi menjelaskan hubungan antar host,

agent, dan enviromment, s k e m a n y a a d a l a h sebagai berikut.

Gambar 3.1 Modifikasi bagan segitiga epidemiologi Agent

Penyebabnya masih belum jelas karena banyak faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya katarak

Enviromment a. Paparan sinar matahari b. Paparan asap Host a. Umur b. Jenis kelamin c. Tingkat pendidikan d. Tingkat pendapatan e. Pekerjaan f. Perilaku merokok g. Riwayat penyakit katarak h. Diebetes melitus KATARAK

(39)

7. keturunan 3.2 Konsep

Konsep penelitian merupakan dasar pemikiran pada penelitian yang dirumuskan dari fakta – fakta, observasi, dan tinjauan pustaka. Konsep menerangkan hubungan antara faktor risiko dengan terjadinya katarak.

Faktor Lingkungan (Enviromment)

Faktor Penjamu (Host)

Faktor penyebab (Agent)

Gambar 3.2 Konsep faktor-faktor risiko katarak 1. Paparan Sinar Matahari

2. Paparan Asap 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Tingkat pendidikan 4. Tingkat pendapatan 5. Pekerjaan 6. Perilaku merokok 8. Diabetes militus Belum diketahui 9. Penggunaan streroid

Katarak

10. Alkohol

7. Riwayat penyakit katarak

11. Operasi mata sebelumnya 12. Asupan nutrisi

(40)

Keterangan :

: Variabel diteliti : Variabel tidak diteliti

3.3 Hipotesis

Sesuai dengan kerangka berpikir dan konsep, maka hipotesis yang diajukan sebagaimana yang diuraikan di bawah ini:

1. Pekerjaan di luar gedung merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

2. Paparan asap merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

3. Pendidikan merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

4. Diabetes melitus merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

5. Riwayat penyakit katarak merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

6. Pendapatan merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

(41)

7. Perilaku merokok merupakan faktor risiko terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB. 8. Paparan sinar matahari merupakan faktor risiko terhadap terjadinya

katarak pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB.

(42)

24 BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi analitik observasional, yaitu suatu penelitian yang akan melaksanakan pengamatan saja, tanpa intervensi dalam upaya mencari hubungan antar variabel yang satu dengan variabel lainnya. Studi observasional analitik ini dilakukan dengan studi kasus-kontrol dengan matching, yaitu suatu penelitian epidemiologis analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) dalam hal ini katarak dengan faktor risiko tertentu. Skemanya adalah sebagai berikut.

Gambar 4.1 Bagan penelitian kasus-kontrol

Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-)

Kasus ( Kelompok Subjek dengan efek)

Kontrol ( Kelompok Subjek tanpa efek)

(43)

Beberapa alasan memilih kasus-kontrol menurut Sastroasmoro dan Ismael, (2011). 1. Lebih cepat memberikan hasil

2. Lebih murah

3. Tidak memerlukan jumlah subjek yang banyak

4. Dapat mengidentifikasikan beberap faktor risiko dalam waktu yang bersamaan

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Provinsi Nusa Tenggara Barat. BKMM dipilih sebagai tempat penelitian karena, tempat ini merupakan satu-satunya Balai Kesehatan Mata Masyarakat yang ada di Nusa Tenggara Barat.

4.2.2 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan selama 2 bulan, yaitu dari bulan Maret sampai dengan April 2014.

4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi

1. Populasitarget yakni semua pasien yang berobat mata.

2. Populasi terjangkau yakni semua pasien katarak dan tidak katarak yang berobat mata di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Provinsi Nusa Tenggara Barat saat penelitian dilakukan.

(44)

4.3.2 Besar Sampel

Besar sampel kasus-kontrol ditentukan berdasarkan tingkat akurasi dengan rumus Lwanga dan Lemeshow (1997).

2 2 1 2 2 2 1 1 ) ( 2 P P Q P Q P Z PQ Z n     Keterangan:

P1=proporsi ekspose pada kasus Q1= (1-P1)

P2= proporsi ekspose pada kontrol Q2= (1-P2)

P = (P1+P2)/2 Q = (1 – P)

Z = koefisien reliabilitas =95% Z = koefisien power = 90%

Untuk mendapatkan jumlah sampel yang representatif, dilihat dari OR hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pujiyanto pada tahun 2004. Tabel dapat dilihat seperti di bawah ini.

Tabel 4.1. Perhitungan besar sampel berdasarkan beberapa faktor risiko.

Faktor risiko OR P2 n Umur 9,0 0,40 22 Merokok 5,8 0,29 26 Pendidikan rendah 4,2 0,29 38 Pekerjaan di luar ruangan 6,7 0,41 28

(45)

Setelah mendapatkan nilai OR dan P2 pada penelitian terdahulu, kemudian nilai tersebut dimasukkan ke dalam software rumus Lwanga dan Lemwshow (1997), dan nilainya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Jumlah sampel pada Tabel 4.1 terbanyak adalah 38 sampel. Dalam penelitian ini jumlah sampel dibulatkan menjadi 40 pasang kasus-kontrol.

4.3.3 Definisi Kasus dan Kontrol

1. Kasus dalam penelitian ini adalah semua pasien yang berobat mata di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dinyatakan menderita penyakit katarak selama 2 bulan pada saat penelitian dilakukan, kasus diperoleh dari data sekunder dan wawancara. 2. Kontrol adalah semua pasien yang berobat mata di Balai Kesehatan Mata

Masyarakat (BKMM) Provinsi Nusa Tenggara Barat yang tidak menderita penyakit katarak. kontrol diperoleh dari data sekunder dan wawancara 4.3.4 Kriteria Inklusi

1. Semua pasien katarak dan tidak katarak yang berobat mata di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Provinsi Nusa Tenggara Barat selama 2 bulan terakhir pada saat penelitian di lakukan

2. Berusia > 30 tahun

4.3.5 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel kasus ataupun sampel kontrol dilakukan secara

(46)

sampai jumlah sampel terpenuhi dengan terlebih dahulu melihat data sekunder di BKMM Provinsi NTB tentang penderita katarak dan tidak katarak. Responden yang dijadikan sampel terlebih dahulu telah setuju menjadi responden sukarela dan mau berpartisipasi. Sampel diambil dengan cara memasangkan (matching) variabel umur dan jenis kelamin pada responden. Sampel diambil dengan menggunakan interval antara sampel pertama dengan berikutnya, hal ini dilakukan agar lebih sistematis dan mengetahui variasi dari responden yang berkunjung ke BKMM Provinsi NTB.

4.4 Variabel Penelitian 1. Variabel terikat : Katarak

2. Variabel bebas : paparan sinar matahari, paparan asap, diabetes melitus, pendapatan, pekerjaan, perilaku merokok, riwayat penyakit katarak, pendidikan.

3. Variabel kendali : umur, dan jenis kelamin. 4.5 Instrumen Penelitian

1. Data sekunder : untuk memperoleh data mengenai pasien katarak dan tidak katarak yang berobat di BKMM Provinsi NTB.

2. Wawancara: dilakukan terhadap pasien yang menderita katarak di BKMM Provinsi NTB, dengan terlebih dahulu melihat data sekunder yang ada, dan dijadikan sebagai kasus. Wawancara juga dilakukan terhadap pasien yang

(47)

tidak menderita katarak di BKMM Provinsi NTB, kemudian dijadikan sebagai kontrol. Kasus dan kontrol diambil pada saat yang bersamaan, wawancara menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Wawancara akan dibantu oleh seorang enumerator yang sudah dilatih dalam melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. 3. Observasi: melihat secara langsung di Balai Kesehatan Mata Masyarakat

NTB, terkait dengan karakteristik jenis kelamin responden.

4. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pendahuluan kepada 14 responden (survei pendahuluan), yaitu di BKMM Provinsi NTB yang tidak akan dipergunakan sebagai sampel penelitian. Uji reliabilitas dimaksudkan untuk menguji konsistensi data yang dikumpulkan.

4.6 Definisi Operasional Variabel

Tabel 4.2 Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi operasional Cara pengukuran dan hasil ukur

Skala data

1. Umur Usia responden Dengan melihat data sekunder dari catatan medis pasien di BKMM Prov.NTB. kemudian di cross-check dengan melihat KTP pasien Dikategorikan menjadi :  Umur ≥40 tahun (kode 1)  Umur < 40 tahun (kode 2)

Nominal

2. Status DM Meningkatnya kadar gula darah seseorang dalam tubuhnya, riwayat keluarga dan diagnosa dokter

Dengan cara wawancara dengan berpedoman pada kuisioner, dengan skala

Guttman.

Dikategorikan menjadi :

(48)

 Penderita diabetes mellitus (kode 1)

 Tidak penderita diabetes mellitus (kode 2)

3.Riwayat penyakit katarak

Dalam satu keluarga memiliki anggota keluarga yang menderita katarak.

Dengan cara wawancara dengan berpedoman pada kuisioner, dengan skala

Guttman. Dikategorikan

menjadi :

 Ada riwayat menderita katarak (kode 1)

 Tidak ada riwayat menderita katarak (kode 2)

Nominal

4. Perilaku merokok

Perilaku merokok atau riwayat pernah merokok dari responden

Dengan cara wawancara dengan berpedoman pada kuisioner, dengan skala

Guttman. Dikategorikan

menjadi :

 Merokok, pernah merokok

(kode 1)

 Tidak merokok (kode 2)

Nominal

5. Tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan formal yang ditamatkan oleh responden Wawancara,dikategorikan atas :  Tingkat pendidikan Rendah/TTSD/SD/SMP (kode 1)  Tingkat pendidikan Tinggi/ > SMA (kode 2)

Nominal

6. Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan atau penghasilan rata-rata responden per bulan. Dilihat dari Upah Minimum Regional di daerah NTB sebesar Rp. 1.200.000 Wawancara dikategorikan atas :  Pendapatan rendah < Rp.1.200.00 ,-/bulan (kode 1)  Pendapatan tinggi ≥ Rp.1.200.000,-/bulan (kode 2) Nominal

7. Pekerjaan Jenis pekerjaan responden yang berisiko untuk terjadinya katarak, dimana pekerjaan sebagian besar waktunya dilakukan di luar gedung (outdoor)

Wawancara, dikategorikan atas :

 Pekerjaan berisiko bila ≥ 4 jam dilakukan di luar gedung (kode 1)

 Pekerjaan tidak berisiko bila < 4 jam dilakukan di luar gedung (kode 2)

(49)

8. Jenis kelamin

Jenis kelamin dari responden, yaitu laki-laki dan perempuan

Wawancara, catatan medis dan observasi. Dikategorikan atas :  Laki-laki (kode 1)  Perempuan (kode 2) Nominal 9. Paparan asap

Paparan asap yang dialami oleh responden

Wawancara. Dikategorikan atas :

 Setiap hari terpapar asap

(kode 1)

 Tidak Setiap hari terpapar asap (kode 2)

Nominal

10. Paparan sinar matahari

Intensitas paparan sinar matahari yang dialami oleh responden

Wawancara. Dikategorikan atas :

 Berisiko bila ≥ 4 jam terpapar sinar matahari

(kode 1)

 Tidak berisiko bila < 4 jam terpapar sinar matahari (kode 2)

Nominal

11. Katarak Kekeruhan pada lensa mata yang ditentukan berdasarkan diagnosa dokter mata di BKMM Provinsi NTB. Diagnosis katarak: pemeriksaan visus, pemeriksaan slit lamp, mengukur intraocular.

Dengan cara melihat data sekunder dari catatan medis pasien di BKMM Provinsi NTB. Dikategorikan menjadi :

 Katarak (kode 1)  Tidak Katarak ( kode 2)

(50)

4.7 Alur Penelitian Data awal

Gambar 4.2 Alur Penelitian populasi : Semua Pasien BKMM

Provinsi NTB

Semua pasien BKMM Provinsi NTB selama penelitian berlangsung

Kriteria inklusi

Sampling

Kelompok Kasus (Pasien Penderita Katarak)

Kelompok Kontrol (Pasien Tidak Penderita Katarak)

 Register Pasien  Daftar Pasien

Penderita Katarak

Faktor Risiko Terjadinya Katarak

 Register Pasien  Daftar Pasien

Tidak Penderita Katarak

Analisis Data

(51)

4.8 Pengolahan dan Analisis Data 4.8.1 Pengolahan Data

Langkah-langkah yang dilakukan setelah data terkumpul, meliputi tahap: 1. Editing : untuk memeriksa kelengkapan data yang dikumpulkan 2. Koding : memberikan kode terhadap data untuk dikelompokkan 3. Data entry: memasukkan data ke perangkat komputer untuk analisis data 4. Cleaning : melakukan validasi data sehingga bebas dari kesalahan 4.8.2 Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis secara univariat bertujuan untuk mendiskripsikan masing- masing variabel, baik variabel bebas maupun variabel terikat.

2. Analisis Bivariat

Analisis secara bivariat bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa faktor risiko terhadap kejadian katarak, dan untuk menguji apakah faktor risiko tersebut bermakna secara statistik atau tidak. analisis bivariat menggunakan STATA SE 12.1 dengan terlebih dahulu membuat Tabel distribusi faktor risiko katarak berdasarkan pasangan kasus-kontrol. Untuk studi kasus kontrol, estimasi risiko dinyatakan dengan kecenderungan/ Odds ratio (OR). Tabelnya adalah sebagai berikut.

(52)

Table 4.3 Tabel 2x2 untuk perhitungan odds ratio (OR) dengan matching.

Kasus Kontrol Total

Risiko + Risiko -

Risiko + a b a+b

Risiko - c d c+d

Total a+c b+d

(Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Keterangan:

Tabel 2x2 menunjukkan hasil pengamatan pada stusi kasus-kontrol Sel a : kasus dan kontrol mengalami pajanan

Sel b : kasus mengalami pajanan, kontrol tidak

Sel c : kasus tidak mengalami pajanan, kontrol mengalami pajanan Sel d : kasus dan kontrol tidak mengalami pajanan

Faktor risiko dinyatakan dalam odds ratio (OR)= b/c Interpretasinya :

1. Bila nilai Odds ratio = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya penyakit (katarak).

2. Bila nilai Odds ratio >1 berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko untuk timbulnya penyakit (katarak).

3. Bila nilai Odds ratio < 1 berarti variabel tersebut merupakan faktor protektif (Sastroasmoro dan Ismael, 2011 ).

(53)

Uji statistik yang digunakan untuk menilai apakah pengaruh suatu variabel bebas bermakna terhadap terjadinya katarak dengan menggunakan uji Mcnemar dengan melihat 95%CI dan nilai P, apabila nilai P ≤ 0,05 maka faktor risiko tersebut dikatakan berpengaruh dan bermakna secara statistik, sebaliknya bila > 0,05 maka tidak bermakna secara statistik.

3. Analisis Multivariat

Analisis secara multivariat bertujuan untuk melihat besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan analisis

Conditional Logistic Regression.

4.9 Etika Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti telah mendapatkan rekomendasi dari Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Penelitian ini juga telah mendapatkan ijin penelitian dari Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian (BLHP) yang tembusannya ditujukan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Provinsi Nusa Tenggara Barat. Setelah mendapatkan ijin penelitian, masalah etika yang ditekankan meliputi.

1. Informed consent (lembar persetujuan partisipasi)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden, peneliti menjelaskan manfaat dalam penelitian. Tidak ada risiko yang ditimbulkan dalam

(54)

penelitian ini, karena hanya menggali informasi mengenai faktor risiko katarak dengan cara wawancara. setelah responden menyetujui dan mau berpartisipasi secara sukarela, barulah responden akan diberikan lembar

informed consent dan menandatangainya. Apabila responden tidak bersedia,

maka peneliti tidak akan memaksanya. 2. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan identitas responden dan segala macam informasi yang diberikan oleh responden akan dijaga oleh peneliti, karena hasil penelitian nantinya hanya berupa data-data.

3. Hasil penelitian akan diserahkan pada tempat penelitian dan dipublikasikan pada jurnal ilmiah.

(55)

37 BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM)

Sesuai dengan surat keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 9 tahun 2001 dan peraturan Gubernur Nomor 23 tahun 2008, wilayah kerja Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) adalah seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang terdiri dari 2 (dua) Pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa yang terbagi menjadi 10 (sepuluh) wilayah Kabupaten/Kota, 116 Kecamatan, dan 911 Desa/Kelurahan.

Pelaksanaan program di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) yang merupakan bagian integral dari pembangunan kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. BKMM dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan publik yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat di bentuk melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 823/Menkes/SK/V/2000 tanggal 13 Mei 2000, tentang Pembentukan Balai. Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 9, Tahun 2001 tentang Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Jiwa, Balai laboratorium Kesehatan dan Balai Kesehatan Mata Masyarakat. Surat Keputusan ini diperbaharui dengan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat

(56)

Nomor 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah ( UPTD ) pada Dinas Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Badan

( UPTB ) pada Inspektorat, Bappeda dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sejak tahun 2005, Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi NTB juga menyediakan pelayanan kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT).

5.1.1 Pengorganisasian dan jumlah ketenagaan

1. Organisasi Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat ditetapkan oleh peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor: 23 tahun 2008. Struktur Organisasi UPTD Balai Kesehatan Mata Masyarakat dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Gambar. 1

Bagan struktur organisasi UPTD Balai Kesehatan Mata Masyarakat

KEPALA

UPTD

SEKSI PENUNJANG SEKSI PELAYANAN Kelompok Jab. Fungsional

SUB BAG TATA USAHA

(57)

2. Jumlah dan jenis ketenagaan Balai Kesehatan Mata Masyarakat

Jumlah dan jenis tenaga yang bekerja di Balai Kesehatan Mata Masyarakat tidak mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun. Adapun rincian jenis dan jumlah tenaga yang ada di Balai Kesehatan Mata Masyarakat adalah sebagaimana yang terdapat dalam tabel berikut di bawah ini.

Tabel 5.1 Jumlah dan Jenis Ketenagaan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat tahun 2012.

Jenis Tenaga Jumlah Keterangan

Dokter Spesialis Mata Dokter Spesialis THT Dokter Umum Dokter Gigi SKM Perawat Analis Refraksionis SLTA SLTP Residen Dokter 2 1 4 1 2 21 1 1 12 4 1

1 PNS, 1 kontrak dari RSU Kota kontrak PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS J U M L A H 50

5.1.2 Jumlah Kunjungan Pasien Balai Kesehatan Mata Masyarakat

Banyaknya pasien yang berkunjung untuk mendapat pelayanan kesehatan mata di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi NTB terus meningkat, pada tahun 2011 jumlah kunjungan sebanyak 17.525 sedangkan tahun 2012 meningkat menjadi 19.031, rata-rata setiap bulannya meningkat

(58)

sebanyak 1.460 orang pasien dan 740 orang di antaranya merupakan pasien baru (BKMM NTB, 2013).

Tabel 5.2 Jumlah Kunjungan Pasien Di Balai Kesehatan Mata Masyarakat tahun 2012

Jenis Penyakit Jumlah per Tahun Rata-rata

Perbulan 2011 2012 2011 2012 Katarak 1. 323 1.446 110 120,5 Kelainan Refraksi 3. 863 4.051 321 337,6 Glaukoma 89 116 7 9,7 Trakhoma 32 29 2 2,4 Xerophthalmia 0 0 0 0,0 Infeksi Kornea 194 201 16 16,8 Cacat Kornea 305 364 25 30,3 Infeksi Konjungtiva 786 764 65 63,7 Pterygium dan Pinguecula 418 491 34 40.9

Kelainan Retina 148 218 12 18,2

Kalazion dan Hordeolum 183 218 15 18.2

Lain – lain 1, 462 - 121 -

5.2 Distribusi Karakteristik Responden (Analisis Univariat)

Penelitian pengaruh pekerjaan dan pendidikan pada pasien yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Nusa Tenggara Barat melibatkan 40 pasang

(59)

sampel kasus-kontrol. Distribusi frekuensi responden kasus dan kontrol dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden di BKMM NTB.

Karakteristik Responden Jumlah

(n=80) Persentase Umur Umur ≥ 40 tahun Umur < 40 tahun 74 6 92,5 7,5 Status diabetes melitus

Diabetes melitus Tidak diabetes melitus

12 68

15,0 85,0 Riwayat penyakit katarak

Ada riwayat penyakit katarak Tidak ada riwayat penyakit katarak

16 64 20,0 80,0 Perilaku merokok Merokok Tidak merokok 33 47 41,3 58,8 Pendidikan Pendidikan rendah Pendidikan tinggi 51 29 63,8 36,2 Pendapatan Pendapatan rendah Pendapatan tinggi 43 37 53,8 46,2 Pekerjaan

Berisiko ≥ 4 jam di luar gedung Tidak berisiko < 4 jam di luar gedung 48 32 60,0 40,0 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 34 46 42,5 57,5 Terpapar asap

Terpapar setiap hari Tidak terpapar setiap hari

67 13

83,8 16,2 Terpapar sinar matahari

Berisiko terpapar ≥ 4 jam Tidak berisiko < 4 jam

37 43

46,3 53,7

(60)

Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa, kelompok umur tertinggi responden ada pada kelompok umur ≥ 40 tahun yaitu 92,5 %, dan hanya 7,5 % yang berumur < 40 tahun. Sebanyak 85,0% tidak menderita diabetes melitus, dan dapat dilihat dari distribusi riwayat penyakit katarak, 80% responden tidak memiliki riwayat penyakit katarak.

Pada karakteristik responden yang merokok, 41,3% yang merokok dan yang tidak merokok memiliki presentase yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 58,8%. Sebagian besar responden memiliki pendidikan yang rendah (SD-SMP) 63,8%. Dengan pendidikan yang rendah, biasanya responden memilih pekerjaan yang tidak formal, antara lain adalah sebagai petani, buruh, dan pedagang. Pada Tabel 5.3 60% responden bekerja di luar gedung, di mana bekerja di luar gedung ≥ 4 jam memiliki resiko untuk terjadinya katarak. Pendidikan yang rendah berbanding lurus dengan penghasilan yang diperoleh setiap bulannya, sehingga dapat diketahui bahwa kebanyak responden memiliki penghasilan yang rendah sebanyak 53,8%.

Dilihat dari presentase jenis kelamin, 57,5% responden memiliki jenis kelamin perempuan, dan laki-laki 42,5%. Responden yang setiap hari terpapar dengan asap memiliki presentasi yang sangat tinggi yaitu 83,8 %, sedangkan yang tidak setiap hari terpapar asap sebanyak 16,2 %. Paparan asap yang dialami oleh responden berbeda-beda antara responden satu dengan yang lain, intensitas paparan juga berbeda.

(61)

Paparan sinar matahari yang dialami oleh responden, di mana responden yang berisiko ≥ 4 jam terpapar sinar matarahari adalah 46,3 %, sedangkan yang tidak berisiko < 4 jam terpapar sinar matahari sebanyak 53,7 %.

5.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel bebas (faktor risiko) terhadap variabel terikat (kejadian katarak).

Tabel 5.4 Tabel distribusi faktor risiko katarak berdasarkan pasangan kasus- kontrol pada pasien yang berobat di BKMM NTB.

Faktor risiko Jumlah pasangan OR

(95%CI) P Kasus + Kontrol + Kasus + Kontrol − Kasus − Kontrol + Kasus − Kontrol − Status diabetes militus 1 7 3 29 2,33 (0,53-13,98) 0,3438 Riwayat penyakit katarak 4 5 3 28 1,66 (0,32-10,73) 0,7266 Perilaku merokok 13 3 4 20 0,75 (0,10-4,43) 1,0000 Pendidikan 15 20 1 4 20 (3,19-828,95) <0,0001 Pendapatan 12 18 1 9 18 (2,84-749,96) <0,0001 Pekerjaan 12 22 2 4 11 (2,70-96,50) <0,0001 Paparan asap 28 8 3 1 2,66 (0,64-15-60) 0,2266 Sinar matahari 12 12 1 15 12 (1,77-512,97) 0,0034

(62)

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel bebas (faktor risiko) terhadap variabel terikat (kejadian katarak) pada pasien yang berobat di BKMM NTB. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa ada 7 pasangan di mana kasus positif (+) diabetes melitus dan kontrol negatif (–) diabetes melitus, sedangkan 3 pasang kasus yang negatif (–) diabetes melitus dan kontrol (+) diabetes melitus. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0,34 OR=2,33; 95%CI=0,53-13,98, maka dapat disimpulkan bahwa faktor risiko diabetes melitus tidak terbukti secara statistik terhadap kejadian katarak.

Hubungan antara riwayat penyakit katarak dengan terjadinya katarak adalah ada 5 pasang kasus yang memiliki riwayat penyakit katarak sedangkan kontrolnya tidak memiliki riwayat penyakit katarak, sebaliknya ada 3 pasang kasus tidak memiliki riwayat penyakit katarak, dan kontrolnya memiliki riwayat penyakit katarak. Uji statistik menunjukkan nilai p=0,72, OR=1,66; 95%CI=0,32-10,73, riwayat penyakit keturunan tidak terbukti secara statistik menjadi faktor risiko terhadap terjadinya katarak.

Dapat dilihat pada Tabel 5.4 bahwa 3 pasang kasus yang merokok dan kontrolnya tidak merokok, sedangkan ada 4 pasang kasus tidak merokok dan kontrolnya merokok. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p=1,0000, OR=0,75; 95%CI=0,10-4,43. Secara statistik merokok tidak terbukti menjadi faktor risiko terhadap terjadinya katarak.

Gambar

Gambar 3.1 Modifikasi bagan segitiga epidemiologi Agent
Gambar 3.2 Konsep faktor-faktor risiko katarak 1.  Paparan Sinar Matahari
Gambar 4.1 Bagan penelitian kasus-kontrol
Gambar 4.2 Alur Penelitian populasi :  Semua Pasien BKMM

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

fluktuasi proporsi persalinan dengan bantuan ekstraksi vakum, peningkatan proporsi SC, sebagian besar kasus kematian disebabkan oleh preeklampsia/eklampsia, penurunan CFR

Dalam rangka penyelesaian studi, maka kami memohon dengan hormat agar mahasiswa yang bersangkutan diberi izin untuk mengadakan penelitian skripsi di kantor/lembaga

Sementara ISK complicated adalah infeksi yang disebabkan oleh kelainan anatomis pada seluran kemih, menyebar ke bagian tubuh yang lain, bertambah berat dengan underlying

Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat diambil suatau kesimpulan antara lain sebagai berikut: 1 .Bentuk pemberian gratifikasi dalam pasal 12B Undang-undang Nomor 20

(De Lauretis 2004, 41-42.) Teresa de Lauretis erottaa kulttuurissa representoidun Naisen vastakohtana historiallisesti eläville naisille. Hänen mukaansa nämä voidaan

(The index path of the root node in the data hierarchy is an empty array; header items, which correspond to the category type, have an index path of size 1, and “leaf” items,

Abstract Recent years have seen an increase in the amount of statistics describing different phenomena based on “Big Data.” This term includes data characterized not only by