• Tidak ada hasil yang ditemukan

keselamatan penyedia jasa kesehatan serta pasien mereka (Gershon et al., 2000, Pronovost dan Sexton, 2005). Keselamatan dalam organisasi kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "keselamatan penyedia jasa kesehatan serta pasien mereka (Gershon et al., 2000, Pronovost dan Sexton, 2005). Keselamatan dalam organisasi kesehatan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Safety Culture (budaya keselamatan) adalah produk yang dihasilkan dari

individu, kelompok, sikap, persepsi dan juga pola perilaku yang menentukan komitmen dan kecakapan dalam menata organisasi keselamatan menurut

International Atomic Energy Agency (1991). Safety Climate (iklim keselamatan)

dapat dianggap sebagai fitur permukaan dari safety culture (Flin, 2000). Istilah

safety culture dan safety climate terkadang digunakan secara bergantian, pada

dasarnya safety climate mencerminkan safety culture suatu organisasi tetapi dapat lebih akurat diukur (Brand et al., 2010)

Safety climate adalah komponen penting dari tanggung jawab pelayanan

kesehatan dan safety climate survey menyediakan sebuah ukuran dari safety

climate dalam organisasi dan mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan

pelayanan. Dalam organisasi yang beresiko tinggi, safety climate umumnya di pandang sebagai indikator utama memberikan informasi tentang potensi yang memiliki risiko berbahaya, berbeda dengan indikator yang hanya mengidentifikasi setelah kecelakaan terjadi. Dengan demikian tujuan dari penilaian safety climate adalah untuk mengidentifikasi dan mengelola isu-isu keselamatan yang relevan dengan rutinitas atau kondisi kerja serta untuk memantau perubahan dari hasil penilaian (Flin, 2007, Nieva dan Sorra, 2003, 2004)

Safety climate biasanya diukur dengan menggunakan kuesioner yang

meminta karyawan untuk menilai komitmen dari manajemen terhadap penerapan keselamatan (DeJoy et al., 2004, Moore et al., 2005). Safety Climate digambarkan sebagai ringkasan dari persepsi karyawan tentang keamanan lingkungan kerja mereka (Zohar, 1980). Pembinaan nilai safety climate dalam organisasi kesehatan

(2)

keselamatan penyedia jasa kesehatan serta pasien mereka (Gershon et al., 2000, Pronovost dan Sexton, 2005).

Keselamatan dalam organisasi kesehatan (healthcare) berbeda dalam beberapa hal dari keselamatan dibidang manufaktur, yang pertama pada tingkat yang paling tinggi, orang-orang yang berada ditop manajemen melakukan diskusi yang paling utama dalam keselamatan healtcare bukanlah karyawan tetapi penerima jasa yaitu pasien. Perbedaan utama kedua adalah sifat pekerjaan dan pekerja dalam healthcare (Helmreic et al., 1986).

Safety climate/culture dibangun oleh berbagai faktor (dimensi), dan

berbagai peneliti mencoba mengidentifikasi dimensi-dimensi tersebut. Dimulai dari penelitian oleh Zohar (1980) dengan 8 dimensi, diantaranya sikap manajemen terhadap keselamatan, dampak praktek-praktek keselamatan kerja terhadap promosi dan yang lainya. Kemudian berkembang secara luas khususnya di

healthcare. Penelitian Gershon et al. (2000) menghasilkan 6 faktor/dimensi di

antaranya adalah dukungan manajemen, umpan balik/pelatihan, minimal konflik/komunikasi yang baik dan yang lainya. Survei tentang safety culture pasien yang sering digunakan sebagai acuan diberbagai negara karena mempunyai sifat psikometris yang terbaik dan dirancang untuk seluruh pekerja di rumah sakit adalah yang dilakukan oleh Sorra dan Nieva (2004), yaitu Hospital Survey on

Patient Safety Culture (HSOPSC), yang mempunyai 12 dimensi budaya

keselamatan dan 2 dimensi outcome. Masih banyak lagi penelitian tentang climate atau safety culture yang menghasilkan perbedaan dalam jumlah dimensi/faktor yang membangunnya, dan dinilai dapat mendeteksi perhatian staf rumah sakit terhadap patient safety. Penelitian lainnya oleh Matsubara et al. (2005), dengan

setting Jepang dengan validitas dan reliabilitas yang tinggi, sedangkan di Swiss

penelitian yang dilakukan oleh Pfeiffer et al. (2008) menghasilkan 10 dimensi, begitu juga di Belanda menjadi 11 dimensi yang dilakukan oleh Smits et al. (2008).

Griffin dan Hart (2000) menyatakan bahwa performansi keselamatan di rumah sakit dipengaruhi secara langsung oleh safety climate atau safety culture. Rendahnya safety culture memiliki kontribusi positif terhadap timbulnya

(3)

kesalahan dalam pelayanan kesehatan, terapi yang tidak aman, dan berbagai kecelakaan lain yang tak terduga (medical errors, unsafe therapies, and

unintended injuries) (Hamaideh et al., 2004). Pada penelitian Glendon dan

Litherland (2000) yang menyatakan bahwa safety climate atau safety culture mempengaruhi performansi keselamatan secara aktual. Gershon et al. (2000) yang menyatakan bahwa saat budaya keselamatan menguat, maka akan mengakibatkan meningkatnya performansi keselamatan.

Penelitian yang berkenaan dengan pengembangan instrumen pengukuran dilakukan oleh Koon-Chuen et al. (2012) dimana pengembangan instrumen pengukuran dilakukan pada rumah lansia dengan mengembangkan instrumen pengukuran yang dikeluarkan oleh ocupational safety and health council (OSHC) untuk mengukur persepsi keamanan pada pekerja di rumah lansia. Pengembangan instrumen Hospital Survey on Patient Safety Culture yang dilakukan oleh Pfeiffer

et al. (2010), pengembangan dilakukan pada versi Jerman untuk pekerja rumah

sakit di Jerman. Kedua penelitian ini menggunakan metode subyektif yaitu dengan menggunakan kuesioner. Metode subyektif dilakukan dengan mengumpulkan informasi subyektif atas apa yang dirasakan oleh obyek penelitian. Penelitian subyektif biasanya dilakukan dengan menjawab kuesioner, mengisi buku harian ataupun dengan wawancara. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai perangkat penilaian safety climate dengan metode subyektif. Bentuk kuesioner paling banyak digunakan dalam metode subyektif karena memerlukan waktu yang cukup singkat De Vries et al. (2003).

Di Indonesia beberapa peneliti sudah meneliti yang terkait dengan safety

climate atapun safety culture yang berkaitan dengan faktor-faktor yang

mengakibatkan lemahnya climate/culture safety khusunsya di UGD

Penerapan safety climate dibagi menjadi 2 bagian yaitu ekternal dan internal yang saling berhubungan untuk menciptakan safety climate yang lebih akurat dan dapat berjalan dengan maksimal, bagan safety climate dapat dilihat pada Gambar 1.1.

(4)

Safety Climate UGD

Eksternal safety climate Alat 1. Ambulans 2. Alat Penyelamatan Petugas 1. Supir Ambulans 2. Personel Evakuasi

Internal safety climate Petugas UGD 1. Perawat 2. Dokter 3. Bidan 4. Pihak Manajeman Alat-alat yang digunakan untuk penyelamatan pasien gawat darurat

Gambar 1.1. Safety Climate UGD

Penelitian yang dilakukan oleh Raharjo dan Dumilah (2008) mengidentifikasi safety climate pada unit gawat darurat di rumah sakit yang dapat mengakibatkan kegagalan keselamatan dalam penanganan pasien. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi safety climate di unit gawat darurat antara lain.

1. Faktor Prosedur Tugas

Ada beberapa bagian dari faktor prosedur tugas yang mencakup safety

climate yang mengalami kegagalan.

a. Protokol observasi intensif di UGD belum tersedia.

b. Protokol atau SOP tindakan venaseksi belum tersedia di UGD.

c. Prosedur Konsultasi kasus yang memerlukan penanganan dua atau lebih dokter konsulen/spesialis kurang jelas dan tidak spesifik.

d. Prosedur registrasi pasien UGD kurang memadai. 2. Faktor Individu

Beberapa bagian yang mengakibatkan safety climate tidak berjalan dengan baik.

a. Keterampilan staf melakukan manajemen jalan napas pada saat tindakan resusitasi kurang memadai.

b. Melakukan tindakan venaseksi kurang memadai.

c. Keterampilan staf dalam melakukan initial assesment pada penderita gawat darurat kurang memadai.

(5)

3. Faktor Kerjasama Tim dan Komunikasi.

Bagian dari faktor yang berpengaruh terhadap safety climate antara lain. a. Supervisi atasan langsung kurang memadai.

b. Instruksi tertulis tidak lengkap.

c. Komunikasi antar dokter konsulen yang menangani pasien yang sama kurang memadai.

d. Komunikasi lisan antara staf IGD dengan keluarga pasien kurang memadai.

e. Komunikasi lisan antar staf rumah sakit kurang memadai. f. Komunikasi antar staf IGD kurang memadai.

4. Faktor Lingkungan Kerja.

Bagian dari faktor yang berpengaruh terhadap safety climate antara lain. a. Beban kerja menangani pasien lebih dari satu pasien pada saat bersamaan

sering terjadi.

b. Peralatan untuk observasi intensif di IGD kurang memadai. 5. Faktor Organisasi dan Manajemen.

Cakupan risiko di rumah sakit terdiri dari dua hal yaitu corporate risks dan

clinical risks, paparan risiko ini berpotensi merugikan organisasi rumah sakit

pada berbagai aspek antara lain aspek finansial, aspek legal, dan aspek reputasi. Pengorganisasian secara formal manajemen risiko klinis belum secara formal dibentuk, tetapi secara informal sudah ada struktur organisasi rumah sakit yang mengelola risiko klinis walaupun belum terintegrasi dalam satu manajemen risiko.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahayuningsing dan Widodo (2011) menyatakan hal yang sama. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa safety culture belum benar-benar diterapkan di rumah sakit yaitu.

1. Rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa dilihat dengan masih ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh pasien terutama dari masyarakat yang tidak mampu.

2. Beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampau berat terutama perawat. Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada

(6)

pasien sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat yang menjadikan beban kerja mereka meningkat. Selain perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter spesialis serta distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu pelayanan yang tidak sama di setiap rumah sakit. 3. Orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat

disebagian petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang hanya berorientasi untuk mencari materi/keuntungan semata tanpa mempedulikan keselamatan pasien.

4. Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan terhadap para petugas kesehatan. Lemahnya pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari terbatasnya personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position dinas kesehatan.

Peneltian yang dilakukan oleh Fadillah et al. (2013) memperlihatkan bahwa penerapan safety climate dari masing-masing faktor yang dilakukan pada rumah sakit di Sulawesi Selatan pada bagian instalasi gawat darurat, pada penelitian ini dihasilkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap safety climate masih memiliki hasil yang rendah untuk beberapa faktor yang diujikan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Indonesia sebagai negara yang besar memiliki banyak penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan khususnya UGD, hal ini belum berjalan dengan maksimal berdasarkan Badan Litbang Kesehatan (2011) jumlah UGD di setiap propinsi yang ada di Indonesi belum terpenuhi 100%. Hal ini mengakibatkan penerapan safety climate pasien belum dapat dimaksimalkan pada bagian Unit Gawat Darurat yang mengakibatkan banyaknya kejadian yang tidak diinginkan terjadi di rumah sakit khususnya pada bagian Unit Gawat Darurat.

(7)

Tabel 1.1. Gambaran Safety Climate di IRD (Fadillah et al., 2013)

Faktor Kriteria (%)

Rendah Sedang Tinggi Ekspektasi Supervisor dan Tindakan Promosi Keselamatan 15% 66,7% 26,7% Pembelajaran Organisasi dan Peningkatan Berkelanjutan 13,3% 20% 66,7%

Kerjasama Dalam Unit 6,7% 0% 93,3%

Keterbukaan Komunikasi 6,7% 20% 73,3%

Umpan Balik dan Komunikasi error 6,7% 20% 73,3%

Respon Terhadap Error 13,3% 40% 46,7%

Staffing 6,7% 93,3% 0%

Merujuk pada model sistem milik Henriskey et al. (1993) dalam Henriksen (2008) bahwa elemen-elemen yang terkait pada kejadian insiden keselamatan pasien yang harus dipenuhi dengan baik agar keselamatan pasien dapat terjamin antara lain.

1. Karakteristik Individu

Mencakup pengetahuan, keterampilan, kapabilitas sensor dan memori, training dan edukasi, kelelahan dan waspada, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, usia, motivasi dan keterampilan

2. Sifat Dasar Pekerjaan

Mencakup alur cara kerja, beban pekerjaan, kerjasama tim, kompleksitas pekerjaan, kemampuan kognitif

3. Interaksi Antara Sistem dan Manusia

Mencakup sistem peralatan dan teknologi informasi 4. Lingkungan Fisik

Mencakup desain tempat dan peralatan kerja, suhu, kebisingan dan pencahayaan

5. Lingkungan sosial dan Organisasi

Mencakup lingkungan organisasi, komunikasi 6. Manajemen

Mencakup struktur organisasi, safety culture, kepemimpinan dan staf 7. Lingkungan Eksternal

(8)

Penelitian yang dilakukan oleh Maharnika (2009) tentang budaya organisasi pada rumah sakit, penelitian ini menjelaskan budaya yang terbentuk oleh pekerja yang ada di rumah sakit seperti perawat, pekerja laboratorium, kasir. Penilaian berdasarkan skala 1-6 yang dibentuk sendiri, berikut ini akan dipaparkan budaya pekerja perawat berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Aspek Budaya Perawat Di Rumah Sakit (Maharnika, 2009)

Aspek Penilaian Budaya Perawat Keterangan

Pengambilan Keputusan Memilih cara aman tidak berani untuk bekerja dengan perubahan

Penyelasaian Tugas Bekerja dengan sedikit improvisasi Hari-hari dalam bekerja Monoton

Perhatian Masalah Pribadi Manajemen Kurang Proaktif

Pembuatan Keputusan Penting Jarang diikutkan dalam pengambilan keputusan

Komunikasi Cukup Komunikatif dan edukatif

Sikap terhadap orang luar Sesuai dengan kepentingan

Bekerja sama Mudah

Usaha menemukan keinginan pasien Harus dilakukan oleh diri sendiri

Tanggung jawab Bertanggung jawab

Perhatian manajerial pada kesejahteraan perawat

Manajemen cukup bertanggung jawab

Oleh karena itu penilaian safety climate adalah suatu hal yang penting dilakukan untuk dapat mengetahui penerapan safety climate yang telah dilakukan pada bagian healthcare. Karena pentingnya penilaian safety climate pada

healthcare maka dalam penelitian ini mencoba untuk melakukan penilaian

penerapan safety climate pada healthcare dengan mengembangkan sebuah instrumen penelitian sebagai salah satu bentuk penilaian safety climate secara subyektif di Unit Gawat Darurat rumah sakit Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penilaian safety

climate pada healthcare dalam hal ini rumah sakit dengan mengembangkan

sebuah instrumen pengukuran untuk memperoleh indikator yang berperan dalam penerapan safety climate

(9)

1.3. Batasan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti memiliki batasan-batasan sebagai berikut:

1. Organisasi kesehatan yang diteliti pada penelitian ini adalah rumah sakit dengan tempat spesifik yaitu Unit Gawat Darurat

2. Rumah sakit yang diteliti berjumlah 3 rumah sakit dengan 12 atapun 16 jumlah pelayanan yang telah diakreditas oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

3. Pekerja yang diteliti minimal memiliki masa kerja 2 tahun pada bagian internal unit gawat darurat yaitu dokter, perawat, bidan.

4. Hanya dilakukan validitas internal untuk kuesioner yang dihasilkan

1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk.

1. Mengembangkan instrumen pengukuran safety climate/culture rumah sakit khususnya pada unit gawat darurat berdasarkan persepsi tim medis unit gawat darurat.

2. Mengetahui gambaran umum kondisi safety climate yang terdapat pada rumah sakit.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Mempunyai alat ukur yang sesuai dengan safety climate/culture yang bisa digunakan pada healthcare.

2. Membantu pihak-pihak terkait dalam hal ini manajemen healtcare maupun

staff healthcare dalam menerapkan safety climate/culture yang ada di

Gambar

Gambar 1.1. Safety Climate UGD
Tabel 1.1. Gambaran Safety Climate di IRD (Fadillah et al., 2013)
Tabel 1.2. Aspek Budaya Perawat Di Rumah Sakit (Maharnika, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

%asus (' >nestasi sekutu baru lebih besar dari proporsi sekutu baru terhadap  >nestasi sekutu baru lebih besar dari proporsi sekutu baru terhadap nilai buku persekutuan.

Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranguh pendapatan asli daerah dan pertumbuhan ekonomi yang sebagai variabel moderasi, seperti pada penelitian

Berita terbaru dari validasi ini, salah satu pembuat WebWork yaitu Jason Carreira, telah menjadi salah satu expert group dari spesifikasi validasi, jadi mungkin saja kedepanyna

Menurut I Nyoman Sumaryadi, (2010: 46), mengemukakan bahwa Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam

Proses pengiriman barang dimulai dari cutomer datang membawa barang kepada bagian administrasi dengan mencetak data barang yang akan dikirim lalu kemudian data tersebut

Nampaknya relasi antara budaya dan agama terlihat sejalan, karena pada dasarnya kedua dimensi di atas memiliki fungsi dan kegunaan yang sama, yaitu sama-sama

Oleh karena produk sabun mandi padat digunakan oleh masyarakat luas, maka produk tersebut harus memiliki standar spesifikasi produk yang sesuai, sehingga dapat

Elemen-elemen surpac yang kita harus tahu untuk mengdigitasi peta seperti;  star  a new  s egmen t, digi t  ize a poin t  at  cu rs o r  loc at  ion  , clo  s e th e cu rr