• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapat Ibnu Hazm tentang Hukum Menikahi Anak Tiri (Analisis Kompilasi Hukum Islam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendapat Ibnu Hazm tentang Hukum Menikahi Anak Tiri (Analisis Kompilasi Hukum Islam)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

20

Pendapat Ibnu Hazm tentang Hukum Menikahi Anak Tiri (Analisis

Kompilasi Hukum Islam)

Robi Efendi

STIT Syeh Saman Al-Hasan Gayo Lues, Aceh, Indonesia Email: robiefendi@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini ingin mengetahui Pertama; Pendapat dan Alasan Ibnu Hazm tentang menikahi anak perempuan bawaan isteri. Kedua; ingin mengeatahui relevansi pendapat Ibnu Hazm tersebut dengan hukum perkawinan di Indonesia. Dilihat dari objek dan bahan-bahan yang diteliti jenis penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) dengan bahan primer berupa kitab karya Ibnu Hazm Muhalla bil Atsar, dan bahan sekunder berupa buku-buku lainnya yang relevan dengan pembahasan. Analisis yang digunakan dengan cara memaparkan pendapat Ibnu Hazm (Content Analys). Hasil penelitian ini menunjukkan 1). Ibnu Hazm berpendapat bahwa menikahi anak perempuan bawaan isteri adalah boleh dengan ketentuan anak tersebut tidak berada dalam pemeliharaan ayahnya. 2). Pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan boleh menikahi anak perempuan bawaan isteri yang tidak dalam pemeliharaan ayahnya adalah tidak relevan dengan peraturan perkawinan perundang-undangan di Indonesia. Kendati demikian, pendapat Ibnu Hazm tersebut tidak menutup kemungkinan suatu saat dapat diberlakukan di negara Indonesia, mengingat dua alasan, yaitu: Pertama: Peraturan perundang-undangan tidak bersifat statis (tetap) melainkan bersifat dinamis (dapat berubah). Peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam) belum dapat dikatakan sempurna dan masih diperlukan penyempurnaan. Kedua: Masyarakat yang selalu berubah dari zamannya tentu memerlukan perubahan hukum.

Kata Kunci: Pernikahan, Anak Tiri, Ibnu Hazm.

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan anjuran dalam Islam dan merupakan suatu cara yang ditetapkan Allah swt sebagai jalan bagi manusia untuk memperoleh keturunan. Anjuran tersebut banyak disinggung dalam Alqur‟an maupun hadist Nabi saw. Anjuran tersebut merupakan suatu solusi untuk memuaskan naluri biologis (gharizah an-nau‟) (An Nabani, T., 2011:16) serta agar memperoleh keturunan. Anjuran menikah ini dapat kita lihat seperti yang terdapat dalam surat an-Nur ayat 32, yang artinya:

“Dan kawinkanlah orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Anonimous, tt:354).

(2)

21 Juga sabda Rasulullah saw sebagaimana yang diceritakan dari Abdullah bin Mas‟ud, bahwasannya Nabi bersabda:

هل هنإف موصلات هيلعف عطتسي نل نهو جو زتيلف جءاثلا نكنه عاطتسا نه باثشلا رشعه اي

ءاجو

Artinya:

“Hai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah mampu (punya bekal dan biaya) hendaknya kawin, karena akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kehormatan. Bila belum mampu, maka hendaknya berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai bagimu”.(san’ani, tt:109)

Ayat maupun hadis di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa untuk melakukan pernikahan tentunya harus telah mampu atau layak. Bukan hanya itu, dalam hukum pernikahan Islam dikenal sebuah asas selektivitas, yang maksudnya adalah seseorang yang hendak menikah, hendaklah terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa dia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah (Ramulyo, 2002:34). Di antara ketidak bolehan menikah tersebut adalah dengan anak perempuan bawaan isteri (anak tiri), Oleh karena itu pernikahan dalam Islam, meskipun suatu pernikahan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang ditentukan, belum tentu perkawinan tersebut dapat dilangsungkan karena masih tergantung lagi oleh suatu hal, yaitu pernikahan tersebut harus terlepas dari segala hal yang menghalanginya, salah satu halangan ini adalah keharaman (mahram) menikah.

Ulama fikih membagi mahram kepada dua macam, Pertama disebut dengan

mahram muabbat, yaitu larangan pernikahan berlaku selamanya dalam arti sampai

kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan pernikahan. Kedua disebut mahram mu‟aqq±d yaitu pernikahan untuk sementara waktu, suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu itu telah berubah ia sudah tidak menjadi haram dinikahi (Syarifuddin, 2006:110).

Di antara larangan atau keharaman pernikahan itu antara lain disebabkan hubungan kekeluargaan, hubungan semenda, hubungan sesusuan, mengumpulkan dua orang saudara, pemilikan, musyrik, merdekanya hamba, wanita yang tertalak tiga, atau yang masih dalam masa iddah.

Adapun orang yang dikatakan sebagai mahram muabbad seperti yang disebutkan dalam surat an-Nisa‟ ayat 23 yang terjemahannya:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

(3)

22

Dari ayat di atas dapat kita ketahui orang-orang yang haram dinikahi selamanya

(mahram muabbad), yang terbagi pada tiga kelompok, adalah: Pertama larangan

karena hubungan nasab (kekerabatan), yaitu: ibu, nenek (dari garis ibu) dan seterusnya keatas; anak permpuan dan seterusnya kebawah; saudara perempuan kandung, seayah dan seibu; saudara perempuan ibu (bibi); anak perempuan dari saudara laki-laki (kemanakan kandung, seayah atau seayah; anak perempuan). Kedua larangan pernikahan karena mushaharah, adalah larangan karena hubungan pernikahan, yaitu: perempuan yang pernah dinikahi oleh ayah atau ibu tiri; perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki atau menantu; ibu isteri (mertua); anak dari isteri.

Hal ini yang sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa‟ ayat: 22-23:

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau..... ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ketiga larangan karena ra«a‟ah (sepersusuan). Bila seorang anak menyusui

kepada seorang perempuan, maka air susu perempuan itu menjadi darah daging dan pertumbuhan bagi anak tersebut. Ibu tersebut menghasilkan susu karena kehamilan yang disebabkan oleh suaminya, sehingga suami perempuan itu sudah seperti ayah si anak. Demikian pula anak yang dilahirkan oleh ibu itu seperti saudara dari anak yang menyusu kepada ibu tersebut, sehingga hubungan susuan sudah seperti hubungan

nasab (kekerabatan).

Larangan ini berdasarkan hadis Nabi saw:

ةسنلا نه مرح اه عاضرلا نه مرح الله ّنا

Artinya:

Sesunggunya Allah mengharamkan dari susuan apa yang telah Allah haramkan dari nasab (As-Syaukani, 1994:263).

Dari ayat tentang larangan pernikahan di atas yang masih hangat dibicarakan dan layak untuk di perbincangkan yaitu bagaimana hukum menikahi anak perempuan bawaan isteri? Dalam hal ini jumhur ulama sepakat mengenai keharaman menikahi anak perempuan bawaan isteri melalui pendapat mereka yaitu:

“Jumhur ulama telah sepakat bahwa berhubungan wathi‟ dengan isteri mengharamkan anak bawaanya untuk dinikahi, namun mereka berbeda pendapat apakah disyaratkan mengenai pengharaman anak perempuan isteri didalam pemeliharaan suami atau tidak? Jumhur berpendapat bahwa tidak disyaratkan dalam pengawasan suami mengenai pengharamannya”(Nawawi, 2007:248).

Berdasarkan pernyataan jumhur ulama di atas, bahwa mereka sepakat keharaman menikahi anak perempuan bawaan isteri, mereka tidak mensyaratkan apakah anak tesebut berada dalam pemeliharaan ayah tirinya atau tidak. Yang menjadi

(4)

23 pokok pengharaman menikahi anak perempuan bawaan isteri menurut jumhur yaitu apakah ibu dari anak tersebut telah berhubungan (wathi‟) dengan ayah tirinya. Jika ibu kandungnya telah berhubungan atau wathi‟ dengan ayah tirinya maka anak tersebut

haram muabbad bagi ayah tirinya. Dan jika belum berhubungan atau wathi‟ dengan

ayah tirinya anak perempuan bawaan isteri tersebut halal untuk dinikahi. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 8 C tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 39 ayat (2) C yang menyatakan boleh menikahi anak perempuan bawaan isteri tersebut (anak tiri) dengan ketentuan ibu dari isteri itu sudah diceraikan sebelum berhubungan suami isteri Ramulyo, 2002).

Namun dalam hal ini berbeda dengan pernyataan jumhur ulama di atas, Imam Ibnu Hazm membolehkan untuk dinikahi oleh ayah tirinya, seperti pendapat beliau berikut:

Adapun seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang mempunyai anak perempuan atau laki tersebut memiliki budak perempuan yang memiliki anak perempuan juga apabila anak perempuan tersebut berada dalam pemeliharaanya disertai laki tersebut sudah wathi‟ atau belum walaupun tampa ada rasa kenikmatan tidak dihalalkan baginya anak perempuan bawaan isterinya itu selama-lamanya. Namun jika dia (suami) telah berhubungan dengan isterinya sedangkan anak perempuan tersebut tidak dalam pemeliharaanya (maka halal untuk dinikahi), atau anak perempuan tersebut dalam pemeliharaanya dan belum melakukan hubungan dengan isterinya maka menikahi anak perempuan tersebut halal (juga) (al-Andalusi, 2003:140).

Dalil Ibnu Hazm ialah surat an-Nisa‟ ayat 23 ““…anak-anak isterimu yang

dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya…”

Menurut Ibnu Hazm maksud ayat di atas ialah:

Allah tidak mengharamkan )حثيترلا( yaitu anak perempuan bawaan dari isteri atau budak perempuan, kecuali sudah berhubungan dengan isterinya, dan anak bawaan perempuan tersebut berada dalam pemeliharaannya, maka tidak haram menikahinya. Maka tidak haram menikahi perempuan bawaan isteri tersebut kecuali pada dua syarat di atas (al-Andalusi, 2003:140).

Pendapat Ibnu Hazm di atas di dukung oleh hadis mauquf yang berasal dari Imam Ali r.a.

Sebagaimana yang telah kami riwayatkan dari jalur Abdur Razaq dari Ibnu Juraij, Ibrahim mengabarkan kepadaku dari Ibnu „Ubaid bin Rifa‟ah Malik bin „Aus bin Haddasan Anshari berkata: “saya punya isteri, lalu dia meninggal, dengan meninggalkan seorang anak perempuan padaku dan susahlah aku”. Lalu aku temui Ali bin Abi Thalib dan ia bertanya: “Mengapa saudara?” Jawabku “isteriku telah meninggal”, lalu tanyanya “apakah ia ada anak perempuan ? Jawabku “Ya, tapi di Tha‟if” lalu tanyanya kembali “apakah dulu ia kamu urus ? Jawabku “Tidak”, lalu katanya “lalu kawinlah dengan dia” jawabku “kalau begitu bagaimana dengan firman Allah يف يتلالانكثئ آترو

نكروجح lalu katanya: apakah ia ada ditangan kamu? Larangan tersebut berlaku jika anak tiri perempuan ada ditangan kamu.

(5)

24

Dari pemaparan di atas, penulis tertarik untuk membahas pemikiran Ibnu Hazm tersebut yang berbeda dari jumhur ulama serta untuk mencari relevansi pendapat tersebut dengan peraturan perkawinan di Indonesia kedalam suatu karya ilmiah yang berjudul “Pendapat Ibnu Hazm Tentang Hukum Menikahi Anak Tiri (Analisis Kompilasi Hukum Islam)”.

METODE PENELITIAN

Dilihat dari objek dan bahan-bahan yang diteliti jenis penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) dengan bahan primer berupa kitab karya Ibnu Hazm Muhalla bil Atsar, dan bahan sekunder berupa buku-buku lainnya yang relevan dengan pembahasan. Analisa yang digunakan dengan menganalisa pendapat Ibnu Hazm dengan cara memaparkarkan pendapat Ibnu Hazm (Content Analys)

HASIL DAN PEMBAHASAN

MENIKAHI ANAK PEREMPUAN BAWAAN ISTERI MENURUT IMAM IBNU HAZM (Studi Analisis Pasal 39 Ayat (2) C Kompilasi Hukum Islam)

Pernikahan Anak Perempuan Bawaan Isteri Menurut Ibnu Hazm.

Menikahi anak perempuan bawaan isteri, jumhur ulama sepakat akan keharaman hukumnya, yaitu haram selamanya bila telah terjadinya wathi‟ dengan isteri tersebut. Sebagaimana pendapat mereka berikut:

Para ulama telah sepakat bahwa berhubungan wathi‟‟ dengan isteri mengharamkan anak bawaanya untuk dinikahi, namun mereka berbeda pendapat apakah disyaratkan mengenai pengharaman anak perempuan isteri di dalam pemeliharaan suami atau tidak ? Jumhur berpendapat bahwa tidak disyaratkan dalam pengawasan suami mengenai pengharamannya (Nawawi, 2007).

Bila kita perhatikan pendapat jumhur di atas, tidak adanya syarat anak perempuan bawaan isteri tersebut yang harus dalam pemeliharaan ayahnya, yang menjadi pokok pengharamannya menurut jumhur adalah bila ibu dari anak tersebut sudah di wathi‟ oleh ayahnya, maka haram muabbat lah anak perempuan tersebut menikah dengan ayahnya, namun bila belum wathi‟ dan sudah diceraikan, maka boleh menikah dengan ayah tirinya. Seperti yang dijelaskan surat an-Nisa‟ ayat 23.

Lain halnya dengan Ibnu Hazm, yang berpendapat menikahi anak perempuan bawaan isteri adalah halal walaupun ibu dari anak tersebut sudah di wati‟ oleh ayah tirinya dengan ketentuan anak tersebut tidak berada dalam pemeliharaan ayahnya. Seperti pendapat beliau berikut:

“Adapun seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang mempunyai anak perempuan atau laki tersebut memiliki budak perempuan yang memiliki anak perempuan juga apabila anak perempuan tersebut berada dalam pemeliharaanya disertai laki tersebut sudah wathi‟ atau belum walaupun tampa ada rasa kenikmatan tidak dihalalkan baginya anak perempuan bawaan isterinya itu selama-lamanya. Namun jika dia (suami) telah berhubungan dengan isterinya sedangkan anak perempuan tersebut tidak dalam pemeliharaanya (maka halal untuk dinikahi), atau anak perempuan tersebut dalam pemeliharaanya dan

(6)

25 belum melakukan hubungan dengan isterinya maka menikahi anak perempuan tersebut halal (juga). (Al-Andalusi, 2003:140)

Pendapat tersebut sama-sama berpangkal dari surat an-Nisa‟ ayat 23. Menurut Ibnu Hazm maksud ayat di atas ialah:

“Allah tidak mengharamkan )حثيترلا( yaitu anak perempuan bawaan dari isteri atau budak perempuan, kecuali sudah berhubungan dengan isterinya, dan anak bawaan perempuan tersebut berada dalam pemeliharaannya, maka tidak haram menikahinya. Maka tidak haram menikahi perempuan bawaan isteri tersebut kecuali pada dua syarat di atas. (Al-Andalusi,2003:141).

Pendapat Ibnu Hazm di atas didukung oleh hadist mauquf yang berasal dari imam Ali

r.a.

Sebagaimana yang telah kami riwayatkan dari jalur Abdur Razaq dari Ibnu Huraij, Ibrahim mengabarkan kepadaku dari Ibnu „Ubaid bin Rifa‟ah Malik bin „Aus bin Haddasan Anshari berkata: “saya punya isteri, lalu dia meninggal, dengan meninggalkan seorang anak perempuan padaku dan susahlah aku”. Lalu aku temui Ali bin Abi Thalib dan ia bertanya: “Mengapa saudara?” Jawabku “isteriku telah meninggal”, lalu tanyanya “apakah ia ada anak perempuan ? Jawabku “Ya, tapi di Tha‟if” lalu tanyanya kembali “apakah dulu ia kamu urus ? Jawabku “Tidak”, lalu katanya “lalu kawinlah dengan dia” jawabku “kalau begitu bagaimana dengan firman Allah نكروجح يف يتلالا نكثئ آترو lalu katanya: apakah ia ada ditangan kamu? Larangan tersebut berlaku jika anak tiri perempuan ada ditangan kamu (Al-Andalusi, 2003 : 142)

Maksud kata نكروجح يف menurut Ibn Hazm di atas mengandung 2 (dua) makna, hal ini dapat kita lihat dari perkataannya:

Pertama; anak perempuan bawaan isteri tersebut tinggal bersama ayah tirinya dalam

satu rumah, dan dia yang akan menanggung segala urusan anak tersebut.

Kedua; memperhatikan segala urusan yang berkaitan dengan anak tersebut seperti

dalam hal perwalian.

Kedua syarat di atas harus terdapat dalam makna روجح jika tidak terdapat salah satu di

antara keduanya , maka tidak di kategorikan sebagai روجح (pemeliharaan). Menurut Ibnu Hazm, potongan ayat نكروجح يف يتلالا ini merupakan syarat dari boleh atau tidaknya menikahi anak perempuan bawan isteri, karena kata نكروجح يف يتلالا merupakan syarat dalam boleh atau tidaknya menikahi anak bawaan isteri tersebut. Sehingga tolak ukur Ibnu Hazm bukan terletak pada belum atau sudahnya melakukan hubungan wathi‟.

Lain hal nya dengan jumhur ulama, menurut jumhur potongan ayat يف يتلالا نكروجح bukan merupakan syarat boleh atau tidaknya menikahi anak perempuan bawaan isteri, namun yang menjadi tolak ukurnya adalah apakah ayah tersebut sudah melakukan hubungan wathi‟ dengan ibu anak tersebut.

Menurut penafsiran Jumhur potongan ayat نكروجح يف ini adalah نكت ويت artinya di dalam rumahmu (Asy-Syafi‟i, 2010:500). Hal yang hampir serupa di ungkapkan oleh Muhammad Ali Ash-Shabuny yang berpendapat kata نكروجح يف sebagai pemeliharaan yaitu tempat yang di jadikan pemeliharaan seseorang dan untuk menjaganya antara menolong dan membantunya dan di katakan fulan berada dalam pemeliharaan si fulan, yaitu berada dalam penjagaanya, pengasuhannya dan pendidikannya (Ashshabuni, tt:352)

(7)

26

Dari dua penafsiran ulama di atas, kata نكروجح يف ini anak tersebut harus serumah dengan ayahnya, mengasuh serta mendidik anak tirinya, sadangkan Ibnu Hazm harus terdapat dua unsur seperti yang telah di ungkapkan di atas.

Dalil yang digunakan Ibnu Hazm di atas yang di riwayatkan imam Ali r. a merupakan hadis mauquf. Adapun definisi hadis mauquf tersebut adalah sebagai berikut:

“Segala yang di riwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan, perbuatan atau

taqrir, baik sanadnya muttasil atau munqathi‟”(Al-Khatib, tt:380).

Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa hadis mauquf adalah hadis yang bersumber dari atau di hubungkan kepada para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pengakuan. Dan sanadnya boleh jadi muttashil (bersambung) atau

munqathi‟ (terputus).

Di antara hadis mauquf, ada yang dapat di golongkan sebagai hadis mauquf yang berstatus marfu‟, namun ada pula hadis mauquf yang tetap di golongkan sebagai hadis

mauquf. Hal ini dapat kita lihat dari pejelasan berikut : (Al-Khatib, tt:355).

1. Perkataan sahabat mengenai masalah-masalah yang bukan merupakan larangan

ijtihad dan tidak pula dapat ditelusuri melalui pemahaman secara kebahasaan,

serta tidak pula bersumber dari ahli kitab, misalnya:

a. Berita tentang masa lalu, seperti awal kejadian manusia.

b. Berita tentang masa yang akan datang, seperti huru-hara dan kedahsyatan keadaan yang bukan di alami pada hari kiamat.

2. Perbuatan sahabat mengenai masalah-masalah yang bukan merupakan lapangan

ijtihad, seperti shalat kusuf yang di lakukan imam Ali r.a dengan cara

melakukan lebih dari 2 ruku‟ pada setiap raka‟atnya.

3. Berita dari para sahabat mengenai perkataan atau perbuatan mereka tentang sesuatu serta tidak adanya sikap keberatan yang muncul mengenai perkataan atau perbuatan tersebut. Dalam hal ini ada dua keadaan, yaitu:

a. Apabila perkataan atau perbuatan sahabat tersebut disandarkan kepada masa Nabi saw, maka hukumnya adalah marfu‟, seperti yang dikatakan Jabir r.a.

“Adalah kami ber‟azal pada masa Rasulullalah saw. (H.R. Bukhari)

(Bukhari, 1981:153).

b. Bila perkataan atau perbuatan sahabat tersebut tidak di sandarkan pada masa Nabi saw, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hadis tersebut statusnya adalah mauquf.

Sebagai mana yang telah di paparkan di atas, bila hadis mauquf bersatus marfu‟‟ maka jumhur ulama sepakat akan dapat di jadikan dalil hukum. Namun bila perkataan atau perbuatan sahabat tersebut tidak berstatus marfu‟, maka para ulama berbeda pendapat dalam kebolehannya sebagai dalil hukum.

a. Menurut imam Malik, salah satu pendapat imam Syafi‟i, salah satu pendapat dari imam bin Hambal dan sebagian ulama Hanafiyah menyatakan bahwa perkataan atau fatwa seorang sahabat adalah dalil yang sah dan harus di dahulukan dari qiyas, baik fatwa tersebut sejalan dengan qiyas atau tidak. Pendapat mereka dengan merujuk pada Al-Qur‟an yang berbicara tentang sahabat at-Taubah ayat 100 yang mengatakan”mereka yang merupakan orang-orang pertama dari kalangan

Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah meridhai mereka, dan Allah pun ridha terhadap Allah…”. Dari ayat di atas,

(8)

27 para ulama yang mendukung pendapat ini berkesimpulan bahwa ayat ini tertuju pada setiap sahabat, dan karena itu fatwa dari seorang sahabat adalah dalil yang syari‟ah (al Makarim Isma‟il, tt:291-292). Pendukung pendapat ini mendasarkan pendapat mereka pada hadis nabi, yaitu: “Muliakanlah para sahabatku, karena mereka adalah orang yang terbaik di antara kamu, kemudian adalah orang-orang setelah mereka, dan selanjutnya adalah generasi setelah mereka, dan kemudian sesudah itu, kebohongan pun akan di lakukan di mana-mana.”(Al-Kissi, 1988:37). Berdasarkan hadis di atas, dapat ditegaskan bahwa mengikuti jejak para sahabat sama dengan mengikuti petunjuk yang benar, yang pada gilirannya mengandung implikasi bahwa fatwa para sahabat adalah merupakan dalil yang harus di ikuti.

b. Pendapat lain dari Ahmad bin Hambal, ulama Hanafiyah, Abu Hasan al-Kharki, para ulama Asyi‟ariyah dan Mu‟tazilah, menyatakan bahwa ijtihad seorang sahabat tidaklah merupakan dalil hukum, serta tidak mengikat para mujtahid yang datang kemudian dan tidak juga yang lain. Para pendukung ini berdalilkan surat al-Hasyir ayat 2, yang mengatakan “….ambillah pelajaran wahai orang-orang yang melihat” menurut kelompok ini ayat tersebut menerangkan bahwa ijtihad adalah merupakan kewajiban setiap orang yang mampu untuk itu, tampa membedakan apakan mujtahid tersebut seorang sahabat atau bukan. Jadi menjadi kewajiban tersebut adalah berijtihad dan bukan mengikuti ijtih±d orang tertentu. Lebih lanjut ulama kelompok ini menyatakan bahwa ayat tersebut juga mengindikasikan bahwa seorang mujtahid harus mendasarkan ijtihadnya langsung kepada sumber Syari‟ah dan bukan bertaqlid kepada orang lain, termasuk para sahabat. Lebih lanjut kelompok ini beralasan bahwa karena seorang sahabat itu adalah salah seorang dari para mujtahid, maka kemungkinannya untuk melakukan kesalahan tetap terbuka, dalam karena itu tidaklah merupakan suatu kewajiban untuk mengikutinya. Dengan demikian, fatwa seorang sahabat tidaklah dianggap sebagai dalil yang mengikat, dan dalil-dalil yang tidak membenarkan bertaqlid secara umum juga berlaku untuk meniadakan taqlid terhadap sahabat.

c. Pendapat ketiga yang menyatakan bahwa fatwa sahabat adalah hukum dan dalil yang mengikat apabila fatwa tersebut bertentangan, atau dan tidak sejalan dengan qiyas. Pendapat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah yang menyatakan bahwa, apabila keputusan seorang sahabat bertentangan dengan qiyas, hal tersebut merupakan indikasi tentang lemahnya qiyas dalam masalah itu. Oleh karenanya, pendapat sahabat dalam masalah tersebut adalah dalil yang mengikat dan harus di dahulukan dari qiyas. Namun sebaliknya, apabila pendapat sahabat sejalan dengan qiyas, maka pendapat tersebut dapat diterima sebagai dalil karena hanya kesejalannya dengan qiyas yang sudah merupakan dalil yang sah. Jadi fatwa sahabat disni bukanlah dalil yang berdiri sendiri (Kamali, : 1991: 237-240).

Dalam hal ini, hadis mauquf yang digunakan Ibnu Hazm dapat dijadikan hujj±h sesuai dengan kedua kelompok di atas, yang menjadikan fatwa sahabat sesuai dalil hukum. Hal ini penulis jelaskan karena Ibnu Hazm mencantumkan hadis mauquf dalam membolehkan seorang ayah menikahi anak tirinya walaupun sudah berhubungan wathi‟ dengan isterinya dengan ketentuan anak perempuan bawaan isteri tersebut tidak berada dalam pemeliharaan ayahnya.

(9)

28

Pernikahan Anak Perempuan Bawaan Isteri Menurut Undang-Undang Perkawinan

Negara Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, yang mana dalam negara tersebut terdapat berbagai suku, adat serta istiadat yang berbeda antara satu dengan lainya, dan hukum yang dipakaipun berbeda pula sesuai dengan masyarakat yang menganut hukum tersebut.

Sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang majemuk. Disebut demikian karena adanya tiga sitem hukum yang berlaku, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat (kontinental)( Ali, 1991:187).

Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis, ia tumbuh, berkembang, dan

hilang sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Hukum Islam juga adalah hukum yang tidak tertulis seperti halnya hukum adat. Artinya hukum Islam tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Hukum Barat adalah hukum warisan penjajahan belanda yang diberlakukan di Indonesia, misalnya kitab Undang-Undang atau dalam bahasa belandanya Burgerlijk Wetboek. (Ali, 1998:190-191).

Kebanyakan hukum Islam yang berkembang di tengah masyarakat muslim tersebar dalam sejumlah buku-buku karya tulis para Imam Mazhab dan pengikutnya yang biasa disebut dengan buku fiqh atau kitab kuning. Di Indonesia kitab-kitab ini selain dipelajari di sekolah juga menjadi rujukan di pengadilan Agama dalam memutuskan perkara. Di negara Indonesia, peraturan perundang-undangan yang di anut adalah sejalan dengan pendapat Imam Mazhab, bukti masyarakat Indonesia menganut Imam Mazhab tersebut adalah terdapatnya sumber (literature) yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama, yang lebih kurang terdapat 13 kitab fiqh sebagai rujukan, yaitu: Al-Bājuri, Fath al-Mu‟ĭn, Sytarqawĭ „Ala al-Tahrir,

Qalyuby/Mahally, Fath al-Wahhāb dengan syarahnya, Tuhfah, Targhib al-Mustaqq, Qawānin Syar‟iyyah li al-Sayyid bin Yahya, Qawānin Syar‟iyyah li al-Syyid, Syamsyur fi farā‟id, Bughyat Musytarsyidĩn, Al-fiqh „Ala Mazāhib Arba‟ah, Muhgni al-Muhtaj. (Anonimous, tt:124.).

Selain itu, Kompilasi Hukum Islam yang menjadi rujukan di lembaga departemen agama di Indonesia di gali dari 4 jalur, yaitu:

Pertama, dari jalur pengkajian kitab fiqh. Ini dilakukan dengan kerjasama dengan

beberapa IAIN di Indonesia, khususnya Fakultas Syari‟ah.

Kedua, pendapat ulama di Nusantara, tentunya hal ini dengan melakukan

wawancara dan pendapat mereka mengenai beberapa hal tertentu dan dijadikan bahan masukan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam tersebut.

Ketiga, dari jalur Yurisprudensi yang terhimpun dalam putusan-putusan pengadilan

Agama seluruh Indonesia sejak zaman belanda hingga Kompilasi Hukum Islam itu tersusun tahun 1974.

Keempat, studi perbandingan mengenai pelaksanaan dan penegakan hukum Islam

di negara Muslim (timur tengah), terutama negara tetangga (misalnya: negera Malaysia) (Ali, 1998:266.).

Begitu juga dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dipahami bahwa sebagaian besar meteri hukumnya adalah diambil dari hukum perkawinan Islam (Hasan Asari, Studi Islam : Dari Pemikiran Yunani ke Pengalaman

Indonesia Kontemporer (Hasan Asari, 2006: 88).

Dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam, dapat kita pahami bahwa sebagai hukum Islam pertama hasil produk bangsa Indonesia sendiri dan dikodifikasi langsung

(10)

29 oleh bangsa Indonesia dan melebelkan dirinya dengan nama Hukum Islam. Meskipun telah banyak hukum Islam yang masuk menjadi hukum Nasional dan diterapkan sebagai mana mestinya hukum positif, namun tidak melebelkannya dengan hukum Islam. Misalnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 dan yang lainnya (Hasan Asari, 2006:90).

Mengenai KHI, meski diantara banyaknya ilmuan ada yang mengatakan bahwa lahirnya KHI seperti keberadaanya yang kita kenal saat ini belum dapat dikatakan telah sempurna, tetapi dia lebih dekat atau tepat dianggap sebagai langkah awal ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum Islam Indonesia, dengan demikian upaya penyempurnaannya masih tetap diperlukan. (Hasan Asari, 2006:92).

Sejalan dengan hal tersebut, Abdurrahman mengatakan bahwa KHI tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang telah final, tetapi dia harus dilihat sebagai sesuatu dan sekaligus batu loncatan untuk meraih keberhasilan yang lebih baik dimasa yang akan dating (Abdurrahman, 1992:6.).

Selain pendapat diatas, ada pendapat yang lebih ekstrim mengatakan bahwa KHI tidak wajib dipatuhi. Seperti A. Hamid Attamini, dia mengatakan bahwa:

“KHI tidak termasuk salah satu dari hukum positif dan hukum tertulis Indonesia, karenanya tidak mengikat, artinya tidak ada keharusan untuk mengamalkannya. KHI adalah himpunan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara teratur. Dalam kajian hukum ketatanegaraan, meskipun KHI dituliskan, dia bukanlah dinyatakan sebagai hukum tertulis, bukan undang-ndang, bukan Peraturan Pemerintah, bukan Keputusan Presiden dan yang lainnya, bahkan bukan peraturan perundang-undangan. KHI adalah hukum tidak tertulis yang secara nyata hidup dan berkembang dalam klehidupan sebahagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam, karena pengamalan KHI adalah bersifat motivasi agama” (Amrullah dkk., 1996:152-153.)

Hal ini dipahami setelah terlebih dahulu menganalisis tempat KHI dalam dalam struktur hirarki sumber hukum yang berlaku di Indonesia, bahwasannya KHI yang di atur dengan Inpres No. 1 tersebut tidak termasuk salah satu dari sumber hukum formal yang ada, karena tidak ditemukan sumber hukum formal tersebut. Dengan demikian, KHI bukanlah hukum positif dan wajib di amalkan (Amrullah dkk., 1996:152-153.)

Dari pendapat pro dan kontra di atas, KHI dipahami wajib di amalkan kerena paling tidak ada empat alasan, Pertama KHI itu sesuai dengan ide syari‟at; Kedua KHI itu di atur oleh pemerintah yang sah; Ketiga KHI itu di rumuskan dan disepakati ulama Indonesia, Keempat KHI itu diciptakan adalah dalam rangka menciptakan maslahat dan menghindarkan dari mafsadat secara umum (Pagar, 2007:59.)

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa sistem peraturan perkawinan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia diadopsi dari pendapat Imam Mazhab, ditambah lagi dengan pendapat ulama atau cendikiawan muslim di Indonesia yang menandakan bahwa peraturan perkawinan perundang-undangan tersebut sesuai dengan pendapat jumhur.

Hal ini dapat kita lihat dari kesesuaian pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut, baik dari syarat dan rukunnya maupun dari orang yang terlarang untuk dinikahi. Seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 8 yang menyebutkan orang-orang yang dilarang untuk dinikahi, salah satunya terdapat pada poin C: berhubugan semenda, yaitu: mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri (Pagar, 2007:18.) Begitu juga dengan Kompilasi Hukum Islam

(11)

30

pasal 38 ayat (2) C yang menyatakan haram menikah dengan seorang wanita keturunan isterinya atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan itu qabla al

dukhul; dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya (Pagar, 2007:18.)

Al-Qur‟an sendiri menyatakan dalam surat an-Nisa‟ ayat 23 bahwa tidak berdosa

(halâl) hukumnya menikahi keturunan isteri (anak tiri) sekalipun anak tersebut dalam

pemeliharaan ayah nya dengan ketentuan isteri nya tersebut sudah di ceraikan. Sementara jumhur ulama tidak memberikan syarat yang menjadikan anak tersebut dalam pemelihraan ayah nya atau tidak. Lain hal nya dengan pernyatan Ibnu Hazm yang membolehkan menikahi anak perempuan bawaan isteri walaupun sudah di wathi‟ dengan syarat dia tidak berada dalam pengampuan ayah tirinya

Relevansi Menikahi Anak Perempuan Bawaan Isteri Menurut Ibnu Hazm Dengan Peraturan Perkawinan Yang Berlaku Di Indonesia.

Undang-Undang pernikahan di Indonesia sebagaimana yang telah di paparkan di atas merupakan hasil adobsi dari pendapat jumhur ulama yang tidak memandang syarat anak bawaan isteri tersebut berada dalam pemeliharaan ayah tirinya. Seperti hal nya yang terdapat dalam pasal 39 Bab VI tentang Larangan Kawin ayat 2 poin C, yang menyatakan:

“dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla al dukhul; “

Dari kutipan pasal diatas hanya menyatakan “dengan seorang wanita keturunan

isteri”, kutipan pasal di atas hanya memberikan pengecualian, yaitu boleh dengan

ketentuan qabla al dukhul (sebelum terjadinya wathi‟). Sementara surat an-Nisa‟ sendiri menghalalkan menikahi anak perempuan bawaan isteri tersebut bila belum terjadinya wathi‟ sekalipun anak itu dalam pemeliharaan ayahnya.

Disinilah terdapatnya perbedaan yang signifikan dengan pendapat Ibnu Hazm. Dia menyatakan halal hukumnya menikahi anak perempuan bawaan isteri tersebut walaupun sudah di wathi‟ dengan ketentuan anak itu tidak dalam pemeliharaan ayahnya. Di Indonesia paham keagamaan yang di ikuti adalah pendapat jumhur ulama, dalam hal ini adalah imam Syafi‟i, dengan demikian dalam permasalahan ini Indonesia cenderung memilih pendapat jumhur ulama yang tidak membolehkan menikahi anak bawan isteri jika sudah di wathi‟.

Dengan demikian, jika di perhatikan dengan teliti pendapat Ibnu Hazm ini tidak relevan dengan peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia, karena kebiasaan (culture) masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan pengamalan jumhur ulama, yaitu tidak di perbolehkannya menikahi anak perempuan bawaan isteri jika sudah melakukan hubungan wathi‟‟ dengan ibunya, dan sangat tabu rasanya jika anak itu di nikahi oleh ayah tiri nya.

Akan tetapi, pendapat Ibn Hazm tersebut tidak menutup kemungkinan dapat diberlakukan dan menjadi peraturan perundang-undangan perkawinan suatu saat di negara Indonesia. Karena sebagaimana yang telah disebutkan di atas peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia (dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam) belumlah dapat dikatakan sempurna dan masih perlu dilakukan pembaharuan. Dalam artian peraturan perkawinan tersebut tidak bersifat statis (tetap) melainkan bersifat

(12)

31

dinamis (dapat berubah), hukum itu suatu saat dapat berubah sesuai dengan situasi dan

kondisi masyarakat. Mengingat kebutuhan masyarakat yang selalu menuntut adanya perubahan-perubahan dalam arti tuntutan serta kepentingannya yang baru karena perubahan waktu dan kondisi di samping tuntutan untuk memperoleh jawaban hukum yang lebih sesuai dan mendekati antara teori-teori hukum dan kenyataan praktis, maka kondisi sepertinya telah mendorong eksistensi hukum mengalami perkembangan dan perubahan senada dengan tuntutan masyarakat Roibin, Sosiologi Hukum Islam; Telaah

Sosio-Histori Imam Syafi‟i (Roibin, 2008: 32).

Perubahan pada hukum baru akan dapat terjadi apabila dua unsurnya telah bertemu pada satu titik singgung. Kedua unsur itu adalah (1). Keadaan yang baru

timbul, dan (2) kesadaran akan perlunya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan itu sendiri Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum (Abdul Manan,

2005:26). Perubahan hukum disini masuk kedalam wilayah perubahan sosial.

Disinilah ijtihad perlu kembali dilakukan, dengan kata lain kebanyakan ulama dan pemikir Islam menghendaki tetap diadakannya hukum Islam yang mampu memberi solusi dan jawaban terhadap perubahan sosial. Di sepakati bahwa inti dari ajaran Islam adalah untuk menciptakan kemashlahatan umat manusia yang harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga tetap saja selalu diperlukan ijtihad. (Qodri Azizy, 2002:32). Di satu pihak hukum Islam memiliki sifatnya yang memang dokriner dan normatif, namun di pihak lain hokum Islam menenerima perubahan-perubahan, dan dalam aplikasinya selalu ada pintu ijtihad yang menyesuaikan dengan realitas empiriknya (Roibin, 2008: 32).

Perubahan sosial pada masyarakat tersebut dapat dipengaruhi bebrapa faktor, seperti:

a. Agama.

b. Ilmu Pengetahuan. c. Kemajuan Ekonomi. d. Tatanan Politik; dan

e. Letak Geografis (Muhammad Thalhah Hasan, 2004:109-110).

Lima masalah ini akan dapat mengubah situasi hidup kita juga mengubah tata kemasyarakatan kita yang pada gilirannya menuntut penafsiran kembali norma-norma dan hukum-hukum tersebut. Tentang besar kecilnya atau banyak sedikitnya tuntutan tersebut tergantung kadar perubahan yang terjadi (Hasan, 2004:109-110).

Lebih lanjut Soerdjono Soekanto mengemukakan bahwa perubahan sosial pada masyarakat dapat mengenai sistem nilai, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi kemasyarakatan, susunan lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial, dan sebagainya (Soerdjono Soekanto, 1991:17).

Perubahan sosial dengan berbagai faktor dan akibatnya memberikan pengaruh terhadap hukum, dalam arti menuntut adanya perubahan hukum dalam rangka menanggapi problema yang dimaksud. Sebagaimana yang dikatakan oleh Soedjono Dirdjo Sisworo,“terjadinya interaksi antara perubahan hukum dan perubahan

masyarakat adalah fenomena nyata, titik sentral sebagai penentu dari berbagai gejala yang juga menentukan watak dan perubahan hukum adalah manusia sendiri.” (Soedjono Dirdjo Sisworo, 1983:83.)

(13)

32

Dalam hubungan nya dengan masyarakat, hukum mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu sebagai social engenering dan sosial control. Pada fungsi pertama, hukum berperan menciptakan perubahan struktur sosial dan memacu masyarakat agar bergerak. Artinya hukum-hukum diatur untuk tujuan menggerakkan masyarakat pendukungnya supaya maju. Sebaliknya pada fungsi kedua, hukum itu berperan dalam memelihara stabilitas sosial serta mengendalikan arah dan mengotrol lajunya perubahan masyarakat agar tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam kaitan ini hukum selalu ketinggalan dari dan mengalami tarik menarik dengan tuntutan perubahan masyarakat yang dinamis. Pada satu sisi hukum mengekang berbagai gerakan masyarakat, dan di sisi lainnya dinamika masyarakat selalu menuntut agar hukum menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman (Soerdjono Soekanto, 1975:146-147.)

Dalam menghadapi perkembangan masyarakat, ada bagian hukum Islam yang tetap berlaku tampa perubahan, karena sifatnya yang memang absolut, universal, dan a

priori. Tapi ada pula bagian hukum yang berkembang secara kondisional, karena

sifatnya yang memang relatif, kontekstual, dan a posteriori (dipengaruhi lingkungan). Dalam menerapkan hukum-hukum tesebut, ada pedoman yang harus di pegangi, tidak boleh asal mengubah atau menyesuaikan dengan situasi tampa mengikuti aturan permainan nya tampa begitu hasilnya akan menimbulkan kekacauan hukum (Muhammad Thalhah Hasan, 2004:109-110). Dan dalam hal tersebut tidak pernah terlepas dari perubahan sosial yang di alami masyarakat setempat juga yang tidak kalah pentingnya adalah dengan memperhatikan kemashlahatan.

Dalam kaitannya dengan Kompilasi Hukum Islam, sudah pasti pendapat yang harus dipertahankan adalah pendapat jumhur yang tidak membolehkan menikahi anak perempuan bawaan isteri. Karena seperti yang dikemukakan diatas, bahwa kebiasaan

(culture) masyarakat Indonesia sangat menghargai karib kerabatnya dan anak

perempuan bawaan isteri tersebut sudah sama seperti anak kandung si ayah. Penulis berpendapat bahwa haramnya seseorang dinikahi bukan karena dalam pemeliharaan atau tidaknya, namun ditentukan oleh nasab dan perkawinan. Ternyata ada kesejalanan jumhur, budaya dan tradisi masyarakat di Indonesia yang menempatkan status anak isteri sama dan sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam.

PENUTUP

Ibnu Hazm berpendapat bahwa menikahi anak perempuan bawaan isteri adalah boleh dengan ketentuan anak tersebut tidak berada dalam pemeliharaan ayahnya. Pendapat ini di dasarkan pada Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 23 dan hadis mauquf yang berasal dari imam Ali r.a yang menyatakan boleh menikahi anak perempuan bawaan isteri tersebut bila tidak dalam pemeliharaan ayahnya. Pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan boleh menikahi anak perempuan bawaan isteri yang tidak dalam pemeliharaan ayahnya adalah tidak relevan dengan peraturan perkawinan perundang-undangan di Indonesia. Karena secara psikologis masyarakat Indonesia sangat menghargai karib kerabatnya, dan sangat tabu rasanya bila menikahi anak perempuan bawaan isteri tersebut (anak tiri). Kendati demikian, pendapat Ibnu Hazm tersebut tidak menutup kemungkinan suatu saat dapat diberlakukan di negara Indonesia, mengingat dua alasan, yaitu: Pertama: Peraturan perundang-undangan tidak bersifat

statis (tetap) melainkan bersifat dinamis (dapat berubah). Peraturan

(14)

33 dan masih diperlukan penyempurnaan. Kedua: Masyarakat yang selalu berubah dari zamannya tentu memerlukan perubahan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1992. Cet.I, Jakarta: Akademika Presido.

Amrullah dkk. 1996. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. II.

Al-Andalusi, 2003. Ibnu Hazm al-Muhalla bil Astâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 2003, Jilid 9.

Ali, Mohammad Daud., 1991. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press, Cet. Kedua.

al-Khatib, Ajjaj., 1989. Ushul al-Hadist: „Ulumuhu wa Musthah±lahuhu. Beirut: Dâr al-Fikr.

al-Kissi, Abu al-Hamid bin Nashr Abu Muhammad, 1988). Musnad Abd. bin Hamid .Qahirah, Maktabah Sunnah, Jilid I

Al-Syafi‟i, Muhammad al-Amin al-Harâry, 2010. Tafsir Hadâ‟iq Rauhi wa

ar-Raihân Mekkah al-Muqarramah, Dâr al-Minhâj, Jilid V

Ash-Shabuny, Muhammad Ali, tt., Rawa‟ul Bayan Tafsir Ayat Ahkam Minal

al-Qur‟an , Dâr al-Kut-b al-Ilmiyah, Jilid I

Bukhari, 1981. Shahih al-Bukhari, Beirut: Dâr al Fikr, Juz, VI.

Hasan, Muhammad Thalhah . 2004. Islam Dalam Persfektif Sosio Kultural, Cet.III Jakarta: Lantabora Press.

Kamali, 1991. Prinpciples of Islamic Jurisprudece ,Cambridge, Islamic Texts society. Nawawi, 2007. Muhyiddin Majmu‟ Syar±h Muhazab, Beirut: Dâr Kutub

al-Ilmiah, Jilid XIX

Pagar, 2006. Studi Islam : Dari Pemikiran Yunani ke Pengalaman Indonesia

Kontemporer. Bandung: Cipta Pustaka Media.

Roibin, 2008. Sosiologi Hukum Islam; Telaah Sosio-Histori Imam Syafi‟i.Yogyakarta: UIN-Malang Press.

Sisworo, Soedjono Dirdjo. 1983. Sosiologi Hukum: Studi Tentang Perubahan Hukum

dan Sosial.Jakarta: CV Rajawali.

Soekanto, Soerdjono, 1975. Beberapa Permasalahan Dalam Kerangka Pembangunan

di Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit U.I.

Pagar, dalam Hasan Asari, Studi Islam : Dari Pemikiran Yunani ke Pengalaman

Indonesia Kontemporer (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2006)

Qodri Azizy, 2002. Elektisisme Hukum Nasional: Kompetensi Antara Hukum Islam

Referensi

Dokumen terkait

Efek deterministik awal dapat terjadi akibat (1) deposisi radionuklida yang relatif homogen atau pada banyak organ dalam tubuh (tritium, polonium dan cesium), (2) akumulasi dosis

Melihat dan mengingat objek yang diteliti cukup luas cakupannya, Maka agar penelitian ini tidak keluar dari fenomena yang telah dituangkan dilatar belakang tersebut,

Melakukan analisis dan merancang sistem yang akan digunakan untuk analisis pengaruh nilai Keyword Effectiveness Index (KEI) dan Keyword Opportunity Index (KOI) dalam

Berdasarkan tabel 3-10, jalan-jalan yang akan dipengaruhi langsung dengan adanya PASUPATI selain Jalan Siliwangi dan Jalan Wastukencana adalah Jalan Pasirkaliki, Jalan

Isi Naskah Letter of Intent (LoI) ini berisi minat kerjasama yaitu untuk membangun hubungan persahabatan dan kerjasama pertukaran antara kedua kota atas dasar keuntungan bersama

Individu yang menikah atas keinginan pribadi dan yang mengalami kehamilan sebelum menikah, yang memiliki profil ini akan berkecenderungan untuk tetap dekat secara emosi satu

Kita harus sudah tahu seperti apa lokasi acara, kegiatannya apa saja, mau ambil gambar dari mana, butuh menggunakan perangkat tambahan atau tidak (misal pada pas sesi A