• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sugiyono (Ketua), Anggota : Nurul Inayah, Lilit Biati, Zulfi Zumala Dwi Andriani, Muhammad Alaika Nasrullah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sugiyono (Ketua), Anggota : Nurul Inayah, Lilit Biati, Zulfi Zumala Dwi Andriani, Muhammad Alaika Nasrullah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK SOSIAL PENUTUPAN LOKALISASI DI KABUPATEN BANYUWANGI

(Studi Kasus Tentang Faktor Penyebab Mantan PSK Kembali Bekerja Di Lokalisasi Turian Purwoharjo Banyuwangi )

Sugiyono (Ketua), Anggota : Nurul Inayah, Lilit Biati, Zulfi Zumala Dwi Andriani, Muhammad Alaika Nasrullah

INTISARI

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis dampak social penutupan lokalisasi di kabupaten Banyuwangi. Selain itu juga faktor pendorong dan penghambat yang mempengaruhi penutupan lokalisasi. Penelitian ini dilaksanakan di Exlokalisasi Turian. Adapun Guna menjaring data, penelitian dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu: (1) wawancara mendalam (indept interview), (2) pengamatan peran (Participan Observation) serta (3) Dokumentasi (Documentation). Hasil penelitian menyebutkan bahwa: 1. Adanya Pro Kontra Penutupan Lokalisasi Di Masyarakat, 2. Dampak sosial Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi memiliki dampak positif dan dampak negative terhadap masyarakat dan PSK. Dampak positif Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi: 1) Penutupan Lokalisasi mampu mengurangi transaksi prostitusi dan miras. 2) Penutupan lokalisasi mampu membuat warga eks lokalisasi berwiraswasta dan beralih profesi. 3) Dengan ditutupnya lokalisasi banyak PSK/WPS/PS meninggalkan lokalisasi. 4) Rumah di eks lokalisasi diberi tanda “Rumah Tangga”. Sedangkan Dampak Negatif Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi: 1) Menurunnya tamu mempengaruhi penghasilan warga eks lokalisasi dan berdampak menurunnya penghasilan dari warga yang menggantungkan hidup pada lokalisasi. 2) Transaksi prostitusi dilakukan sembunyi-sembunyi pada eks lokalisasi. 3) Secara tidak langsung mendorong tumbuhnya hotspot-hotspot (tempat) baru dan bentuk-bentuk baru dalam cara bertransaksi. 4) Terhentinya pemantauan kesehatan di eks lokalisasi. 5) Adanya rasa traumatis dan ketakutan pada para PSK/WPS/PS yang beroperasi di eks lokalisasi. 3. Faktor-faktor Penyebab PSK bekerja kembali di lokalisasi, yaitu : a). Faktor Ekonomi. b). Faktor Peraturan Bupati No.88 Tahun 2011 Yang Tidak Efektif.

Kata Kunci: Dampak Sosial, Penutupan lokalisasi.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bisnis pelacuran merupakan salah satu pekerjaan tertua di dunia yang kerap disebut sebagai pathologi sosial tertua dan memancing kontra keras dari kalangan masyarakat tradisional-religius. Usaha untuk membubarkan bisnis ini telah banyak diupayakan, baik melalui pemerintah maupun organisasi masyarakat berlatar agama dan sosial. Namun legalisasi kompleks pelacuran ini sendiri telah ada sejak dikeluarkannya peraturan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1852 yang meski disebut-sebut hanya untuk membatasai dampak negatif pelacuran, namun

(2)

makin mengkomersialkan industri seks di Indonesia. Dalam pasal 2 undang-undang tersebut, wanita tuna susila diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi. Untuk memudahkan polisi dalam melakukan pengawasan, para PSK disyaratkan untuk melakukan transaksi layanan seksnya di rumah bordil.

Di masa sekarang, pengawasan terhadap aktivitas di kawasan prostitusi ini tidak lagi hanya menjadi fokus polisi saja. Elemen-elemen masyarakat lain seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) atau Dinas Kesehatan juga turut berperan dalam menjaga praktik prostitusi bebas dari persebaran penyakit yang ditularkan melalui aktivitas seksual. Tentu saja upaya berkesinambungan untuk mengawasi praktik prostitusi itu sendiri bukan perkara yang mudah, meski telah ada lokalisasi yang mengkonsentrasikan pekerja seks komersial di satu kawasan saja. Penutupan lokalisasi, meskipun diniatkan baik, akan mempersulit usaha-usaha yang dilakukan jajaran untuk mengawasi jalannya bisnis ini.

Secara normatif, etika, moral dan agama menentang adanya lokalisasi. Masyarakat pada umumnya menganggap para pelacur sebagai sumber penyakit yang tumbuh di masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap kehidupan pelacur pada kenyataannya tetap men

Dengan diterbitkannya Peraturan Bupati Banyuwangi bernomor 88 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyebarluasan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Kabupaten Banyuwangi. Maksud di tetapkannya peraturan bupati tersebut adalah memberikan landasan hukum terhadap proses pengentasan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di kabupaten Banyuwangi. Tujuan pencegahan dan penanggulangan pekerja seks komersial (PSK) adalah mengurangi peredaran penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit masyarakat lainnya. Sasaran pencegahan dan penanggulangan pekerja seks komersial (PSK) adalah untuk berkurangnya jumlah pekerja seks komersial (PSK) dan lokalisasi.

Peraturan Bupati ini merupakan salah satu langkah kebijakan pemerintah daerah untuk mengurangi dampak adanya lokalisasi. Salah satu dampak adanya lokalisasi adalah adanya penderita HIV/AIDS yang meningkat setiap tahunnya, dan data terakhir pada januari 2014 pengidap HIV (Human Immuno Deficiency Virus) dibanyuwangi sudah mencapai 1.703 orang, sedangkan pengidap AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) sudah mencapai 786. (Jawa Pos, 20 Maret 2014).

Sampai saat ini Pemerintah daerah telah menutup lokalisasi atau prostitusi yang berjumlah 11 lokalisasi dengan jumlah mucikari 223 dan PSK sejumlah 616 yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Implementasi kebijakan pemerintah daerah untuk menutup lokalisasi dengan melakukan pemberian penyuluhan keagamaan, penyuluhan kesehatan, memberikan pelatihan ketrampilan, serta memberikan bantuan modal dan peralatan pada PSK yang berasal dari kabupaten Banyuwangi sejumlah 277 orang. Sedangkan PSK yang berasal dari luar kota sejumlah 339 orang di pulangkan ke tempat asalnya. (Bappeda, 2014)

Dari survey awal yang dilakukan pada lokalisasi Turian yang secara resmi telah ditutup oleh pemerintah daerah, dampak penutupan lokalisasi sudah terasa, terutama dampak kehidupan perekonomian pada masyarakat sekitar, beberapa warung telah menjadi sepi pembeli dikarenakan sepinya pengunjung dari lokalisasi itu sendiri. Menurut salah satu informan mengatakan jika dahulu pendapatan lahan parkir sebelum penutupan lokalisasi mampu menghasilkan uang

(3)

5-7 juta rupiah dalam satu bulan, saat ini pendapatan parkir dalam satu bulan hanya 1-2 juta rupiah. Dan yang mengejutkan beberapa PSK yang telah dilatih keterampilan dan diberi pesangon serta dipulangkan terdeteksi telah kembali ke lokalisasi, dan bekerja kembali. Ada yang menarik untuk di kaji, yaitu mengapa mereka kembali lagi kelokalisasi ?, faktor apa yang menyebabkan mereka kembali? .

Dengan pemaparan diatas maka penelitian ini membuat perumusan Masalah sebagai berikut : 1). Bagaimana pandangan masyarakat terhadap penutupan lokalisasi Turian Purwoharjo Banyuwangi ? 2). Bagaimana dampak sosial penutupan lokalisasi terhadap masyarakat sekitar lokalisasi Turian Purwoharjo Banyuwangi ? 3). Bagaimana dampak sosial penutupan lokalisasi terhadap para Pekerja Seks Komersial di lokalisasi Turian Purwoharjo Banyuwangi ? 4). Faktor-faktor apa yang menyebabkan PSK kembali bekerja lagi ke lokalisasi Turian Purwoharjo Banyuwangi ?

KAJIAN TEORITIS A. Patologi Sosial

Dalam penelitian ini, peneliti memakai teori patologi sosial. Teori ini muncul berdasarkan pada kondisi masyarakat yang dalam hubungannya tidak hanya selalu lancar tetapi juga seringkali muncul konflik dan permasalahan. Pada kondisi ini akan muncul konflik sosial yang mengakibatkan banyak kecemasan, ketegangan dan ketakutan dikalangan masyarakat. Sehingga menyebabkan beberapa golongan yang bertingkah laku patologis atau menyimpang dari pola-pola umum (Elsera, “Sepintas tentang Patologi Sosial”) http://marisa-secangkirkopipagi. blogspot.com /2013/09/

sepintas-tentang-patologi-sosial.html 2013.

Secara etimologis, kata patalogi berasal dari kata Pathos yang berarti

disease/ penderitaan/ penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang ilmu.

Jadi patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit atau ilmu tentang penyakit. Adapun definisi patologi sosial menurut beberapa sosiolog, seperti yang diungkapan oleh Kartini Kartono adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Sedangkan definisi patologi sosial menurut Soejono Soekanto adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kelompok sosial.

B. Prostitusi

Sedangkan definisi dari prostitusi menurut Soedjono adalah dari asal kata “prostituera”(bahasa latin) yang berarti menonjolkan diri dalam hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum. Selanjutnya di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya didefiniskan sebagai berikut : pelacuran dapat diartikan sebagai penyerahan badan wanita dengan pembayaran kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu (1973:115). Selanjutnya Poernomo dalam Moedjiono mendefiniskan pelacur sebagai wanita yang

(4)

pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja atau banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual (2005: 17).

Dalam penelitian ini, lokalisasi dimaknai sebagai tempat

berlangsungnya kegiatan prostitusi, Soedjono mengatakan bahwa lokalisasi adalah bentuk usaha untuk mengumpulkan segala macam aktifitas atau kegiatan pelacuran dalam satu wadah, yang selanjutnya disebut dengan kebijaksanaan lokalisasi pelacuran (1973: 122-124). Tujuan dibangunnya sebuah lokalisasi adalah untuk memberikan kontrol terhadap praktek prostitusi, terutama kontrol terhadap kesehatan para Pekerja seksual dalam rangka meminimalisir infeksi menular seksual dan juga agar bisa memberikan keterampilan bagi para pekerja seksual, dan mendorong mereka untuk melakukan alih profesi.

Keberadaan lokalisasi tidak bisa dipisahkan dengan permasalahan ekonomi, dan permasalahan ini menjadi satu-satunya alas an seseorang terjun dalam praktek prostitusi. Karena pendidikan yang terbatas serta moral yang kurang, mereka melihat prostitusi sebagai salah satu perkerjaan yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang.

Seiring berjalannya waktu dan adanya otonomi daerah, keberadaan lokalisasi prostitusi menciptakan beberapa masalah terutama pada masyarakat di lingkungan lokalisasi. Ada dua anggapan yang pro dan kontra terhadap keberadaan lokalisasi. Masyarakat sekitar lokalisasi secara ekonomi juga diuntungkan dengan keberadaan lokalisasi, sebagian dari mereka menggantungkan nafkah pada keberadaan lokalisasi, sebut saja tukang parkir, penjual warung nasi, toko klontong bahkan mucikari. Namun disisi lain, keberadaan lokalisasi juga memberikan efek negatif terhadap masyarakat disekitarnya seperti kriminalitas, penyebaran infeksi menular seksual (IMS), hingga permasalahan yang berkaitan dengan norma agama.

C. Faktor-faktor Terjadinya Pelacuran

Penyebab yang melatarbelakangi semakin suburnya pelacuran beraneka macam, menurut Kartini Kartono dalam Rinalyuanita dan Mahendrata (2012:17) adalah :

1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas, kurang pendidikan, dan buta huruf.

2. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan-pertimbangan ekonomi mempertahankan kelangsungan hidup, khususnya dalam mendapatkan status sosial yang lebih baik.

3. Aspirasi yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan dan ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah, ingin hidup mewah namun malas bekerja.

4. Anak-anak gadis pemberontak otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks, juga pemberontak terhadap norma-norma sosial yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja.

5. Bujuk rayu kaum pria dan calo, terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi, misalnya sebagai

(5)

pelayan toko. Namun pada akhirnya, gadis itu dijebloskan kedalam pelacuran.

6. Ajakan teman se-kampung yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.

7. Pengalaman-pengalaman traumatis, seperti kegagaalan

perkawinan, dinodai, dan kemudian ditinggalkan begitu saja. Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur adalah sebagai berikut:

1) Kemiskinan.

2) Faktor lingkungan, dimana tempat tinggal orang tersebut banyak tempat prostitusi.

3) Kebodohan dan pendidikan yang rendah. 4) Sakit hati pada kekasih yang meninggalkannya.

5) Terjebak karena mucikari dan germo. Rinalyuanita dan Mahendrata (2012:18)

D. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 88 Tahun 2011

Melihat banyaknya permasalahan yang muncul akibat keberadaan lokalisasi, beberapa daerah yang ada di Indonesia akhirnya turun tangan dengan mengeluarkan kebijakan menutup lokalisasi yang ada di daerahnya masing-masing. Seperti salah satunya kebijakan dikeluarkan oleh Bupati Banyuwangi melalui Peraturan Bupati Banyuwangi nomor 88 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyebarluasan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Kabupaten Banyuwangi. Maksud di tetapkannya Peraturan Bupati tersebut adalah memberikan landasan hukum terhadap proses pengentasan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di kabupaten Banyuwangi. Tujuan pencegahan dan penanggulangan pekerja seks komersial (PSK) adalah mengurangi peredaran penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit masyarakat lainnya.

Sasaran pencegahan dan penanggulangan pekerja seks komersial (PSK) adalah untuk berkurangnya jumlah pekerja seks komersial (PSK) dan lokalisasi. Pada Perda nomer 88 tahun 2011 ini hal utama yang dilakukan adalah pendataan terhadap jumlah PSK, jumlah mucikari, dan jumlah rumah/wisma. Selanjutnya pembinaan dengan program bimbingan mental, social dan ekonomi, pelatihan ketrampilan, penyuluhan dan pedampingan masalah kesehatan. Dan diketahui ada PSK yang berasal dari luar daerah maka mereka dikembalikan kedaerah asal. Selanjutnya pemerintah juga menetapkan kegiatan pengawasan dengan membentuk tim khusus. Implikasi dari kebijakan ini adalah ditutupnya 11 lokalisasi yang ada di kabupaten Banyuwangi.

E. Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah

Istilah efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian

dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Menurut Effendy (1989:14), menjelaskan Efektivitas adalah ”Komunikasi yang prosesnya

(6)

mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan.” Pengertian diatas mengartikan bahwa indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Berbeda dengan Susanto (1975:156), memberikan definisi tentang Efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi. (http: //madhienyutnyut.blogspot.com/2012/02/ pengertian-efektivitas menurut para.html diakses tanggal 26 Nopember 2014 Jam 12.30 WIB).

Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Susanto tersebut, bisa diartikan sebagai suatu pengukuran akan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya secara matang.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Agung Kurniawan (Kurniawan, 2005:109), dalam bukunya Transformasi Pelayanan Publik bahwa Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.

Memperhatikan pendapat para ahli di atas, disimpulkan bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang bersifat multi dimensional, artinya dalam mendefinisikan efektivitas berbeda-beda sesuai dengan dasar ilmu yang dimiliki walaupun tujuan akhir dari efektivitas adalah pencapaian tujuan. Kata efektif sering dicampur adukkan dengan kata efisien walaupun artinya tidak sama, sesuatu yang dilakukan secara efisien belum tentu efektif.

Berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, bahwa yang dimaksud dengan efektivitas pelaksanaan peraturan daerah adalah ukuran pencapaian tujuan yang ditentukan pangaturannya dalam peraturan daerah. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa efektivitas peraturan daerah diukur dari suatu target yang diatur dalam peraturan daerah, telah tercapai sesuai dengan apa yang ditentukan lebih awal. Guna mencapai tujuan tersebut maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut; rumusan peraturan perundang-undangan harus diterima oleh masyarakat, menjadi tujuan bersama masyarakat yaitu cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan, dan cita-cita kesusilaan. Peraturan daerah juga harus sesuai dengan suatu paham atau kesadaran hukum masyarakat, harus sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat, serta harus mempunyai dasar atau tujuan pembentukan yang telah diatur sebelumnya dan atau ditetapkan pada peraturan yang lebih tinggi kewenangan berlakunya.

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif meliputi kelompok fokus, studi kasus penelitian etnografis, dan model penelitian partisipatif. Penelitian kualitatif sendiri didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif (berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati) pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu

(7)

secara utuh. Selanjutnya penelitian kualitatif ini nantinya akan dilakukan dengan pendekatan studi kasus, karena berangkat dari studi yang mendalam terhadap kasus-kasus tertentu. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan pendekatan survey.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lokalisasi Turian Desa Karetan Kecamatan Purwoharjo di Kabupaten Banyuwangi dengan pertimbangan bahwa adanya lokalisasi yang telah dihentikan aktifitas prostitusi (ditutup) secara resmi oleh pemerintah daerah yaitu Lokalisasi Turian desa Karetan Kecamatan Purwoharjo.

C. Teknik pengumpulan data

Guna menjaring data, penelitian dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu: (1) wawancara mendalam (indept interview), (2) pengamatan peran (Participan Observation) serta (3) Dokumentasi (Documentation).

D. Sumber Data Dan Penentuan Informan

Dalam penelitian ini penentuan informan pertama diambil dengan menggunakan sampling porposife dimana sampel diambil bukan tergantung pada populasi, melainkan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun informan yang dimaksud adalah beberapa dinas terkait yaitu, dinas kesehatan, dinas sosial, BPM, satpol PP, KKBS, serta masyarakat sekitar ataupun mantan mucikari yang berada di lingkungan lokalisasi, kemudian para mantan PSK yang berada di lokalisasi tersebut. Selanjutnya untuk mendapatkan informasi yang mendalam, peneliti juga menentukan informan dengan menggunakan tehnik snow ball (bola salju) yakni penggalian data melalui wawancara mendalam dari satu informan keinforman lain dan seterusnya sampai peneliti tidak menemukan informasi lagi, jenuh, dan informasi yang tidak berkualitas (Hamidi, 2004: 72 dalam Inayah, 2011:32).

E. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan metode campuran untuk kualitatif adalah dengan interaktif model, yang terdiri dari tiga komponen yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data

display) penarikan serta pengujian data (drowing and ferivying conclution)

(Miles And Huberman dalam Pawito, 2008: 104). PEMBAHASAN

A. Wacana Penutupan Lokalisasi

Hal yang paling dikhawatirkan ketika lokalisasi ditutup adalah, tidak ada lapangan kerja untuk menampung eks penghuni. Karena jika tidak ada aktivitas ekonomi pengganti bias saja eks PSK lokalisasi justru berubah menjadi liar, dengan menawarkan “jasa” dijalan jalan.

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan pancasila. Sila pertama bahwa kita semua percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, implisitnya ada Tuhan yang mengatur semua urusan. Bila kita percaya kepada Tuhan tentu

(8)

mempunyai kewajiban baik sebagai suruhan maupun larangan. Semua agama mengajarkan demikian.

Namun mengapa kita melegalkan yang namanya prostitusi? Prostitusi di Indonesia sudah menjadi semacam industri terutama di kota-kota besar walaupun tidak mempunyai badan hukum yang jelas. Para pekerja sex komersil setiap waktu selalu menjaja dagangannya dengan harga yang bervariasi sesuai selera. Mungkin omset penjualan di bidang ini mencapai milyaran rupiah per hari karena hampir setiap menit manusia melakukan hubungan sex dengan wanita atau bersenang-senang dengan wanita.

Pemerintah berkinginan untuk menghapus prostitusi tapi malahan mereka ditempatkan pada suatu kawasan tertentu atau sering disebut Lokalisasi sehingga siapa pun yang ingin bisa dengan mudah mendapatkannya. Ini merupakan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan, bukankah lebih baik mereka diajak taubat, dibina, diberi modal sehingga bisa menjadi manusia yang baik dan mampu bekerja mandiri sehingga menjadi asset bangsa yang sangat berharga?

Memang manusia umumnya ingin mendapatkan uang dengan cara mudah dan tidak ribet. Wanita punya modal besar untuk ini sehingga dapat dimanfaatkan buat mencari uang atau mengoptimalkan fungsi dirinya buat mencari uang. Ini salah satu pemicu banyaknya para wanita tuna susila, disamping banyak alasan lain seperti kemiskinan, putus pacar setelah disetubuhi, beban mental dan awalnya iseng-iseng tapi ketagihan.

Jika kita meninjau dari aspek sosial maka prostitusi sangat tidak baik karena dapat menjatuhkan nilai atau martabatnya seorang wanita. Wanita seharusnya menjadi pendamping suami yang sah dan melahirkan anak-anak serta mendidik untuk menjadi generasi yang berguna. Wanita menjadi tulang punggung bangsa “karena bila wanita di suatu negeri itu baik maka baiklah negeri itu”. Wanita menjadi anutan dalam keharmonisan suatu rumah tangga. Bila mereka ke lembah prostitusi maka sirnalah semua ini.

Bila dikaitkan dengan agama khususnya agama Islam maka prostitusi adalah pekerjaan tercela dan menanggung aib yang besar dan tergolong pelaku zina. Zina hukumnya dosa besar dan tempatnya di neraka jahannam kecuali Allah swt menerima taubatnya. Zina ini jangankan dilakukan, untuk mendekatinya saja dilarang, seperti hadis nabi “Jangan dekati zina, sesungguhnya zina itu pekerjaan keji dan mungkar” (HR. Muslim)

Sebaiknya pemerintah dapat mencari jalan lain yang lebih baik dibandingkan dengan lokalisasi. Tujuan lokalisasi memang untuk membuat mereka insaf dan mau bertaubat tetapi sepanjang pengetahuan saya belum banyak yang berhasil dan hasil pasti hanya mereka tidak berkeliaran saja sehingga menampakkan bahwa Indonesia aman dari prostitusi. Namun secara tidak sengaja pemerintah melegalkan prostitusi.

B. Pro Kontra Penutupan Lokalisasi Di Masyarakat 1. Pro Penutupan Lokalisasi

Seruan untuk menutup lokalisasi oleh kalangan agamis semakin gencar disuarakan, terutama dari golongan NU. Yang notabene adalah salah satu ormas islam besar di Indonesia yang getol menyuarakan pemberantasan maksiat,

(9)

Para ulama di Kabupaten Banyuwangi sangat mendukung penghentian kegiatan prostitusi dengan penutupan lokalisasi. Diwakili oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi menggelar Aksi di depan kantor DPRD Banyuwangi (21/03/2014) dipimpin oleh Sekretaris Umum Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi; Drs. Guntur al-Badri, M.Pd.I bersama 1500 orang (terdiri dari Banom NU; MWCNU, Lembaga/Lajnah, PRNU, GP. Anshor, Muslimat, Fatayat, IPNU &IPPNU), menyuarakan tiga (3) hal, yakni:

a) Memberikan dukungan kepada Pemerintah Daerah untuk

menjalankan kebijakan pemerintahan

b) Mendukung penuh kebijakan Pemerintah Daerah, dalam hal ini Bupati Abdullah Azwar Anas, M.Si untuk menutup seluruh lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi

c) Merekomendasikan kepada DPRD Kabupaten Banyuwangi untuk membuat Perda (Peraturan Daerah) anti maksiat terkait dukungan pasca penutupan lokalisasi.

2. Kontra Penutupan Lokalisasi

Salah satu alasan yang melatarbelakangi kaum wanita bekerja sebagai WTS adalah masalah ekonomi dan Secara tidak langsung keberadaan WTS telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan ekonomi keluarganya. Namun demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara bijak oleh masyarakat. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang cenderung subjektif, menghakimi dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya. WTS merupakan bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama. Tidak selayaknya stigma baik dan buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan.

Pendapat marginalisasi tersebut sering kali dipakai oleh para aktivis pendukung lokalisasi untuk membenarkan kegiatan mereka. Memang alasan para PSK tersebut adalah ekonomi, sehinngga muncul anggapan sudah jatuh jangan sampai tertimpa tangga pula. Maksudnya adalah meraka sudah hidup susah semacam itu janganlah masyarakat memandang rendah meraka seperti mereka adalah warga Negara kelas dua. Dimana hal ini tidak ada dalam tatanan hukum Indonesia yang menyebutkan perlakuan berbeda kepada warga Negara kelas dua.

3. Dampak Sosial Penutupan Lokalisasi

Terdapat penurunan jumlah PSK yang signifikan dari tahun 2011 sampai tahun 2013, namun mengapa penurunan itu terjadi belum ada yang mengetahui penyebab pastinya. Apakah berasal dari peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi atau dari faktor lain. Namun bisa dipastikan banyak dari para PSK yang berusia lanjut akan berhenti pada saat usianya dirasa tidak layak lagi untuk bekerja lagi.

Namun bila peredaran penduduk, utamanya PSK yang berasal dari luar daerah tidak dikontrol dan diawasi bukan tidak mungkin Lokalisasi terselubung akan menjadi pengganti lokalisasi yang telah ditutup. Selain itu fakta bahwa prostitusi pelajar juga marak merupakan tantangan baru bagi semangat penanggulangan PSK di Banyuwangi, karena cara kerja

(10)

mereka lebih tertutup dan rahasia. Fakta lain yang harus menjadi perhatian adalah lokalisasi yang telah ditutup rupanya ada beberapa diantaranya yang masih beroprasi secara sembunyi-sembunyi. Itu adalah rahasia umum, bahwa lokalisasi tersebut masih beroperasi namun ketika dilakukan operasi oleh Satuan Polisi pamong Praja berkerja sama dengan instansi terkait sering kali gagal karena terjadi kebocoran informasi. Sehingga ketika petugas datang lokalisasi yang dituju telah dikosongkan, sehingga sulit mendapat bukti bahwa lokalisasi tersebut masih beroperasi.

Lebih jelas dampak penutupan lokalisasi yang timbul setelah diberlakukannya Peraturan Bupati No.88 Tahun 2011 adalah :

a. Dampak Positif Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi. 1). Penutupan Lokalisasi mampu mengurangi transaksi prostitusi dan miras.

Penutupan lokalisasi mempunyai peran penting pada pengurangan prostitusi dan miras yang ada di kabupaten Banyuwangi. Setelah penutupan lokalisasi dampak yang jelas terlihat adalah berkurangnya jumlah transaksi prostitusi yang ada di lokalisasi, ini terlihat dari berkurangnya jumlah PSK dan mucikari yang ada di eks lokalisasi-lokalisasi yang ada, walaupun belum bisa menghentikan secara total kegiatan tersebut. Selain itu berkurangnya kegiatan penutupan lokalisasi juga berperan untuk mengurangi juga jumlah peredaran minuman keras. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa lokalisasi merupakan tempat berlangsungnya transaksi prostitusi yang diiringi dengan transaksi lainnya, khususnya minuman keras (miras). Maka tidak heran jika di seluruh lokalisasi selalu menyediakan minuman keras dengan merk-merk tertentu sesuai kesepakatan pengurus lokalisasi dengan pemasoknya. Karena kesepakatan itu biasanya mewujudkan adanya bantuan bangunan pemasok minuman keras berupa gapura, paving jalan dan sebagainya, sehingga mengikat pengurus lokalisasi untuk tidak membangun kesepakatan pasokan minuman keras dengan pihak lain. Oleh karena itulah dengan penghentian aktivitas lokalisasi sebagai tempat transaksi prostitusi, secara otomatis juga menghentikan transaksi-transaksi lainnya, utamanya miras.

2). Penutupan lokalisasi mampu membuat warga eks lokalisasi berwiraswasta dan beralih profesi.

Setelah Muncul sikap berswasta sebagai upaya untuk bertahan hidup dari para mantan mucikari dan mantan PSK yang bertempat tinggal di eks lokalisasi khususnya mereka yang usia masih muda dan masih mampu untuk berproduktif, hal ini di temukan di Turian Purwoharjo. Selain itu dengan penutupan lokalisasi oleh pemkab Banyuwangi ini juga memberi kesempatan pada warga eks lokalisasi untuk beralih profesi. Kesempatan tersebut diberikan pemkab Banyuwangi dengan menggandeng lintas kedinasan terkait, yakni Dinas Sosial, Dinas Koperasi dan UMKM serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan melalui sinergi yang baik untuk memberikan pelatihan keterampilan kerja. Selebihnya juga memberikan modal usaha yang berupa dana hibah (baca: kompensasi) atas penutupan lokalisasi yang

(11)

sumber penghasilan mereka selama ini. Sayangnya distribusi dana kompensasi ini belum banyak mengena pada sasaran dengan berbagai alasan, keterbatasan dana, seperti informasi yang disampaikan oleh Paimo (72), dan juga disampaikan Peni (42).

3). Dengan ditutupnya lokalisasi banyak PSK/WPS/PS meninggalkan lokalisasi.

Paska penutupan lokalisasi oleh pemkab Banyuwangi dan secara intens juga dilakukan razia serta pengawasan pada aktivitas yang berlangsung di eks lokalisasi. Keadaaan inilah yang membuat PSK/WPS/PS tidak betah berlama-lama menetap di satu eks lokalisasi. Inilah indikasi percepatan rotasi (perputaran) PSK/WPS/PS yang biasanya sebelum penutupan lokalisasi dalam kisaran 2 – 3 bulan, tetapi paska penutupan lokalisasi rotasi mereka lebih cepat dari biasanya, yakni anata 1 – 3 hari saja menetap di eks lokalisasi dengan pertimbangan keamanan dan kenyamanan bertransasksi prostitusi dan akan berpindah ke eks lokalisasi lain yang lebih aman dan lebih banyak tamunya. Realita ini yang kemudian menjadi indikasi menurunnya jumlah warga di suatu eks lokalisasi, mereka mencari temapat aman dan pelanggan.

4). Rumah di eks lokalisasi diberi tanda “Rumah Tangga”

Tanda berbentuk sebuah tulisan yang diketik berupa “Rumah Tangga” seperti yang terpasang di eks lokalisasi Turian, ini diharapkan menjadi pemahaman umum bahwa rumah di eks lokalisasi dengan tanda tersebut, berarti penghuninya telah beralih profesi dari PSK/WPS/PS maupun mucikari menjadi ibu rumah tangga. Sehingga diharapkan statemen negatif masyarakat sekitar eks lokalisasi, tamu bahkan pemerintah juga akan berubah dari sebelum diberi tanda memberikan statemen negatif dengan menyebut lokalisasi sebagai tempat prostitusi, maka setelah dipasang tanda itu diharapkan anggapannya berubah positif dengan menyebut rumah dengan tanda itu sebagai rumah tangga, bukan lagi wisma lokalisasi.

b. Dampak Negatif Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi. 1). Menurunnya tamu mempengaruhi penghasilan warga eks lokalisasi dan

berdampak menurunnya penghasilan dari warga yang menggantungkan hidup pada lokalisasi

Dampak negatif yang paling dirasakan oleh warga eks lokalisasi paska penutupan lokalisasi oleh pemkab Banyuwangi adalah menurunnya penghasilan. Tentu saja sudah bisa ditebak alasannya, yakni rasa aman dan nyaman yang tidak lagi bisa dinikmati oleh warga eks lokalisasi termasuk tamunya untuk dengan mudah dan leluasa melakukan transaksi prostitusi, seperti saat sebelum adanya penutupan lokalisasi. Keadaan ini juga memberikan pengaruh pada menurunnya penghasilan di eks lokalisasi selain transaksi prostitusi, diantaranya transaksi miras, karaoke, ojek, warung makanan dan minuman, tukang cuci, tukang masak, reparasi/servis elektronik dst.

2). Transaksi prostitusi dilakukan sembunyi-sembunyi pada eks lokalisasi. Ketergantungan pada aktifitas lokalisasi sebagai tempat transaksi prostitusi dan transaksi lain yang mengiringinya, menjadi penyebab terus berlangsungnya transaksi tersebut paska penutupan lokalisasi

(12)

hampir di seluruh eks lokalisasi, bedanya transaksi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pengawasan kepada orang-orang asingpun meningkat lebih dari saat belum ada kebijakan penutupan lokalisasi demi menjaga keamanan eks lokalisasi. Hasil pantauan dan observasi mengungkap bahwa dari kebijakan penutupan lokalisasi tidak mampu menghentikan transaksi prostitusi secara total dan menyeluruh justru transaksi prostitusi dilakukan sembunyi-sembunyi.

3). Secara tidak langsung mendorong tumbuhnya hotspot-hotspot (tempat) baru dan bentuk-bentuk baru dalam cara bertransaksi.

Penutupan 11 lokalisasi yang di kabupaten Banyuwangi secara tidak langsung mendorong tumbuhnya hotspot-hotspot (tempat) baru dan bentuk-bentuk baru dalam cara bertransaksi bagi para PSK yang masih melakukan pekerjaannya. Dengan makin ramainya kos-kosan yang ada disekitar perumahan penduduk, muncul kafe-kafe yang dapat melakukan transaksi dengan melalui alat komunikasi HP ataupun menggunakan perantara. Menurut informan yang bertugas sebagai Petugas Lapangan dari salah satu LSM yang ada di Banyuwangi, setelah penutupan lokalisasi para PSK yang masih aktif melakukan kegiatan prostitusi terkadang di temukan sedang bertransaksi di salah satu hotel ataupun kafe yang ada di kota Banyuwangi, dan ketika di tanya bagaimana mereka bisa ada di situ, mereka menjawab bahwa para pelanggan menghubungi mereka melalui telepon ataupun perantara satpam penjaga hotel ataupun kafe setempat. Selain itu akhir-akhir ini di tempat remang-remang, warung remang-remang semakin ramai karena sudah adanya PSK yang mulai menjajakan diri. Dan dari pemantauan LSM telah ditemukan juga hotspot-hotspot baru tempat untuk melakukan transaksi prostitusi.

4). Terhentinya pemantauan kesehatan di eks lokalisasi.

Dengan ditutupnya lokalisasi maka secara otomatis juga pemantauan kesehatan yang biasanya dilakukan oleh dinas kesehatan yang secara rutin dilakukan setiap dua minggu sekali berhenti. Karena dianggap bahwa lokalisasi sekarang ini sudah tidak ada, walaupun sebenarnya di eks lokalisasi yang telah ditutup masih melakukan kegiatan prostitusi secara sembunyi-sembunyi. Sebelum penutupan lokalisasi pemantauan rutin dan pengecekan kesehatan sangat membantu untuk mencegah meluasnya penyakit IMS dan HIV/AIDS. Karena secara otomatis jika di salah satu lokalisasi ada yang terdeteksi IMS ataupun HIV/AIDS maka seseorang ini terkena sangsi untuk tidak boleh melakukan kegiatan prostitusi, dan seseorang ini akan di pantau secara khusus oleh dinas kesehatan ataupun oleh LSM yang konsen dan peduli terhadap penyebaran penyakit yang disebabkan berhubungan kelamin. Dengan terhentinya pemantauan kesehatan di lokalisasi maka yang terjadi adalah tidak terpantaunya lagi PSK yang terdeteksi terkena IMS dan HIV/AIDS. Mereka menyebar dan tidak terdeteksi secara khusus, pada akhirnya apakah mereka yang terkena penyakit IMS dan HIV/AIDS masih melakukan kegiatan prostitusi atau tidak ini sudah sulit untuk dilacak.

(13)

5). Adanya rasa traumatis dan ketakutan pada para PSK/WPS/PS yang beroperasi di eks lokalisasi.

Pemberhentian kegiatan dan penutupan lokalisasi yang di landasi dengan Peraturan Bupati nomor 88 langsung dilaksanakan oleh satpol PP. Dengan tegas dan rutin satpol PP melakukan penutupan dan merazia lokalisasi. Tindakan-tindakan yang dilakukan tersebut sempat membuat para penghuni lokalisasi mengalami rasa ketakutan dan traumatis. Apalagi ketika melakukan razia satpol PP bersama Forpimka dan insatansi lainnya, tidak ada informasi yang memberitahukan sebelumnya terkait sidak tersebut. Sehingga mengantisipasi hal yang tidak diinginkan terjadi, mereka siap lari kapanpun saat ada orang-orang yang menurut mereka akan membahayakan aktifitas mereka yang tetap saja beroperasi meski telah ditutupnya lokalisasi oleh Pemkab Banyuwangi, khususnya Satpol PP. Saking antisipasinya, melihat orang bersepatu dan berpakaian resmipun mereka menghindar dan segera menghilang dari eks lokalisasi. Kekhawatiran ini sangat wajar, karena sesuai yang mereka sampaikan, tidak ada satupun keluarga yang mengetahui bahwa mereka berprofesi sebagai PSK/WPS/PS, sehingga apabila sampai tertangkap Satpol PP mereka akan dipulangkan ke asalnyA (baca: sesuai alamat di KTP) dan tentu saja inilah, hal yang paling mereka hawatirkan, yang dilatarbelakangi perasaan malu dengan masyarakat desanya dan takut tidak bisa lagi diterima oleh keluarganya.

4. Faktor-faktor Penyebab PSK bekerja kembali di lokalisasi.

Setelah melakukan penelusuran dan penelitian dengan metode kualitatif pada dinas-dinas dan lokalisasi yang telah di tutup di kabupaten Banyuwangi, maka peneliti mendapatkan temuan tentang kehidupan keseharian dari para warga eks lokalisasi yang teramati meliputi kehidupan sosial. Ditemukan bahwa factor-faktor penyebab PSK kembali lagi bekerja di lokalisasi turian adalah :

a) Faktor Ekonomi.

Pada kehidupan perekonomian, lokalisasi sangat bergantung pada pengunjung dan pelanggan, sebelum lokalisasi ditutup jumlah pengunjung yang besar mampu menggerakkan ekonomi secara dinamis, selain transaksi utama seks ternyata masih banyak transaksi yang dilakukan oleh warga lokalisasi seperti transaksi kondom, minuman keras, kebutuhan makanan dan minuman, kebutuhan transportasi, kebutuhan komunikasi, kebutuhan perawatan fisik dan kebutuhan perawatan alat penunjang lainnya. Dengan banyaknya kebutuhan yang harus terpenuhi, maka banyak pula orang-orang yang menggantungkan hidup mereka pada lokalisasi, begitu juga dengan para PSK yang masih akfiv bekerja, alasan utama mengapa mereka kembali adalah factor ekonomi. Karena mereka menjadi tulang punggung dalam keluarga, mereka harus menghidupi keluarganya. 2) Faktor Peraturan Bupati No.88 Tahun 2011 Yang Tidak Efektif.

Penutupan lokalisasi yang dilaksanakan oleh Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) pada dasarnya merupakan instruksi di Gubernur Jawa Timur dengan Nomor Surat : 460/16474/2010 pada tanggal 30 Nopember Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Prostitusi dan

(14)

Woman Trafiking. Selanjutnya dengan surat Nomor : 460/2106/031/2011 pada tanggal 21 Februari 2011 tentang Penanganan PMKS Khususnya WTS di Jatim. Dipertegas lagi dengan

surat dari Bupati Banyuwangi dengan Nomor :

072/4156/429.204/2011, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Protitusi Woman Trafiking, Anak Punk, dan Karaoke. Dan penutupan lokalisasi yang ada di kabupaten Banyuwangi.

Namun selama ini pelaksanaan penututupan lokalisasi yang di lakukan oleh satpol PP dan dinas-dinas terkait dengan berlandaskan Peraturan Bupati No.88 Tahun 2011, menurut hasil penelitian yang didapatkan dari lapangan menunjukkan bahwa Perbub No.88 2011, tidak efektif atau mandul.

Menurut Effendy (1989:14), menjelaskan Efektivitas adalah ”Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan.” Pengertian diatas mengartikan bahwa indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Mengacu pada pendapat yang disampaikan oleh Effendy, pelaksanaan dari Perbub No.88 2011 dengan melihat dari Tujuan pencegahan dan penanggulangan pekerja seks komersial (PSK) adalah mengurangi peredaran penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit masyarakat lainnya. Sasaran pencegahan dan penanggulangan pekerja seks komersial (PSK) adalah untuk berkurangnya jumlah pekerja seks komersial (PSK) dan lokalisasi. Maka penutupan lokalisasi telah dilakukan namun setelah penutupan lokalisasi masih ada PSK yang berkerja kembali, dan ditemukan pula fenomena adanya warung remang-remang baru bermunculan seporadis di beberapa tempat untuk menampung PSK yang telah keluar dari lokalisasi yang sudah ditutup. Selanjutnya di temukan juga jumlah penyebaran penyakit HIV/AIDS yang semakin meningkat dengan mengacu pada data dari dinas kesehatan mulai tahun 1999 sampai pada tahun 2014 di bulan agustus jumlah kasus HIV/AIDS sebesar 1912 orang. Sedangkan data terakhir yang disampaikan di Koran Nusantara Pos pada Kamis tanggal 6 Nopember 2014 yang merupakan data dari dinas kesehatan kabupaten Banyuwangi, jumlah penderita HIV/AIDS di kabupaten Banyuwangi mulai tahun 1999 sampai pada bulan September sudah mencapai 2008 orang. (Nusantara Pos, 6 Nopember 2014)

PENUTUP

Sesuai dengan temuan penelitian yang mengacu pada rumusan masalah seperti yang ditelah dibahas dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut:

1. Pro Kontra Penutupan Lokalisasi Di Masyarakat a. Pro Penutupan Lokalisasi

Para tokoh masyarakat dan Para ulama di Kabupaten Banyuwangi sangat mendukung penghentian kegiatan prostitusi dengan penutupan lokalisasi.

(15)

b. Kontra Penutupan Lokalisasi

Pendapat marginalisasi tersebut sering kali dipakai oleh para aktivis pendukung lokalisasi untuk membenarkan kegiatan prostitusi karena memang alasan para PSK tersebut adalah ekonomi, dan seperti mereka adalah warga Negara kelas dua. 2. Dampak sosial Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi.

Dampak sosial Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi memiliki dampak positif dan dampak negatif yaitu :

a. Dampak positif Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi.

1) Penutupan Lokalisasi mampu mengurangi transaksi prostitusi dan miras.

2) Penutupan lokalisasi mampu membuat warga eks lokalisasi berwiraswasta dan beralih profesi.

3) Dengan ditutupnya lokalisasi banyak PSK/WPS/PS

meninggalkan lokalisasi.

4) Rumah di eks lokalisasi diberi tanda “Rumah Tangga” b. Dampak Negatif Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Banyuwangi.

1) Menurunnya tamu mempengaruhi penghasilan warga eks lokalisasi dan berdampak menurunnya penghasilan dari warga yang menggantungkan hidup pada lokalisasi.

2) Transaksi prostitusi dilakukan sembunyi-sembunyi pada eks lokalisasi.

3) Secara tidak langsung mendorong tumbuhnya hotspot-hotspot (tempat) baru dan bentuk-bentuk baru dalam cara bertransaksi.

4) Terhentinya pemantauan kesehatan di eks lokalisasi.

5) Adanya rasa traumatis dan ketakutan pada para PSK/WPS/PS yang beroperasi di eks lokalisasi.

3. Faktor-faktor Penyebab PSK bekerja kembali di lokalisasi.

Ditemukan bahwa factor-faktor penyebab PSK kembali lagi bekerja di lokalisasi adalah :

a. Faktor Ekonomi.

Dengan banyaknya kebutuhan yang harus terpenuhi, maka banyak pula orang-orang yang menggantungkan hidup mereka pada lokalisasi, begitu juga dengan para PSK yang masih akfiv bekerja, alasan utama mengapa mereka kembali adalah factor ekonomi. Karena mereka menjadi tulang punggung dalam keluarga, mereka harus menghidupi keluarganya.

b. Faktor Peraturan Bupati No.88 Tahun 2011 Yang Tidak Efektif. Penutupan lokalisasi yang ada di kabupaten Banyuwangi telah dilaksanakan, namun selama ini pelaksanaan penututupan lokalisasi yang di lakukan oleh satpol PP dan dinas-dinas terkait dengan berlandaskan Peraturan Bupati No.88 Tahun 2011, menurut hasil penelitian yang didapatkan dari lapangan menunjukkan bahwa Perbub No.88 2011, tidak efektif atau mandul.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

AnneAhira, 2013, Kebijakan Penutupan Lokalisasi-Kebijakan Yang Tidak Bijak, www. AnneAhira.com, Bandung.

Arikunto, Suharsimi, Prof., Drs., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, PT. Adi Maha Setya, 2002, cet. Ke – 12.

Bappeda, 2014, Pedoman Penulisan Proposal Penelitian Kerjasama Bappeda Kabupaten Banyuwangi Dengan Perguruan Tinggi Di Kabupaten Banyuwangi.

Bogdan, RC. And Biklen, S.K. 1982, Qualitative Research for Education an Introduction to Theori and Methods, London allyu and Bacon.

Hull, Terrence H, dkk, 1997. Pelacuran di Indonesia : Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Pustaka Sinar, Harapan.

http://marisa-secangkirkopipagi.blogspot.com/2013/09/sepintas-tentang-patologi-sosial.html 2013).

Inayah, Nurul, SE.,M.Si, 2011, Fungsi dan Peran Perempuan Migran dalam Hubungan Kekeluargaan di Desa Karangdoro, Penelitian Individu, Banyuwangi.

Jawa Pos, 2014, ”Wabup Yusuf : Harus Ada Sinergitas Semua Pihak”, PT. Jawa Pos, Surabaya.

Kartini Kartono,2005, Patologi Sosial, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Khoiriyawati, 2012, Karakteristik Pekerja Wanita Tunasusila (WTS) Di Lokalisasi Turian Desa Karetan Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi, Skripsi, Universitas Negeri Malang.

Miskawi, 2013, Kelam Di Padang Bulan (Dinamika Kehidupan PSK Lokalisasi), CV. Alfastabiq Alkhairat, Banyuwangi.

Mudjijono, 2005, SARKEM: Reproduksi Sosial Pelacuran, Cetakan pertama, Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Nusantara Pos,2014, “Penderita HIV/AIDS Tembus 2008 Orang”. Kamis, 6 Nopember 2014

Pawito, Ph.D., 2008, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Cet. Ke – Pertama, Lkis, Jogjakarta.

Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 88 Tahun 2011, Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebarluasan Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Kabupaten Banyuwangi.

Pratiwi,Dhenok, 2013, Buah Simalakama Penutupan Lokalisasi, Kompasiana, www:/// Kompasiana/ Buah-Simalakama-Penutupan-Lokalisasi.htm.

Rinalyuanita,Maya Chica, & Brams, Mahendra, 2012, Laskar Cinta Satu Malam, Syura Media Utama, Yogyakarta.

Soedjono D, 1973, Patologi Sosial: Gelandangan, Penyalahgunaan Narkoba, Cetakan kedua, Bandung.

Soedjono D, 1977, Pelacuran, ditinjau dari segi hukum dan kenyataan dalam masyarakat, Bandung; PT. Karya Nusantara.

Sugiyono, Prof., Drs., 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfa Beta, Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut hasil kuesioner yang dilakukan, sebanyak 89.7% responden menjawab setuju bahwa buku merupakan media yang paling efektif untuk melestarikan tenun Bali, disusul dengan pameran

Menurut penelitian yang dilakukan dari hasil survei dari 572 responden, (Ford et al,2003) mendefinisikan Workplace Fun sebagai lingkungan kerja menyenangkan

Hasil penelitian menunjukan Media simpan serbuk gergaji (M1) menunjukan bahwa mampu menyimpan entres selama 1 hari yang menghasilkan tingkat keberhasilan okulasi

Membuat konsep baru (yang tidak nampak jelas bagi orang lain dan yang tidak dipelajari dari pendidikan atau pengalaman sebelukmnya) untuk menjelaskan situasi atau memecahkan

Dalam kehidupan nyata, salah satu contoh aplikasi spanning tree adalah menentukan rangkaian jalan dengan jarak total seminimum mungkin yang menghubungkan semua kota sehingga

MTs Muhammadiyah Surakarta melakukan perbaikan dalam sistem pembelajaran yang bertujuan agar siswa dapat lebih termotivasi dalam belajar khususnya mata pelajaran

Selain itu, tidak adanya pengawasan secara langsung mengenai absensi karyawan, dan bagan alir sistem penggajian pada Perum BULOG Cabang Surabaya Selatan yang tidak

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam ketentuan Pasal 10 huruf a UUPK yang dipertegas dalam Pasal 23 Permen Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013