10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Aprliana dengan judul “Pluralisme Dalam Pandangan Nurcholish Madjid”, menyimpulkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan pluralisme agama, Madjid memberikan penjelasan, untuk menciptakan suasana harmonis dalam sebuah masyarakat yang plural, ilmu perbandingan agama sangat menentukan, sebab tanpa ilmu perbandingan agama, dialog antar umat sangat mustahil diwujudkan. Dialog antar umat beragama diharapkan mampu memberikan soslusi terhadap berbagai masalah keagamaan, baik di internal umat Islam maupun antar umat agama lain.11
Penelitian lain dilakukan oleh Wahyudin dengan judul “Inkorporasi Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pluralisme Agama Dalam Pendidikan Islam”. Pertama, penulis menggali tentang bagaiamana konsep pluralisme agama menurut Nurcholish Madid. Kedua, bagaimana relevansi konsep pluralisme Nurcholish Madjid dalam konteks pendidikan Islam. Melalui penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historis, filosofis dan pedagogis. Kemudian menghasilkan beberapa point jawaban, antara lain; gagasan pokok pluralisme Nurcholish Madjid mengandung dua gagasan besar. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Islam. Dalam konteks inilah, penulis beranggapan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep pluralisme agama Nurcholish Madjid perlu dimasukkan dalam pendidikan Islam. Sehingga pembelajaran pendidikan agama Islam yang pluralis tercipta secara dialogis-kritis dan konstruktif.12
Penelitian lain dilakukan oleh Edi Susanto dengan judul, “Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pendidikan
11 Apriliana, Pluralisme Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, Thesis, Program Pascasarjana
IAIN Sumatera Utara, 2010.
12 Wahyudin, Inkorporasi Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pluralisme Agama Dalam
11
Pluralistik (Perspektif Sosiologi Pengetahuan). Dalam penelitian tersebut, peneliti menggunakan studi kombinatif antara studi pustaka dan penelitian dengan menggunakan perspektif sosiologi pengetahuan. Penulis menyimpulkan konsep pendidikan agama Islam multikultural-pluralistik yang digagas Nurcholish Madjid bertitik tolak dari konsep filosofis-antropologis manusia sebagai “Abd-Allah” dan Khalifatullah yang kualitas kemanusiaannya berproses sehingga memerlukan mujahadah dalam menyempurnakannya. Mujahadah yang di maksudkan itu diproses melalui pendidikan agama Islam yang menekankan pada tercapainya nilai–nilai akhlak terpuji. Penulis menjelaskan bahwa gagasan Nurcholis Madjid tentang tentang pendidikan Islam berwawasan multicultural-pluralistik terbukti secara nyata melalui kegiatan Yayasan Paramadina dan Yayasan Madania dengan segala amal usahanya secara konsisten dan ekstensif mempraktikkan nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan keterbukaan ber- Islam.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Muhammad In’am Esha dengan judul “Teologi Pluralisme Dalam Pendidikan Islam, Mencermati Implikasi Pemikiran Nurcholish Madjid”. Dalam penelitian tersebut, peneliti memberikan penjelasan bahwa Nurcholish Madjid menawarkan sebuah paradigma etis yang diusungnya melalui Al-Qur’an. Nurcholish Madjid telah memberikan sinyal kesadaran bagi manusia. Dalam konteks ini, penulis mendapatkan kesimimpulkan bahwa pendidikan Islam mesti merespon dan mengambil peran utama sebagai garda implementasi ide-ide yang telah ditawarkan Nurcholish Madjid.13
Dari beberapa penelitian yang telah dijabarkan diatas, penulis memperoleh hasil pengamatan atau analisis, bahwa kesimpulan yang didapat dari penelitian yang telah ada sebelumnya banyak yang memberikan keterangan terhadap pandangan Nurcholish Madjid terhadap nilai-nilai keislaman yang inklusif dan pluralistik.
13Muhammad In’am Esha, “Teologi Pluralisme Dalam Pendidikan Islam, Mencermati Implikasi
12
Akan tetapi masih terdapat perbedaan yang sangat signifikan dari sekian penelitian yang telah dilakukan, para peneliti sebelumnya memang memiliki kesamaaan pandangan mengenai garis besar pemikiran Nurcholish Madjid tentang Islam dan pluralisme agama, akan tetapi belum banyak yang memberikan penekanan terhadap pandangan pluralisme agama Nurcholish Madjid dalam konteks pendidikan Islam, oleh sebab itulah melalui penelitian ini, penulis ingin menggali lebih dalam lagi mengenai pandangan pluralisme agama Nurcholish Madjid dan implikasinya dengan Pendidikan Islam.
A. Kerangka Teoritis Masalah Penelitian
1. Pluralisme Agama Dalam Pandangan Nurcholish Madjid
Salah satu segi tentang agama Islam yang banyak ditegaskan dalam al-Qur’an ialah bahwa agama itu berlaku untuk seluruh alam raya, termasuk seluruh umat manusia. Tentang kehadiran Nabi Muhammad SAW disebutkan dengan jelas “Kami (Allah) tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh umat manusia, sebagai kegembiraan dan pembawa ancaman” (Q.S. Saba’/34:28). Juga sebagai firman suci yang amat banyak dikutip, “Tidaklah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk seluruh alam” (Q.S. al- anbiya’/21:107).
Segi keuniversalan Islam berdasarkan firman-firman itu sudah menjadi kesadaran yang sangat umum dikalangan kaum Muslim. Namun sebenarnya masih banyak sekali penegasan-penegasan dalam kitab suci tentang ke universalan ajaran Tuhan yang patut sekali menjadi bahan renungan umat Islam zaman mutakhir ini.14
Sesungguhnya Islam itu universal, pertama-tama karena Islam sebagai sikap pasrah dan tunduk-patuh kepada Allah, Sang Maha Pencipta, adalah pola wujud (mode of existence) seluruh alam
14 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
13
semesta. Dalam bahasa yang tegas, seluruh jagad raya adalah suatu wujud atau eksistensi ketundukan dan kepasrahan (Islam) kepada Tuhan yang terjadi secara naluriah. Ketundukan dan kepasrahan kebendaan maupun alam tidak memiliki daya pilih seperti manusia; sedangkan manusia memiliki daya pilih secara suka rela untuk tunduk dan pasrah.
Keimanan melahirkan tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (Inna lillahi wa innailaihi rajiuna), “Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya”. Maka Tuhan adalah “sangkan paran” (asal dan tujuan) hidup (hurip), bahkan seluruh makhluk (dumadi).15
Paham tauhid adalah substansi ajaran semua agama yang benar. Setiap umat manusia yang telah mendapatkan pelajaran tentang tauhid melalui para Rasul Allah (Q.S. Nahl/16:36); al-Ra’du /13:7; al-Fathir/35:24). Karena itu, senantiasa terdapat titik pertemuan (kalimat sawa’) antara semua agama manusia, dan orang– orang Muslim diperintah menemukan dan mengembangkan titik pertemuan itu sebagai landasan hidup bersama (Q.S. ali-Imran/3:64). Salah satu kelanjutan logis prinsip Ketuhanan itu ialah paham persamaan manusia, yakni bahwa seluruh umat manusia, dari segi harkat dan martabat asasinya adalah sama. Tidak seorang pun dari sesama manusia itu berhak merendahkan atau menguasai harkat dan martabat manusia lain, misalnya dengan memaksakan kehendak dan pandangannya kepada orang lain (Q.S. al-Baqarah/2:256). Bahkan, seorang utusan Tuhan pun tidak berhak melakukan pemaksaan itu (Q.S.Yunus/10:99). Seorang Rasul Allah mendapatkan tugas untuk menyampaikan kebenaran (balagh, tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan kebenaran itu kepada mereka. (Q.S. al-Nahl/16:82).16
Menurut Madjid, keberagamaan umat manusia merupakan suatu kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam
15 Nurcholish Madjid, Nilai – Nilai Agama Islam: Pandangan Dasar Paramadina (Jakarta,
Yayasan Wakaf Paramadina, tanpa tahun). hlm. 8.
14
Qur’an dijelaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk mereka saling mengenal dan menghargai (Q.S.al- Hujurat/49:13), sehingga pluralitas itu kemudian meningkat menjadi pluralisme, yaitu sistem nilai yang memandang secara optimistik terhadap keberagamaan itu sendiri sebagai sebuah kenyataan. Dan adanya penegasan tentang keberagamaan dalam prinsip hidup antar manusia yang tidak perlu diperdebatkan, justru memerintahkan kita untuk berpegang pada prinsip berlomba-lomba dalam kebaikan.
Bagi Madjid, paham kemajemukan masyarakat adalah salah satu nilai keislaman yang sangat tinggi, yang para pengamat modern pun banyak yang mampu menghargainya dengan tulus. Pluralisme inilah salah satu ajaran pokok Islam yang amat relevan dengan zaman sekarang.17 Menurutnya, terdapat kemungkinan akan adanya titik pertemuan di antara agama-agama yang ada di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya, kemunngkinan itu masih sangat terbuka sebagaimana yang diwujudkan secara sosial-politik oleh Nabi SAW dan kaum Muslim melalui Piagam Madinah. Di Indonesia, menurut Madjid, untuk berpegang pada common platform sangat dimungkinkan dapat terlaksana, mengingat mayoritas masyarakat Indonesia memeluk Islam; dan semua warga bangsa telah sepakat untuk bersatu dengan ikatan nilai-nilai dasar Pancasila.18
2. Pluralisme Agama Dalam Pandangan Pendidikan Islam
Pluralisme merupakan teori yang membenarkan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi. Secara istilah pluralisme adalah sebuah paham yang menekankan aspek-aspek positif dalam sebuah ralitas keberagamaan, toleransi dan mengakui keberadaaan golongan (agama) lain yang berbeda sebagai upaya preventif dalam menanggulangi konflik antar agama. Jadi, pluralisme seharusnya dipahami dan diterima secara positif, bukan digugat secara negative, apalagi sampai diklaim sebagai paham yang merusak aqidah
17 Nurcholish Madijd, Islam Agama Peradaban…,hlm. Ixxxiii 18 Nurcholish Madijd, Islam Agama Peradaban…,hlm. Xcviii
15 khususnya bagi umat Islam.19
Sejarah menunjukkan, pandangan inkulsif-pluralis telah melahirkan sikap sosial-keagamaan yang unik di kalangan umat Islam terhadap agama- agama lain, atas dasar toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran. Itulah manifestasi kongkrit nilai-nilai madani yang terbukti pernah menjadi pilar tegaknya masyarakat kosmopolit atau civil society di masa keemasan dunia Islam awal.20
Di tengah bangsa dan masyarakat yang multi-religius, persoalan sosial-keagamaan memang bukan persaloalan yang sederhana. Kompleksitas hubungan sosial antar umat beragama ini dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat di berbagai level.21Sehingga dalam hal ini pendidikan merupakan jawaban atas beberapa persoalan yang sedang kita alami. Pertanyaannya, konsep pendidikan seperti apakah yang kita butuhkan sekarang, tentu pendidikan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al- Hadist serta berlandaskan nilai dasar etik kemanusiaan universal.
Pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian untuk mengembangkan prinsip demokrasi, kesetaraaan dan keadilan dalam kehidupan masyarakat, terutama di masyarakat yang heterogen, maka diperlukan orientasi atau pandangan hidup universal. Di antara orientasi hidup yang universal adalah kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian.22
Menurut Madjid di dalam bukunya, pendidikan dalam terminologi agama kita disebut dengan tarbiyah, yang mengandung arti dasar sebagai pertumbuhan, peningkatan atau membuat sesuatu menjadi lebih tinggi. Karena makna dasarnya pertumbuhan atau peningkatan, maka hal itu mengandung asumsi bahwa dalam setiap diri manusia sudah terdapat bibit- bibit kebaikan. Adalah tugas para orang tua dan para guru untuk mengembangkan bibit positif anak
19Ahmad Rois, Pendidikan Islam Multikultural: Telaah Pemikiran Muhammad Amin Abdullah,
Episteme, Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol.8 No. 2, 2013. hlm. 271.
20 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap Modrnitas (Jakarta:
Erlangga, 2007), hlm. 80-91.
21 Ahmad Rois, Pendidikan Islam Multikultural hlm. 268. 22 Ahmad Rois, Pendidikan Islam Multikultural hlm. 2 7 4.
16
didik mereka dengan sebaik- baiknya.23 Maka oleh sebab itulah pendidikan Islam baik formal maupun non formal, merupakan konektifitas untuk mentransformasi nilai-nilai plural atau teologi inklusif kepada anak didik. Sehingga pesan-pesan humanistik yang terkandung didalam kitab suci bisa dijadikan pedoman hidup bersosial secara terbuka dan beradab. Al-Quran merupakan landasan utama praktik pendidikan Islam, atas dasar itulah maka pendidikan Islam dituntut untuk menghadirkan nilai–nilai kebaikan, berupa moralitassosial.
Salah satu tujuan dari tugas utama pendidikan Islam ialah memberikan bekal kepada anak didik tentang keterampilan hidup berupa ketangkasan dalam mengarungi kehidupan sosial masyarakat
yang plural.24 Konsekuensinya, pendidikan agama perlu
menekankan pada pengajaran tentang agama (teaching about
religion) melibatkan pendekatan kesejarahan dan pendekatan
perbandingan.25 Hal ini bermanfaat untuk menumbuhkan kesadaran
peserta didik mengenai aspek universal dan particular ajaran agamanya. Disamping itu, pendekatan tersebut bermanfaat juga untuk mengatasi kurangnya perhatian terhadap upaya mempelajarari agama- agama lain dan kurangnya penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar umat beragama lantaran sikap overprotective sehingga kecurigaan tetap mewarnai cara pandang antar penganut agama. Secara psikologis, manfaat dari pendekatan tersebut bisa mengkondisikan peserta didik agar belajar bersikap inklusif dan positif terhadap agama lain dan kelompok yang berbeda.
Berdasarkan pemaparan tersebut, kemudian membawa kita pada formulasi Pendidikan Islam yang lebih memprioritaskan nilai-nilai-nilai teologis dan moralitas dari pada sekedar transfer ilmu agama (kognitif). Sebab, pendidikan agama tidak hanya terbatas pada pengajaran agama.26
23 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius…,hlm.81
24 Zamroni, Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi (Jakarta: PSAP, 2007), hlm. 228.
25 Zakiyuddin Baidahawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005),
hlm. 102
26 Mahmud Arif, Pendidikan Agama Inklusif-Multikultural, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No, 1,
17
Kegagalan pendidikan agama dalam membina akhlak peserta didik sebagaimana telah dikeluhkan oleh banyak pihak merupakan wujud tranformasi nilai keagaman dan moral yang belum teraktualisasi dengan maksimal. Sewajaranya, jika penguasaan peserta didik tentang materi keagamaan dinilai bagus, ternyata hal tersebut belum tentu terintegrasi kuat dengan keluhuran akhlaknya. Kejujuran, ketulusan, kesabaran, tanggung jawab dan perilaku keseharian yang bersangkutan.
Dalam hal ini Madjid, mengafirmasi bahwa internalisasi nilai ketuhanan dan moralitas dalam sistem pengajaran agama perlu berpusat pada dua aspek hidup: ketakwaan kepada Tuhan dan kemanusiaan. Pertama, pendidikan hendaknya mengarahkan anak didik untuk mecapai kesadaran ilahi (Ketuhanan) dengan cara mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Pada aspek ini nilai penting ajaran Islam yang perlu diajarkan dalam dunia pendidikan melingkupi pengetahuan dan pengamalan tentang keimanan, keislaman, ihsan, ikhlas, syukur dan kesabaran. Kedua, pada aspek ini pengembangan sikap kemanusiaan kepada anak didik seperti: prinsip persaudaraan, kesederhanaan, kejujuran, amanah dan gotong-royong.27
3. Pendidikan Islam Dalam Bingkai Pluralitas
Dasar dari pendidikan Islam ialah Al-Qur’an dan Hadist yang dipandang sebagai sumber kebenaran dan tidak hanya dipandang sebagai dasar keimanan semata. Melainkan kebenaran dari kedua sumber itu lalu bisa diterima oleh rasionalitas manusia dan dibuktikan dalam deretan sejarah kemanusiaan.
Pendidikan Islam adalah ihtiar aktif yang memiliki fungsi untuk mengembangkan dan melestarikan kefitrahan manusia, maka dari itu perlu didasarkan pada sistem nilai yang ideal dalam menyusun kerangka teori maupun praktik dalam dunia pendidikan. Berdasarkan nilai–nilai itulah maka bangunan konsep pendidikan Islam dapat dibedakan dengan bangunan konsep pendidikan yang lain.
18
Pendidikan Islam berlandaskan humanisme maka menurut achmadi,28 nilai-nilai fundamental yang secara universal dan obyektif merupakan kebutuhan manusia yang perlu dikemukakan sebagai dasar pendidikan Islam, walaupun posisinya dalam konteks tauhid sebagai nilai instrumental. Nilai-nilai tersebut adalah kemanusiaan, kesatuan umat manusia, keseimbangan, dan rahmat bagi seluruh alam.
Pendidikan Islam dalam bingkai pluralitas merupakan sebuah term yang dialogis antara sudut pandang filosofis dan teologis. Sehingga untuk mengurainya secara fundamental diperlukan sebuah pisau analisis yang teoritis maupun paradigmatik demi menghasilkan argumentasi yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Paradigma (paradigm) dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionaries berarti (general) pattern atau model. Pengertian lain dari paradigma ialah cara pandang, dalil, qoidah, tasrif dan pola yang dianggap benar dan pakem. Bermula dari konsep paradigma ini kemudian memenuculkan seperangkat konsep-konsep seperti “frame work” kerangka kerja, “wold view” pandangan dunia, pola pikir dan “logical frame work analysis” sebagai contoh, kebenaran Tuhan (Allah SWT) itu absolut, al-Qur’an sebagai Kalamullah, kebenarannya mutlak, komprehensif dan logis, kemudian dijadikan pedoman, dalil dan rujukan dalam berfikir, bersikap dan berprilaku. Hal ini disebut paradigm teologis, yaitu pandanan dunia, frame dan minset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis, bersumber dari Tuhan.29
Dalam dunia pendidikan, kultru ilmiah kerap didasarkan pada sebuah paradigma tertentu yang dijadikan sebagai landasan sebuah bangunan teori dan metodologinya. Seperti yang kita ketahui,
28 Achmad, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentrisme (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 87.
29 Tobroni, Pendidikan Islam, Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas (Malang, UMM
19
hakikat dari kebenaran ilmiah itu bersifat relatifisme atau relatif, tidak mutlak atau dimutlakkan dan sains terus masih dalam proses panjang berupa agenda-agenda penelitian research ilmiah untuk melahirkan kebenaran terbaru, mengevaluasi dari deretan penemuan yang telah ada untuk disempurnakan kembali. Dasar seperti itulah paradigma lama itu bisa dianggap kurang relevan kemudian melahirkan sebuah krisis dan lalu lahirlah paradigm terbaru. Sebuah buku yang berjudul The Struktur of scientific Revolution, di tulis Thomas Khun. Thomas mengelaborasi cukup baik bagaimana proses perubahan paradigm lama yang telah kokoh lalu mengalami tahap tanomali, tahap krisis sampai dengan tahapan revolusi besar dan sampai lahir sebuah paradigma baru.30
Pendidikan Islam jika dipandang sebagai science maka akan memuat kebenaran ilmiah yang relatif, disana terdapat kekurangan yang masih perlu diperbaiki. Persoalan yang muncul di dunia
pendidikan yang senantiasa mengikuti perkembangan,
mengharuskan munculnya jalan keluar atau solusi baru. Berangkat dari wacana itulah biasanya tercetus pembaharuan pemikiran, pendalaman dan penelitian tentang pengelolaan pendidikan Islam, dari segi normatif, ideologis dan praktiknya. Harus segera dijelaskan di sini bukan Islamnya al-Qur’an dan Hadist yang tidak lagi relevan, melainkan metode pengkajian (pemikiran, pemahaman dan bentuk pengamalannya yang terus menerus diperbaharui.
Pendidikan Islam dan Pluralitas adalah istilah kunci dan mendasar dalam pembahasan penelitian ini. Konsep tentang pendidikan kerap mengundang tafsir makna yang beragam. Pendidikan Islam, dalam arti sempit, yakni proses belajar mengajar Agama Islam dan Agama Islam menjadi core curiculume di dalamnya. Pendidikan Islam juga memiliki arti, lembaga pendidikan yang memuat aktifitas yang menempatkan Islam sebagai simbol indentitasnya, baik secara terang-terangan rupa dan fisiknya maupun
20
tersamar. Perkembangan terakhir memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam diberi arti lebih substansial sifatnya, yaitu bukan sebagai proses belajar mengajar, maupun jenis kelembagaan, akan tetapi lebih menekankan sebagai suatu iklim pendidikan atau
“education atmosphere”, yaitu suatu pendidikan Islami, memberi
nafas keislaman pada semua elemen sistem pendidikan yang ada. Islam sebagai sistem nilai universal dan diyakini mutlak kebenarannya seharusnya member paradigma filosofis dan teologisterhadap pendidikan Islam itu sendiri. Namun pengertian pendidikan Islam yang berkembang dalam masyarakat baru sekedar menerapkan etika Islam dalam pemanfaatnya atau lebih sederhana lagi sebagai sebuah nama lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh kaum Muslim. Padahal pendidikan Islam hakikatnya dijadikan sebagai sarana aktualisasi nilai-nilai keislaman dalam praktik pendidikan, baik dari segi ontologis, segi epistimologis dan segi aksiologis.
Zarqawi Soejoeti dalam makalahnya tentang model-model perguruan tinggi Islam mengemukakan bahwa pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian: pertama, lembaga pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan- kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini Islam dilihat sebagai sumber nilai harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga yang bersangkutan. Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga, mengandung kedua pengertian di atas, dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam program-program kajiannya.31
31 Tobroni, Pendidikan Islam…hlm. 16
21
Dalam mengkaji secara mendalam tentang pendidikan Islam ketiga defenisi tersebut akan digunakan peneliti untuk menganalisis dan mendeskripsikan pendidikan Islam dalam bingkai pluralitas.
Konsep pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Zarqawi Soejati di atas walaupun belum cukup memadai secara falsafati untuk disebut sebagai pendidikan Islam, tetapi kiranya dapat dijadikan pisau analisis untuk membedah dan memahami pendidikan Islam secara lebih mendasar. Terutama untuk
mengkorelasikannya berupa gagasan pendidikan Islam dalam
bingkai pluralitas.
Agama Islam merupakan agama samawi yang bertugas menyebarkan teologi rahmatan lil’alamin, untuk mewujudkan kehidupan manusia yang demokratis, adil, sejahtera dan
berkemajuan dengan penuh pengabdian kepada-Nya. Dalam
pandangan Islam, rahmatan lil’alamin dapat terwujud jika manusia dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin secara amanah dan tanggung jawab serta terjalin hubungan secara proporsional antara Tuhan, manusia dan alam.
Beberapa pandangan tentang pendidikan Islam di atas akan menjadi relevan jika dipertautkan secara utuh dengan beberapa pandangan Nurcholish Madjid secara substansi dan esensi, perihal argumentasi Islam, pendidikan dan pluralisme.
Pada masa Islam klasik, ada pandangan idealistik tentang keadaan manusia dan masyrakat modern di masa yang akan datang dan hal tersebut telah menjadi fakta kehidupan sekarang, seperti seperti prinsip universal, kosmopolitan, keterbukaan atau inklusif. Bahkan dalam tulisannya Bellah menjelaskan, “Di zaman Islam klasik, konsepsi ideal sosio-politik, menurut zaman itu telah menunjukkan sisi modern sebuah peradaban. Kendati Timur Tengah saat itu belum memiliki infrastruktur sosial yang memadai mengenai modernitas Islam atau kehidupan modern, sehingga konsep itu tidak bertahan lama dan dicontoh oleh Barat.32
32 Budhy Munawar Rahman, Karya Lengkap Nurcholish Madjid, Keislaman, Keindonesiaan dan
22
Demikian Madjid mengutarakan kemajuan sistem
kemodernan Islam. Infrasrtruktur sosial-politik Islam menurut Madjid sudah sangat canggih itu, dipengaruhi oleh watak Islam univerasal dan kosmopolit. Prinsip Islam semacam itu menjadi konsep yang utuh tentang kesatuan misi kenabian dan ajaran kemanusiaan yang bersumber dari semangat ketuhanan. Watak seperti itulah menurut Madjid sejalan dengan keislaman yang humanis berdasarkan nilai ketuhanan. Sehingga Islam bener-benar menjadi sumber kekuatan agama yang pluralistik dan moderat yang mampu menjadi golongan penengah.
Madjid mengatakan, inkulsifitas adalah watak dari keadaban Islam, sikap inklusivis dan pluralis ini karena al- Qur’an mengajarkan paham kemajemukan beragama (religius plurality). Sikap inkklusivis dan pluralis inilah yang telah menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam, dan telah mendasari kebijakan kebebasan beragama. Sikap inklusif, yaitu suatu definisi yang dikemukakan oleh para penganut konsepsi tentang sistem sosial yang menekankan perlunya individu- individu dalam masyarakat di control oleh kesetiaan menyeluruh kepada seperangkat sentral kepercayaan dan nilai. Contoh definisi inclusive ini adalah yang dianut Weber tersebut di atas, yang tekanannya diberikan kepada daerah the grounds of meaning. Contoh kedua yang dibuat Emil Durkheim, yang member tekanan kepada kepada persoalan kesucian,kekudusan atau ketabuan.33
Berdasarkan argument itu, menurut Madjid terdapat etika pluralisme dalam ajaran Islam di mana pun ia berada. Keislaman menjadi sesuatu yang bersifat fitrah dan senantiasa menjadi (al- din-
u’lnasihah) yang sejalan prinsip humanistik Islam, sehingga
keislaman dalam konteks Indonesia juga membawa cita-cita yang sejalan dengan cita-cita Islam yang berkemanusiaan.
Jadi pemaparan diatas merupakan bagian dari konstruksi atas wacana pendidikan Islam dalam bingkai pluralitas, argumentasi
23
tersebut dibangun dengan dasar paradigma filosofis-teologi. Paradigma filosofis- teologis sebagai dasar pemikiran pendidikan Islam dalam bingkai pluralitas. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa pandangan idealitas keislaman Nurcholish Madjid sangat kompatibel dengan gagasan pendidikan Islam dalam bingkai pluralitas, sebab Madjid dalam hal ini merupakan tokoh cendekiawan muslim sekaligus sosok pluralis yang konsisten mempromosikan ide-ide kemajemukan beragama, sehingga secara nyata Madjid memberikan sumbangsih besar terhadap nilai-nilai pendidikan Islam itu sendiri.