• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang berguna untuk menentukan kelaikan berita atau newsworthy (Ishwara,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang berguna untuk menentukan kelaikan berita atau newsworthy (Ishwara,"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Peristiwa bencana alam seperti gempa, gunung meletus, banjir, dan sebagainya yang bisa terjadi tiba-tiba; mengandung nilai berita, ukuran yang berguna untuk menentukan kelaikan berita atau newsworthy (Ishwara, 2011:77). Dampaknya, mendapatkan berita cepat, eksklusif, dan lengkap dari sebuah peristiwa bencana mungkin sudah menjadi naluri, atau terlebih, tuntutan bagi para wartawan. Kebanyakan media pada umumnya pun melakukan rotasi terhadap jurnalisnya yang bertugas di lokasi bencana.

Oleh sebab itulah, dalam menjalankan profesinya, wartawan harus dipersiapkan untuk berhadapan dengan bencana sewaktu-waktu. Ahmad Arif, seorang wartawan madya dari harian Kompas, di dalam bukunya yang berjudul Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme: Kesaksian dari Tanah Bencana (2010) bertutur, walaupun wartawan telah disiapkan

(2)

menghadapi semua situasi, nyatanya banyak yang tak tahan ketika diterjunkan meliput ke suatu daerah bencana. Wartawan yang meliput di medan bencana juga harus disiapkan melengkapi diri dengan dasar-dasar pengetahuan bertahan hidup di kawasan bersarana minim dan rentan penyebaran penyakit menular. Idealnya ada tim pendukung yang bertugas menyiapkan infrastruktur dalam peliputan, misalnya alat komunikasi dan alat kirim berita.

Media massa sendiri sangat diharapkan memiliki peran strategis dalam memberitakan informasi terkait pengurangan resiko bencana. Diyah Hayu dalam artikel ”Peran Media dalam Manajemen Bencana” di harian Kedaulatan Rakyat (2010) menilik pemberitaan media-media Indonesia akan sebuah bencana selama ini, pusaran pemberitaan lebih pada saat pascabencana. Sementara itu mengenai informasi langkah-langkah pengurangan resiko bencana maupun potensi bencana kurang mendapatkan porsi signifikan.

Tambah lagi, ia mencatat, media tidak menyertakan sensitivitas dalam pemberitaan tentang bencana. Berita tanpa kesedihan dinilai berita buruk. Lebih parah, banyak sekali media yang menugaskan para

(3)

jurnalisnya untuk memburu berita penuh air mata dan darah yang dipercaya paling ’laku dijual’.

Hayu (2010) melanjutkan, bahwa tidak jarang peliputan pers tanah air terhadap peristiwa bencana berujung dramatis. Terutama tayangan liputan berita televisi, yang bermuatkan gambar-gambar ratapan yang terus diulang. Seolah hanya berita yang mengandung isak tangis yang menjadi perhatian di lapangan. Berondongan pertanyaan wartawan saat mewawancarai narasumber, khususnya korban dan saksi mata kejadian, bahkan sudah menabrak rambu-rambu etika.

M. Badri dalam artikel berjudul ”Jurnalisme Ramah Bencana” di Riau Pos (2010), menilai bahwa persoalannya memang media dihadapkan pada pekerjaan pelik, oleh karena faktor situasi yang setiap kali memerlukan sikap reflektif yang kritis. Diperlukan bukan hanya atensi khusus serta kepekaan di tengah-tengah isu yang nampaknya remeh-temeh tetapi berskala luas. Acapkali media terjebak dalam permainan atensi itu.

Ade Armando, di dalam buku Media dan Integrasi Sosial (2011), membahas konsep jurnalisme damai. Menurut Ade, jurnalisme damai

(4)

diperkenalkan dan dikembangkan untuk membangun tatanan pikir baru tentang peranan sebuah media.

Dalam wacana ini, diharapkan jurnalis bukan sekadar mewartakan, terlebih memprovokasi, melainkan mengambil pilihan yang mendorong masyarakat untuk mempertimbangkan dan mengambil respons-respons non-kekerasan terhadap peristiwa konflik. Pada konteks inilah, media diizinkan atau bahkan disarankan untuk tak sekadar memberitakan informasi berdasarkan fakta apa adanya. Alih-alih lebih berorientasi mendengarkan 'suara' korban.

Tulisan Manunggal K. Wardaya ”Tragedi dalam Bingkai Media” di Suara Pembaruan (2012) secara jelas membahas persoalan etika media terkait pemberitaan yang mempunyai sangkut-paut dengan tragedi, trauma, juga termasuk bencana. Ia beropini, suatu peristiwa traumatik di masyarakat terlalu banyak dieksploitasi sedemikian rupa tanpa mengindahkan perasaan korban dan juga masyarakat. Kedukaan mendalam keluarga korban benar-benar diperas saripatinya.

Fenomena semacam ini pernah dikritik pula oleh Tim Costello, CEO World Vision, dalam kuliah umumnya di Melbourne, Australia,

(5)

April 2011. Ia menekankan bahwa tugas jurnalisme adalah untuk menjadi saksi dari suatu peristiwa, akan tetapi bukan berarti kemudian lantas menjadi pemuas nafsu konsumen media belaka.

Namun peristiwa bencana baru-baru ini terjadi di Jepang seakan memberi pandangan baru bagi kita memandang berita peristiwa bencana sebagaimana berita mengenaskan itu. Pada 11 Maret 2011 silam, gempa besar (berkekuatan 8,9 Skala Richter) melanda Jepang dan menyusul terjadinya gelombang tsunami hingga ketinggian empat meter dari area pesisir sebelah timur laut Sendai.

Gempa yang merupakan gempa terbesar dalam 150 tahun terakhir catatan sejarah gempa dan tsunami Jepang tersebut guncangannya dirasakan hingga 2100 km dari pusat gempa, termasuk ibukota Jepang, Tokyo.

Segera bencana ini menjadi pusat perhatian dunia. Hampir dua pekan mengamati stasiun televisi Jepang, NHK—yang juga direlai oleh CNN dan Al-Jazeera—begitu semangat, cepat, dan detail mengabarkan detik demi detik perjalanan tsunami yang meluluhlantakkan beberapa kota di sekitar Jepang utara itu. Teknologi yang luar biasa menyiarkan langsung

(6)

menggunakan helikopter, sangat bermanfaat bagi korban bencana. Selain menjadi informasi terkini, kecepatan meliput secara langsung ini sekaligus menjadi peringatan dini tsunami bagi masyarakat.

Atsushi Tanka, ahli bencana dari Universitas Tokyo pada suatu simposium yang diadakan di Pusat Kajian Jepang Universitas Indonesia, Depok, 21 Februari 2012 mengatakan, bahwa di Jepang peringatan dini sampai penyebaran informasi bencana terus diperkuat. Media televisi salah satunya, harus menyebarluaskan peringatan bencana lewat liputan-liputannya.

Bicara tentang siaran, menurut artikel Khoiri Akhmadi di Kompas (2011), NHK terbilang berhasil mengemas visual bencana yang mampu menarik simpati dunia tanpa diwarnai gambar-gambar yang mengharu biru, tangisan, atau mayat bergelimpangan di jalan. NHK menayangkan gambar-gambar yang diperlukan, tetapi tidak mengundang trauma, juga menyisipkan motivasi dan semangat. Bandingkan dengan liputan pers Indonesia saat peristiwa tsunami di Aceh 2004. Masih banyak ditemui visual di televisi yang menyayat hati menyangkut korban manusia, baik yang masih hidup maupun yang tewas. Tangisan keluarga korban atau

(7)

korban itu sendiri kerap diulang-ulang, mewarnai layar televisi sepekan pascatsunami.

Menurut Khoiri (2011), media televisi NHK Jepang pada peristiwa ini juga telah menunjukkan fungsi epistemologi media yang mendorong masyarakat. Hal tersebut penting, karena media membangun sikap positif pemirsanya. Ini bukti semangat tersebut sudah merasuk ke dalam insan pers di Jepang. Sejatinya media adalah pemeran yang berfungsi sebagai saluran informatif dan edukatif untuk menyuarakan kepentingan masyarakatnya (Kovach, 2006:64).

Nippon Hōsō Kyōkai (disingkat NHK) atau Perusahaan Penyiaran Jepang adalah sebuah lembaga penyiaran publik tunggal di Jepang. Radio Tokyo, demikian nama tidak resmi NHK, yang merujuk kepada asal-usulnya sebagai sebuah stasiun radio. Dalam sejarahnya, NHK didirikan pada tahun 1926, dengan berdasarkan model perusahaan radio Britania Raya, BBC. Sebuah jaringan radio kedua dimulai pada 1931 dan siaran gelombang pendek dipancarkan ke luar negeri pada tahun 1935.

Sebagai satu-satunya lembaga penyiaran publik di Jepang, NHK pertama kali memulai jasa siaran televisi di tahun 1953 dan menyiarkan

(8)

siaran berwarna pertama kalinya pada 1960. Siaran radionya dimulai pada tahun 1925. Perusahaan ini berbasis dana masyarakat (endorsed by public), didanai oleh iuran televisi yang dibayar pemilik pesawat televisi agar dapat memberikan materi siaran yang bebas dari pengaruh politik atau organisasi swasta serta memprioritaskan opini khalayaknya.

NHK saat ini melakukan siaran di empat buah saluran televisi dan tiga saluran radio dalam negeri. Saluran TV Umum dan TV Pendidikan untuk layanan televisi teresterial serta 3 saluran radio dalam negeri menyajikan berita, program pendidikan, hiburan keluarga dan sebagainya. Dua saluran televisi ini menyajikan program yang fleksibel guna memenuhi kebutuhan yang luas. Sedangkan NHK World menyelenggarakan layanan penyiaran internasional dengan mengelola televisi dan radio internasional serta internet.

Tujuan NHK World yang adalah menyajikan berita dalam negeri (Jepang) dan internasional (Asia) ke dunia secara akurat dan segera, memanfaatkan dengan baik jaringan global NHK. NHK World bertindak sebagai penghubung informasi penting dalam kejadian kecelakan dan bencana alam besar lewat relai siaran dengan kecepatan dan keakuratan

(9)

Ruang pemberitaan di NHK World TV berada pada genre program “News” yang terdiri atas tiga tayangan buletin: Newsline, Asia 7 Days, dan Japan 7 Days yang disiarkan berkala. NHK World konsisten memberitakan peristiwa-peristiwa di tayangan-tayangan itu dengan yang paling intensif adalah tayangan Newsline.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang akan diteliti yaitu: Apakah pemberitaan televisi NHK mengenai bencana gempa dan tsunami Jepang pada bulan Maret 2011 mengandung muatan jurnalisme damai?

Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan metode analisis isi.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian dicantumkan dengan maksud agar penulis maupun pembaca laporan penelitian ini dapat memahami pasti apa tujuan penulis sesungguhnya menyusun laporan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu penelitian yang otentik dan komprehensif yang dirancang dan dirangkai untuk mengetahui apakah pemberitaan televisi NHK mengenai bencana gempa

(10)

tsunami Jepang pada bulan Maret 2011 mengandung muatan jurnalisme damai.

1.4 KEGUNAAN PENELITIAN A. Kegunaan Akademis :

Penelitian diharapkan mampu mengisi kekosongan (atau minimnya) kajian ilmiah mengenai kaidah konsep jurnalisme dalam peristiwa bencana alam, dan dapat menguji serta mengukuhkan konsep jurnalisme damai di ranah pewartaan bencana—yang untuk saat ini baru sebatas wacana pembicaraan atau belum spesifik.

Penelitian ini pun mengajukan sebuah metode, berupa parameter yang dapat dipakai mengukur konsep jurnalisme damai tersebut dalam sebuah isi tayangan televisi.

(11)

Penelitian tentu berkepentingan supaya mampu memberi atau menambah arahan bagi para jurnalis Indonesia di lapangan saat harus melakukan peliputan bencana alam yang sesungguhnya.

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian-penelitian terdahulu berfungsi sebagai titik tolak melakukan sebuah penelitian baru. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, peneliti berpijak pada beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan atau berkaitan, baik aspek topik maupun metode penelitiannya.

Pertama, penelitian skripsi Kartika Octaviana dari Program Studi Ilmu Komunikasi-Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia yang mengambil judul ”Analisis Isi Sensasionalisme dalam Program Berita Televisi Metro Siang dan Kabar Siang”.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dilakukan pemisahan senyawa antioksidan secara kolom kromatografi dan fraksi-fraksi yang terkumpul dari diuji daya antioksidannya secara kualitatif dan

Rizky Utari dari STMIK AMIKOM Yogyakarta, pada penelitian skripsinya pada tahun 2014 yang berjudul “Perancangan Video Infografis PT.Bumi Artha Nugraha sebagai

aureus resisten terhadap antibiotik ciprofloxacin (15%), cefotaxime (31%), dan cefadroxil (8%), sedangkan bakteri Gram negatif yang mengalami resistensi tertinggi

Jika seseorang itu percaya bahawa kitar semula dapat membantu dalam memulihkan alam sekitar yang kini mempunyai sumber yang amat terhad dan dapat menjimatkan kos dengan

Apabila nilai yang didapatkan pada bab sebelumnya kurang dari 75, maka akan muncul soal dengan tingkat kesulitan rendah seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.17.

Tahap penilaian resiko adalah proses identifikasi dan penilaian resiko serta analisa dampak kerugian atas kehilangan asset yang ditimbulkan masing-masing

Kepadatan bakteri coliform pada stasiun 3, stasiun 7 dan stasiun 9 memiliki nilai yang cukup tinggi pada saat pasang maupun surut.. Stasiun 3 merupakan lokasi

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sosialisasi yang dijalankan oleh PT JGC Indonesia dari tahun 2007 sampai pada tahun 2015 awal tepatnya Januari 2015 ini yaitu