• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER TERENCANA DENGAN PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBASIS MASALAH KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER TERENCANA DENGAN PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBASIS MASALAH KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA ABSTRAK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

69

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER TERENCANA

DENGAN PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK

BERBASIS MASALAH KONTEKSTUAL DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Putik Rustika1

Universitas Muhammadiyah Cirebon putikrustika@gmail.com

Titi Rohaeti2

Universitas Muhammadiyah Cirebon titi.rohaeti@umc.ac.id

ABSTRAK

Pendidikan yang berkarakter merupakan pembahasan yang sangat menarik pada era globalisasi saat ini. Fenomena sosial yang sering menunjukkan penurunan moral generasi muda menjadikan tujuan pendidikan yang tertera pada Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 serta cita-cita bangsa belumlah terwujud, sehingga pendidikan karakter menjadi indikator dalam setiap bidang ilmu

pengetahuan. Mengembangkan pendidikan karakter pada pembelajaran

matematika dapat dilakukan melalui pengembangan isi (content) pelajaran matematika, pemilihan pendekatan, metode, atau strategi pembelajaran yang akan digunakan, serta melalui proses pembelajaran matematika. Kajian ini akan membahas mengenai penanaman karakter melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan saintifik berbasis masalah kontekstual yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan cita-cita bangsa.

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pendekatan Saintifik, Masalah Kontekstual

ABSTRACT

Character Education is the interesting topic in era globalization for nowadays. Social phenomenon often showed decrease moral attitude young generation it be purposed of education that written in constitution number 20 0f 2003 years and nation ideals not realized, so character education became indicator in every knowledge study. Developing character education in mathematics learning can be realized by development content of mahematics study, choosing approach, method, or strategie of learning that will be used, and by the processed of learning mathematics. This articel will talk about character planting by mathematics learning with use scientific approach base on contextual learning which corresponding with the purpose of education and nation ideals.

(2)

70

Keyword: Character Education, Scientific Approach Learning, Contextual Problems

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan hal utama untuk membangun suatu bangsa. Undang- undang no 20 tahun 2003 menyatakan bahwa fungsi dari pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Bedasarkan undang-undang tersebut jelaslah bahwa tujuan utama dari pendidikan di Indonesia adalah membangun suatu kemampuan yang dapat mengembangkan karakter bangsa yang baik. Fenomena sosial kali ini adalah meningkatnya kriminalitas pada anak remaja akibat dari kurangnya pendidikan karakter di lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mencegah krisis ahlak pada generasi muda sangatlah penting bagi kita untuk mengimplementasikan pendidikan karakter yang terencana dalam pembelajaran di sekolah dalam berbagai bidang ilmu, salah satunya pembelajaran matematika.

Pembelajaran matematika merupakan bagian dalam sistem pendidikan yang ada di sekolah dan diberikan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan menengah, bahkan pada pendidikan tinggi. Sumarmo (2002) mengatakan bahwa, pendidikan matematika pada hakekatnya memiliki dua arah pengembangan yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan masa datang. Memenuhi kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah kepada pemahaman matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan untuk kebutuhan di masa datang mempunyai arti lebih luas yaitu memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta menghadapi masa depan yang selalu berubah. Dengan demikian pembelajaran matematika hendaknya mengembangkan proses dan keterampilan berpikir siswa. Kompetensi itu diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, dan kompetitif (BSNP, 2006).

Pembelajaran matematika sangat berhubungan erat dengan siswa dan guru. Pada Permendikbud Nomor 81 A Tahun 2013, siswa dituntut untuk aktif mengolah, mengkonstruksi dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang diberikan kepada siswa

(3)

71

untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. Agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, siswa perlu didorong untuk bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan ide-idenya. Peran guru sangat penting untuk mencapai itu semua. Guru sebagai fasilitator dan kunci berjalannya pembelajaran dikelas. Peran guru sangat dibutuhkan untuk menjamin proses pembelajaran yang mendorong siswa aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Menurut Hosnan (2014: 31) perubahan adalah sesuatu yang biasanya dan harus terjadi pada bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi tentunya pada pergantian kurikulum 2013 dari kurilkulum sebelumnya. Dalam rangka menerapkan pendidikan yang bermutu, pemerintah telah menetapkan kurikulum Tahun 2013 untuk diterakan di sekolah/madrasah. Kurikulum 2013 mengajak kita untuk masuk ke dalam dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran dengan mnggunakan pendekatan ilmiah atau saintifik yang menjadi katalisator utama. Pendekatan saintifik ini diyakini sebagai sarana utama unutk mengembangkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah. Dalam konsep pendekatan saintifik yang disampaikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dipaparkan minimal ada 7 (tujuh) kriteria dalam pendekatan saintfik. Ketujuh kriteria tersebut adalah sebagai berikut : (1) Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu ; bukan sebatas kira – kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata; (2) Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru – siswa terbebas dari prasangka yang serta – merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis; (3) Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. (4) Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran; (5) Mendorong dan menginspirasi siswa dalam memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.; (6) Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan; (7) Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, tetapi menarik system penyajiannya.

Proses pembelajaran dan pendekatan saintifik pada kurikulum 2013 merupakan perpaduan antara proses pembelajaran yang awal mulanya terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, kemudian dilengkapi dengan

mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan

(Kemendikbud, 2013). Meskipun ada yang mengembangkan lagi menjadi mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengolah data, mengkomunikasikan,

(4)

72

menginovasi dan mencipta. Namun, tujuan dari beberapa proses pembelajaran yang harus ada dalam pembelajaran saintifik sama, yaitu menekankan bahwa belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat. Selain itu, guru cukup bertindak sebagai scaffolding ketika anak/ siswa/ peserta didik mengalami kesulitan, serta guru bukan satu – satunya sumber belajar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika

Secara umum tujuan pendidikan digolongkan ke dalam tiga domain, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif menunjukkan tujuan pendidikan yang terarah pada kemampuan- kemampuan intelektual, kemampuan berfikir maupun kecerdasan yang dicapai. Domain afektif menunjukkan tujuan pendidikan yang terarah kepada kemampuan sikap dalam menghadapi realitas atau masalah-masalah yang muncul disekitarnya. Domain psikomotor menunjukkan tujuan pendidikan yang terarah kepada keterampilan-keterampilan, khusus untuk pembelajaran matematika pengertian keterampilan dapat diartikan keterampilan bersifat fisik, misalnya melukis suatu bangun, juga termasuk keterampilan melakukan algoritma-algoritma tertentu yang hanya terdapat dalam pikiran. Dalam pelaksanaan pembelajaran, ketiga domain tersebut sebenarnya tidak berdiri sendiri melainkan menyatu. Namun, apabila tidak benar-benar dirancang atau tidak masuk dalam rancangan pembelajaran, dapat saja dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar menjadi terabaikan. Tujuan pembelajaran matematika (Sumarmo, 2011), yaitu: a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, c. Memecahkan masalah, d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan tujuan tersebut pada butir ke (5) menggambarkan ranah afektif yang harus dimiliki siswa yang belajar matematika.

Menurut Bishop (dalam Nyimas Aisyah, 2011), ada tiga kategori nilai dalam pembelajaran matematika, yaitu; a. Nilai pendidikan umum, yaitu nilai yang terkait dengan akhlak, agama, budaya, disiplin, ekonomi, etika, moral, pribadi,

(5)

73

sosial, kemasyarakatan, kerohanian, manajemen, administrasi, hukum, kesehatan, dan lingkungan. b. Nilai matematika, yaitu nilai-nilai yang terkait dengan rasionalisme/objektifitas, control/kemajuan, dan keterbukaan. c. Nilai pendidikan matematika, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan ketepatan, kejelasan, hipotesis, konsisten, kreatif, sistematis, bekerja efisien, fleksibel, terbuka, persisten, dan bekerja efektif.

Nilai-nilai tersebut dapat ditumbuh kembangkan melalui pelaksanaan proses belajar mengajar matematika dan disampaikan oleh guru melalui interaksi guru serta siswa. Matematika merupakan suatu studi yang dimulai dari pengkajian bagian-bagian yang sangat dikenal (sederhana) menuju ke arah yang tak dikenal. Arah yang lebih dikenal itu tersusun baik, secara bertahap menuju ke arah yang rumit (kompleks), dari bilangan bulat ke bilangan pecahan, dari bilangan real ke bilangan kompleks; dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan integral, serta menuju ke matematika yang lebih tinggi. Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Kemampuan bernalar anak bisa bisa membedakan ini baik atau buruk, bermanfaat atau tidak. Bahkan dengan bernalar anak bisa mengambil tindakan dari permasalahan yang ada. Dengan demikian tahap demi tahap perkembangan karakter anak mulai terbentuk. Matematika yang selama ini hanya dimaknai sebagai mata pelajaran biasa disekolah, sebenarnya bisa jadi sarana membangun karakter siswa, selain itu dalam pembelajaran metematika mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yakni konsistensi. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat merubah seseorang yang sebelumnya menjadi beban masyarakat menjadi individu yang lebih berguna untuk masyarakat disekitarnya. Dengan kata lain, jika kita ingin berubah suatu negeri, ubahlah karakter manusianya terlebih dahulu. Karakter tidak dapat dibentuk dengan cara mudah dan murah. Dengan mengalami ujian dan penderitaan jiwa karakter dikuatkan, visi dijernihkan, dan sukses diraih. “Anda tidak akan menemukan cara biasa untuk membentuk karakter anak, namun yang anda temukan adalah cara yang bersahabat dan mudah dicerna oleh siapapun sehingga dapat mengaplikasikannya dengan cepat” Jelas bahwa matematika sekolah mempunyai peranan yang sangat penting baik bagi siswa supaya punya bekal pengetahuan dan untuk pembentukan sikap serta pola pikirnya, warga negara pada umumnya supaya dapat hidup layak, untuk kemajuan negaranya, dan untuk matematika itu sendiri dalam rangka melestarikan dan mengembangkannya.

Pendekatan Saintifik

Pendekatan saintifik atau lebih umum dikatakan pendekatan ilmiah merupakan pendekatan dalam kurikulum 2013. Dalam pelaksanaannya, ada yang menjadikan saintifik sebagai pendekatan ataupun metode. Namun karakteristik

(6)

74

dari pendekatan saintifik tidak berbeda dengan metode saintifik. Menurut Hosnan (2014: 36) pembelajaran dengan metode saintifik memiliki karakteristik yaitu: (1) Berpusat pada siswa; (2) Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum atau prinsip; (3) Melibtakan proses-proses kognitif

yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya

keterampilam berpikir tingkat tinggi siswa; dan (4) Dapat mengembangkan karakter siswa. Adapun tujuannya dari pendekatan saintifik yaitu:

1. Untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.

2. Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik.

3. Terciptanya kondisi pembelajaran di mana siswa merasa bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan.

4. Diperolehnya hasil belajar yang tinggi.

5. Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam mnulis artikel ilmiah.

6. Untuk mengembangkan karakter siswa.

Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologi) yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “ mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta”. Keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Karakteristik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses (Permen No.65 Tahun 2013). Pendekatan saintifik dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran.

(7)

75

Selanjutnya, Hosnan (2014) menjelaskan masing-masing proses dari kelima tahap dari pendekatan saintifik tersebut yaitu:

1. Mengamati (Observing)

Kegiatan pertama pada pendekatan ilmiah adalah langkah

mengamat/observing. Dalam kegiatan mengamati, mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang dan mudah pelaksanaannya. Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhanrasa ingin tahu peserta didik sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan tinggi. Kegiatan mengamati dalam pembelajaran sebagaimana disampaikan Permendikbud Nomor 81a, hendaklah guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan mencari informasi.

2. Menanya (Questioning)

Langkah ke dua pada pendekatan ilmiah adalah queationing (menanya). Kegaiatan belajarnya adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Kompetensi yang dikembangkan adalah kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. Pada kegiatan pembelajarab ini, siswa melakukan pembelajarn bertanya. Manfaat penggunaan model questioning dengan baik dan tepat, akan dapat merangsang minat dan motivasi siswa dalam belajar.

3. Menalar (Associating)

Langkah berikutnya pada pendekatan saintifik adalah menalar/associatin. Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam kurikulum 2013 untuk menggambarkan nahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan ilmiah, meskipun penalaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat

Menalar dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 adalah memproses semua informasi yang sudah dikumpulkan, baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi.

(8)

76

Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya, menemukan pola dari keterkaitan informasi tersebut. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dn kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan.

4. Mencoba (Experimenting)

Langkah keempat pada pendekatan saintifik adalah mencoba, kegiatan yang dilakukan pada poses ini adalah mengumpulkan informasi/eksperimen. Kegiatan belajarnya adalah melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian/aktivitas, wawancara dengan nara sumber. Kompetensi yang dikembangkan adalah mngembangkan sikap teliti, juur, sopan, menghargai, pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. Pada langkah pembelajaran ini, setiap siswa dituntut untuk mencoba mempraktikan apa yang dipelajari. Eksperimen atau percobaan yang dilakukan tidak selalu harus dilaksanakan di dalam laboratorium, tetapi dapat dilakukan pada alam sekitar.

5. Membentuk Jejaring (Networking)

Langkah ke lima pada pendekatan saintifik adalah networking (membentuk jejaring). Networking adalah kegiatan siswa untuk membentuk jejaring pada kelas. Kegiatan belajarnya adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan bedasarkan hasil analisis secaa lisan, tertulis, atau media lainnya. Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Pada tahapan ini, siswa mempresentasikan kemampuan mereka mengenai apa yag telah dipelajari sementara siswa lain menanggapi. Tanggapan siswa lain biasanya berupa pertanyaan, sanggahan atau dukungan tentang presentasi.

Guru berfungsi sebagai fasilitator tentang kegiatan ini. Dalam kegiatan ini, semua siswa secara proporsional akan mendapatkan kewajiban dan hak yang sama. Siswa akan terlatih untuk menjadi narasumbet menjadi orang yang akan mempertahankan gagasannya secara ilmiah dan orang yang biasa mandiri serta menjadi orang yang bias dipercaya.

(9)

77

Masalah Kontekstal

Masalah kontekstual adalah masalah atau soal-soal berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) yang konkret atau ada yang ada pada alam pikiran siswa (Wardhani, 2004). Masalah-masalah itu dapat disajikan dalam bahasa biasa atau cerita, bahasa lambang, benda konkret atau model (gambar, grafik, table, dan lain-lain).

Sabandar (2007) menyatakan bahwa soal-soal kontekstual dimaknai secara umum sebagai situasi yang memuat masalah yang dapat dijangkau oleh pikiran siswa. Hal ini dimaksudkan agar siswa segra terlibat dalam proses belajar. Soal seperti ini tidaklah sekedar berkaitan dengan konteks kehidupan sehari-hari, tetapi juga dapat sesuatu yang fiktif namun dapat dijangkau oleh akal manusia, ataupun sesuatu yan kontekstual secara matematika.

Masalah-masalah yang diberikan oleh guru diharapkan dapat diselesaikan dengan menggunakan lebih dari satu cara atau sttrategi serta melibatkan lebih dari satu aktifitas berpikir tingkat tinggi. Sehingga siswa merasa tertarik dan sadar akan betapa kayanya cara dalam matematika dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Bedasarkan peluang yang disediakan oleh soal kontekstual bagi terbentuknya pengetahuan matematika, soal-soal konetekstual bagi terbentuknya pengetahuan matematika, soal-soal kontekstual memuat konteks yang bertingkat dimulai dengan menyajikan terjemahan dari soal matematika yang disajikan dalam bentuk teks, menyajikan kesempatan bagi tejadinya matematisasi, serta memberikan peluang bagi siswa untuk menemukan konsep baru dalam matematika. Soal-soal kontekstual seperti ini maka peluang untuk siswa menemukan kembali (reinvention) gagasan-gagasan matematika menjadi lebih baik.

Pada pembelajaran biasa (ekspositori) masalah atau soal kontekstual juga digunakan dalam pembelajaran, namun biasanya hanya pada bagian akhir pembelajaran sebagai contoh atau soal-soal penerapan dari materi matematika yang telah dipelajari. Sementara pada pembelajaran matematika yang kontekstual, masalah atau soal-soal kontekstual digunakan sebagai sumber awal pemunculan konsep-konsep sekalgus sebagai obyek penerapan matematika. Melalui masalah atau soal-soal kontekstual yang dihadapi, sejak awal siswa diharapkan menemukan cara, alat matematis atau model matematis sekaligus pemahaman tentang konsep atau prinsip yang akan dipelajari. Pemberian masalah pada proses awal pembelajaran ini diharapkan dapat membuat siswa aktif berpikir sejak awal dan siswa sendiri yang berusaha membangun konsep yang akan dipelajari. Hal ini sangatlah aplikatif untuk siswa mengetahui manfaat dari pembelajaran matematika di kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mengembangkan karakter siswa lebih baik lagi.

(10)

78

SIMPULAN

Pendidikan karakter di pembelajaran matematika merupakan wadah yang sangat berfungsi untuk mengembangkan karakter anak bangsa ke arah yang lebih baik dan mencegah kerusakan moral generasi muda di masa yang akan datang. Matematika merupakan pelajaran yang diajarkan kepada anak pada tiap tingkat pendidikan. Bahkan pada pendidikan anak usia dini matematika sudah mulai diperkenalkan. Ini menunjukkan bahwa matematika itu sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Pendekatan Saintifik Berbasis Masalah Kontekstual adalah salah satu cara atau metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter dalam pembelajaran matematika siswa karena karakteristiknya yang berpusat pada siswa dan pembelajaran sangat dekat dengan persoalan kehidupan sehari-hari sehingga dapat membangun karakter-karakter seperti percaya diri, tanggung jawab, sopan santun, dan menghargai yang sangat penting untuk kehidupan sosial

DAFTAR PUSTAKA

Bishop, A. J., Stieg Mellin-Olsen, and Joop van Dormolen. (1991). Mathematical Knowledge: Its Growth

Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Konstekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia

Kemdikbud. (2013). Kompetensi Dasar Matematika SMP/MTs.

Jakarta:Kemdikbud

Kemdikbud. (2013). Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Pembelajaran. Jakarta:Pusbangprodik.

Kemdikbud. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013. Paparan Mendikbud dalam Sosialisasi Kurikulum 2013. Jakarta :Kemdikbud

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum

Sabandar, J. (2007). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model. [online].Tersedia: http://www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/pip/mat-inovatif.pdf (6 Oktober 2014)

Sumarmo, U. (2006). Berfikir Matematik Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran Tanggal 22 April 2006: tidakditerbitkan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wardhani, S. (2004). Pembelajaran Matematika Kontekstual di SMP. [online]. Tersedia:http://p4tkmatematika.com/web/index2.php?option=comcontent& do_pdf=1&id=139(18 September 2014).

Gambar

Gambar 1. Pendekatan Saintifik

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kejenuhan kerja ( burnout ) pada perawat, yaitu seperti konsep diri, motivasi kerja, tuntutan tugas,

penelitian skripsi yang berjudul “ Penerapan Pembelajaran Tipe TGT Berbantuan Media Komputer Untuk Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa Kelas VIIIA

• PEMERIKSAAN FUNGSI PARU DIMAKSUDKAN UNTUK MENGETAHUI ADA TIDAKNYA PENURUNAN FUNGSI PARU YANG TERJADI PADA TENAGA KERJA AKIBAT TERPAPAR OLEH DEBU. • TUJUAN PEMERIKSAAN FUNGSI

[r]

iii.. Apabila terjadi lagi pencairan jaminan j>embayaran yarig tidak diikuti. maka untuk selanjutnya PARA PIHAK akan menycpakati besamya jsminan pembayaran sebesar pembelian

Sedangkan dari Segi Finansial dilakukan pengolahan data keuangan dalam bentuk aliran kas masuk, serta perkiraan aliran kas keluar yang akan terjadi selama masa investasi, kemudian

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa volume penjualan adalah hasil penjualan yang berhasil dicapai atau hasil yang ingin dicapai oleh suatu

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris apakah pemberian informasi dan sosialisasi, latar belakang pendidikan, jenjang pendidikan, lama usaha dan ukuran