• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP A. Yayasan Ditinjau dari Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 1. Sejarah Undang-Undang Yayasan

a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Kegiatan atas nama amal, bersedekah, dan berderma untuk keperluan sosial dan kemanusiaan yang dilakukan lembaga nirlaba modern tidak menutup kemungkinan terjadinya penyelewengan atau penyalahgunaan. Oleh karena itu perlu ada standar etika, aturan baku, dan hukum yang tegas dan jelas yang mengatur masalah ini tanpa mengurangi semangat filantropis yang ada pada masyarakat. Diharapkan pengaturan atau berbagai bentuk regulasi terhadap organisasi nirlaba itu, termasuk yayasan, akan dapat mendorong semangat filantropisme tersebut karena pada akhirnya aktivitas itu akan bermuara pada kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.38

Kalau dipelajari secara seksama keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut terlihat adanya keinginan pemerintah untuk mengendalikan ataupun sekurang-kurangnya memonitor kegiatan yayasan di masa yang akan datang. Berbagai kasus penyalahgunaan yayasan selama ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan pengaturan masalah yayasan ini.

38

Djaidir, Keberadataan Yayasan Sebagai Badan Hukum Birlaba Dan Sifat Usahanya Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, Tesis, PPs-USU, Medan, 2002, hal. 41.

(2)

Prinsip yang ingin diwujudkan dalam ketentuan Undang-undang Yayasan adalah kemandirian yayasan sebagai badan hukum, keterbukaan seluruh kegiatan yang dilakukan yayasan, dan akuntabilitas kepada masyarakat mengenai apa yang telah dilakukan oleh yayasan, serta prinsip nirlaba yang merupakan prinsip yang fundamental bagi suatu yayasan.

Hal itu terlihat dari beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut. Misalnya dengan adanya kewajiban pada setiap pendiri yayasan untuk memintakan pengesahan badan hukum kepada Menteri Kehakiman, dan seterusnya setiap ada perubahan mengenai nama dan kegiatan yayasan tersebut harus pula meminta izin kepada Menteri Kehakiman. Demikian pula pemerintah kelihatannya ingin mengetahui arus keuangan yayasan dengan mengharuskan yayasan, terutama yang kekayaannya berasal dari negara atau memperoleh bantuan pemerintah, untuk membuat ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau.

Keinginan pemerintah untuk mengatur dan mengendalikan pendirian dan pengoperasian yayasan tentunya didasarkan kepada pengalaman masa lampau, tatkala banyak sekali yayasan yang menyalahgunakan segala kemudahan yang diberikan kepada yayasan, padahal sebenarnya mereka berdagang dengan membungkus bisnisnya melalui yayasan. Secara praktis kuantitatif asumsi demikian memang perlu dibuktikan dengan suatu penelitian khusus. Namun secara kualitatif dapat dirasakan

(3)

dan juga disaksikan berbagai yayasan yang disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan.39

Menurut Pasal 71 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, semua Yayasan yang telah berdiri dan didaftarkan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak dimulai berlakunya undang-undang tersebut wajib disesuaikan anggaran dasar.

Dengan demikian ada 4 (empat) prinsip yang harus dimiliki Yayasan sesuai dengan harapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yakni:

1) Kemandirian Yayasan sebagai badan hukum. 2) Keterbukaan seluruh kegiatan Yayasan. 3) Akuntabilitas publik.

4) Prinsip nirlaba.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak mempunyai anggota. Yayasan didirikan dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta

39

(4)

kekayaan pendiriannya sebagai kekayaan awal Yayasan. Dalam hal yayasan didirikan berdasarkan surat wasiat, pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris oleh penerima wasiat yang bertindak mewakili pemberi wasiat. Apabila dianggap perlu, Menteri dapat meminta pertimbangan instansi terkait yang ruang lingkup tugasnya meliputi kegiatan Yayasan. Dalam hal permohonan pengesahan ditolak, Menteri wajib menyampaikan penolakan secara tertulis disertai alasannya. Adapun alasan penolakan adalah permohonan yang diajukan tidak sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Yayasan dan atau peraturan pelaksanaannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tidak dikenal adanya "badan pendiri" pada Yayasan seperti selama ini dikenal. Undang-Undang Yayasan memakai istilah "pembina" untuk menghindari terjadinya kekosongan apabila pendirinya berupa orang-perseorangan meninggal dunia. Hal ini karena suatu Yayasan adalah bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang terlihat dari hal-hal berikut ini:40 1) Maksud dan Tujuan serta Kegiatan Yayasan

Maksud dan tujuan yayasan adalah di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Kegiatan yayasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai maksud tujuan yayasan yang bersangkutan. Maksud dan tujuan yayasan untuk melakukan pemberian kepada para pendiri/pembina, pengurus, pengawas atau pihak ketiga tidak diperkenankan kecuali pemberian kepada pihak ketiga dengan tujuan sosial.

40

(5)

2) Kekayaan Yayasan

Kekayaan yayasan dipergunakan untuk mendukung kinerja yayasan yaitu untuk mencapai maksud tujuan yayasan yang bersifat sosial. Keagamaan dan kemanusian. Guna mencapai maksud dan tujuan tersebut, yayasan dapat melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha yang kekayaan yayasan ditentukan paling banyak 25% dari seluruh kekayaan yayasan. Kegiatan usaha yayasan harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001).

3) Pengawasan Masyarakat

Untuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat atas kinerja yayasan, undang-undang mewajibkan kepada pengurus yayasan untuk mengumumkan ikhtisar laporan tahunannya pada papan pengumuman di kantor yayasan yang bersangkutan agar dapat dibaca oleh masyarakat. Sedangkan bagi yayasan yang kekayaannya berasal dari negara atau memperoleh bantuan pemerintah atau yayasan yang kekayaannya dikumpulkan dari dana masyarakat melalui sumbangan, wakaf, hibah, hibah wasiat sehingga kekayaan yayasan mencapai jumlah tertentu sebagaimana nanti diatur dengan Peraturan pemerintah diwajibkan mengumumkan ikhtisar laporan tahunan yayasan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia (Pasal 52 Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001).

(6)

4) Pemeriksaan Terhadap Yayasan

Selain transparansi laporan tahunan, pihak ketiga yang berkepentingan dalam mewakili kepentingan umum dapat mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan untuk penetapan pemeriksaan terhadap yayasan. Tujuan pemeriksaan adalah untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ yayasan:

a) Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan anggaran dasar b) Lalai dalam melaksanakan tugas-tugasnya

c) Melakukan perbuatan yang merugikan yayasan atau pihak ketiga d) Melakukan perbuatan yang merugikan negara

Adapun pihak yang melakukan pemeriksaan adalah sejumlah ahli (paling banyak tiga orang) yang diangkat sebagai pemeriksa berdasarkan penetapan pengadilan, dan pemeriksa dilarang mengumumkan atau memberitahukan laporan hasil pemeriksaannya kepada pihak lain kecuali kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat kedudukan yayasan (Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001).

Dalam pengorganisasiannya terdapat pemisahan yang jelas antara pemegang kekuasaan tertinggi dengan pelaksanaan operasional dan pengawas yang mengawasi operasional yayasan. Hal ini tercermin dari pemisahan yang jelas dari organ yayasan yang terdiri dari: pembina, pengurus dan pengawas.

Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang-undang atau Anggaran

(7)

Dasar. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, sedangkan pengawas adalah orang yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.

Anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas, demikian pula sebaliknya. Larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari benturan kewenangan dan tugas serta tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.

Fenomena kegiatan yayasan dalam masyarakat yang dilihat oleh pembuat undang-undang, telah berubah atau menyimpang dari hakekat, dimana yayasan seharusnya bergerak dalam bidang sosial dan ideal ternyata berkembang memasuki bidang ekonomi (bisnis), bahkan dipakai untuk mendapatkan dana untuk usaha dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu keberadaan Undang-Undang Yayasan yang selain untuk mengakomodasi fenomena kegiatan usaha bisnis yayasan tersebut, sekaligus juga berupaya membatasinya. Hal ini terlihat dengan dibolehkannya Yayasan mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan dan yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan penyertaan tersebut paling banyak 25% (duapuluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan tersebut (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001).

Selanjutnya pemerintah dalam lingkup tertentu menilai penting untuk mengetahui secara benar arus keuangan yayasan khusus yayasan yang memperoleh

(8)

bantuan negara, bantuan luar negeri atau pihak lain sebesar Rp 500.000.000.00,- (lima ratus juta rupiah) atau mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000.00,- (dua puluh miliar rupiah) atau lebih. Yayasan wajib membuat ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan keadaan serta kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau. Laporan tersebut harus pula diumumkan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia, dan mewajibkan audit oleh akuntan publik terhadap yayasan (Pasal 52 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001).

Menurut Chatamarrasjid Ais, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 telah memberikan landasan hukum yang baik bagi pendirian dan perkembangan Yayasan. Persoalannya adalah masalah penegakan hukum, dalam hal ini perlu ditegaskan mengenai masalah pengawasan, baik bagi Yayasan yang sudah ada sebelum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan maupun yang akan berdiri setelah diundangkannya undang-undang yayasan tersebut.41

Dampak terbesar dari Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 adalah Yayasan harus bersifat terbuka bagi masyarakat, baik dalam laporan kegiatan maupun keuangannya. Hal ini membuka peluang bagi publik untuk mengawasi kegiatan Yayasan. Jadi Yayasan harus memiliki pembukuan yang baik. Kemudian juga Yayasan harus menyesuaikan kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri dengan tujuan yang akan dicapai, dan Yayasan harus menyesuaikan Organ Yayasan dan Anggaran Dasar sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

41

(9)

Sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan maka landasan hukum keberadaan Yayasan sebagai suatu badan hukum pada sistem hukum di Indonesia. Di mana sebelum berlakunya undang-undang tersebut yang menjadi landasan hukum Yayasan adalah kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung.42

Meskipun belum ada perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Yayasan, sampai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Akan tetapi pengaturan yayasan sebagai badan hukum secara implisit tercantum secara sporadis dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Jadi selama belum dikeluarkan Undang-Undang Yayasan tidak ada pengakuan Yayasan sebagai badan hukum secara eksplisit sebagaimana halnya badan hukum yang lain baik perseroan terbatas, perkumpulan, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan pendapat Fred Tumbuan:

42

Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang menyatakan: Pendirian Yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para Pendiri, Pengurus, dan Pengawas. Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan Yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, sengketa antara Pengurus dengan Pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan secara hukum karena belum ada hukum positif mengenai Yayasan sebagai landasan yuridis penyelesaiannya. Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-undang ini menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam Undang-undang ini..

(10)

Dalam KUH Perdata yakni dalam Pasal 365, 899, 900, 1680, 1852, dan Pasal 1954 ada disebutkan istilah yayasan, tetapi pasal-pasal tersebut dalam isinya tidak mengatur keberadaan yayasan itu sendiri. Pasal-pasal dalam KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengatakan keberadaan yayasan tersebut sebagai badan hukum perdata. Hal yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang ada menyebut istilah yayasan, tetapi juga tidak merinci mengenai status, hak maupun wewenang yayasan dimaksud.43 Sebagai contoh dalam Pasal 365 KUH Perdata mengatur tentang masalah perwalian (voogdij) dapat dipercayakan kepada perhimpunan yang berstatus badan hukum, yayasan (stichting) atau badan karitatif (insteling van weldadigheid). Demikian pula apabila perhatikan Pasal 899 KUH Perdata yang memuat tentang orang yang dapat menarik manfaat dari yayasan.

Apabila diperhatikan ada tiga istilah yang dipergunakan oleh Pembuat KUH Perdata yang kesemuanya menunjuk pada pengertian yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan, yakni

stichtingen, gestichten, dan armeninrichtingen.44

Meskipun keberadaan yayasan sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan tidak mendapat pengaturan yang jelas dan tegas, namun status badan hukum yayasan tersebut tidak pernah diragukan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Itulah sebabnya UU Yayasan sendiri tidak ragu-ragu dalam memberikan pengakuan terhadap status badan hukum yayasan yang terbentuk sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71, berikut ini:

43

Fred Tumbuan dalam Rehngena Purba, Perlunya Undang-Undang Tentang Yayasan, Makalah, Lokakarya RUU Yayasan, USU, Medan, 2000, hal. 4.

44

(11)

(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah :

a. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau

b. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;

tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini.

(2) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.

(3) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

b. Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, maka Yayasan telah mempunyai landasan hukum yang tegas tentang keberadaan Yayasan sebagai badan hukum. Namun kemudian Pemerintah melakukan perubahan kembali terhadap Undang-Undang Yayasan yaitu diterbitkan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Pertimbangan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tersebut sebagaimana terlihat pada konsiderannya adalah:

a. bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai berlaku pada tanggal 6 Agustus 2002, namun Undang-undang tersebut dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, serta terdapat beberapa substansi yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang tersebut;

(12)

b. bahwa perubahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tersebut mulai berlaku tanggal 6 Oktober 2005, dimana undang-undang ini tidak mencabut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tetapi hanya melakukan perubahan dan penyisipan dari beberapa pasal, dan hanya Pasal 25 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang dihapus.

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 juga masih seputar status badan hukum Yayasan. Undang-Undang ini telah mencabut kewenangan Kanwil Hukum dan HAM dalam pengesahan badan hukum Yayasan, di mana sebelumnya pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dinyatakan:

(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri.

(2) Kewenangan Menteri dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagai badan hukum dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri, yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan.

(3) Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.

Dari ketentuan Pasal 11 UU Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 di atas, yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian yayasan memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri

(13)

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kemudian setelah diterbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, terjadi perbaikan dalam Pasal 11 menjadi:

(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri.

(2) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut.

(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan permohonan pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani.

(4) Dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

(5) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima. (6) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan dikenakan biaya yang

besarnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Perubahan di atas telah menghapus kewenangan Kanwil dalam memberikan pengesahan atas suatu badan hukum yayasan dan mempertegas bahwa wewenang untuk mengesahkan suatu yayasan sebagai badan hukum berada di tangan Menteri Hukum dan HAM. Di samping itu dinyatakan bahwa Notaris wajib menyampaikan permohonan pengesahan kepada Menteri untuk menjadi badan hukum tersebut.

Kemudian terkait dengan status badan hukum Yayasan tersebut terlihat dengan dilakukannya perubahan pada Pasal 71 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yang isinya setelah dilakukan perubahan adalah:

(14)

(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang :

a. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau

b. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;

tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini.

(2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat I (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku.

(3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.

(4) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata "Yayasan" di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

Dari ketentuan Pasal 71 ayat (1) di atas jelas terlihat bahwa kekhawatiran dan sekaligus upaya pemerintah dalam hal status kebadanhukuman dari yayasan itu sendiri, karena ketika diterbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 telah diatur dalam Pasal 71 ayat (1) kewajiban bagi yayasan yang belum berbadan hukum untuk melakukan penyesuaian dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang tersebut (terhitung sejak tanggal 6 Agustus 2002 setahun sejak undang-undang diterbitkan). Kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang juga membahas tentang penyesuaian badan hukum dari yayasan, yang terlihat dari dilakukannya

(15)

perubahan atas Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, sehingga Pasal 71 ayat (1) berbunyi: kewajiban bagi yayasan yang belum berbadan hukum untuk melakukan penyesuaian dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut yaitu mulai tanggal 6 Oktober 2005 sampai dengan tanggal 6 Oktober 2008.

Secara tegas di dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 disebutkan Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasar dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut, maka yayasan tersebut tidak dapat lagi menggunakan kata “Yayasan” dan dapat dibubarkan dengan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan dan pihak yang berkepentingan.

Kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, yang juga masih membahas tentang status badan hukum yayasan, yaitu pada Pasal 36 disebutkan Yayasan yang dimaksud Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 wajib memohon pengesahan akta pendiriannya untuk memperoleh status badan hukum seperti pendirian yayasan yang baru, dan dalam premisse akta menyebutkan asal usul pendiriannya. Perbuatan hukum yang dilakukanYayasan yang belum mendapat status badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi anggota organ Yayasan secara tanggung renteng.

2. Pendirian Yayasan

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, pendirian Yayasan dilakukan oleh masyarakat hanya dengan akta Notaris.

(16)

Dengan akta Notaris saja suatu yayasan sudah dapat melakukan kegiatan di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Dengan akta Notaris saja, Yayasan sudah dapat mempunyai kekayaan baik berupa barang bergerak dan barang tetap. Dalam perkembangan selanjutnya karena tuntutan legalitas dalam masyarakat bisnis disyaratkan dan diperlukan registrasi terhadap akta pendirian Yayasan untuk memenuhi asas publisitas, maka terhadap akta pendirian dan perubahan anggaran dasar Yayasan dilakukan registrasi/pencatatan pada buku registrasi yang berada di Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak dan tempat kedudukan Yayasan yang bersangkutan. Dan selanjutnya kewajiban pengumuman dalam Berita negara Republik Indonesia belum menjadi syarat mutlak bagi status badan hukum Yayasan.

Yayasan dalam melaksanakan kegiatannya pada awal adanya badan kegiatan berupa Yayasan tidak memerlukan ijin kegiatan karena kegiatan Yayasan masih bersifat nonformal dan informal, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya disyaratkan bahwa Yayasan untuk dapat melaksanakan kegiatannya wajib mempunyai ijin kegiatan dari instansi yang berwenang. Hal ini dimungkinkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena pada saat itu tidak ada peraturan perundangan yang mengatur tentang Yayasan pada saat kelembagaan Yayasan mulai diperkenalkan dan dikenal di Indonesia, akan tetapi lama kelamaan mulai ada beberapa peraturan perundangan setingkat dibawah undang-undang mulai mengatur tentang Yayasan disamping yurisprudensi Mahkamah Agung.

(17)

Berlakunya UU Yayasan mempertegas bahwa pendirian Yayasan dilakukan dengan akta Notaris dan menetapkan bahwa status badan hukum Yayasan diperoleh setelah akta Notaris tentang pendirian Yayasan memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan suatu Yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya Yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam undang-undang tersebut.

Pasal 1 butir 1 UU Yayasan secara tegas menyatakan Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Jumlah minimum harta kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi Pendiri ditetapkan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang peraturan pelaksanaan UU Yayasan:

(1) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pemisahan harta kekayaan tersebut harus disertai surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan Yayasan.

(18)

Pasal 5 UU Yayasan, menyatakan kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pengecualian atas ketentuan tersebut dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan :

a. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan

b. Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.

Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan.

Yayasan mempunyai nama dan tempat kedudukan. Nama Yayasan adalah nama diri dari Yayasan yang bersangkutan, tempat kedudukan Yayasan adalah dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam Anggaran Dasar. Nama Yayasan yang telah didaftar dalam Daftar Yayasan tidak boleh dipakai oleh Yayasan lain, dan nama Yayasan dari Yayasan yang telah berakhir status badan hukumnya harus diberitahukan kepada Menteri untuk dihapus dari Daftar Yayasan oleh likuidator, kurator, atau Pengurus Yayasan. Selanjutnya mengenai nama Yayasan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 ditetapkan:

(19)

Pasal 3:

(1) Kata “Yayasan” hanya dapat dipakai oleh:

a. Yayasan yang diakui sebagai badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang; dan

b. Yayasan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang.

(2) Kata “Yayasan” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan di depan Nama Yayasan yang bersangkutan.

(3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, kata “wakaf” dapat ditambahkan setelah kata “Yayasan”.

(4) Kata “wakaf” tidak dapat ditambahkan setelah kata “Yayasan” jika Yayasan bukan sebagai Nazhir.

Pasal 4:

(1) Pemakaian Nama Yayasan ditolak jika:

a. sama dengan Nama Yayasan lain yang telah terdaftar lebih dahulu dalam Daftar Yayasan; atau

b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.

(2) Ketentuan mengenai alasan penolakan pemakaian Nama Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang yang memberitahukan kepada Menteri mengenai penyesuaian Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan.

(3) Dalam hal pemakaian Nama Yayasan ditolak berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Yayasan dapat mengajukan pemakaian nama lain.

Pasal 5:

(1) Nama Yayasan dicatat dalam Daftar Yayasan apabila: a. akta pendirian Yayasan telah disahkan oleh Menteri;

b. Anggaran Dasar Yayasan telah disesuaikan dengan Undang-Undang dan penyesuaian tersebut telah diberitahukan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang; atau c. akta perubahan Anggaran Dasar yang memuat perubahan Nama

Yayasan telah disetujui oleh Menteri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Daftar Yayasan diatur dengan Peraturan Menteri.

Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Masa jabatan Pengurus dan Pengawas Yayasan adalah 5 (lima) tahun

(20)

(Pasal 32 dan Pasal 44 UU Yayasan), sedangkan masa jabatan Pembina Yayasan tidak ditentukan akan tetapi dalam anggaran dasar Yayasan dapat ditetapkan jangka waktu masa jabatan Pembina Yayasan bila dikehendaki oleh pendiri atau berdasarkan keputusan rapat Pembina Yayasan. Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha dan Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas (Pasal 3 UU Yayasan)

Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ Yayasan dalam rangka menjalankan tugas Yayasan (Pasal 6 UU Yayasan). Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan. Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.

Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha yang didirikan oleh Yayasan tersebut (Pasal 7 UU Yayasan), serta kegiatan usaha dari badan usaha yang didirikan oleh Yayasan harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 8 UU Yayasan).

Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, memperoleh pengesahan dari Menteri.

(21)

Dengan demikian dari uraian di atas, UU Yayasan secara tegas menyatakan pendirian yayasan harus dibuat dengan Akta Notaris dan selanjutkan untuk memperoleh status badan maka harus disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM.

Adapun proses pendirian Yayasan sesuai dengan ketentuan UU Yayasan tersebut dapat dijelaskan berikut ini:

a. Syarat Pendirian Yayasan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 UU Yayasan, maka syarat pendirian yayasan adalah:

1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP No. 63 Tahun 2008 kekayaan awal Yayasan adalah paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

2) Pendirian Yayasan dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Dalam pembuatan akta pendirian Yayasan, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa.

3) Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat. Dalam hal pendirian Yayasan dilakukan berdasarkan surat wasiat, penerima wasiat bertindak mewakili pemberi wasiat. Apabila surat wasiat tersebut tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli waris atau penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat tersebut.

4) Dalam hal Yayasan didirikan oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan tata cara pendirian Yayasan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(22)

Dari ketentuan di atas diketahui bahwa Pendirian Yayasan proses awal yang harus dilakukan Pendiri Yayasan adalah permohonan pembuatan Akta Pendirian Yayasan di hadapan Notaris.

Akta pendirian Yayasan, sesuai ketentuan Pasal 14 UU Yayasan memuat Anggaran Dasar yang sekurang-kurangnya memuat:

1) Nama dan tempat kedudukan Yayasan;

2) Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan tersebut;

3) Jangka waktu pendirian Yayasan;

4) Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang (Penjelasan Umum Pasal 14 ayat (2) huruf d UU Yayasan);

5) Cara memperoleh dan penggunaan kekayaan Yayasan;

6) Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;

7) Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan; 8) Tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;

9) Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar Yayasan; 10) Penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan

11) Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran.

Keterangan lain dalam akta pendirian memuat sekurang-kurangnya nama, alamat, pekerjaan, tempat dan tanggal lahir, serta kewarganegaraan Pendiri, Pembina, Pengurus, dan Pengawas.

(23)

b. Permohonan Pengesahan status Badan Hukum Yayasan

Yayasan untuk memperoleh pengesahan status badan hukum, maka pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri melalui Notaris yang membuat Akta Pendirian Yayasan tersebut. Notaris wajib menyampaikan permohonan pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani (Pasal 11 ayat 3 UU Yayasan).

Permohonan pengesahan pendirian Yayasan sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) PP No. 63 Tahun 2008, maka pemohon harus melampirkan:

1) Salinan Akta Pendirian Yayasan;

2) Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh Notaris; 3) Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang

ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;

4) Bukti penyetoran atau keterangan bank atas Nama Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;

5) Surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan kekayaan awal tersebut; 6) Bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan.

Pengesahan terhadap permohonan tersebut, diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan,

(24)

Menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

Instansi terkait tersebut, wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima. Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima. Dalam hal jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada instansi terkait. Terhadap permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 11 dan 12 UU Yayasan).

Dalam hal permohonan pengesahan pendirian Yayasan ditolak, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada pemohon mengenai penolakan pengesahan tersebut. Alasan penolakan pengesahan tersebut adalah bahwa permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU Yayasan dan/atau peraturan pelaksanaannya (Pasal 13 UU Yayasan).

Biasanya orang yang memprakarsai dibentuknya badan Yayasan tersebut, bertindak selaku pendiri dan sekaligus duduk sebagai Ketua yang memimpin Yayasan.45

45

(25)

Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui atau telah diberitahukan wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, dilakukan oleh Menteri dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan disahkan atau perubahan Anggaran Dasar disetujui atau diterima Menteri (Pasal 24 UU Yayasan). Jadi total permohonan pengesahan adalah lebih kurang 60 hari.

Tata cara mengenai pengumuman dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dikenakan biaya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yaitu:

1) Persetujuan pemakaian nama Yayasan sebesar Rp. 100.000,- 2) Pengesahan akta pendirian Yayasan sebesar Rp. 250.000,-

3) Pengumuman Yayasan dalam media Tambahan Berita Negara R.I sebesar Rp. 300.000,-

Jadi biaya persetujuan pemakaian nama, pengesahan akta pendirian dan pengumuman yayasan dalam media Tambahan Berita Negara R.I adalah keseluruhan sebesar Rp. 650.000.- (enam ratus lima puluh ribu rupiah)

Secara tegas dinyatakan dalam 13A UU Yayasan, bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus atas nama Yayasan sebelum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung jawab renteng.

(26)

B. Ketentuan Penyesuaian Akta Yayasan Penyelenggara Pendidikan Setelah Berlakunya UU BHP

Sebelum dibahas mengenai penyesuaian Akta Yayasan Penyelenggara Pendidikan dengan berlakunya UU BHP, maka disini terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan Badan Hukum Pendidikan.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) merupakan perintah/amanat dari Pasal 53 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menyebutkan bahwa :

(1) Penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

(2) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

Pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan Pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHP berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. UU Sisdiknas mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, dalam Pasal 53 UU Sisdiknas juga diperintahkan bahwa BHP harus diatur dengan undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diundangkan

(27)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang mengatur tentang BHP dalam bentuk undang-undang.

Dasar hukum Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan

Selanjutnya mekanisme pendirian BHP diatur dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, yaitu:

1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum Pendidikan.

2. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 71 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Sebagai Badan Hukum Pendidikan

Pasal 1 angka 1 UU BHP menyebutkan Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Kemudian dalam Pasal 1 angka 9 diberikan batasan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Mengenai pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi ini telah diberi batasan oleh Pasal 17, 18, 19 dan Pasal 20 UU Sisdiknas, sebagai berikut:

(28)

a. Pendidikan Dasar, yaitu:

(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

(2) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

b. Pendidikan Menengah, yaitu:

(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.

(3) Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

c. Pendidikan Tinggi, yaitu:

(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program Pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis, dan Doktor (S3) yang diselenggarakan Perguruan Tinggi.

(2) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.

Selanjutnya, sesuai ketentuan Pasal 5 UU BHP, maka BHP terdiri dari ada 2 (dua) jenis, yaitu:

(29)

1) BHP Penyelenggara

BHP Penyelenggara adalah Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal.

2) BHP Satuan Pendidikan.

BHP Satuan Pendidikan merupakan jenis badan hukum pada satuan pendidikan formal. Sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 7 UU BHP, ada 3 (tiga) bentuk BHP Satuan Pendidikan yaitu:

a) Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) adalah badan hukum pendidikan yang didirikan Pemerintah dengan peraturan Pemerintah atas usul Menteri.

b) Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) adalah badan hukum pendidikan yang didirikan Pemerintah Daerah dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota.

c) Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) adalah badan hukum pendidikan yang didirikan masyarakat dengan Akta Notaris yang disahkan oleh Menteri.

Ketiga bentuk BHP tersebut di atas hanya mengelola 1 (satu) satuan pendidikan formal (Pasal 6 ayat (2))

Dengan demikian UU BHP menegaskan bahwa pendiri badan hukum pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Di mana pendiri

(30)

dapat orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum seperti Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis. Sehingga setelah berlakunya UU BHP tidak ada lagi penyelenggara pendidikan selain dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Selanjutnya untuk lebih jelas apa yang dimaksud dengan tata kelola Badan Hukum Pendidikan dan yang harus disesuaikan Yayasan sebagai BHP Penyelenggara dapat dijelaskan berikut ini:

1. Tata Kelola Badan Hukum Pendidikan menurut UU BHP

Tata Kelola BHP yang dimaksudkan disini mengenai tugas dan kewenangan masing-masing organ badan hukum pendidikan dan juga kekayaan badan hukum pendidikan. Organ badan hukum pendidikan, diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 UU BHP, yang dibedakan atas:

a. Pendidikan Dasar dan/atau Menengah

Organ BHP yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan Pendidikan Dasar dan/atau Menengah harus terdiri atas:

1) Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK); 2) Organ Pengelola Pendidikan (OPP).

b. Pendidikan Tinggi:

Organ BHP yang menjalankan fungsi badan hukum Pendidikan Tinggi harus terdiri atas:

1) Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK); 2) Organ Representasi Pendidik (ORP);

(31)

3) Organ Audit Bidang Non-akademik (OANA); dan 4) Organ Pengelola Pendidikan (OPP);

Selanjutnya dalam Pasal 16 UU BHP ditentukan penamaan setiap organ badan hukum pendidikan di atas ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

Adapun fungsi dan anggota masing-masing dari Organ BHP tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK)

Organ representasi pemangku kepentingan BHP menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum. Anggota representasi pemangku kepentingan untuk Pendidikan Dasar dan/atau Menengah, paling sedikit terdiri atas:

1) pendiri atau wakil pendiri;

2) pemimpin organ pengelola pendidikan; 3) wakil pendidik;

4) wakil tenaga kependidikan; dan 5) wakil komite sekolah/madrasah.

Sedangkan anggota representasi pemangku kepentingan untuk Pendidikan Tinggi, paling sedikit terdiri atas:

1) pendiri atau wakil pendiri;

2) wakil organ representasi pendidik; 3) pemimpin organ pengelola pendidikan; 4) wakil tenaga kependidikan; dan 5) wakil unsur masyarakat.

(32)

Anggaran Dasar BHP dapat menetapkan unsur lain sebagai anggota Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK), selain dari anggota yang dimaksud di atas.

Jumlah anggota Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK) yang berasal dari pendiri atau wakil pendiri dapat lebih dari 1 (satu) orang. Pemimpin organ pengelola pendidikan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam Organ Representasi Pemangku Kepentingan. Pemimpin organ pengelola pendidikan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam organ representasi pemangku kepentingan (Pasal 18 ayat (3), (4) dan (5) UU BHP).

b. Organ Representasi Pendidik (ORP)

Fungsi pengawasan akademik di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi dijalankan oleh Organ Representasi Pendidik (ORP) dan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Dasar BHP.

Anggota Organ Representasi Pendidik paling sedikit terdiri atas: 1) Wakil Professor; dan

2) Wakil Pendidik (Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU BHP).

Anggaran Dasar BHP yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, dapat menetapkan wakil unsur lain sebagai anggota Organ Representasi Pendidik selain anggota sebagaimana dimaksud di atas.

(33)

Perimbangan jumlah Wakil Profesor dan Wakil Pendidik antarprogram studi proporsional dengan jumlah pendidik yang diwakilinya dan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga BHP (Pasal 24 ayat (3) dan (4) UU BHP).

c. Organ Audit Bidang Non-Akademik (OANA)

Organ Audit Bidang Non-Akademik (OANA) merupakan Organ BHP yang melakukan evaluasi non-akademik atas penyelenggaraan badan hukum pendidikan. Susunan, jumlah, dan kedudukan Ketua dan Anggota Organ Audit Bidang Non-Akademik (OANA) ditetapkan dalam Anggaran Rumah Tangga. Masa jabatan Ketua dan Anggota adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan (Pasal 29 UU BHP).

d. Organ Pengelola Pendidikan (OPP)

Organ Pengelola Pendidikan (OPP) merupakan organ BHP yang mengelola pendidikan. Organ ini memiliki otonomi dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Organ Pengelola Pendidikan (OPP) dipimpin oleh pemimpin organ pengelola pendidikan, yang bertindak ke luar untuk dan atas nama badan hukum pendidikan sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar (Pasal 31 dan 32 ayat (1) dan (2) UU BHP).

(34)

Secara ringkas kedudukan dari masing-masing Organ BHP tersebut dapat terlihat pada skema berikut ini:

Skema 1.

Struktur Manajemen Penyelenggara Perguruan Tinggi (BHPM Satuan Pendidikan) ORPK Ketua (WNI) Sekretaris (WNI) Anggota ORP - Ketua - Anggota OANA - Ketua - Anggota Organ Lain - Ketua - Anggota (bila ada) OPP Rektor/Ketua/ Direktur dan Wakil Keterangan:

ORPK = Organ Representasi Pemangku Kepentingan ORP = Organ Representasi Pendidik

OANA = Organ Audit Non-Akademik OPP = Organ Pengelola Pendidikan

Organ BHP untuk Pendidikan meliputi: Organ Representasi Pemangku Kepentingan, Organ Representasi Pendidik, Organ Audit Non-Akademik, dan Organ Pengelola Pendidikan. Sedangkan untuk Pendidikan Dasar dan/atau Menengah terdiri dari 2

(35)

organ yaitu Organ Representasi Pemangku Kepentingan dan Organ Pengelola Pendidikan, sebagaimana terlihat pada skema berikut ini:

Skema 2.

Struktur Manajemen Penyelenggara Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPM Satuan Pendidikan) ORPK Ketua (WNI) Sekretaris (WNI) Anggota Organ Lain - Ketua - Anggota (bila ada) OPP Kep Sek Wkl KS KOMITE SEKOLAH Keterangan:

ORPK = Organ Representasi Pemangku Kepentingan OPP = Organ Pengelola Pendidikan

Selain ketentuan organ-organ di atas juga diatur mengenai kekayaan BHP Penyelenggara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 UU BHP bahwa kekayaan awal BHP Pemerintah Pusat, BHP Pemerintah Daerah dan BHP Masyarakat berasal

(36)

dari kekayaan Pendiri yang dipisahkan. Sedangkan untuk Yayasan atau badan hukum sejenis yang menjadi BHP Penyelenggara, maka kekayaan Yayasan atau badan hukum sejenis sebelum diakui sebagai BHP sama dengan ketika badan hukum itu diakui sebagai BHP. Artinya tidak ada pemisahan harta kekayaan Yayasan ataupun badan hukum sejenis sebagai BHP Penyelenggara walaupun telah disesuaikan dengan tata kelola BHP, dengan ketentuan Yayasan atau badan hukum sejenis itu hanya didirikan untuk menyelenggarakan pendidikan. Akan tetapi, jika Yayasan atau badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan itu, tetapi bidang usahanya tidak hanya bidang pendidikan saja (ada bidang usaha lain), maka harus menetapkan bagian kekayaan (dipisahkan) yang diperuntukkan bagi tata kelola BHP.

2. Penyesuaian Tata Kelola Yayasan Menyelenggarakan Pendidikan sebagai BHP Penyelenggara sesuai Tata Kelola BHP

Salah satu substansi UU BHP yang menjadi perhatian di sini adalah mengenai Yayasan yang selama ini sebelum berlakunya UU BHP telah menyelenggarakan pendidikan formal.

Menurut Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 8 ayat (3) UU BHP, bahwa Yayasan atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara.

(37)

Selain Yayasan sebagai BHP Penyelenggara, maka sesuai Pasal 9 ayat (2) UU, BHP Penyelenggara tersebut dapat mengubah satuan pendidikannya menjadi BHP Masyarakat, dan menambah satuan pendidikan formalnya dalam bentuk BHP Masyarakat.

Dengan demikian dari ketentuan di atas, bagi Yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan tetap dapat menyelenggarakan pendidikan, dalam kedudukan sebagai BHP Penyelenggara ataupun menjadi BHP Masyarakat sesuai dengan kedudukan atau status badan hukum Yayasan tersebut.

Yayasan yang dapat menjadi BHP Penyelenggara yang dimaksudkan UU BHP tersebut adalah:

a. Yayasan yang telah diakui dan disahkan sebagai badan hukum sesuai dengan ketentuan UU Yayasan.

b. Yayasan tersebut menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Jadi, Yayasan yang belum disahkan status badan hukum tidak dapat menjadi BHP Penyelenggara.

Batasan yayasan yang belum diakui dan disahkan status badan hukumnya yang dimaksud adalah sesuai ketentuan Pasal 71 UU Yayasan, yaitu:

a. Yayasan-yayasan setelah diterbitkannya UU Yayasan namun tidak melakukan penyesuaian Anggaran Dasarnya sesuai dengan UU Yayasan.

(38)

b. Yayasan yang wajib likuidasi berdasarkan Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan.

c. Yayasan yang didirikan berdasarkan UU Yayasan tetapi sampai dengan tanggal diberlakukan UU BHP (tanggal 16 Januari 2009) belum disahkan Menteri Hukum dan HAM, karena menurut ketentuan Pasal 10 UU BHP setiap penyelenggara pendidikan formal setelah 16 Januari 2009 wajib berbentuk BHP.

Yayasan-yayasan di atas, karena belum diakui atau belum disahkan status badan hukumnya, maka tidak dapat menjadi BHP Penyelenggara, walaupun Yayasan tersebut selama ini telah menyelenggarakan pendidikan formal.

Kemudian Yayasan yang diakui atau telah disahkan status badan hukumnya dalam menyelenggarakan pendidikan itu dapat sebagai BHP Penyelenggara adalah dengan cara melakukan penyesuaian Anggaran Dasar atau Akta Yayasan tentang Tata Kelola Yayasan sesuai dengan Tata Kelola BHP paling lambat 6 (enam) tahun sejak UU BHP diundangkan, yaitu selambat-lambatnya sampai pada tanggal 16 Januari 2015 (Pasal 67 UU BHP).

Selanjutnya, penyesuaian Organ Yayasan dalam Tata Kelola Yayasan sesuai dengan Tata Kelola BHP dalam penyelenggaraan pendidikan dengan berlakunya UU BHP sebagaimana diuraikan di atas dapat dilihat dalam skema Struktur Organ Dalam Kegiatan Penyelenggaraan Pendidikan Menurut UU Yayasan dan UU BHP, berikut ini:

(39)

Skema 3.

Struktur Organ Dalam Kegiatan Penyelenggaraan Pendidikan Menurut UU Yayasan dan UU BHP

Keterangan:

ORPK = Organ Representasi Pemangku Kepentingan ORP = Organ Representasi Pendidik

OANA = Organ Audit Non-Akademik OPP = Organ Pengelola Pendidikan

Dasar & Menengah Perguruan Tinggi

ORPK/DS Ketua (WNI) Sekretaris (WNI) Anggota OPP - Kep Sekolah - Wkl Kep Sek ORP/SA - Ketua - Anggota OANA/DA - Ketua - Anggota - unsur lain OPP R / K / D Wkl R/K/D YAYASAN = BHP Penyelenggara

PEMBINA PENGAWAS PENGURUS

BHPM (satuan pendidikan)

1.pendiri (Yys = Pembina) 2.Kep Sek

3.wkl Pendidik max 1/3 4.wkl Tenaga

Kependidikan 5.wkl Komite Sekolah 6.unsur lain (bila ada)

Komite Sekolah Ketua Sekretaris Anggota ORPK/MWA Ketua (WNI) Sekretaris (WNI) Anggota Organ Lain - Ketua - Anggota (bila ada) 1.pendiri (Yys=Pembina) 2.Rektor/K/D 3.wkl ORP/SA max 1/3 4.wkl Tenaga Kependidikan 5.wkl masyarakat 6.unsur lain (bila ada)

1.Profesor 2.Dosen Bukan Profesor 3. unsur lain (bila ada) 1.Keuangan 2.Hukum 3.SDM 4.Sarana & Prasarana 1.Rektor/Ketua/Dir ektur 2.wkli R / K / D Organ Lain - Ketua - Anggota (bila ada)

(40)

Dari skema di atas terlihat bahwa, sebagaimana diketahui sesuai UU Yayasan, organ Yayasan terdiri dari: Pembina, Pengawas dan Pengurus, maka setelah menjadi BHP Penyelenggara, Yayasan harus melakukan penyesuaian Tata Kelola Yayasan sesuai Tata Kelola BHP dalam menyelenggarakan pendidikan. Adapun kedudukan dan jabatan organ Yayasan yang berperan setelah dilakukan penyesuaian adalah:

a. Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, yang berperan hanya Organ Pembina Yayasan yaitu sebagai pemegang jabatan Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK) sesuai tata kelola BHP.

b. Sedangkan untuk Perguruan Tinggi, maka sama seperti pada pendidikan dasar dan menengah, Organ Pembina Yayasan adalah sebagai pemegang jabatan Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK). Selain itu, karena di dalam tata kelola BHP untuk Perguruan Tinggi ada Organ Audit Non-Akademik (OANA), maka jabatan ini akan dipegang oleh Pengawas Yayasan.

Hal tersebut harus ditegaskan dalam perubahan Akta Anggaran Dasar/Pendirian Yayasan.

Dengan demikian dari uraian di atas secara tegas dinyatakan bahwa Yayasan yang selama ini telah menyelenggarakan pendidikan formal akan tetap dapat menyelenggarakan pendidikan sebagai BHP Penyelenggara, dengan syarat Yayasan telah diakui status badan hukumnya sesuai dengan Pasal 71 UU Yayasan, dan Yayasan itu telah melakukan perubahan Akta Pendirian/Anggaran Dasar tentang Tata Kelola Yayasan sesuai dengan Tata Kelola BHP yang diatur dalam UU BHP.

(41)

3. Yayasan membentuk BHPM Baru

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan sebelum berlakunya UU BHP tetap dapat menyelenggarakan pendidikan sebagai BHP Penyelenggara, tetapi ini hanya berlaku bagi yayasan yang telah diakui status badan hukumnya dan pendidikan yang diselenggarakan adalah pendidikan formal. Oleh karena itu, bagi Yayasan penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan di atas, maka untuk tetap dapat menyelenggarakan pendidikan harus membentuk BHP Masyarakat (BHPM) baru.

Yayasan dalam praktek menyelenggarakan pendidikan akan ditemukan ada yang hanya menyelenggarakan satu-satuan pendidikan formal saja atau ada yang lebih dari satu menyelenggarakan pendidikan formal, bahkan ada yang lebih dari itu, misalnya menyelenggarakan pendidikan nonformal dan kegiatan lainnya.

Yayasan yang menyelenggarakan satu atau lebih satuan pendidikan formal tetap diakui eksistensinya untuk menyelenggarakan pendidikan formal yaitu sebagai BHP Penyelenggara atau dapat memilih menjadi BHPM untuk satuan pendidikan formalnya. Artinya, apabila Yayasan yang telah menjadi BHP Penyelenggara yang sebelumnya hanya menyelenggarakan pendidikan formal satuan pendidikan SD dan SMP saja, maka untuk dapat menambah satuan pendidikan formal misalnya SMU, maka Yayasan tersebut harus membentuk BHPM baru untuk menyelenggarakan pendidikan formal SMU tersebut. Hal ini mengingat setelah berlakunya UU BHP maka semua penyelenggara pendidikan formal harus badan hukum pendidikan (Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 9 UU BHP).

(42)

83

Dari ketentuan UU BHP di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa:

a. Yayasan yang belum diakui status badan hukumnya (Yayasan yang didirikan berdasarkan UU Yayasan tapi sampai dengan tanggal 16 Januari 2009 belum disahkan), untuk tetap menyelenggarakan pendidikan yang sudah ada dengan membentuk BHPM.

b. Yayasan yang wajib dilikuidasi berdasarkan Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan, maka untuk tetap menyelenggarakan pendidikan harus membentuk BHPM baru.

c. Selain itu atas inisiatif sendiri dari Yayasan yang telah diakui status badan hukumnya yang menyelenggarakan pendidikan lebih dari satu-satuan pendidikan formal, dapat membentuk BHPM per satuan pendidikan. Artinya disini BHPM yang dibentuk adalah dalam Akta tersendiri di luar akta Yayasan, namun pendirinya tetap organ yayasan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Uji coba instrumen dilakukan pada 30 siswa SMA kelas X di SMAN 22 Bandung. 30 soal yang dibuat dibagi menjadi dua bagian sehingga terdapat dua kode soal yaitu kode soal A dan kode

Meskipun Pemilu 2004 diwarnal oleh berbagai kerumltan, tetapi secara umum sistem Pemilu 2004 lebih balk dibandingkan Pemilu sebelumnya. Pemlllh dapat menentukan sendiri pilihannya,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan menulis teks eksplanasi dan penguasaan konsep siswa mengalami peningkatan secara signifikan setelah diberikan

Berdasarkan penjelasan dan hasil analisis di atas, dapat dilihat bahwa beberapa dari subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki orangtua yang

(2) Pemberhentian karena tidak memenuhi dan atau melanggar persyaratan akademik yang berlaku hanya dapat dilakukan oleh rektor dengan persetujuan senat setelah diusulkan oleh

Terkait dengan bentuk penalaran dalam tradisi ilmu al-bayan (istidlal bayani) ini, al-Jabiri menemukan karakter “pemaksaan epistemologis” dalam kegiatan bernalar,

Dengan demikian peta kendali p digunakan untuk mengendalikan proporsi dari item-item yang tidak memenuhi syarat spesifikasi kualitas atau proporsidari produk yang cacat

Seperti halnya ketika kita dapat bersabar terhadap cobaan yang kita alami, tentunya hati kita akan terasa tentram, apabila kita dapat bersyukur terhadap segala sesuatu