• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Konstitusi menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam dunia akademik begitu banyak akademisi atau ahli yang membahas ciri konsep negara hukum. Pada kesempatan ini, diambil 2 pendapat ahli. Menurut A.V. Dicey, ada 3 ciri penting dalam setiap negara hukum modern di zaman sekarang (rule of law), yaitu : Supremacy of Law, Equality Before the Law, dan

Due Process of Law.5 Berbeda dengan A.V. Dicey, Jimly Asshidiqqie menyatakan bahwa ada 12 ciri utama negara hukum modern yang sebenarnya (The Rule of Law, ataupun Rechstaat) yaitu : supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ Eksekutif Independen, peradilan bebas dan tidak memihak, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara, dan transparansi serta kontrol sosial.6

Diantara kedua ahli hukum ini, keduanya sepakat bahwa salah satu ciri utama konsep negara hukum adalah adanya supremacy of law. Hal ini memperlihatkan bahwa salah satu konsekuensi bernegara hukum adalah menjalankan supremasi hukum. Penerapan supremasi hukum dalam suatu negara, mengharuskan negara sebagai organisasi terbesar dijalankan

5 Jimly Asshiddiqie, 2014, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 6 ibid.,

(2)

berdasarkan hukum, dimana semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.

Pembentukan konstitusi suatu negara merupakan pencerminan pelaksanaan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini, konstitusi merupakan hukum tertinggi yang ada dalam suatu negara (the

supreme law of the land). Dengan kata lain, dalam negara hukum yang

cenderung memiliki pengaturan hierarki hukum seperti Indonesia, terjadi penerapan supremasi konstitusi. Terkait hal ini Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa dalam perspektif supremasi hukum, pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi, bahkan dalam republik yang menganut sistem presidensial murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat disebut kepala negara.7

Sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara, salah satu muatan konstitusi adalah berkaitan dengan identitas suatu negara. Salah satu identitas suatu negara adalah perihal bentuk negara. Indonesia sendiri oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945 pasca amandemen), untuk selanjutnya disingkat UUD NRI 1945, sebagai konstitusi negara, menyatakan bahwa Indonesia berbentuk negara Kesatuan.8 Bentuk negara merupakan hal yang vital dalam kehidupan bernegara, karena berbicara

7 ibid., hlm. 127

(3)

organ atau organisasi secara keseluruhan.9 Hal ini tentu turut mempengaruhi bentuk pemerintahan dalam setiap urusan bernegara terutama dalam hal pembagian kewenangan pemerintah. Hal ini juga yang membuat pembahasan terkait pilihan bentuk negara dan bentuk pemerintahan Indonesia, menjadi perdebatan yang cukup panjang dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia). Sidang tersebut memperlihatkan ada dikotomi pandangan mengenai bentuk negara dan pemerintahan, yaitu antara kelompok bentuk negara federasi dengan kesatuan, dan antara bentuk pemerintahan republik dengan monaki (kerajaan).10

Dalam hal ini, Indonesia memilih untuk menjadi negara republik dalam kerangka negara kesatuan. Dalam sejarahnya Indonesia memang sempat berganti bentuk menjadi federasi (pemberlakuan konstitusi Republik Indonesia Serikat), meskipun hal itu tak berlangsung lama, hanya kurang lebih sekitar 1 tahun saja antara tahun 1949 sampai dengan tahun 1950.

Dalam kaitannya sebagai hukum tertinggi (supreme law), konstitusi tetap diasumsikan sebagai hukum yang belum tentu sempurna. Perkembangan berbagai aspek dalam kehidupan bernegara, turut juga mendukung asumsi ini. K.C Wheare menyatakan bahwa :11

“Konstitusi, ketika disusun dan diterapkan, cenderung mencerminkan keyakinan dan kepentingan dominan, atau kompromi antara keyakinan dan kepentingan yang bertentangan, yang mencirikan masyarakat pada

9 Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm. 210

10 Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta, hlm. 86-127

(4)

waktu itu. Lebih dari itu, konstitusi tidak mesti mencerminkan keyakinan dan kepentingan politik atau hukum saja, melainkan bisa saja mencakup kesimpulan-kesimpulan atau kompromi-kompromi atas masalah ekonomi dan sosial yang ingin dijamin atau dinyatakan oleh para penyusun konstitusi. Konstitusi adalah resultan dari berbagai kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang bekerja pada waktu pembentukannya.”

Berangkat dari berbagai asumsi dan pernyataan ini, hampir setiap konstitusi modern suatu negara turut juga mengatur atau memuat pengaturan mengenai mekanisme perubahan suatu konstitusi. Lebih lanjut, Mohammad Fajrul Falaakh menyatakan bahwa ada sekitar 191 negara yang memiliki konstitusi sekaligus juga mengatur prosedur perubahan atau amandemennya. Bahkan sejak dasawarsa 1980-an hanya kurang dari 4 persen konstitusi di dunia yang tidak mengatur tentang amandemen konstitusi. 12 Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan berbagai kekurangan dalam proses penyusunan konstitusi serta kehidupan masyarakat/manusia sebagai subjek konstitusi yang sangat dinamis, menyebabkan ruang pimbicaraan mengenai ide perubahan konstitusi menjadi menarik.

Bentuk negara merupakan salah satu muatan dalam konstitusi. Dalam logika sederhana, hal ini menunjukkan bahwa bentuk negara pun bisa saja diubah dalam hal terjadi perubahan konstitusi. Perihal perubahan konstitusi dan pengaturan bentuk negara ini menjadi menarik dalam perspektif konstitusi Indonesia, UUD NRI 1945. Dalam Bab XVI UUD NRI 1945 tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, dinyatakan bahwa khusus bentuk negara

12 Mohammad Fajrul Falaakh, 2014, Pertumbuhan dan Model Konstitusi Serta Perubahan UUD

1945 oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 48

(5)

kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.13 Dilihat dari perspektif politik hukum dan teori perundang-undangan, pengaturan ini memberikan ruang perdebatan yang panjang mengenai political will perumusan peraturan tersebut.

Pertanyaan mendasar kemudian yang terlintas adalah, seperti apakah kemudian urgensi untuk terjadinya perubahan konstitusi perihal bentuk negara? Melihat sejarah, dalam perumusan UUD 1945, Mohammad Hatta14 merupakan salah satu orang yang menolak ide bentuk negara kesatuan diberlakukan di Indonesia. Menurutnya, Indonesia yang merdeka haruslah berbentuk federal dan bukanlah berbentuk negara kesatuan. Pendapat ini diajukan Hatta dengan pembenaran terhadap struktur geografis berbentuk kepulauan dan tingkat heterogenitas bangsa Indonesia yang sangat tinggi. Kemajemukan menjadi rasionalisasi terhadap penolakan bentuk negara kesatuan. Jimly Asshidiqie15 menyatakan bahwa pada akhir perumusan mengenai bentuk negara dalam UUD 1945, Hatta merubah pendiriannya dengan alasan bahwa kalangan pergerakan lainnya sudah meyakinkannya bahwa Negara Kesatuan Indonesia yang akan dibangun akan turut juga membangun daerah-daerah dengan dasar prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.

Fase pemerintahan orde lama dan orde baru yang terkesan sangat sentralistis ternyata memberikan dampak kecemburuan daerah yang tinggi.

13 Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

14 Sekretariat Negara Republik Indonesia , op.cit, hlm. 146-149. Lihat juga, Jimly Asshidiqie,

op.cit, hlm. 212

(6)

Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa hal ini turut disebabkan keadaan Indonesia sebagai negara baru, menuntut Pemerintah Pusat untuk mengutamakan konsolidasi kekuasaan secara terpusat, sehingga keperluan untuk menjamin keragaman antardaerah menjadi nomor dua atau bahkan nomor tiga.16 Pembangunan yang hanya terpusat di Jawa sebagai pusat pemerintahan, kembali menimbulkan dialektika antara bentuk negara kesatuan dan federasi. Dialektika ini kemudian berpuncak pada masa orde lama (era demokrasi terpimpin) sampai dengan tahun 1965. Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto di tahun 1966 seolah menjadi harapan baru desentralisasi, yang tercermin dengan dikeluarkannya TAP MPRS tanggal 5 Juli 1966, No XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. Harapan itu ternyata kembali padam, dan mencapai puncaknya dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang sentralistis. Jimly Asshidiqie kembali berpandangan bahwa proses konsolidasi kekuasaan dalam pergantian Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto kembali menimbulkan arus balik dari gelombang desentralisasi ke arah sentralisasi kembali.17

Masuknya era reformasi, Undang-Undang Nomor 5 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Tahun 1974 di era Soeharto yang becorak sentralistis digantikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai antitesa yang membawa optimisme terhadap

16 ibid., hlm. 213

(7)

desentralisasi. Lebih daripada itu, dorongan untuk adanya amandemen konstitusi akhirnya turut juga mengubah Pasal 18 UUD 1945 dalam Bab Pemerintahan Daerah dalam rumusan yang lebih sangat desentralistik pada amandemen kedua UUD 1945 tahun 2000.

Bentuk penolakan terhadap sentralisasi, dan harapan terhadap desentralisasi ternyata justru kembali memberikan dialektika antara bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federasi. Menurut Nimatul Huda18 dan Jimly Asshidiqie, bahkan perubahan kedua UUD 1945 terhadap Pasal 18 ini justru mempertegas prinsip-prinsip pengaturan yang bersifat federalistis dalam hubungan kewenangan daerah. Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan kedua tahun 2000 menyatakan bahwa :

Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih lanjut, Pasal 18 ayat ke (5) menyatakan bahwa :

Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Mengomentari hal ini, Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa secara teoritis prinsip pengaturan demikian dapat disebut bersifat federalistis karena konsep kekuasaan asal atau sisa (residual power) justru seolah-olah berada di Pemerintah Daerah. Prinsip demikian dikenal di lingkungan negara-negara federal. Selain itu, ketentuan baru Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B, telah

18 Ni’matul Huda, “Berkayuh Diantara Bentuk Negara Kesatuan Dan Federal”, Jurnal Konstitusi,

Vol. I, No. 1, Februari 2009, hlm. 58

(8)

mengubah format bentuk negara dari bentuk Negara Kesatuan yang ‘kaku’ kepada bentuk Negara Kesatuan yang ‘dinamis’. Dalam dinamisme bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 itu, dimungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 19 Lebih lanjut, Nimatul Huda yang mengutip pernyataan Astim Riyanto, menyatakan bahwa, ditetapkannya Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, berarti telah mengubah jiwa dan semangat Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan), yang mengindikasikan dikehendakinya aktualisasi negara kesatuan dengan desentralisasi yang proporsional menjadi aktualisasi negara kesatuan dengan desentralisasi yang federalistik.20

Secara formil, berdasarkan deskripsi daripada konstitusi Indonesia pasca amandemen (UUD NRI 1945), Indonesia tetaplah berbentuk Negara kesatuan. Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 secara jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Permasalahan kemudian muncul saat adanya inkonsistensi dan pertentangan dalam pengaturan BAB VI tentang Pemerintahan Daerah pasca amandemen, yang sangat bercorakkan federalistis. Pertentangan ini kemudian semakin “diperkeruh” dengan adanya ketentuan Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945 yang secara eksplisit melarang adanya perubahan bentuk negara kesatuan.

19 Jimly, op.cit, hlm 221-223 20 Ni’matul Huda, op.cit, hlm. 60

(9)

Dialektika mengenai bentuk negara Indonesia, serta berbagai pertentangan dan inkonsistensi dalam sistem konstitusi UUD NRI 1945 pasca amandemen sebagai suatu sistem konstitusi yang utuh, kemudian kembali dipertentangkan dengan adanya teori perubahan non-formal konstitusi. Dalam hal ini, berdasarkan perjalanan sejarah dan keberadaan UUD NRI 1945 (sesudah perubahan) yang berlaku saat ini, menurut hemat penulis, ada terdapat permasalahan mengenai pengaturan bentuk negara kesatuan di Indonesia. Politik hukum konstitusi Indonesia pasca amandemen seakan kontradiktif dengan semangat negara kesatuan, sehingga dapat membuka banyak ruang terjadinya perubahan nonformal konstitusi.

Dalam teori perubahan konstitusi, secara umum dikenal adanya perubahan konstitusi formal dan perubahan konstitusi non-formal. Perubahan konstitusi formal (formal amendment) merupakan perubahan yang diatur secara jelas dan formal dalam konstitusi. Dalam hubungannya dengan ini perubahan formal dapat diklasifikasi berdasarkan rigidity (tingkat kekakuan) suatu konstitusi dalam mengatur perubahan formalnya. Terkait rigidity C.F Strong mengklasifikasikan sebagai berikut, bahwa konstitusi yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur khusus dinyatakan sebagai konstitusi fleksibel, sedangkan konstitusi yang mempersyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya merupakan konstitusi yang kaku (rigid).21

21 CF Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah

(10)

Tentunya berbeda dengan perubahan formal, perubahan kontitusi secara non-formal adalah mekanisme yang tidak secara eksplisit ditulis dan diatur. Georg Jellinek menyebut ini sebagai perubahan non prosedural

(verfassungs-wandelung), Bothlingk menggunakan istilah buiten de grondwet (perubahan di

luar konstitusi), sedangkan sejumlah penulis dari Amerika Serikat menyebutnya sebagai perubahan nonformal (informal amandment).22

Dalam hubungannya antara perubahan formal dan non-formal sebagai opsi dalam perubahan konstitusi, lebih lanjut Mohammad Fajrul Falaakh menyatakan bahwa amandemen formal (formal amendment) hanyalah salah satu cara mengubah konstitusi. Perubahan dapat pula terjadi secara non-formal (informal change, informal amendment), yaitu perubahan konstitusi tanpa mengubah naskah konstitusi yang bersangkutan atau perubahan “di luar naskah konstitusi”. Dalam hal ini norma-norma konstitusi dapat berubah ketika diatur lebih lanjut undang-undang oleh legislatif (proses legislasi), atau ditafsirkan oleh hakim untuk menentukan hukum bagi suatu perkara yang diadilinya (proses ajudikasi). 23

Bab XVI Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4) UUD NRI 1945 secara jelas mengatur mengenai prosedur khusus perubahan konstitusi Indonesia, bahkan secara lebih khusus lagi dalam ayat (5) secara eksplisit menegasikan adanya perubahan terhadap bentuk negara. Pengaturan dalam pasal-pasal ini, menunjukkan bahwa sudah jelas konstitusi Indonesia dapat

22 Mohammad Fajrul Falaakh , Op. Cit, hlm. 49 23 ibid., hlm. 7

(11)

diklasifikasikan sebagai konstitusi yang kaku (rigid) dalam mengatur mengenai perubahan atau amandemennya secara formal.

Pengaturan perubahan formal konstitusi di Indonesia yang dapat dikatakan sangat “rigid” ini, tentulah membuat ruang perubahan nonformal berpotensi sering terjadi. Mohammad Fajrul Falaakh berpendapat bahwa semakin rigid suatu konstitusi, maka semakin terbuka untuk diubah secara non-formal. Di sisi lain, kedudukan UUD 1945 sebagai lex superior (doktrin supremasi konstitusi) dan wataknya sebagai lex scripta akan mengalami masalah serius kalau perubahan konstitusi secara nonformal justru lebih mudah dan lebih banyak dilakukan.24

Dalam hubungannya dengan Indonesia sebagai negara hukum, adanya supremasi konstitusi, pengaturan mengenai bentuk negara dan pemerintahan daerah, pengaturan perubahan formal konstitusi, serta adanya teori perubahan non-formal konstitusi, dalam penelitian ini ditarik suatu permasalahan dalam kaitannya dengan bentuk negara kesatuan. Permasalahan dalam hubungannya dengan bentuk negara kesatuan berangkat dari asumsi awal bahwa konstitusi sebagai hukum yang belum tentu sempurna. Selain itu adanya pertentangan norma dalam sistem konstitusi mengenai bentuk negara dan perkembangan berbagai aspek dalam kehidupan bernegara, turut juga mendukung asumsi ini. Asumsi ini kemudian dikaitkan dengan pendapat K.C Wheare bahwa konstitusi adalah resultan dari berbagai kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang

24 ibid., hlm. 13

(12)

bekerja pada waktu pembentukannya.25 Lebih lanjut, dalam upaya menarik suatu rumusan permasalahan, penulis melihat adanya pengaturan yang sangat

rigid dalam konstitusi Indonesia, terkait perubahan konstitusi, khususnya

perubahan bentuk negara yang notabene adalah muatan konstitusi.

Pertentangan antara negara hukum Indonesia (yang berkonsekuensi terhadap supremasi dan kepastian hukum konstitusi) dan adanya teori perubahan non-formal konstitusi, kemudian menjadi lebih menarik ketika dilihat dari perspektif bentuk negara kesatuan (yang oleh konstitusi Indonesia pasca amandemen, dinyatakan tidak dapat dilakukan perubahan).

Politik hukum konstitusi Indonesia yang membuat suatu peraturan terkait perubahan konstitusi yang rigid, sehingga berimplikasi menutup ruang perubahan bentuk negara kesatuan secara formal, jelas memberikan daya tarik tersendiri mengenai penelitian terhadap “ruang lain” perubahan konstitusi, yaitu perubahan konstitusi secara non-formal.

Penggunaan istilah perubahan konstitusi non-formal di sini tentunya dapat dipahami sebagai suatu antonim atau bahkan antitesa daripada suatu perubahan formal. Pada penelitian ini perubahan non-formal dipahami sebagai segala bentuk perubahan konstitusi yang terjadi di luar bentuk formal yang sudah diatur secara eksplisit dalam konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945 pasca amandemen), dalam hubungannya dengan bentuk negara.

25 K.C Wheare , Op. cit, hlm. 104

(13)

Dalam rangka membahas dan menganalisis perubahan non-formal konstitusi mengenai bentuk negara kesatuan ini, penulis menggunakan logika dan kerangka berpikir yang dibangun oleh Mohammad Fajrul Falaakh, yaitu bahwa perubahan non-formal konstitusi adalah perubahan “di luar naskah konstitusi”, bahwa amandemen formal hanyalah salah satu cara mengubah konstitusi, bahwa perubahan non-formal pada akhirnya adalah terkait kepastian hukum (legal certainty), dan bahwa UUD NRI 1945 sebagai Lex Superior sekaligus Lex Scripta akan mengalami masalah serius jika perubahan non-formal konstitusi justru lebih mudah dan lebih banyak dilakukan.26

Berangkat dari ini semua, telah dilakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam bentuk penulisan tesis hukum yang berjudul :

“PERUBAHAN NON-FORMAL KONSTITUSI SEBAGAI SALAH SATU PELUANG PERUBAHAN BENTUK NEGARA KESATUAN INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahannya sebagai berikut:

1. Apakah ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi terkait bentuk negara kesatuan Indonesia ?

2. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan perubahan non-formal bentuk negara kesatuan Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peluang yuridis perubahan non-

(14)

formal konstitusi dalam hubungannya dengan bentuk negara kesatuan Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor penyebab perubahan nonformal bentuk negara kesatuan Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaaat dari penelitian ini diharapkan dapat berupa manfaat secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan perkembangan dibidang Hukum Tata Negara; menambah wacana dan pustaka dalam rangka pengembangan hukum konstitusi, khususnya terkait perubahan nonformal konstitusi dalam hubungannya dengan adanya peluang perubahan bentuk negara kesatuan di Indonesia; serta untuk menambah literatur dan bahan-bahan hukum yang dapat bermanfaat bagi penelitian akan perubahan konstitusi di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

Untuk memberikan masukan bagi para pihak, terutama bagi penyelenggara negara di bidang kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam hal menjalankan fungsi legislasi peraturan hukum dibawah konstitusi; dan yudikatif dalam hal menjalankan fungsi penafsiran terhadap konstitusi, serta memberikan tambahan pengetahuan bagi masyarakat luas yang berkepentingan dan terkait dengan masalah yang diteliti.

(15)

E. Keaslian Penelitian

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta kemajuan dibidang pendidikan membuat kemungkinan akan terdapatnya kesamaan atau kemiripan antara suatu karya ilmiah dengan yang lainnya semakin terbuka. Dalam hal ini, penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan, dan ditemukan beberapa karya ilmiah dan penelitian yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, baik yang berbentuk disertasi, tesis, ataupun buku.

Pada tahun 1978, dalam disertasinya, Sri Soemantri 27 sudah melakukan penelitian terkait perubahan konstitusi. Dalam penelitiannya, Sri Soemantri lebih memfokuskan pembahasan pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, dimana penekanannya pada permasalahan terkait apakah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai masalah hukum atau politik, sejauh mana kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam melaksanakan Pasal 37 Undang-Undang Dasar, dan tentang bagaimana seharusnya prosedur dan sistem perubahan dalam Pasal 37 tersebut dijalankan. Dalam hal ini fokus penelitian pada tesis ini berbeda dengan fokus penelitian oleh Sri Soemantri, karena penulis tidak membahas terkait prosedur perubahan UUD 1945, melainkan konsekuensi perubahan UUD 1945 (khususnya pada Pasal 18 dan Pasal 37) sehingga membentuk UUD NRI 1945 secara keseluruhan, yang akhirnya memberikan ruang yuridis perubahan non-formal konstitusi mengenai bentuk negara yang semakin

27 Sri Soemantri, 1978, “Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam

Batang-Tubuh Undang-Undang Dasar 1945”, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Disertasi ini kemudian dibukukan dengan judul “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang-Tubuh UUD 1945 (sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945)”

(16)

besar.

Penelitian lainnya yang masih terkait dengan perubahan konstitusi adalah disertasi oleh Taufiqurrohman Syahuri 28 . Di tahun 2003, Taufiqurrohman Syahuri memaparkan hasil penelitian yang dituangkan bentuk suatu karya disertasi yang “Proses Perubahan Konstitusi (UUD Negara RI tahun 1945 dan Perbandingannya dengan Negara lain”. Walaupun memiliki penelitian yang sama-sama mengkaji Pasal 37 UUD tahun 1945 seperti pada disertasi Sri Soemantri, fokus penelitian daripada disertasi ini sedikit berbeda. Dalam disertasinya, Taufiqurrohman Syahuri lebih memfokuskan pada prosedur perubahan Pasal 37 UUD, yang dilakukan oleh MPR pada tahun 1999-2002, dengan masalah utama yang diteliti adalah terkait bagaimana cara perubahan konstitusi dalam teori dan dalam konstitusi serta pelaksanaannya di Indonesia. Dalam hubungannya dengan tesis ini, penelitian yang dilakukan oleh Taufiqurrohman Syahuri jelas berbeda dengan penelitian ini. Pada penelitian ini penulis tidak memfokuskan pada prosedur perubahan Pasal 37 dalam agenda amandemen MPR tahun 1999-2002, melainkan lebih fokus kepada konsekuensi daripada perubahan tersebut, yaitu memberikan peluang-peluang yuridis dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan non-formal bentuk negara kesatuan.

Dalam penulisan karya ilmiah berbentuk penulisan tesis, penulis juga menemukan beberapa karya yang berhubungan dengan topik penelitian yang

28 Taufiqurrohman Syahuri, 2003, “Proses Perubahan Konstitusi (UUD Negara RI Tahun 1945 dan

Perbandingannya dengan Negara Lain)”, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Disertasi ini kemudian dibukukan dengan judul “Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002 Serta Perbandingannya Dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia”

(17)

penulis teliti. Dalam tesis pascasarjananya yang kemudian dibukukan pada tahun 2011, Feri Amsari mengangkat suatu penelitian terkait perubahan UUD 1945, dalam hal ini perubahan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui putusan Mahkamah Konstitusi.

Feri Amsari29 melakukan penelitian terhadap perubahan yang keluar dari jalur formal (informal) yang diterapkan UUD 1945. Dalam tesisnya ini, dilakukan penelitian yang mengkaji putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan perubahan terhadap teks UUD 1945. Dalam hal ini fokus kajian penelitian penulis berbeda dengan fokus penelitian Feri Amsari. Fokus penelitian penulis tidak terbatas terhadap perubahan informal konstitusi melalui tafsir Mahkamah Konstitusi, melainkan meneliti seluruh peluang perubahan non-formal konstitusi melalui berbagai metode atau prosedur, termasuk melalui proses legislasi, yang kemudian penulis fokuskan lagi hanya pada kaitannya dengan perubahan yang berhubungan dengan bentuk negara kesatuan. Selain itu, hampir sama dengan Feri Amsari, penelitian Khairul Umam30 dalam tesisnya di tahun 2015 juga mengangkat suatu topik penelitian terkait perubahan informal konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja, dalam penelitiannya ini, Khairul Umam juga turut menambahkan suatu unsur kajian yaitu perspektif budaya konstitusi

29 Feri Amsari, 2011, “Perubahan Undang-Undang 1945 melalui Penafsiran oleh Mahkamah

Konstitusi”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas. Tesis ini kemudian dibukukan dengan judul “Perubahan UUD 1945 Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi”.

30 Khairul Umam, 2015, “Analisis Yuridis Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Secara Informal Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Budaya Konstitusi”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

(18)

(constitutional culture). Dalam hal ini fokus penelitian penulis juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Khairul Umam, karena penulis tidak hanya membatasi penelitian ini perubahan non-formal oleh putusan Mahkamah Konstitusi, namun memasukkan metode ini sebagai salah satu bagian pembahasan dalam penelitian. Adapun perbedaan selanjutnya, dalam penelitian ini, penulis juga sama sekali tidak menggunakan perspektif budaya konstitusi (constitutional culture) dalam menganalisis metode-metode perubahan non-formal yang ada.

Penulis juga menemukan beberapa penelitian yang disajikan dalam suatu buku yang banyak membahas terkait perubahan konstitusi, khususnya perubahan secara non-formal. Seorang penulis Inggris, K.C Wheare dalam bukunya Modern Constitutions menyinggung beberapa hal terkait perubahan formal melalui amandemen maupun perubahan non formal konstitusi melalui suatu proses penafsiran hukum baik melalui proses legislasi dan yudikasi. Lebih lanjut, Mohammad Fajrul Falaakh31, yang menjadi inspirasi penulis dalam melakukan penelitian perubahan non-formal konstitusi melalui karyanya, telah melakukan penelitian yang disajikan dalam bentuk buku yang berjudul “Pertumbuhan dan Model Konstitusi serta perubahan UUD 1945 oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi”. Dalam penelitiannya ini, Fajrul Falaakh berkesimpulan bahwa telah terjadi perubahan secara informal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari berbagai penelitian dan karya ilmiah yang ada ini, sejauh

31 Mohammad Fajrul Falaakh, 2014, Pertumbuhan dan Model Konstitusi Serta Perubahan UUD

(19)

penelusuran penulis, tidak ditemukan adanya penulisan karya ilmiah ataupun penelitian yang sudah pernah dituliskan ataupun diteliti, yang menyerupai penelitian ini, yaitu penelitian hukum mengenai perubahan non formal konstitusi yang dikhususkan pada hubungannya terhadap peluang perubahan bentuk negara kesatuan Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Waktu tunggu yang lama dan Length Of Stay (LOS) di IGD yang panjang akan menunjukkan rendahnya mutu pelayanan suatu rumah sakit yang akan berakibat pada tingkat kepuasan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu, (1) Kurikulum sains harus tetap berupaya mengintegrasikan antara Al-Quran, sains kealaman dan sains

Pada penelitian ini variabel yang diambil adalah rasio berat bahan baku dengan menggunakan bahan baku kulit pisang, batang jagung dan kertas koran bekas yang

Berdasarkan tabel dapat disimpulkan bahwa warna dipengaruhi dari banyaknya massa sampel yang digunakan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2, pada

Menempatkan sumber daya aparatur sebagai tema sentral dalam kejian ilmiah, karena perannya sebagai penyeleng-gara Negara tidak hanya sebagai obyek (seperti layaknya

Berdasarkan analisis tentang world view pengarang dapat disimpulkan bahwa secara simbolik cerita dalam naskah drama Aa-Ii-Uu sebagaimana karya Arifin C.. Noer yang lain

KALINYAMATAN KALINYAMATAN 369 1100299496 SUPRIYANTO MAFTUKIN MASHUDI MANYARGADING 03/01 KEC.. KALINYAMATAN KALINYAMATAN 377 1100300400 ABDUR ROHIM SYUKUR

bahwa dalam rangka menindaklanjuti Pasal 22 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan