• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Purnomo, 2003: 2), seperti halnya seks, terlalu penting untuk dikacaukan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Purnomo, 2003: 2), seperti halnya seks, terlalu penting untuk dikacaukan dengan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124) dalam (Purnomo, 2003: 2), seperti halnya seks, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya tentang latihan demi kesehatan, permainan untuk hiburan, atau menghabiskan waktu luang, atau untuk kombinasi dari maksud sosial dan rekreasional, melainkan aktivitas yang memiliki akar eksistensi ontologis sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan sampai dengan bentuk- bentuk gerakan terlatih.

Olahraga merupakan eksistensi manusia sebagai makhluk bermain (homo

ludens-nya Huizinga). Olahraga adalah tontonan, yang memiliki akar sejarah

yang panjang, sejak jaman Yunani Kuno dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di masa modern, di mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwa keolahragaan itu. Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya manusia itu sendiri (Purnomo, 2003: 2).

UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri”. Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan dalam waktu luang”. Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia “Sport for All” dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6) dalam (Purnomo, 2003: 6).

“Aktivitas”, sebagai kata yang mewakili definisi olahraga, menunjukkan suatu gerak, dalam hal ini gerak manusia, manusia yang menggerakkan dirinya

(2)

secara sadar dan bertujuan. Laku gerak yang ada di dalam olahraga tidak hanya dilihat sebagai suatu yang kasat mata atau fisik, melainkan terdapat berbagai hal yang mendasari dan melatari sesuatu yang fisik. Atas dasar gerak tersebut, setiap individu memiliki keunggulan masing-masing.

Aktifitas fisik dan metafisik setiap individu diresapi sebagai kedirian kedirian seseorang yang menjadi ciri eksistensinya. Sebagaimana Bakker (2000: 5) menjelaskan bahwa pemahaman fundamental yang dikenal oleh manusia adalah keberadaannya. Pemahaman fundamental itu mendasari segala kegiatan dan pengetahuan manusia dengan tetap meresapi kediriannyanya. Namun, di dalam pengetahuan sehari-hari, dasar manusia ini hanya dipahami secara implisit saja, dan tersembunyi di dalam gejala-gejala lain. Pemahaman yang terpendam itu bersifat pra-ilmiah atau pra-refleksif. Pemahaman itu merupakan suatu kesadaran. Kesadaran tersebut menyertai dan mengiringi segala pengertian dan kegiatan manusia, yang tidak merumuskan inti itu secara jelas, melainkan hanya diketahui dengan intuisi atau pengalaman konkrit.

Pernyataan-pernyataan di atas melatari penelitian ini, bahwa aktifitas olahraga tidak semata-mata hal fisik. Penelitian ini mengambil salah satu cabang olahraga, memanah, khususnya memanah tradisional. Lebih khusus lagi memanah khas mataram, bernama Jemparingan.

Sebelum menjadi aktivitas olahraga modern seperti sekarang ini, memanah dalam arti yang sangat sederhana memiliki sejarah pertahanan diri yang paling awal. Salah satu bentuk eksperimen manusia—“keberadaan” manusia—yang paling purba dalam menjawab tantangan kosmos adalah naluri untuk mempertahankan diri dengan hidup memanah. Mempertahankan diri berarti tidak hanya melindungi dari terkaman hewan buas, melainkan survival kehidupan.

(3)

Berawal dari naluri yang berakar dari intuisi inilah manusia mampu memahami perubahan paradigma sehingga dari hari ke hari munculah penemuan-penemuan baru, sehingga memanah memiliki ragam bentuk dan paduannya, semisal memanah dijadikan sebagai alat perang, ada pasukan panahan di setiap kesatuan perang, tetapi kini, memanah lazim digunakan sarana olah raga maupun hanya sekadar hobi.

Di segala penjuru dunia manapun terdapat ilmu memanah dengan karakteristik yang berbeda-beda. Salah satu karakter memanah yang kuat dan sarat akan tradisi adalah Jemparingan, memanah gaya Mataram. Jemparingan merupakan gaya memanah yang memadukan antara olah raga dan olah rasa. Dibutuhkan kesatuan jiwa dan badan di dalam Jemparingan. Layaknya kehidupan kosmos, ketika manusia, alam tidak menyatu, maka target utama untuk bertemu dengan Tuhan tidak akan terwujud. Begitu juga dengan Jemparingan, ketika anak panah, busur, dan manusia tidak bersatu padu, maka lesutan anak panah dapat meleset.

Jemparingan menjadi penting dan relevan dalam penelitian ini karena—

terlepas dari segala hal tentang paparan teknis dan fungsi—Jemparingan memiliki dimensi yang tidak kasat mata, dimensi yang hanya dapat diraba melalui kejernihan pikir, kehalusan budi, dan kemantapan spiritual. Hal ini terbukti di arena perlombaan. Pemain Jemparingan tidak boleh memiliki perasaan yang terlalu senang, maupun sedih. Perasaan yang harus dijaga ketika lomba adalah tenang, jernih, dan berusaha mengosongkan pikiran, serta memantapkan tekad. Oleh karena itu, dapat dikatakan letak utama dari memanah adalah “manah”, hati itu sendiri. Keunggulan tersebut melatih seseorang untuk senantiasa memadukan jiwa dan tubuh dengan energi yang ada di sekeliling manusia demi terwujudnya sebuah target.

Di dalam Jemparingan terdapat berbagai macam dimensi “keberadaan” yang menjadikannya sebagai kesatuan ontologis yang patut untuk dikaji karena

(4)

Jemparingan bukan hanya aktivitas fisik semata, tetapi gerak diri yang memadukan

tubuh dan jiwa untuk menuju titik harmoni.

Selain itu, penelitian ini layak diketengahkan karena Jemparingan tidak hanya menjadi latihan rutin prajutit Keraton, melainkan suatu warisan budaya yang harus diketengahkan di masyarakat, sedangkan Padepokan Dewondanu merupakan salah satu pihak yang melestarikan warisan tersebut. Padepokan Dewondanu tidak hanya sebatas komunitas yang memiliki hobi memanah, melainkan tempat dimana prajurit Kraton bernaung. Dengan kata lain, prajuruit Kraton yang memiliki basis keterampilan memanah tergabung dalam sebuah padepokan yang bernama Dewondanu.

Di masa Sri Sultan Hamengkubuwono I, Padepokan Dewondanu didirikan untuk melatih prajurit. Penggemblengan yang dilakukan untuk menjadikan seorang prajurit pilih tanding di bidang memanah. Dalam strata kepajuritan, Jemparingan sulit untuk dikalahkan karena prajurit yang sudah ahli dibekali kemampuan intelejen yang sangat tinggi. Dalam bahasa kekinian, pasukan ini disebut Sniper. Padepokan Dewondanu adalah "penjaga gawang" dari lestarinya Jemparingan. Banyak ahli

Jemparingan merasa perlu untuk mengajarkan Jemparingan kepada khalayak, maka

Padepokan Dewondanu, mulai dibuka untuk umum sebagai sarana mengajarkan nilai-nilai luhur yang terkadung di dalam Jemparingan. Dibandingkan dengan komunitas Jemparingan lainnya, Padepokan Dewondanu adalah yang pertama dan orisinal dalam alat, teknik, dan ajarannya.

Dari penjelasan di atas, terlihat alasan-alasan penting penelitian ini dikete- ngahkan; Jemparingan termasuk kategori olah raga dan olah rasa yang memiliki ciri khas sebagai warisan budaya, memiliki eksplanasi ontologi yang khas, yakni pola keselarasan tubuh dan jiwa yang mengakar pada tradisi Islam dan Jawa. Selain itu,

(5)

Jemparingan merupakan wujud dari kerarifan lokal yang keberadaannya memberi

warna di dalam masyarakat.

1. Rumusan Masalah

Penelitian yang berjudul Kajian Ontologi Jemparingan (Panahan Mataram);

Kontribusinya bagi Pembentukan Karakter Olahraga Memanah di Indonesia (Studi Kasus di Padepokan Dewondanu, Yogyakarta), objek materialnya adalah Jemparingan dan problema utama tentang makna hakikat Jemparingan dengan

objek formalnya Ontologi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan sekaligus mengungkapkan hakikat yang ada dalam Jemparingan. Fokus utama penelitian ini adalah konsep tentang hakikat Jemparingan dilihat dari perspektif Ontologi. Objek material dan objek formal yang dikemukakan di atas, membawa konsekuensi permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Apa hakikat Jemparingan?

b. Apa dimensi ontologis Jemparingan?

b. Bagaimana kontribusi Jemparingan bagi olahraga memanah di

Indonesia?

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penyelidikan dan penelurusan peneliti, belum ada penelitian yang baku yang meneliti Kajian Ontologi Jemparingan, Ada dua penelitian yang pernah dilakukan. Pertama, Penelitian OPSI (Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia) yang berjudul Kekuatan Jemparingan Mataram sebagai Seni, Tradisi, dan Olahraga

Panahan Asli Yogyakarta tahun 2015 oleh Siswa SMAN 9 Yogyakarta, Luqman Fahd

Muktiwibowo dan Laurentius Romy Kameubun. Penelitian tersebut menjelaskan tentang Posisi Jemparingan sebagai seni, tradisi, dan olahraga.

(6)

Kedua, skripsi karya Gideon Fredyanto dengan judul Sorjan (Sarana Olah Rasa Jemparingan) untuk Atlit Panahan Tradisional Tingkat Pemula. 2015.

Universitas Kristen Duta Wacana. Skripsi ini menjawab beberapa pertanyaan secara teknis, yakni sarana apa saja yang dipersiapkan untuk melakukan Jemparingan, cara tubuh supaya stabil dan terhindar dari rasa sakit dan pegal-pegal, aktivitas tubuh apa saja yang dilakukan di dalam Jemparingan. Skripsi ini adalah kategori penelitian bioteknonologi dan ergonomi, menjelasakan tahapan-tahapan posisi sehingga tampak nyaman dan sesuai dengan tubuh, lebih khusus tentang teknik bersila, dan bagaimana sarana Jemparingan dibuat dan dipraktikkan dapat sesuai dengan tubuh, sehingga terhindar dari rasa sakit.

Terdapat dua buku yang menguraikan Jemparingan. Pertama, tentang praktik permainan Jemparingan adalah buku Bentuk-bentuk Peralatan Hiburan

dan Kesenian Tradisional yang ditulis oleh Moertjipto, dkk tahun 1990. Buku ini

menjabarkan berbagai macam permainan tradisional. Jemparingan dalam buku ini dikategorikan sebagai permainan tradisional. Selain itu, juga dijelaskan bagaimana

Jemparingan diperagakan. Dengan kata lain hanya sebatas teknik. Kedua, buku Nawangsari: Renungan Agama Spiritualitas-Budaya karya Damardjati Supadjar.

Disinggung (2001: 28) bahwa sebelum mencapai taraf spiritual tertinggi, seseorang belajar memanah, yakni berlatih menggapai tujuan di jantung kehidupan.

Selain buku di atas, terdapat beberapa buku yang menjelaskan tentang panahan tradisional dan budaya panahan dari beberapa daerah. Pertama, buku karya Charles E. Grayson yang berjudul Traditional Archery From Six Continents. 2007. University of Missouri Press. Columbia and London. Buku ini menguraikan karakteristik tradisi memanah dari enam benua. Kedua, buku karya Paul E. Klopsteg yang berjudul Turkish Archery and The Composite Bow. 1987. Simon Archery Foundation. London. Buku ini menjelaskan ciri khas panahan turki yang dipengaruhi

(7)

oleh budaya Islam dan Barat. Ketiga, buku karya D.C. Waldorf yang berjudul The Art

of Making Primitive Bows and Arrows. 1985. Mound Builder Books. Oregon. Buku

ini memaparkan cara membuat busur dan anak panah di zaman primitif. Keempat, buku karya Hideharu Onuma yang berjudul Kyudo: The Essence and practice of

Japanese Archery. 1993. Kodansha Internasional. Tokyo. Buku ini menggambarkan

tradisi memanah Jepang yang bernama Kyudo. Penjelasannya dimulai dari hal yang praktis hingga esensial.

3. Manfaat Penelitian

a) Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu proses perkembangan Jemparingan sebagai salah satu budaya daerah khas Mataram yang mempengaruhi olahraga memanah di Indonesia, serta bersentuhan secara langsung dengan kehidupan masyarakat dalam perspektif filosofis, yakni ontologi.

b) Bagi Perkembangan Filsafat

Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan studi, khususnya pemikiran ontologi yang terkait dengan pengembangan wacana baru dalam menelaah hakikat Jemparingan yang ada di sekitar kehidupan masyarakat Yogyakarta khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, sehingga dapat memperkaya pembendaharaan informasi tentang kajian ontologi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sumbangan bagi perkembangan filsafat bahwa masih banyak sumber kajian filosofis yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan.

(8)

c) Bagi Masyarakat

Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, karena disaat kehidupan manusia dikuasai oleh gaya hidup globalisasi yang cenderung melupakan kelestarian budaya, maka pemahaman atas ontologi Jemparingan merupakan kebutuhan intelektualitas sekaligus spiritualitas untuk mengisi kekosongan jiwa manusia.

d) Bagi Pembangunan Bangsa Indonesia

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan bangsa dan negara, karena penelitian ini dapat memperkaya khazanah filosofis sehingga mampu menganalisis persoalan ontologi dalam

Jemparingan pada kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh,

berbangsa dan bernegara.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berobjek material Jemparingan, sedangkan objek formalnya adalah ontologi, dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan Jemparingan.

2. Mengungkap dimensi ontologis dalam Jemparingan.

3. Merefleksikan dan menemukan secara kritis dan heuristik kontribusi

Jemparingan bagi pembentukkan karakter olahraga memanah di Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka

Indonesia, khususnya di Jawa, memiliki suatu peradaban yang sangat kental akan tradisi memanahnya, yakni Jemparingan; Panahan Khas Mataram. Damardjati (2001: 28) menjelaskan dalam buku Nawangsari: “Tokoh yang berhasil membuat

(9)

anyaman mistik dan politik, yang keteladanannya memandu alam pikiran kejawen ialah Panembahan Senopati, sebagai personifikasi tahapan pemahaman tertinggi, yaitu ‘manggalih’, artinya mengenai soal-soal esensial, pasca ‘manah’, artinya membidikkan anak panah, mengenai soal-soal problematik di jantung kehidupan, pusat lingkaran yang dikenal sebagai ‘jangka’. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa memanah merupakan sarana mengurai berbagai macam persoalan hidup dengan membidik tepat ke sasaran jantung permasalahan. Berdirinya Mataram tidak terlepas dari peran “panahan”.

Jemparingan sebagaimana halnya memanah pada umumnya, sebelum menjadi

suatu cabang olahraga merupakan aktivitas berburu sejak zaman prasejarah. Sejak kapan panah digunakan, tidak dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas panah merupakan senjata paling tua yang digunakan oleh manusia sejak 50.000 tahun yang lalu. Selama ribuan tahun, manusia memakai panah untuk melindungi dirinya dari binatang-binatang liar. Dalam waktu yang bersamaan, keahlian memanah merupakan sarana untuk mencari makan. Panah merupakan simbol dari kekuatan dan kekuasaan. Hal ini memberikan status tertentu dan keberuntungan dalam lingkungannya (Barret, 1990: 9-10)

Di dalam cabang olahraga memanag, Jemparingan termasuk dalam kategori olahraga tradisional. Charles E. Grayson (2007:1) dalam buku Traditional Archery menjelaskan bahwa memanah dalam tradisi paling awal adalah alat berburu utama zaman prasejarah. Hal ini terlihat dari koleksi-koleksi Grayson di beberapa tempat semisal di Afrika dan Eropa. Contoh gambaran tersebut ditemukan di Denmark 6000 tahun sebelum masehi. Grayson berhasil menggambarkan berbagai macam bentuk busur dan anak panah dari berbagai macam penjuru dunia. Sedangkan panahan dipahami sebagai suatu aktifitas olahraga (Grayson, 2007: 2) dimulai di peradaban Yunani dan Timur Tengah yang terkenal dengan pasukan pemanah di atas kuda.

(10)

Sedangkan di Asia Timur, kompetisi panahan dikembangkan sebagai bela diri dan praktek ritual yang mendukung keteraturan sosial dan spiritualitas. Sedangkan dari abad 19 dan 20, tradisi memanah barat yang rekreasional berkembang menjadi olahraga modern seperti sekarang.

Setidaknya ada tiga peradaban besar dalam pembahasan secara wilayah tentang karakteristik panahan tradisional di dunia (Grayson, 2007: v). Pertama, Asia Timur. Panahan ini paling kental dengan nuansa Kyudo di Jepang dan Zen di China. Panahan di kedua Negara ini sangat kental dipengaruhi oleh pemikiran Zen. Kyudo digunakan sebagai aktivitas kemiliteran di masa kerajaan. Inti dari ajaran Kyudo dan Zen dalam Seni Memanah adalah Panah dan busur tidak lebih dari sebuah alat. Memanah lebih dari sekedar ketrampilan. Alat mewakili bentuk terendah dan metode (cara memanah) menunjukkan (mewakili) bentuk yang lebih tinggi. ‘ketrampilan memanah’ mewakili kesiapan pada tingkat yang lebih rendah, ‘kebaikan/ kebijakan’ menunjukkan kesiapan pada level yang lebih tinggi (Onuma, 1993: 6-7). Kedua, Timur Tengah. Orang-orang Turki mempunyai keunggulan dalam melemparkan panahnya sejauh 800 yard yang membentuk “C” bulan sabit ketika dibentangkan. Di dalam peperangan pasukan pemanah dilengkapi dengan kuda. Kejayaan Islam tidak lepas dari keahlian pasukan Islam dalam memanah. Sesuai dengan Hadist Nabi Muhammad bahwa memanah adalah satu hal yang sangat dianjurkan dalam mengasah potensi diri dan membidik target hidup (Klopsteg). 1987: 141). Ketiga,

Eropa. Eropa, terutama di Inggris berjasa sebagai peletak dasar olahraga panahan

modern. Barret (1990:11) menyatakan bahwa Henry VIII, seorang pemanah Inggris

yang gemar bertaruh, mengembangkan panahan sebagai pertandingan kompetisi, sehingga kelompok-kelompok memanah bermunculan di Inggris 350 tahun yang lalu. Inilah cikal-bakal olahraga panahan yang dikemas secara modern.

(11)

Pengemasan alat panah modern pun disarikan dari berbagai macam prinsip panahan tradisional. Sebelum memiliki bentuk yang sedemikian kompleks yang dijadikan acuan standar olahraga panahan, busur dan anak panah merupakan inovasi yang selalu berkembang dari masa ke masa, D.C. Waldorf (1985: 1-4) berpendapat bahwa salah satu seni dari memanah adalah membuat busur dan anak panahnya secara tradisional. Waldorf menceritakan tentang bagaimana membuat busur dan anak panah tradisional—dalam hal ini Waldorf tidak menyebut kata “traditional” melainkan “primitive”. Pembuatan busur dan anak panah harus menyesuaikan postur tubuh orang yang akan menggunakan alat tersebut. Di sinilah letak dari seni membuat busur dan anak panah. Dibutuhkan ketelitian dalam memilih bahan dan mengolah sesuai dengan postur pemanah. Inilah peletak dasar dari peralatan modern, sehingga alat memanah semakin berkembang. Seiring dengan majunya teknologi, pemanah sangat dimudahkan dalam membidik. Oleh karena itu, etos juang panahan modern tidak sekuat dengan panahan tradisional. Stemmler (1942: 3-4) dalam bukunya yang berjudul “The Essential of Archery: How to Use and Make bows and Arrows” menjelaskan bahwa latihan menggunakan alat panah harus didasari oleh kemauan yang kuat akan suatu target dan fokus dalam membidik.

Gideon (2015: 10) dalam skripsinya memaparkan bahwa aktivitas memanah modern berasal dari aktivitas sebelumnya sampai ke masa purba. Bila ditilik lebih lanjut setiap gerakan memanah di manapun, memiliki pola yang sama, meskipun ada improvisasi dari masing-masing karakter. Bentuk tubuh setiap manusia di berbagai belahan dunia berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap alat dan posisi memanahnya menyesuaikan.

Posisi duduk di dalam Jemparingan dipengaruhi oleh tradisi Jawa. Dalam tradisi Jawa duduk dimaksudkan sebagai posisi yang sejajar dan rendah hati (Gideon, 2015: 50). Hal ini meminimalisasi sakit yang mungkin terjadi diakibatkan oleh

(12)

memanah. Lebih lanjut, Gideon menjelaskan berbagai macam kemungkinan cedera yang dapat terjadi karena kesalahan sikap dan posisi dalam memanah.

Luqman (2015: 22) dalam penelitiannya menjelaskan posisi Jemparingan sebagai seni, tradisi, dan olahraga. Dijelaskan bahwa Jemparingan merupakan yang sangat unik dengan teknik dan cara bermainnya. Jemparingan dapat ditinjau dari seni dengan maknanya yaitu olah rasa karena memanah harus memiliki target atau sasaran sehingga harus menggunakan perasaan untuk dapat mencapai yang dituju. Lalu, ditinjau dari tradisi, Jemparingan memiliki makna yaitu merupakan perkembangan dari cerita-cerita Jawa, India, dan babad yang sudah mengenal Jemparingan. Dari cerita tersebut Jemparingan mulai berkembang di lingkungan kraton hingga ke luar secara turun temurun. Sedangkan ditinjau dari olahraga, Jemparingan memiliki makna untuk melatih kekuatan lengan dalam menarik busur menimbulkan gaya pegas untuk melontarkan anak panah ke tujuan. Luqman berhasil memposisikan Jemparingan sebagai satu kesatuan antara seni, tradisi, dan olahraga.

Lain halnya dengan Moertjipto, dkk (1990: 18-22). Fokus dalam buku tersebut adalah pengenalan tentang berbagai macam permainan tradisional yang di Indonesia. Dalam pandangan Moertjipto, dkk, Jemparingan termasuk salah satu di antaranya. Penjelasan tentang Jemparingan tertuang di halaman 18-22. Berisi tentang alat-alat yang digunakan, teknik permainannya, dan sedikit penjelasan tentang persebaran

Jemparingan yang dipelopori oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang pada

saat itu menjabat sebagai Ketua Umum KONI, dan Sri Pakualaman VIII sebagai ketua PERPANI. Pada masa-masa itulah panahan tradisional mulai dilombakan di ajang PON.

D. Landasan Teori

Salah satu pendapat metafisik yang menyusun suatu sistem adalah pendapat yang menerima suatu prinsip pertama di belakang gejala-gejala, prinsip-prinsip

(13)

inilah yang memberi makna dan hukum kenyataan. Prinsip azali, dalam hal ini dianggap sebagai kenyataan yang sesungguhnya, pada umumnya diambil dari skema tradisional. Prinsip pertama atau azali ini ada yang-material, ada yang-hidup, ada yang-rohani dan ada yang-ilahi (Siswanto, 1998: 4). Manusia, menurut asumsi ini pasti memiliki pandangan ontologis tertentu, walaupun masih dalam bentuk yang paling sederhana.

Filsafat pada tataran non-akademis (ordinary philosophy) juga berbicara tentang persoalan-persoalan yang serupa dengan filsafat pada tataran akademis. Hal ini menyiratkan bahwa manusia senantiasa haus akan penjelasan-penjelasan yang mengatasi kenyataan yang dijalaninya sehari-hari. Titus (1984: 5-11) menjelaskan suatu fakta bahwa manusia yang mempertanyakan persoalan-persoalan yang luar biasa jauh dalam scope-nya dan persepsinya menunjukkan rasa kehausan bagi tiap manusia untuk mendapatkan penjelasan, hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang telah berfilsafat walaupun dengan sebuah pertanyaan yang paling sederhana. Setiap orang memiliki filsafat walaupun orang mungkin tidak sadar akan hal tersebut.

“In general sense, a person’s philosophy is the sum of his fundamental beliefs and convictions. In this sense every one has a philosophy, even though he does nort realize it. All people have some ideas concerning physical objects, man, the meaning of life, nature, death, God, right and wrong, and beauty and ugliness. Of course, these ideas are acquired in variety of ways (Titus, 1964: 5)”.

Manusia membutuhkan a unified view of things, yakni metafisika. Manusia dan kebudayaannya berdiri di atas ajaran ontologi tertentu yang mendasari segala aspek kehidupannya, baik pada aspek sosial, moral, sistem kebudayaan, budaya, ritual dan sebagainya (Ulumi, 2004: 1). Whiteley mengatakan bahwa:

(14)

“...there are wide differences of opinion, especially between the professional philoshopher and the intellegent man in the street. The latter, when he turns to philosophy, usually expects it to provide him with an enlightening and satisfying interpretation of the universe. He wants to be instructed as to ‘the meaning of life’ and ‘the nature of ultimate reality’. He wants a firm basis for his thinking and his scheme of living, a unified view of things which will make him feel at home in the world (Whiteley, 1950: 1)”.

Maksud ontologi adalah menyatukan seluruh kenyataan dalam satu visi menyeluruh, menurut intinya yang paling mutlak (Bakker, 1992: 15). Ontologi atau metafisika, dalam bahasa yang lain menurut Bakker adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum (Siswanto, 2004: 2-7). Untuk sampai kepada pemahaman yang demikian, maka berpikir secara ontologis menurut Taylor (1874) harus menghindari sikap yang arbitarianisme dan dogmatisme terhadap problem-problem dasar yang fundamental. Oleh karena itu untuk menemukan suatu visi yang menyeluruh harus dihindari suatu pemikiran yang menjurus kepada bentuk ekstrimitas (Siswanto, 2010: 6).

Ontologi merupakan dasar filsafat, oleh karena itu ontologi mempertanyakan prinsip-prinsip pertama. Seseorang harus menjaga dua sikap sekaligus apabila manusia menginginkan untuk bermetafisika, yaitu mencoba menjawab pertanyaan itu sendiri, kemudian menemukan beberapa asumsi tersembunyi dibalik pertanyaan tersebut (Sontag, 2002: 1-15).

Ada tiga persoalan yang merujuk pada hal yang sama, yaitu filsafat pertama, metafisika umum dan ontologi. Filsafat pertama menyelidiki pengandaian- pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam pengetahuan manusia, yang mendasari segala macam pengetahuan dan segala usaha filsafat lainnya. Metafisika

(15)

umum adalah usaha untuk menyatukan seluruh kenyataan ke dalam satu visi menyeluruh menurut intinya yang paling mutlak. Ontologi adalah usaha mengkaji ”yang-ada sebagai yang-ada, dengan seada-adanya” (a being as being, pengada sekedar pengada). Ketiga term ini dapat digunakan tanpa dibedakan, kecuali sejauh ingin ditunjukkan dengan tepat salah satu segi tertentu (Bakker, 1992: 14-16).

Christian Wolff, salah satu tokoh penting rasionalisme pada abad ke-17, memperkenalkan istilah ontologi. Wolff membagi metafisika kedalam dua cabang besar. Pertama, metafisika umum yang kemudian disebut ontologi. Metafisika dalam hal ini menyelidiki “yang-ada sebagai yang-ada” (being just that-being) dengan perspektif yang lebih luas, kemudian disebut dengan metafisika umum.

Kedua, metafisika khusus yang terdiri atas kosmologi metafisik, psikologi rasional

dan teologi natural (Siswanto, 2004:5).

Crusius menegaskan bahwa metafisika menyangkut kebenaran yang niscaya. Crusius mengecualikan filsafat praktis dari metafisika karena dalam filsafat praktis tidak begitu dipisahkan antara kebenaran niscaya dan kebenaran yang bersifat kontingen. Crusius mengikuti pembagian Wolff, tetapi dengan urutan yang sedikit berbeda, yakni ontologi, teologi, kosmologi dan pneumatologi. Metafisika dapat dikatakan sebagai sebuah usaha sistematis, reflektif dalam mencari hal yang ada dibelakang hal-hal yang fisik dan bersifat partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal. Yang-ada merupakan prinsip dasar yang dapat ditemukan pada semua hal. Metafisika adalah ilmu tentang yang-ada yang bersifat universal atau ilmu tentang yang-ada qua yang-ada (Bagus, 1991: 20).

Ontologi bergerak diantara dua kutub, yakni kutub pengalaman akan kenyataan konkrit dan kutub pra-pengertian “mengada” yang paling umum. Pra- pengetahuan itu timbul karena kemustahilan akan ketidak-dapat-dipertanyakan-nya segala sesuatu, dengan kata lain, jika suatu (kenyataan konkrit) itu sama sekali

(16)

tidak dikenal, maka mustahil ia akan dipertanyakan. Kedua kutub tersebut, dalam refleksi ontologis saling menjelaskan. Atas dasar pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dan dieksplisitasikan arti dan hakikat “mengada”. Sebaliknya, pra-pemahaman tentang cakrawala “mengada” akan semakin menyoroti pengalaman konkrit itu dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh (Bakker, 1992: 21).

Bakker (1992) dalam bukunya yang berjudul Ontologi atau Metafisika Umum menjelaskan bahwa ontologi atau metafisika sebagai filsafat pengada atau dasar- dasar kenyataan. Metafisika tetap dianggap sebagai filsafat tentang yang-ada atau pengada. Persoalan dasar pengada diantaranya adalah apakah pengada itu banyak atau satu? Apakah pengada memiliki ciri homogal yang bersifat transendental? Apakah pengada memiliki permanensi atau kebaharuan? Apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani? Apakah kehadiran pengada itu bernilai atau tidak? Apakah dalam pengada ditemukan norma ontologis transendental yang berlaku untuk semua? (Siswanto, 2004: 23). Dimensi ontologis Jemparingan akan dikupas berdasarkan fokus persoalan-persoalan ontologi dari Bakker, namun tidak semua persoalan dapat digunakan, karena dalam penelitian ini hanya akan dipaparkan beberapa persoalan ontologi yang relevan dengan Jemparingan.

E. Metode Penelitian

1. Materi Penelitian

Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif bidang filsafat yang bersumber dari data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku dan penelitian yang berkaitan dengan

Jemparingan dan ontologi. Setelah diperoleh, data pustaka dibagi menjadi dua,

(17)

a. Bahan Primer

Kepustakaan primer merupakan sumber-sumber utama dari bahan dan objek material penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah sebagai berikut:

1) Buku karya Moertjipto, dkk dengan judul Bentuk-bentuk Peralatan

Hiburan dan Kesenian Tradisional. 1990. Direktorat Sejarah dan Nilai

Tradisional, Proyek Inventerisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.

2) Penelitian karya Luqman Fahd Muktiwibowo dan Laurentius Romy

Kameubun, siswa SMAN 9 Yogyakarta, dengan judul Kekuatan

Jemparingan Mataram sebagai Seni, Tradisi, dan Olahraga Panahan Asli Yogyakarta. 2015. OPSI (Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia).

3) Skripsi karya Gideon Fredyanto dengan judul Sorjan (Sarana Olah

Rasa Jemparingan) untuk Atlit Panahan Tradisional Tingkat Pemula.

2015. Universitas Kristen Duta Wacana.

4) Data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

b. Bahan Sekunder

Kepustakaan sekunder merupakan sumber-sumber tambahan yang berhubungan dengan tema dalam penelitian ini. Kepustakaan sekunder berasal dari data yang diperoleh dari berbagai informasi yang terkait dengan Jemparingan filsafat olahraga, khususnya panahan dan tentang ontologi, mencakup, buku, majalah, jurnal, dokumen, data internet dan sumber-sumber lainnya yang penulis temukan dalam proses penelitian tesis ini. Data sekunder berupa pustaka buku dan jurnal adalah sebagai berikut:

1) Buku karya Yudik Prasetyo yang berjudul Olahraga Panahan. 2011.

(18)

2) Buku karya Jean A. Barrett yang berjudul Olahraga Panahan: Pedoman,

Teknik dan Analisa. 1990. Dahara Press. Semarang.

3) Buku karya Charles E. Grayson yang berjudul Traditional Archery

From Six Continents. 2007. University of Missouri Press. Columbia and London.

4) Buku karya Paul E. Klopsteg yang berjudul Turkish Archery and The

Composite Bow. 1987. Simon Archery Foundation. London.

5) Buku karya D.C. Waldorf yang berjudul The Art of Making Primitive

Bows and Arrows. 1985. Mound Builder Books. Oregon.

6) Buku karya Hideharu Onuma yang berjudul Kyudo: The Essence and

practice of Japanese Archery. 1993. Kodansha Internasional. Tokyo.

7) Buku karya L. E. Stemmler yang berjudul The Essentials of Archery:

How to Use and Make Bows and Arrows. 1942.

8) Buku karya Teresa Johnson yang berjudul Archery Fundamentals. 2005.

Human Kinetics. Windsor.

9) Buku karya Anton Bakker yang berjudul Ontologi atau Metafisika

Umum; Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan. 1992. Kanisius.

Yogyakarta

10) Buku karya Federick Sontag yang berjudul Problems of Metaphysics.

1970. Chandler Publishing Company. Pennsylvania

11) Buku karya C.H. Whiteley, M.A yang berjudul An Introduction to

Metaphysics. 1950. Methuen & CO. Ltd. London

12) Buku karya Lorens Bagus yang berjudul Metafisika. 1991. Gramedia.

Jakarta

13) Buku karya W.H. Walsh yang berjudul Metaphysics. Hutchinson

(19)

14) Buku karya Alan R. White yang berjudul Methods of Metaphysics. Croom Helm. London

15) Artikel karya Made Pramono di dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2003,

Jilid 34 No. 2 yang berjudul Dasar-dasar Filosofis Ilmu Olahraga

2. Jalannya Penelitian

Penulis dalam penelitian ini mencoba untuk memahami objek materi baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian penulis akan menganalisisnya menggunakan objek formal dan menyampaikannya kembali. Langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagai berikut:

a. Inventarisasi Data

Inventarisasi data; data tentang ontologi dan Jemparingan yang telah dikumpulkan dari penelitian kepustakaan dan lapangan, kemudian diseleksi dan direduksi untuk mendapatkan maknanya yang esensial sesuai dengan ciri objek material Jemparingan dan ciri objek formal ontologi.

b. Sistematisasi Data

Data yang telah diinventarisasi kemudian disistematisasi berdasarkan sifat dan kedalaman materi yang berhubungan dengan objek materi dan objek formal agar penggunaan data dapat lebih efektif dan efisien.

3. Klasifikasi Data

Klasifikasi data; yaitu setelah dilakukan reduksi data kemudian data dikelompokkan berdasarkan objek formal penelitian berupa landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis ontologi, serta objek material penelitian berupa hakikat Jemparingan.

(20)

4. Pengolahan Data

Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

5. Penyajian Data

Memaparkan hasil analisis secara sistematis dan teratur berdasarkan sub- sub bab yang telah ditentukan sebelumnya. Penyajian data diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pokok pembahasan yang lebih kompleks.

3. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode dan unsur-unsur metodis yang mengacu pada buku yang ditulis oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1990:41- 54). Metode yang digunakan ialah hermeneutik dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut:

a) Deskripsi

Unsur metodis deskripsi dalam penelitian ini digunakan untuk memaparkan

Jemparingan mulai dari pengertian, sejarah, komponen, unsur-unsur dan

nilai-nilai yang terangkum dalam praktik pagelaran Jemparingan sehingga didapatkan pemahaman tentang hakikat Jemparingan secara jelas.

b) Interpretasi

Data yang telah diolah diberi interpretasi sehingga memunculkan pemahaman tentang Jemparingan dari aspek ontologi.

c). Koherensi Intern

Koherensi intern ialah melihat semua konsep-konsep dan aspek-aspek dalam

Jemparingan. Koherensi intern diikuti dengan langkah menetapkan inti yang

(21)

d). Kesinambungan historis

Kesinambungan historis ialah melihat benang merah perkembangan

Jemparingan baik berhubungan dengan lingkungan historisnya.

e). Heuristika

Heuristika berusaha menemukan pemahaman baru tenrang Jemparingan, berdasarkan pemikiran pendekatan ontologi.

F. Hasil yang Telah Dicapai

1. Deskripsi hakikat Jemparingan.

2. Analisis Ontologi di dalam Jemparingan.

3. Kontribusi Jemparingan dalam olahraga memanah secara umum di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam enam bab, yaitu sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan terhadap pustaka sebelumnya, landasan teori dan metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini.

Bab kedua berisi tentang lingkup kajian ontologi lengkap dengan pembahasan terperinci tentang konsep dasar tentang istilah filsafat pertama, ontologi dan metafisika, terminologi ontologi dan metafisika, penjelasan tentang ontologi; sebuah kajian tentang hakikat, pemaparan persoalan-persoalan dalam ontologi menurut pandangan Anton Bakker dan pandangan Frederick Sontag, Aliran-aliran utama ontologi seperti Monisme, Pluralisme, Idealisme, Realisme, Materialisme, Vitalisme, Pragmatisme dan Eksistensialisme.

(22)

Bab ketiga berisi tentang uraian tentang ruang lingkup sejarah memanah secara umum beserta filosofi memanah dari masing-masing kebudayaan.

Bab keempat berisi tentang profil Padepokan Dewondani dan pemaparan tentang uraian singkat dan sistematis tentang Jemparingan.

Bab kelima merupakan uraian dan inti pembahasan dalam penelitian serta analisis kritis yang diawali tentang identitas Jemparingan, makna Jemparingan terkait Tuhan, manusia dan alam, pokok-pokok Ontologi dalam Jemparingan, seperti persoalan prinsip pertama menurut pandangan pemain Jemparingan, kuantitas pengada, apakah pengada memiliki permanensi atau kebaruan?, apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani?, norma ontologis dalam Jemparingan, tinjauan kritis yang berisi pembahasan tentang, ontologi Jemparingan; yang- ada berhubungan dengan yang-transenden, Jemparingan sebagai suatu bentuk kekuatan ruhaniah dan prinsip keyakinan sebagai landasan ketepatan dalam ontologi

Jemparingan dan diakhiri dengan kritik ontologis terhadap Jemparingan. Setelah

itu akan membahas pernan Jemparingan dalam olahraga memanah di Indonesia, dengan pembahasan lebih rinci yang diawali dengan tidak adanya asosisi memanah di Indonesia. Jemparingan adalah aliran pertama yang membentuk identitas olahraga memanah.

Bab keenam berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dan analisis singkat atas fenomena dalam Jemparingan yang mengacu pada rumusan masalah dan tujuan penelitian, sehingga sedapat mungkin akan ditemukan kesesuaian antara rumusan masalah, tujuan, analisis pembahasan dan hasilnya serta untuk melihat benang merah hakikat Jemparingan dalam perspektif ontologi dan relevansinya bagi pewarnaan olahraga memanah di Indonesia.

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja

Aneuploidi adalah suatu keadaan ketika seseorang memiliki satu atau lebih kromosom lebih atau kurang dari komplemen 46 yang normal, yang dapat

Calon mahasiswa/i yang dinyatakan DITERIMA pada seleksi penerimaan mahasiswa baru GELOMBANG I Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Semester

Berdasarkan tabel diatas 4.3 dapat dijelaskan bahwa pada hasil pengukuran pada kelompok kontrol untuk aspek keterampilan yang di ukur dengan menggunakan tes dribbling

Evaluasi ketepatan obat di Puskesmas Siantan Hilir Pontianak selama periode Januari - Desember 2015 terdapat 65 pasien (70,65%) obat antihipertensi yang diberikan sudah

Berkaitan dengan uraian sebelumnya, di dalam penelitian ini, terdapat dua rumusan masalah yang disusun, yaitu bagaimana EHQWXN PLWH ³0LVWHUL *DQJ .HUDPDW´ yang

4< ◆ ◆ Kagcbkbtj ugtuh Kagcbkbtj ugtuh kagcjlagtjejhbsj lbg kagcjlagtjejhbsj lbg karukushbg kbsbibo karukushbg kbsbibo tagtbgc fdyah 0 ljkagsj tagtbgc fdyah 0 ljkagsj ◆

Dalam menentukan jumlah effort (upaya penangkapan) yang digunakan terlebih dahulu dilakukan standarisasi terhadap upaya penangkapan tersebut. Standarisasi dilakukan