10
BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Asuransi Syariah II.1.1. Pengertian Asuransi
Sesuai dengan ketetapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, definisi asuransi adalah:
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti; atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
II.1.2. Pengertian Asuransi Syariah
Saat ini eksistensi asuransi syariah di Indonesia masih didasarkan pada
Surat Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor: Kep. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian, dan pembatasan investasi
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan sistem syariah.
Sedangkan pedoman umum mengenai asuransi syariah diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 21/DSN-MUI/X/2001. Tujuan adanya fatwa ini adalah sebagai panduan awal operasional asuransi syariah di Indonesia. Berdasarkan ketetapan pertama
11 mengenai ketentuan umum poin pertama yang terdapat di dalam pedoman umum ini, disebutkan bahwa definisi asuransi syariah adalah:
Usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau
tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Menurut PSAK 108, paragraf 7, definisi asuransi syariah adalah:
Sistem menyeluruh yang pesertanya mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusinya yang digunakan untuk membayar klaim atas kerugian akibat musibah pada jiwa, badan, atau benda yang dialami oleh sebagian peserta yang lain. Donasi tersebut merupakan donasi bersyarat yang harus dipertanggungjawabkan oleh entitas asuransi syariah. Peranan entitas asuransi syariah dibatasi hanya mengelola operasi asuransi dan menginvestasikan dana peserta.
II.1.3. Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional
Menurut Syakir Sula (2004:293), terdapat beberapa perbedaan antara Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional yang dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:
12
Tabel 2.1
Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
No. Hal yang
Membedakan Asuransi Konvensional Asuransi Syariah 1. Konsep Perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung atas klaim yang diajukan.
Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’.
2. Unsur Gharar, Maisir, dan Riba
Masih terdapat adanya unsur gharar, maisir, dan riba.
Harus bersih dari segala praktik gharar, maisir, dan riba. 3. Dewan Pengawas
Syariah
Tidak ada, hanya diawasi oleh Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Pemerintah.
Ada, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. 4. Akad Akad jual beli (akad
mu’awadhah, akad idz’aan, akad gharar, dan akad mulzim)
Akad tabarru’ dan akad tijarah (mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, dan sebagainya). 5. Penanganan
Risiko
Transfer of Risk, di mana terjadi perpindahan risiko dari
tertanggung kepada penanggung.
Sharing of Risk, di mana terjadi proses saling menanggung risiko antara satu peserta dengan peserta lainnya.
6. Pengelolaan Dana
Tidak ada pemisahan dana, antara dana peserta dengan dana perusahaan yang berakibat terjadinya dana hangus.
Terdapat pemisahan antara dana tabarru’ dengan dana
perusahaan, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. 7. Investasi Bebas melakukan investasi
dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak dibatasi pada halal dan
haramnya objek atau sistem investasi yang digunakan.
Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang.
8. Kepemilikan Dana
Dana yang terkumpul dari premi tertanggung seluruhnya
menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan ke mana saja.
Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, tetap merupakan milik peserta, entitas asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dana tersebut. 9. Sumber
Pembayaran Klaim
Berasal dari rekening perusahaan, sebagai konsekuensi penanggung terhadap tertanggung.
Sumbernya diperoleh dari rekening tabarru’, di mana peserta saling menanggung. Jika salah satu peserta mendapat musibah, maka peserta lainnya ikut menanggung bersama risiko tersebut.
13
(Profit) underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah keuntungan perusahaan.
underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil dengan peserta. Sumber: Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), 2004.
1. Konsep
Dalam asuransi konvensional, konsepnya adalah untuk mengurangi risiko individu atau institusi (tertanggung) dan mengalihkannya kepada perusahaan asuransi (penanggung) melalui suatu perjanjian (kontrak). Tertanggung membayar sejumlah uang sebagai tanda perikatan, dan penanggung berjanji membayar ganti rugi sekiranya terjadi suatu peristiwa sebagaimana yang diperjanjikan dalam kontrak asuransi (polis).
Sedangkan konsep asuransi syariah adalah terjadinya saling memikul risiko di antara sesama peserta. Sehingga, antara satu peserta dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing peserta mengeluarkan dana tabarru’ atau dana kebajikan yang ditujukan untuk menanggung risiko. Definisi ini sesuai dengan Firman Allah yang tertuang dalam QS. Al-Maidah ayat 2, yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
2. Unsur Gharar, Maisir, dan Riba
Semua asuransi konvensional yang ada saat ini masih mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Gharar terjadi apabila, antara tertanggung dan
14 penanggung saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, dan sebagainya. Inilah yang disebut gharar atau ketidakjelasan atau ketidakpastian yang dilarang dalam Islam, karena asuransi konvensional telah ‘menjual’ ketidakpastian dengan kepastian.
Secara harfiah, maisir memiliki makna memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Maisir disebut juga berjudi. Dalam industri asuransi konvensional, maisir dapat terjadi dalam tiga hal, yaitu:
a. Ketika seorang pemegang polis mendadak terkena musibah sehingga memperoleh hasil klaim, padahal baru sebentar menjadi klien asuransi dan baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi, nasabah diuntungkan.
b. Sebaliknya, jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu, sementara ia sudah membayar premi secara penuh/lunas, maka perusahaanlah yang diuntungkan.
c. Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan atau uangnya dianggap hangus.
Riba secara teknis artinya adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Menurut Syeikh Yusuf Al-Qardhawi yang dikemukakan oleh Muhammad Syakir Sula (2004:299), asuransi konvensional itu sama dengan judi, karena tertanggung mengharapkan harta jaminan atau tanggungan melebihi jumlah pembayaran preminya. Oleh sebab itu, dalam
15 asuransi tersebut juga ada unsur ribanya. Kemudian terdapat unsur gharar dalam perhitungan uang yang akan dikembalikan, karena sangat bergantung pada perkembangan saat tanggungan itu harus dibayarkan penanggung.
Asuransi syariah, harus terbebas dari tiga unsur tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam sistem operasional yang dilakukan, di mana dalam mekanisme pengelolaan dananya ada pemisahan antara dana perusahaan dengan dana
tabarru’ peserta secara kolektif. Tujuan dari pemisahan ini untuk menghindarkan
adanya pencampuran dana. Sehingga, asuransi syariah dapat terhindar dari maisir dan gharar. Adapun masalah riba dapat dieliminasi dengan menggunakan instrumen syariah sebagai pengganti sistem riba, misalnya mudharabah, wadiah,
wakalah, dan sebagainya.
Larangan terhadap berjudi terdapat dalam QS. Al-Maidah:90 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Sedangkan larangan terhadap riba terdapat dalam banyak ayat, salah satunya adalah seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:278-279 seperti beikut:
“Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
16
3. Dewan Pengawas Syariah
Asuransi konvensional tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengawasi hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip muammalah serta akad-akad dalam transaksi asuransi. Namun demikian, bukan berarti asuransi konvensional tersebut tanpa aturan, karena ia diatur oleh negara di dalam Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Pemerintah.
Dewan Pengawas Syariah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Peran utamanya adalah untuk mengawasi jalannya operasional sehari-hari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.
Fungsi DPS adalah: (1) melakukan pengawasan secara periodik pada LKS yang berada di bawah pengawasannya, (2) berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN, (3) melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran, (4) merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.
4. Akad atau Perjanjian
Akad pada asuransi konvensional adalah akad mu’awadhah, yaitu suatu kontrak atau perjanjian di mana pihak yang memberikan sesuatu kepada pihak lain, berhak menerima penggantian dari pihak yang diberinya. Penanggung memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung memperoleh uang
17 pertangungan jika terjadi peristiwa atau bencana sebagai pengganti dari premi-premi yang telah dibayarkannya.
Dalam asuransi syariah, akad yang digunakan adalah akad tijarah dan/atau akad tabarru’. Akad tijarah yang dimaksud adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersil, misalnya mudharabah, musyarakah,
kafalah, wakalah, dan jua’lah. Sedangkan akad tabarru’ adalah semua bentuk
yang dilakukan untuk tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersil. Dalam akad tabarru’, peserta memberikan derma dengan tujuan untuk membantu seseorang yang sedang dalam kesusahan yang sangat dianjurkan dalam syariat Islam.
5. Penanganan Risiko
Menurut Abdullah Amrin (2011:43), dalam asuransi konvensional, terjadi perpindahan risiko (transfer of risk) dari nasabah kepada perusahaan. Sebagai gantinya, perusahaan akan menerima uang premi dari nasabah, dan nasabah akan memperoleh perlindungan dari suatu kejadian. Premi asuransi tersebut merupakan prasyarat adanya perjanjian asuransi, karena tanpa adanya premi tidak akan ada asuransi (No Premium, No Insurance).
Menurut Syakir Sula (2004:303), proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah saling menanggung risiko (sharing of risk). Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung risiko tersebut. Dengan demikian, tidak terjadi perpindahan risiko dari peserta ke perusahaan karena dalam praktiknya, kontribusi (premi) yang dibayar oleh peserta tidak terjadi apa yang
18 disebut transfer of fund, karena status kepemilikan dana tersebut tetap melekat pada peserta sebagai pemilik dana.
Gambar 2.1
Konsep Perpindahan Risiko dalam Asuransi Konvensional
Sumber: Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah, 2006
Gambar 2.2
Konsep Berbagi Risiko Dalam Asuransi Syariah
Pembayaran Klaim
*sebagai wakil untuk mengelola Dana Takaful dan mengelola Risiko
Pengumpulan Kontribusi
Sumber: Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah, 2006 PESERTA Entitas pengelola Asuransi Syariah* Risiko 1 Risiko 2 Dana Takaful (kontribusi dikumpul-kan di sini, Klaim juga dibayar dari dana ini) Risiko 3
Klaim dibayar oleh Penanggung ke Tertanggung
Risiko dipindahkan ke Penanggung dengan imbalan premi
TERTANGGUNG PENANGGUNG Risiko 1 Risiko 2 Risiko 3
19
6. Pengelolaan Dana
Dalam asuransi konvensional, tidak ada pemisahan antara dana peserta dengan dana tabarru’. Semua bercampur menjadi satu dan status dana tersebut menjadi dana perusahaan. Sebagai akibatnya, peserta tidak dapat dengan leluasa mengambil kembali dananya pada saat-saat mendesak untuk produk asuransi jiwa yang mengandung saving, kecuali dalam status meminjam (pinjaman polis).
Pada asuransi syariah, untuk produk-produk yang mengandung unsur
saving (tabungan), dana yang dibayarkan peserta langsung dibagi ke dalam dua
rekening, yaitu rekening peserta dan rekening tabarru’. Kemudian total dana diinvestasikan, dan hasil investasi dibagi secara proporsional antara peserta dengan entitas pengelola berdasarkan skema bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan, total kontribusi dana dari peserta diinvestasikan, kemudian hasil investasi dibagi antara peserta dengan entitas pengelola sesuai skema bagi hasil yang telah ditetapkan.
7. Investasi Dana
Menurut peraturan pemerintah, investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi.
Sedangkan asuransi syariah hanya boleh menginvestasikan dananya kepada Bank-Bank Syariah, Obligasi Syariah, Pasar Modal Syariah, Leasing Syariah, Pegadaian Syariah, serta instrumen bisnis lainnya dengan tetap menggunakan akad-akad yang dibenarkan oleh syariat Islam.
20 PERUSAHAAN 30% (CONTOH) PESERTA 70% (CONTOH) PREMI TAKAFUL TOTAL DANA REKENING TABUNGAN REKENING TABARRU’ REKENING TABUNGAN REKENING TABARRU’ REKENING TABUNGAN MANFAAT TAKAFUL DIBAYAR-KAN PADA PESERTA DIBAYAR-KAN PADA PESERTA INVESTASI HASIL INVESTASI BIAYA OPERASIONAL KEUNTUNGAN PERUSAHAAN Gambar 2.3
Mekanisme Pengelolaan Dana Pada Produk yang Mengandung Unsur Tabungan
21 PERUSAHAAN HUBUNGAN AL-MUDHARABAH PESERTA BIAYA OPERASIONAL KEUNTUNGAN PERUSAHAAN INVESTASI HASIL INVESTASI PREMI TAKAFUL TOTAL DANA BEBAN ASURAN-SI SURPLUS OPERASI BAGIAN PERUSAHAAN TOTAL
DANA PESERTA BAGIAN
CADANGAN DANA
TABARRU’
Gambar 2.4
Mekanisme Pengelolaan Dana/Premi pada Produk Non Saving
Sumber: Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), 2004.
8. Kepemilikan Dana
Dalam asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan dana tersebut kemana saja.
Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk kontribusi merupakan milik peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola. Dana tersebut, kecuali dana tabarru’, dapat diambil kapan saja oleh peserta dan tidak dikenakan biaya apapun.
22
9. Sumber Pembayaran Klaim
Pada asuransi konvensional, sumber pembayaran klaim adalah dari rekening perusahaan dan murni bisnis. Klaim yang dibayarkan perusahaan adalah bagian dari kewajiban imbal balik yang diatur dalam akad atau perjanjian asuransi.
Pada asuransi syariah, sumber pembayaran klaimnya diperoleh dari rekening tabarru’. Yaitu, rekening dana tolong-menolong dari seluruh peserta, yang sejak awal sudah diniatkan dengan ikhlas oleh peserta untuk keperluan saudara-saudaranya.
10. Keuntungan (Profit)
Pada asuransi konvensional, keuntungan diperoleh dari surplus
underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi dalam satu tahun, yang kelak
dalam RUPS akhir tahun dibagikan kepada pemegang saham atau dikembalikan lagi kepada perusahaan sebagai penyertaan modal.
Profit pada asuransi syariah, diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi. Namun profit ini bukan seluruhnya milik perusahaan. Nantinya akan dilakukan bagi hasil antara perusahaan dengan peserta sebagaimana yang telah diperjanjikan.
II.1.4. Tujuan Asuransi Syariah
Menurut Muhammad Syakir Sula (2004:321), tujuan asuransi syariah ada empat, yaitu:
23 1. Misi Aqidah
Ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiah karena titik berangkatnya dari Allah dan tujuannya adalah untuk mencari ridha Allah.
2. Misi Ibadah (Ta’awun)
Asuransi syariah adalah asuransi yang bertumpu pada konsep tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan perlindungan. Juga menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung. 3. Misi Iqhtishodi (Ekonomi)
Berdirinya asuransi syariah akan meningkatkan kesadaran berasuransi. Sehingga, di samping ikut memperkuat sumber daya keuangan dalam negeri, juga akan memberikan dampak kontraksi moneter untuk menahan laju inflasi. Dengan optimalnya investasi yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, maka akan dapat membantu pertumbuhan ekonomi secara maksimal.
4. Misi Pemberdayaan Umat (Sosial)
Sebagaimana misi yang diemban asuransi pada umumnya, pada asuransi syariah misi mengemban sosial terasa lebih melekat pada dirinya, melalui produk-produk yang dirancang khusus untuk lebih mengarah kepada kepentingan sosial dan pemberdayaan umat daripada kepentingan komersial. Karena jika diamati, nasabah dari asuransi konvesional didominasi oleh kalangan menengah ke atas. Berbeda dengan asuransi syariah yang pesertanya dari berbagai lapisan masyarakat bisa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh perlindungan sesuai kemampuan masing-masing secara berkelompok mengambil produk tersebut.
24
II.1.5. Prinsip Asuransi Syariah
Menurut Abdullah Amrin (2011:71), prinsip-prinsip pengelolaan asuransi syariah beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
Dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan bukanlah semata-mata meraih keuntungan dan peluang pasar. Namun, niatan awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai syariah dalam dunia asuransi. Sedangkan dari sisi peserta, tujuan berasuransi syariah adalah untuk bertransaksi dalam bentuk tolong-menolong, bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah.
2. Prinsip Keadilan
Asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil dalam membuat pola hubungan antara peserta dengan entitas pengelola, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzalimi peserta dengan hal-hal yang menyulitkan dan merugikan, seperti adanya unsur dana hangus.
3. Prinsip Tolong-Menolong
Hakikat asuransi syariah adalah tiap peserta ikut bersumbangsih dalam menolong peserta lainnya yang mengalami musibah. Karena pembayaran klaim berasal dari dana tabarru’ dari peserta. Oleh karena itu, entitas pengelola tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’
25 tersebut, yang dibayarkan oleh peserta bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi).
4. Prinsip Amanah
Entitas pengelola dituntut untuk amanah dalam segala hal seperti mengelola dana premi dan proses klaim. Perusahaan tidak boleh semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang berdampak pada ruginya peserta. Demikian juga pesertanya, tidak boleh mengada-ada sesuatu kejadian atau musibah demi mendapatkan pembayaran klaim.
5. Prinsip Saling Rida
Peserta rela dananya dikelola oleh entitas pengelola yang amanah dan profesional, dan rela dananya dialokasikan untuk peserta lainnya yang mengalami musibah. Sedangkan entitas pengelola, rela terhadap amanah yang diembankan peserta dalam mengelola kontribusi (premi) mereka. 6. Prinsip Menghindari Gharar, Maisir, dan Riba
Untuk menghindari gharar, maisir, dan riba, entitas pengelola harus menerapkan konsep sharing of risk yang bertumpu pada akad tabarru’.
II.2 Pendapatan
II.2.1. Pengertian Pendapatan
Menurut PSAK No. 23 paragraf 6, pendapatan adalah sebagai berikut.
Arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.
26
II.2.2. Jenis-Jenis Pendapatan dalam Asuransi Syariah
Menurut PSAK 108, pendapatan asuransi syariah dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pendapatan Dana Tabarru’
Pendapatan atas kontribusi yang diterima dari peserta dimasukkan ke dalam rekening khusus dana tabarru’ milik peserta asuransi syariah secara kolektif yang terpisah dari rekening pendapatan perusahaan. Bila ada
surplus atas underwriting dana tabarru’, maka akan masuk ke rekening dana tabarru’ ini. Selain itu, tambahan atas dana tabarru’ juga berasal dari hasil
investasi dengan menggunakan dana tabarru’ yang dilakukan oleh entitas pengelola. Pendapatan dana tabarru’ ini tidak dapat diakui sebagai pendapatan perusahaan. Pendapatan dana tabarru’ digunakan untuk membayar klaim yang diajukan oleh peserta.
2. Pendapatan Perusahaan
Menurut Muhaimin Iqbal (2006:119), pendapatan perusahaan asuransi syariah dapat berasal dari:
a) Transaksi Mudharabah
Merupakan transaksi antara pemilik modal dengan pengelola, di mana keuntungan dibagi menurut rasio atau persentase yang disepakati kedua belah pihak. Dalam hal antara dana tabarru’ peserta dan perusahaan, perusahaan adalah sebagai pengelola dana, sedangkan peserta sebagai pemilik dananya. Namun, perusahaan adalah sebagai pemilik dari dana
27 perusahaan, yang bisa menginvestasikan dananya ke tempat lain untuk dikelola sesuai ketentuan syariah.
b) Transaksi Wakalah
Dalam transaksi ini, satu pihak mengangkat dan memberi kewenangan kepada pihak lain (Wakil) untuk bertindak atas namanya. Wakil dapat membebankan biaya kepada pihak yang diwakilinya. Dalam hal asuransi syariah, peserta asuransi adalah pemilik dana tabarru’ dan perusahaan asuransi adalah sebagai pengelola dana tabarru’. Atas usaha perusahaan asuransi syariah dalam mengelola dana peserta, maka perusahaan berhak mendapatkan fee.
Gambar 2.5
Model Finansial Asuransi Syariah dengan Prinsip Mudharabah
Sumber: Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, 2006
Mudharabah ... % Qardh/Donasi Mudharabah....% Dana Pemegang Saham Investasi Dana takaful:
Biaya Underwriting & Cadangan (Cad. Kontribusi, Klaim, Reasuransi)
Biaya-Biaya Pengelolaan
Kontribusi Peserta
Surplus (Bila Ada)
28
Gambar 2.6
Model Finansial Asuransi Syariah dengan Prinsip Wakalah
Sumber: Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, 2006
Asumsi Kontrak Mudharabah
Peserta A
Periode Kesertaan 01/01/2004-31/12/2004
Nilai Kendaraan Rp 100,000,000
Rate Kontribusi 2,57%
Biaya yang Disepakati:
- Perantara 12,50%
- Biaya Manajemen 12,50%
Biaya XOL 5,00%
Rata-Rata Hasil Investasi Tahunan 7,00%
Bila tidak ada klaim dalam 9 bulan pertama kontrak, maka perhitungan pendapatannya adalah sebagai berikut.
Bagian Peserta ...% Qardh Hasan Investasi Prestasi ... % Dana Pemegang Saham Investasi Dana Takaful: Biaya-Biaya: Underwriting, Klaim, Cadangan, Reasuransi,dsb Kontribusi Peserta Surplus (Bila Ada) Upah Wakalah
29
Perhitungan Pendapatan untuk Periode yang Berakhir 30/9/2004:
Peserta A
Pendapatan Kontribusi Kotor Rp 2.570.000
Dikurangi: Unearned Contribution Reserve (UCR) (Rp 647.781)
Earned Contribution Rp 1.922.219
Dikurangi: Biaya yang disepakati
Perantara (sekali) 321.250,00
Biaya Manajemen (daily earned) 240.277,40 Rp 561.527
Biaya XOL (Rp 96.111)
Underwriting Surplus (Defisit) Rp 1.264.581
Hasil Investasi Bersih Rp 134.555
Surplus Rp 1.399.136
Dikurangi: Mudharabah 50% (Rp 699.568)
Kembali ke Peserta Rp 699.568
Asumsi Kontrak Wakalah
Peserta A Periode Kesertaan 01/01/2004-31/12/2004 Nilai Kendaraan Rp. 100.000.000 Rate Kontribusi 2,21% Biaya Wakalah: - Perantara 12,50% - Biaya Manajemen 12,50% Biaya XOL 5,00%
Rata-Rata Hasil Investasi Tahunan 7,00%
30 Berikut adalah posisi finansial pada kontrak tersebut bila setelah 9 bulan tidak ada klaim.
Perhitungan Pendapatan untuk Periode Sampai pada 30/9/2004:
Peserta A
Pendapatan Kontribusi Kotor Rp 2.210.000
Dikurangi: Unearned Contribution Reserve (UCR) (557.000)
Earned Contribution Rp 1.652.000
Dikurangi: Biaya Wakalah
- Perantara (sekali) 276.250,00
- Biaya Management (daily earned) 206.619,00 Rp 482.870
Biaya XOL (82.648)
Underwriting Surplus (Defisit) Rp 1.087.441
Hasil Investasi Bersih Rp 115.707
Surplus Sebelum Performance Fee Rp 1.203.148
Dikurangi: Performance Fee (Rp 300.787)
Kembali ke Peserta Rp 902.361
II.2.3. Asumsi Dasar Atas Pendapatan Asuransi Syariah
Menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (2007:15), berikut adalah penjelasan mengenai implementasi akuntansi pada asuransi syariah.
1. Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan syariah disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan periode yang bersangkutan.
31 2. Penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha
menggunakan dasar kas. Dalam hal prinsip pembagian hasil usaha berdasarkan bagi hasil, pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah keuntungan bruto (gross profit).
3. Pos yang memenuhi definisi suatu unsur diakui kalau:
(a) Ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan dengan pos tersebut akan mengalir dari atau ke dalam entitas syariah; dan
(b)Pos tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. 4. Biaya atau nilai harus diestimasi; estimasi yag layak merupakan bagian
esensial dalam penyusunan laporan keuangan tanpa mengurangi tingkat keandalan.
5. Sejumlah dasar pengukuran yang berbeda digunakan dalam derajat dan kombinasi yag berbeda dalam laporan keuangan. Berbagai dasar pengukuran tersebut adalah sebagai berikut:
(a) Biaya historis. Ases dicatat sebesar pengeluaran kas yang dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan yang diberikan untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan.
(b)Biaya kini (current cost). Aset dinilai dalam jumlah kas yang seharusnya dibayar bila aset yang sama atau setara aset diperoleh sekarang.
(c) Nilsi realisasi/penyelesaian. Aset dinyatakan dalam jumlah kas yang dapat diperoleh sekarang dengan menjual aset dalam pelepasan normal.
32
II.2.4. Perbedaan Antara Akuntansi Asuransi Konvensional dan Akuntansi Asuransi Syariah
Berdasarkan International Course on: “Islamic Insurance and Takaful” yang diselenggarakan pada tahun 2005 oleh Islamic Development Bank, Islamic
Insurance Society, Lembaga Pengembangan Kepemimpinan Global, dan PT Tugu Pratama Indonesia General Insurance, perbedaan antara akuntansi
asuransi konvensional dan akuntansi asuransi syariah adalah seperti yang terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 2.2
Perbedaan Antara Akuntansi Asuransi Konvensional dan Akuntansi Asuransi Syariah
No. Hal yang Membedakan Asuransi Konvensional Asuransi Syariah 1. Pengakuan Pendapatan Menggunakan Accrual Basis. Menggunakan Accrual Basis dan Cash Basis.
2. Akun Satu Akun:
Akun Perusahaan Dua Akun: 1. Akun Peserta 2. Akun Perusahaan 3. Premi/Kontribusi Diakui 100% sebagai
pendapatan perusahaan.
Hanya pendapatan wakalah yang diakui sebagai pendapatan perusahaan, sisanya adalah milik peserta secara kolektif.
4. Surplus atas Underwriting 100% menjadi pendapatan perusahaan.
100% menjadi milik peserta secara kolektif yang dapat didistribusikan atau ditahan untuk kewajiban di masa depan. 5. Defisit atas Underwriting 100% ditanggung oleh
perusahaan.
100% ditanggung menggunakan dana Takaful.
33
II.3 Pengakuan, Pengukuran, Penyajian, dan Pengungkapan Pendapatan Berdasarkan PSAK 108: Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah
II.3.1 Pengakuan dan Pengukuran Pengakuan
1. Kontribusi dari peserta diakui sebagai bagian dari dana tabarru’ dalam dana peserta. (Paragraf 14)
2. Dana tabarru’ yang diterima tidak diakui sebagai pendapatan, karena entitas asuransi syariah tidak berhak untuk menggunakan dana tersebut untuk keperluannya, tetapi hanya mengelola dana sebagai wakil para peserta. (Paragraf 15)
3. Selain dari kontribusi peserta, tambahan dana tabarru’ juga berasal dari hasil investasi dan akumulasi cadangan surplus underwriting dana tabarru’. Investasi oleh entitas pengelola dilakukan (dalam kedudukan sebagai entitas pengelola) antara lain, sebagai wakil peserta (wakalah) atau pengelola dana (mudharabah atau mudharabah musytarakah). (Paragraf 16)
4. Bagian pembayaran dari peserta untuk investasi diakui sebagai:
a. Dana syirkah temporer jika menggunakan akad mudharabah atau
mudharabah musyarakah; dan atau
b. Kewajiban jika menggunakan akad wakalah. (Paragraf 17)
5. Pada saat entitas pengelola menyalurkan dana investasi yang menggunakan akad wakalah bil ujrah, entitas mengurangi kewajiban dan melaporkan penyaluran tersebut dalam laporan perubahan dana investasi terikat. (Paragraf 18)
6. Perlakuan akuntansi untuk investasi dengan menggunakan akad mudharabah, atau mudharabah musytarakah mengacu pada PSAK yang relevan.
(Paragraf 19)
7. Bagian kontribusi untuk ujrah/fee diakui sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi dan menjadi beban dalam laporan surplus defisit
underwrtiting dana tabarru’. (Paragraf 20) Pengukuran setelah Pengakuan Awal
1. Penetapan besaran pembagian surplus underwriting dana tabarru’ tergantung kepada peserta secara kolektif, regulator atau kebijakan manajemen.
a. seluruh surplus sebagai cadangan dana tabarru’;
b. sebagian sebagai cadangan dana tabarru’ dan sebagian lainnya didistribusikan kepada peserta; atau
c. sebagian sebagai cadangan dana tabarru’, sebagian didistribusikan kepada peserta, dan sebagian lainnya didistribusikan kepada entitas pengelola. (Paragraf 21)
34 2. Bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada
peserta dan bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada entitas pengelola diakui sebagai pengurang surplus dalam laporan perubahan dana tabarru’. (Paragraf 22)
3. Surplus underwriting dana tabarru’ yang diterima entitas pengelola diakui sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi, dan surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada peserta diakui sebagai kewajiban dalam neraca. (Paragraf 23)
4. Jika terjadi defisit underwriting dana tabarru’, maka entitas pengelola wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk pinjaman (qardh). Pengembalian qardh tersebut kepada entitas pengelola berasal dari surplus dana tabarru’ yang akan datang. (Paragraf 24)
II.3.2. Penyajian
1. Bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada peserta disajiakan secara terpisah pada pos “bagian surplus underwriting dana
tabarru’ yang didistribusikan kepada peserta” dan bagian surplus yang
didistribusikan kepada entitas pengelola disajikan secara terpisah pada pos “bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada pengelola” dalam laporan perubahan dana tabarru’. (Paragraf 32)
2. Penyisihan teknis disajikan secara terpisah pada kewajiban dalam neraca. (Paragraf 33)
3. Dana tabarru’ disajikan sebagai dana peserta yang terpisah dari kewajiban dan ekuitas dalam neraca (laporan posisi keuangan). (Paragraf 34) 4. Cadangan dana tabarru’ disajikan secar terpisah pada laporan perubahan
dana tabarru’. (Paragraf 35)
II.3.3. Pengungkapan
1. Entitas pengelola mengungkapkan terkait kontribusi, mencakup tetapi tidak terbatas pada:
a. Kebijakan akuntansi untuk:
(i) Kontribusi yang diterima dan perubahannya; (ii) Pembatalan polis asuransi dan konsekuensinya
b.Piutang kontribusi dari peserta, entitas asuransi, dan reasuransi; c. Rincian kontribusi berdasarkan jenis asuransi;
d.Jumlah dan persentase komponen kontribusi untuk bagian risiko dan
ujrah dari total kontribusi per jenis asuransi;
e. Kebijakan perlakuan surplus atau defisit underwriting dana tabarru’. f. Jumlah pinjaman (qardh) untuk menutup defisit underwriting (jika ada).
(Paragraf 36)
2. Entitas pengelola mengungkapkan terkait dengan dana investasi, mencakup tetapi tidak terbatas pada:
a. Kebijakan akuntasi untuk pengelolaan dana investasi yang berasal dari peserta; dan
35 b.Rincian jumlah dana investasi berdasarkan akad yang digunakan dalam
pengumpulan dan pengelolaan dana investasi. (Paragraf 37)
3. Entitas pengelola mengungkapkan terkait penyisihan teknis, tetapi tidak terbatas pada:
a. Jenis penyisihan teknis (saldo awal, jumlah yang ditambahkan dan digunakan selama periode berjalan, dan saldo akhir);
b.Dasar yang digunakan dalam penentuan jumlah untuk setiap penyisihan teknis dan perubahan basis yang digunakan. (Paragraf 38)
4. Entitas pengelola mengungkapkan terkait cadangan dana tabarru’, mencakup tetapi tidak terbatas pada:
a. Dasar yang digunakan dalam penentuan dan pengukuran cadangan dana
tabarru’;
b.Perubahan cadangan dana tabarru’ per jenis tujuan pencadangannya (saldo awal, jumlah yang ditambahkandan digunakan selama periode berjalan, dan saldo akhir);
c. Pihak yang menerima pengalihan saldo cadangan dana tabarru’ jika terjadi likuidasi atas produk atau entitas;
d.Jumlah yang dijadikan sebagai dasar penentuan distribusi surplus
underwriting. (Paragraf 39)
5. Entitas pengelola mengungkapkan aset dan kewajiban yang menjadi milik dana tabarru’. (Paragraf 40)
II.4 Akuntansi Dana Peserta
Dana peserta adalah kumpulan dana kontribusi premi dari para peserta asuransi syariah yang diperuntukkan untuk dana tolong-menolong sesama peserta, baik itu berupa klaim, reasuransi dan cadangan-cadangan, serta diinvestasikan untuk pengembangan kumpulan dana peserta. Dari bagian dana peserta tersebut juga digunakan untuk membayar biaya pengelolaan kepada operator.
1. Jurnal untuk mencatat kontribusi pada saat tanggal terbit polis pada Asuransi Umum Syariah.
a) Langsung Asuransi
36
Cr. Pendapatan Kontribusi Langsung xxx
b) Reasuransi
Dr. Piutang Kontribusi Langsung
Reasuransi Masuk xxx
Cr. Pendapatan Kontribusi Langsung
Reasuransi Masuk xxx
Dr. Pendapatan Kontribusi Langsung
Reasuransi Keluar xxx
Cr. Utang Reasuransi Kontribusi Koasuransi xxx 2. Jurnal pada saat penerimaan kontribusi pada Asuransi Umum Syariah.
a) Langsung Asuransi
Dr. Kas/Bank Dana Peserta xxx
Cr. Piutang Kontribusi Langsung Asuransi xxx b) Reasuransi
Dr. Kas/Bank Dana Peserta xxx
Cr. Piutang Kontribusi Langsung
Reasuransi Masuk xxx
Dr. Utang Kontribusi Reasuransi xxx
Cr. Kas/Bank Dana Peserta xxx
3. Jurnal untuk Ujrah Dibayar pada saat tanggal terbit polis.
Dr. Beban Ujrah Dibayar xxx
Cr. Utang Ujrah Dibayar xxx
4. Jurnal pada saat pembayaran ujrah.
Dr. Utang Ujrah Dibayar xxx
Cr. Kas/Bank Dana Peserta xxx
5. Jurnal untuk Surplus Operasi Reasuransi pada saat diterima nota.
Dr. Piutang Surplus Operasi xxx
Cr. Surplus Operasi Reasuransi xxx
6. Jurnal pada saat penerimaan pembayaran surplus operasi reasuransi.
Dr. Kas/Bank Dana Peserta xxx
37
II.5 Akuntansi Dana Pengelola
Dana Pengelola adalah dana yang dimiliki oleh perusahaan asuransi syariah yang berasal dari modal disetor atau modal kerja serta pendapatan ujrah dari Dana Peserta, hasil investasi dan bagian share bagi hasil atau surplus operasi dana peserta. Dana ini diperuntukkan untuk biaya operasional perusahaan asuransi syariah termasuk membayar biaya intermediary.
1. Jurnal untuk Ujrah Diterima pada saat tanggal terbit polis.
Dr. Piutang Ujrah xxx
Cr. Ujrah Diterima xxx
2. Jurnal pada saat penerimaan ujrah.
Dr. Kas/Bank Dana Pengelola xxx
Cr. Piutang Ujrah xxx
3. Jurnal untuk Surplus Operasi Dana Peserta pada saat penetapan alokasi surplus.
Dr. Piutang Alokasi Surplus xxx
Cr. Alokasi Surplus Dana Peserta xxx
4. Jurnal pada saat penerimaan alokasi surplus.
Dr. Kas/Bank Dana Pengelola xxx
Cr. Piutang Alokasi Surplus xxx
II.6 Penelitian Terdahulu oleh Bey Sapta Utama dan Ardhyarini Hapsari.
Bey Sapta Utama melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Analisis Investasi di Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah dan Konvensional pada tahun 2003. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis alokasi investasi optimal di perusahaan asuransi jiwa syariah dan membandingkannya dengan
38 perusahaan asuransi konvensional, terutama dalam hal tingkat bagi hasil portofolio dan variabilitas atau standar deviasinya. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa instrumen investasi yang terpenting dalam asuransi syariah adalah deposito mudharabah. Alokasi optimal deposito mudharabah dapat dicapai dengan mengintrodusir satu instrumen baru yakni Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan melakukan relokasi deposito antar bank.
Perbandingan penelitian penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Bey yaitu (1) penulis melakukan penelitian di perusahaan asuransi umum syariah, (2) tujuan penelitian penulis adalah untuk menganalisis tentang perlakuan akuntansi pendapatan asuransi umum syariah atas pendapatan dana tabarru’ dan pendapatan perusahaan, (3) penulis tidak melakukan perbandingan antara asuransi umum syariah dengan asuransi umum konvensional.
Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Ardhyarini Hapsari pada tahun 2004 dengan judul “Pengakuan Pendapatan Transaksi Gadai Syariah (Studi Kasus pada Perum Pegadaian Unit Layanan Gadai Syariah). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai pengakuan, penilaian, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan atas pendapatan bagi hasil dalam gadai syariah. Pada saat itu Ardhyarini masih mengacu pada PSAK 59 mengenai Akuntansi Mudharabah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bagi hasil diakui pada saat terjadinya atas dasar akrual. Perhitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil kepada pihak lain menggunakan dasar kas. Bagi hasil yang diterima diakui sebagai pendapatan lain-lain.
39 Perbandingan antara penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardhyarini adalah (1) saat ini akuntansi mudharabah diatur dalam PSAK 105, (2) penelitian penulis meliputi pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan pengakuan pendapatan dana tabarru’ dan pendapatan perusahaan pada asuransi umum syariah.