• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK DOMBA EKOR GEMUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK DOMBA EKOR GEMUK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA

GENETIK DOMBA EKOR GEMUK

BESS TIESNAMURTI danSANTIANANDA A.ASMARASARI Balai Penelitian Ternak

Jl. Veteran III Po Box 221 Ciawi – Bogor 16002

ABSTRAK

Domba ekor gemuk merupakan salah satu sumber daya genetik ternak yang memiliki nilai ekonomis, ilmu pengetahuan dan social budaya untuk pertanian dan peternakan serta memenuhi kebutuhan manusia sebagai sumber pangan protein hewani. Dominasi populasi domba ekor gemuk terbesar adalah di Jawa Timur dan Indonesia bagian Timur, yang berdasarkan data statistic 2006 adalah sebesar 1.415.083 ekor. Dari perhitungan effective population size, yang didapatkan sebesar 771 ekor, maka jumlah tersebut dikategorikan sebagai not risk menurut status kerentaan suatu populasi. Walaupun demikian, tetap diperlukan usaha untuk memperluas keragaman genetic serta mempertahankan kemurniannya. Untuk itu berbagai cara dapat dilakukan guna melestarikan sumber daya genetik domba ekor gemuk, diantaranya melalui pemanfaatan yang berkelanjutan, baik secara in situ maupun ex situ.

Kata kunci: Sumber daya genetik, domba ekor gemuk

PENDAHULUAN

Salah satu diantara sekian banyak sumber daya genetik ternak yang perlu dipertahankan eksistensinya adalah ternak domba. Domba lokal yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi dua, yaitu Domba Ekor Tipis (DET) dan Domba Ekor Gemuk (DEG). Distribusi DET banyak ditemukan di daerah yang relatif basah seperti Jawa Barat sedangkan DEG banyak tersebar di daerah-daerah yang relatif kering seperti Propinsi Jawa Timur, Madura serta pulau-pulau di Nusa Tenggara. Di Sulawesi Selatan DEG dikenal sebagai domba Donggala. Karakteristik yang khas pada domba DEG adalah ekor yang besar, panjang dan lebar. Bagian pangkal ekor membesar berisi suatu timbunan lemak sedangkan bagian ujung ekor mengecil tidak berlemak. Domba Ekor Gemuk memiliki warna bulu putih, yang jantan bertanduk kecil sedangkan yang betina tidak bertanduk. Populasi domba saat ini diperkirakan sekitar 8.307.000 ekor dengan produksi daging sebesar 66.500 ton/tahun. (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2005). Pertambahan populasi sebesar 1,03 kali lipat dari 8.075.000 ekor pada tahun 2004, namun demikian belum diketahui secara pasti proporsi DEG dari populasi tersebut di berbagai wilayah di Indonesia. Secara umum, domba lokal di

Jawa Timur dan wilayah Timur Indonesia didominasi oleh domba ekor gemuk.

Dilihat dari status kerentanan suatu populasi, maka (SCHERF, 1995) menggolong-kan kedalam empat kategori, yaitu:

1. Punah (extinct): tidak ada kemungkinan untuk membentuk kembali populasi. 2. Kritis (critical): total betina dewasa

kurang dari 100, atau total jantan dewasa < 5 atau ukuran populasi > 100 tetapi bibit betina mulai menurun dan jumlahnya < 80%.

3. Langka (endangered): total betina dewasa (100 – 1000 ekor) atau jumlah jantan dewasa 6 – 20 ekor atau ukuran populasi < 100 namun bibit betina murni meningkat dan lebih dari 80% atau ukuran populasi > 1000 namun bibit betina murni menurun dan kurang dari 80%.

4. Tidak memiliki resiko (not risk): total betina dan pejantan dewasa lebih besar dari 100 dan lebih banyak dari 20 atau ukuran populasi sama dengan 1.000 ekor dengan bibit betina murni meningkat dan lebih besar dari 100%. Berdasarkan status kerentaan di atas, maka domba ekor gemuk yang ada di Indonesia masuk dalam kategori not risk, namun tetap perlu untuk memperluas keragaman genetik

(2)

serta mempertahankan kemurniannya. Masih banyak potensi genetik DEG yang belum terungkap. Padahal potensi genetik itu diperlukan sebagai bahan rakitan untuk menciptakan bangsa baru yang unggul. Untuk itulah diperlukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya genetik DEG yang berkelanjutan. Pelestarian terhadap sumberdaya genetik ternak adalah sebagai bagian dari keaneka-ragaman hayati yang merupakan hal penting untuk memenuhi kebutuhan pangan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan datang. Keanekaragaman genetik ternak diperlukan antara lain untuk: (1) keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan, (2) memaksimumkan produktivitas lahan dan sumberdaya pertanian, (3) pencapaian suatu pertanian berkelanjutan guna memberikan keuntungan masa kini dan generasi yang akan datang, (4) pemenuhan secara konsisten keanekaragaman baik yang telah maupun yang belum diketahui manfaatnya pada kehidupan sosial masyarakat (FAO-AAAS, 1994).

Mengingat beberapa kondisi tersebut diatas, makalah ini ditulis dengan tujuan untuk menyampaikan kondisi DEG saat ini, aspek pengelolaan sumber daya genetik DEG yang berkelanjutan serta manfaat ekonomi yang ditimbulkan.

SEJARAH DOMBA EKOR GEMUK DI INDONESIA DAN KARAKTERISTIKNYA Sejarah domba ekor gemuk di Indonesia

Sejarah mencatat bahwa domba ekor gemuk yang ada di Indonesia mungkin berasal dari Afrika yang dibawa oleh pedagang Arab, Spanyol pada abad ke 17 maupun oleh pemerintah Hindia Belanda pada abad ke 18. Tetapi banyak literatur lain menyebutkan bahwa DEG dianggap merupakan domba asli Indonesia yang berasal dari Jawa Timur (DINAS PETERNAKAN, 1991). Domba ekor gemuk merupakan bangsa ternak yang unik di Jawa Timur maupun pulau-pulau lain seperti Pulau Lombok, Sumbawa, Kisar dan Sawu. Di Jawa Timur sendiri DEG masih dianggap dominan di beberapa kabupaten seperti Sumenep, Pamekasan, Situbondo, Probolinggo

dan Pasuruan. Wilayah penyebaran tersebur merupakan daerah pantai dengan curah hujan yang relatif kurang. Lahan-lahan dengan tanaman rumput yang berukuran pendek yang menjadi kesukaan domba masih cukup banyak.

Karakteristik domba ekor gemuk

Tanda-tanda spesifik DEG adalah berukuran sedikit lebih besar dibandingkan dengan domba lokal, memiliki pola warna tubuh putih, wool kasar tetapi rapi, kepala ringan dengan bentuk muka melengkung (concaf), tipe telinga kecil dengan arah menyamping dan mendatar. Kebanyakan DEG jantan tidak bertanduk dan hanya sedikit yang mempunyai tanduk kecil sedangkan betinanya tidak bertanduk. Memiliki ekor dengan ukuran yang tebal dan lebar. Panjang ekor normal DEG 15 sampai 18 vertebra, tetapi bentuknya S atau sigmoid, kecuali yang berlemak ujungnya kebanyakan menggantung bebas (Davendra dan Mcleroy, 1982). Domba ekor gemuk tahan beradaptasi pada kondisi kering dan panas dimana penyimpanan cadangan tubuh dilakukan di bagian ekor dan dimanfaatkan apabila diperlukan. Kemurnian darah ekor gemuk akan tampil dari kemampuan perlemakan di ekor. Domba ekor gemuk di Pulau Sapudi mempunyai rataan lebar ekor pada ternak jantan dan betina dewasa adalah 19,33 dan 18,00 cm.

Pengamatan ini dilakukan pada anak DEG yang berasal dari induk yang baru beranak pertama (primapara) (DICKY, 1995). Rataan bobot lahir anak DEG pada kelahiran tunggal, kembar dua dan kembar tiga berturut-turut adalah 2,63; 2,09; dan 1,78. Perbedaan ini terkait dengan kapasitas uterus sehingga pertumbuhan anak dibatasi oleh ruang yang tersedia walaupun nutrisi yang diberikan cukup. Apabila pakan yang diberikan tidak memiliki kandungan nutrisi yang cukup, maka faktor kompetisi akan zat-zat makanan akan sangat menentukan ukuran tubuh dan bobot badan anak di dalam kandungan. Rataan morfometri anak DEG saat sapih pada berbagai tipe kelahiran dapat dilihat pada Tabel 1. Rataan bobot sapih anak DEG pada kelahiran tunggal, kembar dua dan kembar tiga berturut-turut adalah 11,91; 8,22 dan 7,59.

(3)

Tabel 1. Ukuran morfometri anak domba ekor gemuk

Saat lahir dengan tipe kelahiran*) Peubah

Tunggal Kembar - 2 Kembar - 3

Jumlah pengamatan (n) 62 54 14 Bobot lahir (kg) 2,63 2,09 1,78 Tinggi badan (cm) 33,46 31,02 29,93 Panjang badan (cm) 29,90 25,64 23,99 Lingkar dada (cm) 30,48 28,20 26,42 Panjang ekor (cm) 14,22 13,01 11,06 Lebar ekor (cm) 4,67 4,22 3,79

Saat sapih dengan tipe kelahiran Parameter

Tunggal Kembar - 2 Kembar - 3

Bobot sapih (kg) 11,91 8,22 7,59

Tinggi badan (cm) 48,79 45,78 43,16

Panjang badan (cm) 50,43 43,31 40,33

Lingkar dada (cm) 54,07 49,27 44,81

Panjang ekor (cm) 22,09 19,04 16,18

Sumber: DICKY PAMUNGKAS et al. (1996)

Tabel 2. Morfometri domba ekor gemuk dewasa di beberapa kabupaten di Jawa Timur

Jantan Betina Kabupaten BB TP LD LE BB TP LD LE Pasuruan 34,6 63,8 79,8 12,2 30,4 60,9 76,7 10,9 Probolinggo 34,4 60,8 72,6 15,8 31,4 58,7 70,3 15,2 Situbondo 32,4 62,2 72,4 13,2 25,2 57,9 57,9 10,3 Bondowoso 24,8 59,7 67,2 11,0 25,5 58,4 67,7 9,4 Pamekasan 25,6 61,6 69,9 13,4 25,6 58,9 69,3 11,3 Sumenep 31,1 62,5 69,9 12,5 25,6 58,8 65,9 9,6 Sumber: SABRANI et al. (1990)

Keterangan : BB = Bobot Badan; TP = Tinggi Pundak; LD = Lingkar Dada; LE = Lebar Ekor

Data ukuran linier tubuh antara lain tercermin dari bobot badan, tinggi pundak, lingkar dada dan lebar ekor. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh (SABRANI et al., 1990) di beberapa kabupaten di Jawa Timur, bobot badan dewasa tertinggi terdapat di Pasuruan dan Probolinggo, yaitu sebesar 34,6 dan 34 kg. Perbedaan ukuran linier tubuh di beberapa daerah antara lain disebabkan oleh kondisi lingkungan, perbedaan manajemen pemelihara-an dpemelihara-an mpemelihara-anajemen pemberipemelihara-an pakpemelihara-an. Ragam ukuran lebar ekor menunjukkan kemammpuan untuk menyimpan kelebihan pakan.

Rataan bobot umur 6 bulan, umur 12 bulan dan bobot dewasa DEG jantan berturut-turut adalah 9,1; 14,8; 24,6 dan 30,6 kg. Sedangkan

rataan bobot sapih, bobot umur 6 bulan, umur 12 bulan dan bobot dewasa DEG betina masing-masing adalah 7,9; 13,6; 20,1 dan 22,6 kg.

Pertumbuhan post natal pada domba dibagi menjadi pertumbuhan pra sapih dan pasca sapih. Pertumbuhan pra sapih sangat tergantung pada jumlah dan mutu susu yang dihasilkan oleh induknya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pra sapih adalah genotip, bobot lahir, produksi susu induk, litter size, umur, induk, jenis kelamin anak dan umur penyapihan. Pertumbuhan pasca sapih sangat ditentukan oleh bangsa, jenis kelamin, kualitas pakan yang diberikan, umur dan bobot sapih serta lingkungan.

(4)

Tabel 3. Tampilan produksi domba ekor gemuk

Peubah Umur (hari) Bobot badan (kg) Tingkat ovulasi Betina

- Bobot 6 bulan 180 13,6 -

- Bobot 12 bulan 360 20,1 -

- PBB pra sapih 30 0,68 -

- Birahi pertama (pubertas) 258 14,8 1,2

- Konsepsi pertama 290,8 15,2 1,5 - Beranak pertama 435,9 20,9 - Jantan - Bobot lahir 0 1,9 - - Bobot sapih 90 9,1 - - Bobot 6 bulan 180 14,8 - - Bobot 12 bulan 360 24,6 - - PBB pra sapih 30 0,80 - - Pubertas 192,5 13,1 - Sumber: SUTAMA, 1990

Tampilan reproduksi DEG dapat dilihat pada Tabel 4 dimana DEG betina mencapai pubertas pada umur 258 hari atau sekitar 8,6 bulan dengan bobot badan 14,8 kg sedangkan DEG jantan mencapai pubertas pada 192,5 hari dengan bobot badan 13,1 kg. Pubertas merupakan periode pada saat organ reproduksi untuk pertama kalinya mulai berfungsi. Apabila dilihat dari bobot badan yang dicapai domba betina dan jantan pada saat pubertas, bobot badan ini tergolong rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan antara lain kualitas pakan yang diberikan tidka mengandung nutrien yang cukup sesuai dengan kebutuhan.

Tabel 4. Tampilan reproduksi domba ekor gemuk

Peubah Umur (hari) Bobot badan (kg) Tingkat Ovulasi Betina Birahi pertama 258 14,8 1,2 (pubertas) Konsepsi pertama 290,8 15,2 1,5 Beranak pertama 435,9 20,9 Jantan Pubertas 192,5 13,1 Sumber: SUTAMA et al. (1990)

Penggunaan pejantan sebagai pemacek pada umur yang lebih muda akan dapat

mempercepat evaluasi dan seleksi terhadap kemampuan reproduksi domba tersebut.

Konsepsi pertama dicapai pada umur 290,8 dengan rataan bobot badan 15,2 kg. Bobot badan ini juga termasuk rendah dan hal ini dapat berpengaruh terhadap keturunan yang dihasilkan dan kondisi pada saat bunting dan melahirkan.

Karakteristik kualitas semen DEG jantan muda terlihat pada Tabel 5. Dari hasil pengamatan makroskopis diketahui bahwa rataan volume semen adalah 0,40 dengan pH 7,02 dan konsistensi semen bervariasi dari encer hingga kental. Dari volume semen sebesar 0,40 ml sebenarnya dapat diinseminasikan kepada 20 ekor betina dengan terlebih dahulu dilakukan pengenceran semen.

Tabel 5. Kualitas Semen dan Libido Domba Ekor

Gemuk Parameter Rataan PBB (gr/hr) 84,29 Libido (detik) 40,25 Tampilan Makroskopis - volume (ml) 0,40 - pH 7,02 - konsistensi Encer-kental Tampilan Mikroskopis - persentase hidup (%) 96,04 - konsentrasi (juta/ml) 2923,75 - gerakan (%) 59,37 Sumber: SUTAMA et al. (1990)

(5)

Pengenceran semen dimaksudkan bukan hanya untuk mengawetkan tetapi untuk mengurangi konsentrasi sperma sehingga satu ejakulat mudah dibagi-bagi dalam banyak dosis inseminasi. Setiap dosis inseminasi sebesar 0,05 ml sampai 0,2 ml dapat diinseminasikan kepada 50 ekor domba betina, masing-masing 60 juta spermatozoa. Teknik inseminasi buatan (IB) menggunakan semen cair dapat digunakan sebagai upaya melestarikan dan memperbesar ragam genetik ternak. Pengamatan secara mikroskopis diketahui bahwa konsentrasi sperma sebesar 2923,75 juta/ml, persentase hidup sebesar 96,04% dan rataan gerakan individu sebesar 59,37%. Persentase motilitas semen di bawah 40% menunjukkan nilai semen yang kurang baik dan sering berhubungan dengan fertilitas. Kebanyakan pejantan yang fertil mempunyai 50 sampai 80% spermatozoa yang motil aktif progesif.

STATUS DOMBA EKOR GEMUK SEBAGAI SUMBER DAYA GENETIK

Populasi domba di Jawa Timur adalah 1.415.083 ekor (DIREKTORAT JENDRAL

PETERNAKAN, 2006) sedangkan di daerah Indonesia Timur seperti NTT, NTB, Maluku dan Sulawesi Tengah masing-masing adalah 57.805, 19.659, 13.478 dan 2.247 ekor dengan asumsi bahwa domba yang banyak tersebar di daerah-daerah tersebut adalah DEG.

Asumsi struktur populasi domba menurut status fisiologi dalam suatu wilayah adalah sekitar 10% berupa pejantan dewasa, 60% merupakan betina dewasa produktif dan sekitar 30% adalah anak prasapih maupun lepas sapih. Sehingga dari populasi domba di Propinsi Sulawesi Tengah (DIRJEN PETERNAKAN, 2006) yang sekitar 2,247 ekor, diharapkan akan mempunyai pejantan dewasa, betina dewasa dan anak sekitar 225, 1,348 dan 674 ekor.

FALCONER (1996) memperkenalkan rumus effective population size (Ne) yang tujuannya adalah untuk mengetahui estimasi minimal jumlah ternak dalam suatu wilayah.

Ne = 4NmNf

Nm+Nf

Keterangan: Ne = Jumlah populasi efektif

Nm = Jumlah ternak jantan

Nf = Jumlah ternak betina

Apabila diterapkan rumus tersebut di Propinsi Sulawesi Tengah, maka akan diperoleh sejumlah nilai Ne sejumlah 771 ekor, sehingga jumlah ternak tersebut merupakan batas minimal yang harus dipertahankan di lokasi tersebut. Apabila dilihat dari status kerentaan suatu populasi menurut SCHERF

(1995), maka status DEG yang ada di Sulawesi Tengah masuk dalam kategori not risk atau belum masuk kategori kritis. Namun dari segi genetis tetap harus diperhatikan keragamannya, karena adanya perkawinan ternak yang tidak terkontrol, pemotongan betina produktif yang tidak terkendali dan penggunaannya sebagai bahan rakitan persilangan dengan bangsa luar dapat mengurangi keragamannya.

Keragaman genetis ternak dapat diper-tahankan dan diperbesar apabila dilakukan perkawinan berbeda kerabat, baik untuk ternak yang digembalakan maupun yang dikandang-kan. Pelarangan pemotongan betina produktif sudah diatur dalam Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun sejauh ini belum ada penegakan hukum yang semestinya, sehingga sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk mempertahankan keberadaan ternak produktif tersebut. Perakitan bangsa domba lokal (misal domba ekor gemuk) dengan domba luar membawa konsekuensi pada berkurangnya kemurnian domba lokal kita. Apabila ini terjadi perlu dilakukan pewilayahan kantong produksi ternak lokal sehingga tidak semua daerah dapat menyilangkan domba.

STRATEGI PELESTARIAN DOMBA EKOR GEMUK PADA BERBAGAI

KONDISI AGROEKOSISTEM Sistem pemeliharaan Domba Ekor Gemuk pada umumnya berupa semi intensif yaitu kombinasi antara dikandangkan dan digem-balakan tergantung dari ketersediaan lahan tempat penggembalaan. Kisaran kepemilikan DEG antara 2-5 ekor dengan rataan 2,3 ekor/keluarga (MUNIER, 2003). Di Lembah Palu, Sulawesi Tengah sistem pemeliharaan umumnya masih bersifat tradisional dimana DEG hanya digembalakan setiap hari di padang penggembalaan. Kondisi ini meng-akibatkan DEG tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan

(6)

ketersediaan rumput alam di padang penggembalaan rakyat di Kota Palu hanya 1.482,2 kg/ha/tahun atau hanya menampung 3 ekor/ha/tahun domba dewasa dengan bobot hidup 35 kg, sedangkan leguminosa kurang tersedia di padang penggembalaan (MUNIER, 2003).

Di Pulau Madura peternak biasanya menggembalakan dombanya di pinggir jalan, pinggir sungai dan pada tanah lapang/tanah bera. Penggembalaan dilakukan dari pagi sampai sore kemudian pada siang hari peternak memberikan minum dan memindahkannya ke tempat teduh (SADJAKIN, 1990). Laporan PRASETYO (1990) di Pulau Lombok dikenal dua sistem penggembalaan yaitu penggem-balaan sehari (jam 9 pagi - 4 sore) dan penggembalaan dua kali sehari (pagi: 08.00-18.00. Pada malam hari semua ternak dikandangkan dan diberi pakan tambahan berupa rumput/limbah hasil pertanian. Keunggulan komparatif dari domba ekor gemuk adalah kemampuan untuk dapat bertahan pada kondisi pemeliharaan yang kering dan panas.

Pelestarian in-situ

Konservasi in situ ternak menurut (FAO, 1994) mempunyai arti yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak serta melestarikan bangsa ternak asli atau lokal melalui sistem perkawinan dengan melibatkan pula pemeliharaan lingkungan lainnya. Sebenarnya pelestarian in situ sudah berlangsung secara berkelanjutan dalam skala tradisonal dengan melibatkan peternak rakyat.

Pola pembibitan berbasis inti-plasma dapat diterapkan dan dikembangkan pada kelompok DEG di wilayah pengembangan. Secara kelembagaan terdapat Balai Pembibitan Ternak Domba Garahan di Jawa Timur yang mempunyai mandat menyebarkan bibit unggul DEG kepada masyarakat. Terbatasnya kemampuan instansi pemerintah menyebabkan perlu untuk melibatkan pihak swasta sebagai mitra. Oleh karena itu Pihak Pembibitan dan Dinas Peternakan wilayah bersangkutan turut andil dalam menentukan pihak swasta yang mampu berperan sebagai pihak inti. Strategi yang melibatkan tiga strata untuk pembibitan

dan pengembangan tidaklah mudah dijalankan karena memerlukan komitmen tinggi dari masing masing pihak terutama dari pihak inti dan pengembang. Selain dari kriteria seleksi yang sudah ditentukan, kegiatan ini memerlukan pembiayaan yang tinggi, misal pemeliharaan domba sampai umur setahun sebelum ditentukan mana yang akan digunakan di bagian inti. Selain itu, guna memudahkan pengukuran tampilan ternak, lakukan identifikasi ternak secara individual dengan mengikuti aturan baku.

Inti: dilakukan seleksi sangat ketat dimana untuk pejantan 10% dan betina 50% terbaik tetap tinggal di kelompoknya. Sementara sisanya boleh diperbanyak di kelompok pengembang. Kriteria seleksi adalah bobot badan pada umur sapih + 2SD, bobot ternak pada umur 210 + 2SD dan bobot ternak pada umur 360 hari + 2SD. Karena umur tersebut merefleksikan kemampuan pertumbuhan pada fase kehidupan selanjutnya, bobot pada saat pubertas dan tampilan dewasa. Apabila terdapat lebih dari satu INTI, maka dapat lakukan pertukaran pejantan untuk lebih memperkaya sumber daya genetik ternak yang ada. Kriteria pejantan yang akan digunakan sebagai calon bibit adalah mempunyai libido yang bagus, tampilan mikroskopis sperma seperti gerakan individu >75%, gerakan massa +++ dan konsentrasi sel sperma > 150 juta. Dimana tampilan mikroskopis spermatozoa pejantan sangat dipengaruhi oleh mutu pakan diberikan, tampaknya perlu untuk melakukan uji performans dari pejantan-pejantan yang terseleksi pada berbagai tingkatan umur.

Kelompok pengembang: kelompok pengembang bertugas memperbanyak bibit yang akan disebarkan kepada peternak. Kriteria seleksi pada kelompok ini adalah kenormalan ternak (tidak ada cacat tubuh), bobot sapih pada umur 90 hari + 1 SD dan bobot ternak pada umur 210 hari + 1SD. Masih dimungkinkan aliran genetik dari ternak dalam kelompok pengembang ke bagian inti. Diluar dari kriteria bobot ternak pada umur seleksi, maka ternak boleh dikeluarkan ke peternak pengguna.

Peternak pengguna: kelompok ternak dalam tingkat ini tidak memungkinkan untuk dapat berpindah ke kelompok pengembang atau kelompok inti. Hal ini dimaksudkan untuk

(7)

mempertahankan mutu genetik ternak yang ada di dua kelompok diatasnya.

Pelestarian ex-situ

Pelestarian ex-situ berarti memelihara sejumlah populasi dalam koleksi di tempat khusus. Koleksi tersebut dapat berupa ternak hidup maupun preservasi mani beku, embriyo beku bahkan dalam bentuk DNA, walaupun untuk preservasi mani beku, embriyo dan DNA memerlukan penanganan khusus, akan tetapi hendaknya dapat dilaksanakan. Balai

Inseminasi Buatan yang ada di Singosari merupakan salah satu lembaga pemerintah yang Preservasi mani beku sudah banyak dilakukan dengan keuntungan dapat bertahan sangat lama dalam pembekuan – 1960C dan mampu untuk membentuk kehidupan baru setelah dilakukan proses thawing dan inseminasi buatan. Persyaratan mani beku untuk dapat disimpan sebagai metode pengawetan apabila mempunyai gerakan individu > 70% dengan konsentrasi sperma setelah thawing adalah 150 juta sel sperma per dosis IB.

Gambar 1. Mekanisme perbibitan dan pengembangan domba ekor gemuk

Keterangan: : aliran ternak

KESIMPULAN DAN SARAN DEG adalah sumber daya genetik ternak dalam status not risk (tidak memiliki resiko), namun perlu dipertahankan kemurnian dan diperluas ragam genetiknya. Keunggulan genetik DEG adalah bertahan dalam kondisi

lingkungan kering dan mempunyai tingkat reproduksi bagus. Strategi pelestarian dapat dilakukan secara in-situ dengan melibatkan peternak rakyat serta mengusulkan pembibitan dengan melibatkan kelompok inti kelompok pengembang maupun peternak pengguna.

INTI (Pemerintah): perkawinan terarah seleksi uji performance Peternak pengembang: 1. Seleksi 2. Perbanyakan bibit Peternak Pengembang: 1. Seleksi 2. Perbanyakan bibit INTI (Swasta): perkawinan terarah seleksi uji performance

Peternak Pengguna Peternak Penguna Peternak Pengguna Peternak Pengguna

(8)

DAFTAR PUSTAKA

DICKY PAMUNGKAS,LUKMAN AFFANDHY dan UUM UMIYASIH. 1996. Pertumbuhan, Libido dan Kualitas Semen Domba Ekor Gemuk yang Diberi Pakan dengan Kandungan Gizi Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor 7-8 Nopember 1995. Jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

DICKY PAMUNGKAS, ANDI DJAJANEGARA, dan KOMARUDIN MA’SUM. 1996. Perubahan Ukuran Linier Tubuh Anak Domba Ekor Gemuk Saat Lahir Hingga Disapih Berbagai Tipe Kelahiran. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Cisarua, Bogor 7-8 Nopember 1995.

DINAS PETERNAKAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR. 1991.Profil Peternakan Domba Ekor Gemuk di Pulau Sapudi – Madura. Dinas Peternakan daerah, Surabaya.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2005. Buku Statistik Peternakan 2005. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

FAO, 1994. Implications of The Convention on Biological Diversity. Report of an Informal Working Group Animal Production and Health Division UN Food and Agriculture Organization, 28-29 March 1994.

MUNIER,F.F,M.RUSDI,D.BULO,SAIDAH dan FEMMI N. FAHMI. 2005. Kajian Sistem Usahatani Integrasi DEG dan Tanaman Kacang Tanah di Wilayah Poor Farmer. Prosiding Seminar

Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 12-13 September 2005. MUNIER, F.F. 2005. Bobot Hidup Domba Ekor

Gemuk (DEG) yang Diberikan Pakan Tambahan Leguminosa. Prosiding Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 12-13 September 2005. PRASETYO, S. 1990. The Potential of Fat-Tailed

Sheep In The Province of West Nusa Tenggara. Proc. Workshop Production Aspects of Javanese Fat Tail Sheep in Indonesia. Surabaya, 10-11 Agustus 1990, pp : 47-57.

SABRANI, M.,A. DJAJANEGARA dan I.K. SUTAMA. 1990.Report on Genetic Improvement of The Javanese Fat Tailed Sheep. Balai Penelitian Ternak.

SADJAKIN,E.A.1990.The Development Program for Javanese Fat Tail Sheep in Kabupaten Pamekasan, Madura. Proc. Workshop Production Aspects of Javanese Fat Tail Sheep in Indonesia. Surabaya, 10-11 Agustus 1990, pp : 9-12.

SUTAMA, I.K. 1993. Domba Ekor Gemuk di Indonesia: Potensi dan Permasalahannya. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Ikatan Sarjana Ilmu-ilmu Peternakan Indonesia Cabang Bogor bekerjasama dengan Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia, Bogor.

Gambar

Gambar 1. Mekanisme perbibitan dan pengembangan domba ekor gemuk  Keterangan:                                    : aliran ternak

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tugas akhir ini akan direncanakan struktur jembatan menggunakan busur rangka batang baja yang melewati sungai Grindulu, Kabupaten Pacitan dengan bentang total 354

Kompor gasifikasi dengan diameter 10 cm membutuhkan waktu startup lebih lama yaitu mencapai 4.36 menit jika dibandingkan dengan kompor berdiameter 12 cm yang

Setelah melakukan tahap uji coba pada website ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa website ini dapat membantu pengguna memperoleh informasi mengenai hewan punah dan terancam

Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian mengacu pada rumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh umur, lama kerja, jumlah

Menurutnya,berpengaruh positif karena setiap peningkatan kurs rupiah akan mengakhibatkan peningkatan pembiayaan bermasalah (non performing financing) perbankan syariah

Apabila jumlah aset yang dimiliki perusahaan meningkat maka informasi yang diungkapkan perusahaan akan semakin banyak dan lengkap sehingga mampu meyakinkan investor

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan akuifer dan lapisan litologi bawah permukaan daerah “x” Kabupaten Gorontalo dengan menggunakan metode Geolistrik

Penelitian keempat oleh Yusriannur pada tahun 2017 dengan judul Aplikasi E- Voting Berbasis Web Untuk Menunjang Pemilihan Presiden Mahasiswa Pada Universitas Dian