• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN MAZHAB SYAFI I. kewarisan perdata barat atau BW dan kewarisan adat. mengikat untuk semua yang beragama Islam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN MAZHAB SYAFI I. kewarisan perdata barat atau BW dan kewarisan adat. mengikat untuk semua yang beragama Islam."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN MAZHAB SYAFI’I

1. Pengertian Kewarisan

Kewarisan secara umum dibagi menjadi 3 yaitu: kewarisan Islam, kewarisan perdata barat atau BW dan kewarisan adat.

Kewarisan Islam adalah peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.1

Kewarisan perdata barat atau BW dibagi menjadi 2 yaitu: kewarisan ab intestato dan kewarisan secara testamen.

Kewarisan ab intestato adalah kewarisan sebagai akibat dari meninggalnya seseorang atau kewarisan menurut undang-undang.

Kewarisan secara testamen adalah kewarisan karena diangkat atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu ia masih hidup.2

Kewarisan adat adalah harta warisan tanpa sengketa yang dibagi oleh para ahli waris melalui musyawarah di antara mereka, dan harta warisan yang dipersengketakan dibagi oleh para ahli waris melalui musyawarah dewan adat setempat.3

1

Amir Syarifuddin, hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 6. 2

Zainuddin Ali, Pelaksanan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.59.

(2)

Ilmu waris juga sering disebut dengan ilmu faraidh. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari fardh yaitu bagian yang ditentukan. Disebut ilmu Faraidh karena ilmu yang membahas tentang bagian-bagian yang telah ditentukan kepada ahli waris. Sehingga ilmu faraidh atau ilmu waris didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut :

Ilmu fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik harta pusaka.4

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw :

ِِءاَيِبْنَلاْاُةَث َر َوُءاَمَلُعْلَا

Ulama adalah ahli waris para nabi

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama/ imam syafi’i ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.5

2. Sumber-Sumber Hukum Kewarisan

Dasar dan sumber utama dari hukum islam sebagai hukum agama (islam) adalah nash atau teks yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan

4

Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h.1-2. 5

Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 33.

(3)

sunnah Nabi. Ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Ayat-ayat Al-Qur’an QS. An-Nisaa’ ayat 7 :  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِِ

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.

Ketentuan dalam ayat diatas, merupakan landasan utama yang menunjukkan, bahwa dalam islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa jahiliyah, di mana wanita dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.

Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa islam mengakui wanita sebagai subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit ataupun banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an. QS. An-Nisaa’ ayat 8 :



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

(4)



ِ



ِ



ِ



 ِ



ِ



ِ



ِ



ِِ

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka), anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (pemberian sekadarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan atau sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.6

b.

Al-Hadis, yang antara lain diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a :

ِ سِاَّبَعِ ِنْباِ ِنَع

ُِاللَِي ِض َر

َِّملاِ ِنَعِاَمُاْمَعِ

َِّىلَصِِ يِب

َِوِِهْيَلَعُِ اللّ

َِلاَقَِمَّلَس

:

ِ َض ِءا َرَفْلااوُق ِحْلَا

اَمَفِاَاِلْهَِءِب

ِ

َِذِ لُج َرِىَل ْوَءِلَفَِيِقَب

ِ رَك

(

هيلعِقفتم

)

ِ

Artinya :

“Berikanlah warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, kemudian sisanya diberikan kepada ahli waris laki-laki yang paling berhak”.7

c. Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah diambil dari ijtihad para sahabat.

Ijma dan ijtihad sahabat, imam madzhab, dan para mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum di jelaskan oleh nash yang sharih.

Misalnya:

a. Status saudara-saudara baersama-sama dengan kakek. Dalam Al-Qur’an, masalah ini tidak dijelaskan, kecuali dalam masalah kalalah. Akan tetapi, menurut kebanyakan sahabat dan imam madzhab yang

6

Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum

Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 12-13.

7

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fatthul Baari Syara Shahih Al-Bukhari Di Terjemahkan Oleh

(5)

mengutip pendapat zaid bin Sabit, saudara-saudara tersebut mendapat bagian waris secara muqasamah bersama dengan kakek.

b. Status cucu-cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggalkan daripada kakek yang bakal diwarisi dan yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu-cucu tersebut tidak mendapat bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir yang meng-istinbat dari ijtihad para ulama muqaddimin mereka diberi bagian berdasarkan wasiat wajibah.

3. Sebab-Sebab Mewarisi, Syarat-Syarat Mewarisi dan Halangan Memperoleh Warisan

a. Sebab-sebab Kewarisan

Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut :

1. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab

Seperti kedua orang tua (ibu-bapak), anak, cucu, dan saudara, serta paman dan bibi. Singkatnya adalah kedua orang tua, anak, dan orang yang bernasab dengan mereka. Allah SWT. Berfirman dalam al-Qur’an :

 ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ   ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ

(6)

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal : 75)

Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan merupakan unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.

Macam-macam garis kekerabatan dan penggolongannya

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi dengan yang mewarisi, kerabat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :

1. Furu, yaitu anak turun (cabang) dari si pewaris.

2. Usul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris. 3. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui

garis menyamping, seperti saudara, paman bibi, dan anak turunannya tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.

2. Karena Hubungan Pernikahan

Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami-istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. Adapun suami-istri yang melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya hak waris

Pernikahan yang sah menurut syari’at islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seseorang perempuan selama ikatan pernikahan itu masih terjadi. Masing-masing pihak adalah teman

(7)

hidup dan pembantu bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama. Oleh karena itu, adalah bijaksana kalau Allah memberikan sebagian tertentu sebagai imbalan pengorbanan dari jerih payahnya, bila salah satu dari keduanya meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka.

Atas dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama sekali oleh ahli waris siapa pun. Mereka hanya dapat terrhijab nuqsan (dikurang bagiannya) oleh anak turun mereka atau oleh ahli waris yang lain.

Perkawinan yang menyebabkan dapat mewaarisi memerlukan dua syarat, yaitu :

a. Akad itu sah menurut syari’at islam, baik keduanya telah berkumpul maupun belum.

b. Ikatan perkawinan antara suami-istri itu masih utuh atau dianggap masih utuh.

Suatu perkawinan dianggap masih utuh apabila perkawinan itu telah diputuskan dengan talak raj’i, tapi masih dalam massa iddah. Jadi, bila suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri yang masih dalam masa iddah talah raj’i, istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Begitu pula sebaliknya, suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dalam masa iddah talaq raj’i. Akan tetapi, kalau istri habis masa iddahnya, menurut ijma’ keduanya tidak saling mewarisi harta peninggalan masing-masing.

(8)

Bila seseorang suami dalam keadaan sakit berat menalak istrinya, kemudian ia meninggal saat istrinya masih dalam masa iddah, istri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Akan tetapi, bila istrinya meninggal, suami tidak berhak mewarisi harta istrinya. Pendapat ini dianut oleh imam Syuraih, As-Sa’by, abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, yang bersumber dari Umar r.a dan Ustman r.a.

3. Karena Wala

Wala adalah pewarisan karena jasa seseorang telah memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan warisan.

Wala’ yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum

disebut juga dengan istilah wala’ul itqi, dan atau wala’un nikmah. Hal ini karena pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya sebagai hamba sahaya.

Jika seseorang membebaskan hamba sahaya dengan seluruh barang-barang yang dimilikya itu, berarti telah terjadi hubungan antara hamba sahaya yang dibebaskan dengan orang yang membebaskannya dalam suatu ikatan yang disebut wala’ul itqi. Orang yang membebaskan hamba sahaya karena wala’ul itqi ini dapat mewarisi harta peninggalan hamba sahaya yang telah dibebaskannya jika si hamba sahaya itu telah menjadi kaya. Hal ini ditentukan oleh syari’at islam sebagai balas jasa atas perbuatan mulia yang dilakukan tersebut. Warisan itu dapat diperoleh jika orang yang

(9)

dimerdekakan itu tidak mempunyai ahli waris, zawil arham, atau suami-istri.8

Tetapi pada zaman sekarang ini, sebab kewarisan karena wala sudah tidak relevan lagi karena bukan zamannya. Zaman sekarang lebih merdeka tidak ada perbudakan lagi, dimana si kaya dan si miskin mempunyai kedudukan yang sama.

4. Hubungan sesama Islam

Hubungan Islam yang dimaksud disini terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul

Maal yang akan digunakan oleh umat islam. Dengan demikian, harta

oarang Islam yang tidak mempunyai ahli waris oleh umat Islam.9 b. Syarat-Syarat Mewarisi

Kematian seorang muwarrits itu menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagi berikut :

1. Mati haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh pancaindra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

2. Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu sesuatu kematian disebabkan adanya putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang

8

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 15-24. 9

Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum

(10)

bersangkutan masih hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati.

3. Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu suatu kematian yang bukan haqiqi dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat.

Hidup warits (orang-orang yang mewarisi) disaat kematian

muwarrist. Para ahli waris yang benar-benar masih hidup disaat kematian muwarrits, baik matinya secara haqiqi, hukmy, ataupun taqdiry berhak

mewarisi harta peninggalannya.

Meskipun dua syarat mewarisi telah ada pada muwarrits dan warits, namun salah seorang dari mereka tidak dapat mewarisi harta peninggalannya kepada yang lain atau mewariskan harta peninggalannya kepada yang lain, selama masih terdapat salah satu dari empat penghalang mewarisi, yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama (kafir) dan perbedaan negara.10

c. Halangan Mewarisi/Hilangnya Hak Waris Mewarisi

Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hal mewarisi atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut:

1. Perbudakan

Sejak semula islam menghendaki agar perbudakan dihapus, namun kenyataannya perbudakan sudah merata dimana-mana dan sukar dihapus. Oleh karena itu, perbudakan mendapatkan tempat dalam pembahasan

10

Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum

(11)

hukum islam. Di dalam al-Qur’an telah digambarkan bahwa seorang budak tidak cakap mengurus hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT Surah An-Nahl ayat 75.

 ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِِ

Allah telah membuat perumpamaan seorang yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun.

Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta.

2. Pembunuhan

Para ahli hukum islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.

Mengingat banyaknya bentuk tindakan pembunuhan, para fuqaha berbeda pendapat tentang jenis pembunuhan mana yang menjadi

mawani’ul irsi (penghalang mewarisi).

Fuqaha aliran Syafi’iyah dengan berpegang pada keumuman hadis

(12)

dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, adalah menjadi penghalang baginya untuk mewarisi.

3. Berlainan Agama

Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Para ahli hukum islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang non islam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang islam lantaran status orang non islam (kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT, dalam Surah An-Nisaa’ ayat 141 :  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ  ِ Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk islam, sedangkan peninggalan belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk islam itu tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut adalah sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si pewaris, ia masih dalam keadaan non islam (kafir). Jadi, mereka dalam keadaan berlainan agama.

Andaikata syarat mendapatkan hak mewarisi baru dimulai pada saat pembagian harta peninggalan, tentu terdapat perbedaan hukum tentang

(13)

mendahulukan dan mengakhirkan pembagian harta peninggalan, dan tentu hak yang demikian itu dapat disalahguanakan oleh ahli waris yang masuk islam hanya untuk memperoleh harta peninggalan saja dan kemudian murtad kembali setelah tercapai maksudnya.

4. Berlainan Negara

Ciri-ciri suatu negara adalah memiliki negara sendiri, memiliki angkatan bersenjata, dan memilki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud berlainan negara adalah yang berlainan ketiga unsur tersebut. Berlainan negara ada tiga kategori, yaitu berlainan menurut hakikatnya, dan berlainan menurut hakikat sekaligus hukumnya.

Berlainan negara antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha bahwa hal ini tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi, sebab semua negara islam mempunyai kesatuan hukum, meskipun berlainan politik dan sistem pemerintahannya. Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang yang nonmuslim. Dalam hal ini menurut jumhur ulama tidak menjadi penghalang mewarisi dengan alasan hadist yang melarang warisan antara dua orang yang berlainan agama. Mafhum

mukhalaf-nya bahwa ahli waris dan pewaris yang sama agamanya dapat

saling mewarisi meskipun berbeda negaranya.

Adapun menurut Imam Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa hal itu menjadi penghalang hak mewarisi, karena berlainan negara antara orang-orang naonmuslim berarti terputusnya ishmah (kekuasaan) dan tidak adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan. Adapun negara

(14)

dalam hakikatnya saja (muslim sama muslim) tidak berpengaruh dalam segi hukum.11

4. Macam-macam Ahli Waris dan Hak Masing-masing 1. Kewarisan Dzaul Furudh

Secara garis besar Hukum Kewarisan Islam menetapkan dua macam ahli waris, yaitu ahli waris yang bagiannya telah ditentukan secara pasti dan tertutup di dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi dan ahli waris yang bagiannya masih terbuka karena tidak ditentukan bagiannya secara pasti. Dalam bahasan ini akan dijelaskan dengan rinci berikut hak masing-masing.

a. Ahli waris dengan bagian tertentu

Di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi disebutkan bagian-bagian tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu. Bagian tertentu itu dalam al-Qur’an yang disebut furudh adalah dalam bentuk angka pecahan yaitu 1/2, ¼, 1/8, 1/6, 1/3, dan 2/3. Para ahli waris yang mendapat menurut angka-angka tersebut dinamai ahli waris dzaul

furudh. Ahli waris dzaul furudh itu adalah :

1. Anak perempuan, Kemungkinan bagian anak perempuan adalah sebagai berikut :

½ kalau ia sendiri saja ( dan tidak bersama anak laki-laki ).

11

Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum

(15)

 2/3 kalau anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama anak laki-laki.

Dasar bagian anak perempuan dalam dua kemungkinan tersebut adalah QS.al-Nisa’(4):11

2. Cucu perempuan, yang hubungannya dengan pewaris hanya melewati garis laki-laki saja tidak melewati garis perempuan dan seterusnya ke bawah, Kemungkinan bagian cucu perempuan adalah:

½ kalau ia sendiri saja atau

 2/3 kalau ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan cucu laki-laki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.  1/6 kalau bersama ada anak perempuan seorang saja.

3. Ibu, Bagian ibu ada tiga kemungkinan sebagi berikut:

 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau bersama dua orang saudara atau lebih

 1/3 bila ia tidak bersama dengan anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki tetapi hanya bersama ayah

 1/3 dari sisa bila tidak bersama anak atau cucu tetapi bersama dengan suami atau istri

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِِ

jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga

Namun apabila ibu memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada maka ia akan mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini

(16)

dipandang bertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dalam bagian ayat “ lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain “. Karenanya untuk tetap menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapatkan bagian sepertiga dari harta warisan setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu.12 Jadi bagian ibu tidak lebih banyak dari bagian ayah.

Namun, ada pendapat lain yang diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a menurutnya, ibu tetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri ( anaknya ). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit : “ Apakah memang ada di dalam Al-Qur’an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri ?” Zaid menanggapinya dengan mengatakan : “Di dalam kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur’an hanya “ wawaritsahu abawahu“.

Dasar hak dari kewarisan ibu dalam no. a) dan b) adalah QS. al Nisa’ (4): 11

4. Ayah, Sebagai ahli waris dzaul furudh kemungkinan bagian ayah adalah :

(17)

 1/6 kalau ia bersama dengan anak laki-laki dan perempuan atau cucu laki-laki

 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan anak atau cucu perempuan.

5. Kakek shahih adalah kakek yang nasabnya dengan mayit tidak diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ayah.

Kakek yang shahih mendapatkan waris menurut ijma. “ dari Imran bin Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang kepada Rosulullah saw, lalu katanya sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-lakiku telah mati, berapakah aku mendapatkan warisannya? Beliau menjawab :” Engkau mendapatkan 1/6.

Hak waris kakek yang shahih itu gugur dengan adanya ayah dan bila ayah tidak ada, maka kakek shahih yang menggantikannya.13

6. Nenek shahih adalah nenek yang nasabnya dengan si mayit tidak diselingi oleh kakek yang fasid, kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan, seperti ayah dari ibu.14

 Nenek mendapat 1/6, baik ia sendirian atau lebih.

13 http://www.nubatik.net/index.php?option=comconten&dopdf=1&id=837 pada tgl 22 september 2011 14 http://www.nubatik.net/index.php?option=comconten&dopdf=1&id=837 pada tgl 22 september 2011

(18)

Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma seluruh sahabat.15

7. Saudara perempuan kandung dari keturunan laki-laki, saudara perempuan kandung mendapat bagian dalam beberapa kemungkinan di bawah ini :

 ½ bila ia hanya seorang dan tidak ada bersama saudara kandung laki-laki

 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya saudara laki-laki kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.

Dasar hak dari kewarisan saudara perempuan kandung dan saudara perempuan seayah adalah Q.S An-Nisa : 176

8. Saudara perempuan seayah dari keturunan laki-laki, kemungkinan

furudh saudara perempuan seayah adalah sebagai berikut :

 ½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara seayah laki-laki, pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan, pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek dan tidak pula anak baik anak laki-laki maupun perempuan.

Dalilnya (An-Nisa :176) dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.16

 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki seayah

15

Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam... h. 59. 16 Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam... h. 48.

(19)

 1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan. hal ini hukumnya sama dengan keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan adanya anak perempuan. jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua pertiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.17

9. Saudara laki-laki atau perempuan seibu, kemungkinan bagian saudara laki-laki seibu adalah:

 1/6 kalau ia hanya seorang

Dalilnya adalah firman Allah artinya “ jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki ( seibu saja ) atau seorang saudara perempuan ( seibu saja ), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta “.

(20)

Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok ( yakni kakek ) dan tidak pula cabang ( yakni anak, baik laki-laki atau perempuan ).18

 1/3 kalau ia lebih dari seorang dan di antaranya berbagi sama banyak.

 Dasar hak kewarisan saudara seibu adalah QS. al-Nisa’(4):12 10. Saudara perempuan seibu, sebagaimana saudara laki-laki seibu, ia

menerima dalam dua kemungkinan sebagi berikut :  1/6 kalau ia hanya seorang diri

 1/3 untuk dua orang atau lebih dan kemudian berbagi sama banyak

 Dasar bagian saudara perempuan seibu adalah QS. al-Nisa’(4): 12 Saudara perempuan seibu tidak dibedakan laki-laki maupun perempuan mereka mendapat 1/6 kalau sendirian. Sedangkan an-nissa ayat 176 itu untuk saudara perempuan kandung, mengenai saudara perempuan seayah merupakan pendapat ulama yang mengambil adat arab.

Dasar hak dari kewarisan saudara perempuan kandung dan saudara perempuan seayah adalah Q.S An-Nisa : 176



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ

(21)



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِِ

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

Dasar bagian saudara perempuan seibu adalah QS. al-Nisa’(4): 12

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ

(22)



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ

ِ



ِ



ِ



ِ



ِ

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

11. Suami, bagian suami ada dalam dua kemungkinan sebagai berikut :  ½ kalau tidak ada anak atau cucu

 ¼ kalau ada bersamanya anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya.

(23)

12. Istri, bagian istri ada dalam dua kemungkianan sebagai berikut :  ¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris, baik

anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun lahir dari rahim istri lainnya. Dengan kata lain, sekalipun istri seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harata peninggalan harta suami mereka.

Hal ini berdasarkan firman Allah diatas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna ( dalam bentuk jamak ) yang bermakna “ mereka perempuan “. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harata peninggalan. 19

 1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam kewarisan.  Dasar hak kewarisan istri seperti tersebut di atas adalah

QS.al-Nisa’(4):12

b. Ahli waris dengan bagian yang tidak ditentukan

Dalam hukum kewarisan islam, di samping terdapat ahli waris dengan bagian yang ditentukan atau dzaul furudh yang merupakan kelompok terbanyak, terdapat pula ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan secara furudh, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits Nabi. Mereka mendapat seluruh harta dalam kondisi tidak adanya ahli waris dzaul furudh atau sisa harta setelah dibagikan terlebih dahulu kepada

(24)

dzaul furudh yang ada. Mereka mendapat bagian yang tidak ditentukan

terbuka, dalam arti dapat banyak atau sedikit, atau tidak ada sama sekali. Dasar hukum dari ahli waris dengan bagian terbuka ini adalah firman Allah dalam surat al-Nisa’(4) ayat 11 dan 176. Dalam ayat 11 disebutkan adanya hak kewarisan anak laki-laki, namun berapa haknya secara pasti tidak dijelaskan. Bila ia bersama anak perempuan, yang disebutkan hanyalah perbandingan perolehannya yaitu seorang laki-laki sebanyak hak dua orang anak perempuan. Dapat dipahami dari ketentuan tersebut bahwa bila anak laki-laki bersama dengan anak perempuan, maka mereka mendapatkan seluruh harta bila tidak ada ahli waris lain atau mereka akan mendapatkan seluruh harta yang tersisa bila ada ahli waris lain yang berhak, kemudian hasil yang mereka peroleh dibagi dengan bandingan 2:1. Hal demikian berlaku pula bila anak dari pewaris hanyalah anak laki-laki saja.

2. Kewarisan Ashabah Menurut Ahlu Sunnah

Kelompok kerabat garis laki-laki ini dalam penggunaan Bahasa Arab biasa disebut ashabah. Oleh karena yang berhak atas seluruh harta atau sisa harta itu menurut Ahlu Sunnah pada dasarnya adalah laki-laki, maka untuk selanjutnya kata ashabah itu digunakan untuk ahli waris yang berhak atas seluruh harta atau sisa harta setelah diberikan kepada ahli waris dzaul furudh.

Karena dalam bentuk kewarisan seperti ini tidak ada bagian yang tertentu selain dari bandingan bahwa laki-laki memperoleh bagian dua kali

(25)

perempuan dalam pembagian anak atau saudara, maka pembagian di sini adalah secara rata-rata.

Ulama golongan Ahlu Sunnah membagi ashabah itu kepada tiga macam yaitu ashabah bi nafsihi, ashabah bi ghairihi dan ashabah ma’a

ghairihi.

a. Ashabah bi nafsihi

Ashabah bi nafsihi adalah ahli waris yang berhak mendapat seluruh

harta atau sisa harta dengan sendirinya, tanpa dukungan ahli waris yang lain. Ashabah bi nafsihi itu seluruhnya adalah laki-laki yang tidak melewati garis perempuan, murni garis laki-laki. Yang secara berurutan adalah

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki (melalui anak laki-laki) 3. Ayah

4. Kakek

5. Saudara kandung laki-laki 6. Saudara laki-laki seayah 7. Anak saudara kandung laki-laki 8. Anak saudara seayah laki-laki 9. Paman kandung

10. Paman seayah

11. Anak paman kandung 12. Anak paman seayah

(26)

b. Ashabah bi Ghairihi (Ashabah Disebabkan Oleh Orang Lain) Yang dimaksud ashabah bi ghairihi disini adalah seseorang yang sebenarnya bukan ashabah karena ia adalah perempuan, namun karena ada bersama saudara laki-lakinya maka ia menjadi ashabah. Mereka sebagai

ashabah berhak atas semua harta bila hanya mereka yang menjadi ahli

waris, atau berhak atas sisa harta setelah dibagikan kapada ahli waris

furudh yang berhak. Kemudian di antara mereka berbagi dengan

bandingan laki-laki mendapat sebanyak dua bagian perempuan. Yang berhak menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi itu adalah : a. Anak perempuan bila bersama dengan anak laki atau anak

laki-laki dari anak laki-laki-laki-laki.

b. Cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki atau anak laki-laki adari cucu laki-laki.

c. Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung. d. Saudara seayah perempuan bersama saudara seayah laki-laki

c. Ashabah ma’a Ghairihi

Ashabah ma’a ghairihi khusus berlaku untuk saudara perempuan,

kandung atau seayah pada saat bersamanya ada anak perempuan. anak perempuan tersebut menjadi ahli waris furudh sedangkan saudara perempuan menjadi ashabah.

c. Ahli waris dzaul arham

Ahli waris dzaul arham secara etimologi di artikan ahli waris dalam hubungan kerabat. Namun pengertian hubungan kerabat itu begitu luas dan

(27)

tidak semuannya tertampung dalam kelompok orang yang berhak menerima warisan sebagaimana dirinci sebelumnya. Sebelum ini sudah dirinci ahli waris yang berhak menerima sebagai dzaul furudh dan ahli waris ashabah, dengan cara pembagian mula-mula diberikan kepada dzaul

furudh kemudian harta yang selebihnya diberikan kepada ahli waris ashabah. Seandainya masih ada harta yang tinggal, maka kelebihan harta

itu diberikan kepada kerabat lain yang belum mendapat. Kerabat lain yang belum mendapat itulah yang dinamai ahli waris dzaul arham. Semua ahli fiqih menyebut ahli waris dzaul arham dengan ahli waris dalam hubungan kerabat yang bukan dzaul furudh dan bukan pula ashabah.20

5. Biografi Imam Syafi’i a. Biografi Imam Al-Syafi’i

Imam al-Syafi’i adalah seorang tokoh pendiri madzhab syafiiyah, dengan nama lengkapnya Abu Abdullah ibn Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i Al Hasyim Al Muthaliby Al Quraisy, yang dilahirkan di Gazza pada tahun 150 H/Januari 820 M di fusfat.21

Di kota makkah ia dibesarkan dan diasuh oleh ibunya dalam keadaan hidup yang miskin sebagai seorang yatim karena ayahnya meninggal pada waktu ia berada dalam kandungan ibunya yaitu ketika pergi ke Gazza. Imam al-Syafi’i memulai pendidikannya dari masa kanak-kanak sebagai seorang anak yatim yang miskin di kota makkah, ia belajar membaca dan

20

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 225-250. 21

Depag RI, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Dirjend Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN, 1988), h. 404.

(28)

menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadits dimasjidil haram. Berkat ketekunannya ia mampu menghafal Al-Qur’an dalam usia tujuh tahun.22

Guru-guru imam al syafi’i yang terkenal pada waktu itu, antara lain : Imam Muslim ibn Khalid al Zanji, Imam Sufyan ibn Unayyah dan Imam Ibrohim ibn Sa’ad (Makkah), Imam Malik ibn Abbas (Madinah), Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn Hasan (Baghdad) dan masih banyak guru lainnya.23

Imam Syafi’i sebagaimana para ulama lainya, menetapkan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, Imam al-Syafi’i, senantiansa mencantumkan nash Al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai dengan metode yang digunakannya yaitu deduktif.24 Namun demikian, Imam al Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari Sunnah.25

b. Perbedaan penghalang waris menurut imam syafi’i dan 5 mazhab Keturunan yang sah ( syar’i ) mencakup pernikahan yang sah dan percampuran subhat, sedangkan perkawinan tidak bisa terjadi kecuali dengan adanya akad yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama madzhab, bahwa mereka berdua salinga mewarisi. Perbedaan justru

22

Zarkoni Soejoeti, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Walisongo Press, 1987), h. 130. 23

Munawar Kinalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 173.

24

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Press, 2005), h. 70-71. 25

(29)

terdapat pada hak waris beberapa kerabat, yang oleh syafi’i dan maliki di anggap sebagai tidak berhak menerima waris sama sekali sehingga keadaan mereka persis orang luar. Mereka adalah anak laki-laki dari anak-anak wanita, anak-anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan, anak-anak-anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara seibu, saudara perempuan ayah dari semua jalur, paman seibu ( saudara laki-laki ayah yang seibu ), paman dan bibi dari jalur ibu, anak-anak perempuan paman, dan kakek dari jalur ibu ( ayahnya ibu ). Kalau ada seseorang meninggal dunia tanpa ada kerabat lain kecuali salah satu seorang diantara kerabat-kearabat yang disebutkan tadi, maka harta peninggalannya menjadi hak Bait al-mal, dan menurut imam syafi’i dan imam maliki, tidak ada seorangpuan diantara mereka itu yang memperoleh warisan, sebab mereka itu bukanlah orang-orang yang menerima bagian tetap ( dzaw al- furud ) dan tidak pula termasuk kelompok orang yang menerima ashabah.

Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa mereka itu dapat menerima waris dalam keadaan-keadaan tertentu, yaitu manakala tidak ada lagi ahli waris yang menerima bagian tetap dan ashabah. Sementara itu, imamiyah mengatakan bahwa mereka dapat menerima waris tanpa adanya ketentuan-ketentuan di atas.26

26

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Ja’fari Hanafi Maliki Syafi’i

(30)

Referensi

Dokumen terkait

Praktik Pengalaman Lapangan adalah kegiatan intra kurikuler yang wajib diikuti oleh mahasiswa Program Kependidikan Universitas Negeri Semarang, sebagai pelatihan untuk

(2006:208) Analisis BEP adalah suatu cara atau teknik yang di gunakan oleh seorang manajer perusahaan untuk mengetahui pada volume (jumlah) penjualan dan volume produksi berapakah

Yaitu, area pelatihan dan arena rekreasi di alam terbuka kawasan Militer Kota Cimahi yang dapat dimanfaatkan oleh siswa sekolah, mahasiswa, aparatur Pemkot Cimahi,

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka ruang lingkup penelitian dibatasi pada media pembelajaran dengan alat pembelajaran yang berbeda (bola soft-volley

[r]

Pengendalian gulma dengan pengelolaan air Pengendalian biologi Hama Padi... KONDISI TANAH PERTANIAN

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sistem pembacaan data RFID terhadap kartu tag RFID dengan menggunakan modul ID-12 sampai pada penyimpanan

Statistik deskriptif ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai karakteristik variabel-variabel yang mempengaruhi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi