• Tidak ada hasil yang ditemukan

Farmakokinetika Klinis Final2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Farmakokinetika Klinis Final2"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Farmakokinetika Klinis

(2)

USU Press

Art Design, Publishing & Printing Gedung F

Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 Kunjungi kami di:

http://usupress.usu.ac.id

 USU Press 2015

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 979 458 785 0

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Farmakokinetika Klinis / Azizah Nasution – Medan: USU Press, 2015 ix, 106 p.; ilus.: 24 cm

Bibliografi

ISBN: 979-458-785-0

(3)

Prakata

Tubuh manusia merupakan sistem yang sangat komplek yang mana proses biologi, fisiologi, dan biokimia berpengaruh terhadap pergerakan dan kerja obat di dalam tubuh. Proses-proses ini dikelompokkan menjadi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi. Ilmu yang mempelajari tentang perubahan jumlah obat di dalam tubuh dengan pertambahan waktu dikenal sebagai farmakokinetika. Konsep farmakokinetika telah lama diaplikasikan di bidang farmasi baik dalam rangka pengembangan obat baru maupun di bidang klinis. Farmakokinetika klinis merupakan ilmu yang mempelajari aplikasi konsep farmakokinetika untuk mengoptimalkan efek pengobatan.

Pasien penderita penyakit kronik seperti hipertensi, diabetes mellitus dan epilepsy harus memakan obat setiap hari seumur hidupnya. Disamping itu ada juga pasien yang hanya menggunakan dosis tunggal untuk menghilangkan rasa sakit seperti sakit kepala. Cara bagaimana obat digunakan disebut regimen dosis (Dosage regimen). Lama pengobatan dan regimen dosis tergantung kepada tujuan pengobatan yaitu apakah untuk penyembuhan, pengurangan rasa sakit atau pencegahan.

(4)

teofilin secara infus intravena kecepatan konstan. Rentang terapi obat adalah 10 – 20 mcg/ml plasma. Berapa kecepatan infus yang harus diberikan untuk mendapatkan konsentrasi tersebut di atas?

Prinsip-prinsip farmakokinetika klinis yang mencakup proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi obat di dalam tubuh dan parameter-parameternya, konsep pemberian obat intravena dan per oral baik dosis tungggal maupun dosis ganda serta aplikasinya dalam pengobatan pasien, akan dibahas dalam bab-bab berikut ini.

(5)

Dalam buku ini juga dibahas tentang contoh-contoh soal sebagai pelatihan dan untuk mempermudah pemahaman dan aplikasi konsep farmakokinetika klinis dalam pengoptimalan penggunaan obat.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan motivasi, saran dan kritikan yang membangun demi penyelesaian dan penyempurnaan buku ini.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.

(6)

Daftar Isi

Prakata ... iii

Daftar Isi ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II PENGGOLONGAN OBAT DAN KONSEP PENGATURANRESPONS ... 3

2.1 Penggolongan Obat ... 3

2.1.1 Pemberian Intravaskular ... 3

2.1.2 Pemberian Ekstravaskular ... 3

2.2 Contoh-contoh Soal ... 7

BAB III PENGERTIAN DAN PERHITUNGAN PARAMETER PARAMETER FARMAKOKINETIKA ... 10

3.1 Pemberian Obat Secara Intravena ... 10

3.1.1. Volume Distribusi (V) ... 10

3.1.2. Konstanta Kecepatan Eliminasi (k) ... 11

3.1.3. Waktu Paruh ... 17

3.1.4. Proporsi Obat Tereliminasi ... 17

3.1.5. Clearance Total (Cl) ... 18

3.1.6. Clearance Renal dan Clearance Ekstrarenal ... 20

3.2 Contoh-contoh Soal ... 22

BAB IV PEMBERIAN INFUS DENGAN KECEPATAN KONSTAN ... 30

4.1 Prinsip Steady State ... 30

4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Steady State ... 30

4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Obat Selama Infus Diberikan ... 32

4.4 Waktu yang Dibutuhkan untuk Mencapai Steady State ... 32

4.5 Kombinasi Intravena Bolus dan Infus ... 33

4.6 Konsentrasi Obat di dalam Plasma Setelah Infus Dihentikan ... 35

4.7 Estimasi Parameter Farmakokinetika ... 36

(7)

BAB V PEMBERIAN OBAT EXTRAVASCULAR ... 40

5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi ... 40

5.1.1. Ketersediaan Hayati Per Oral ... 42

5.1.2. Kinetika Absorpsi ... 42

5.1.3. Hubungan antara Waktu dengan Konsentrasi Obat ... 43

5.1.4. Analisis Parameter-parameter Farmakokinetika ... 44

5.2 Contoh-contoh Soal ... 47

BAB VI PRINSIP PENGATURAN PEMBERIAN DOSIS GANDA ... 48

6.1 Pendekatan Pengaturan Dosis dan Interval Pemberian Obat ... 48

6.1.1 Pendekatan Empiris ... 48

6.1.2 Pendekatan Kinetika ... 49

6.1.3 Faktor-faktor Penentu Pengaturan Dosis dan Interval ... 49

6.2 Akumulasi Obat ... 50

6.3 Interpretasi Kinetika ... 51

6.3.1 Interval Pemberian dan Akumulasi Obat ... 51

6.3.2 Jumlah Maksimum dan Minimum Obat di dalam Tubuh ... 53

6.3.3 Jumlah Rata-Rata Obat Di Dalam Tubuh Pada Steady State ... 54

6.3.4 Konsentrasi Rata-Rata Obat Di Dalam Plasma Pada Steady State ... 55

6.3.5 Indeks Akumulasi ... 56

6.3.6 Kecepatan Akumulasi Sampai Dicapai Steady State ... 56

6.3.7 Hubungan antara Dosis Muatan dengan Dosis Pertahanan ... 57

6.4 Contoh-contoh Soal ... 58

BAB VII KINETIKA METABOLIT ... 61

7.1 Proses Metabolisme Obat ... 61

7.2 Faktor-faktor Penentu Jumlah Metabolit di dalam Tubuh ... 62

7.2.1 Kecepatan Metabolisme Sebagai Penentu Jumlah Metabolit ... 64

(8)

7.2.3 Konsentrasi Metabolit di dalam Plasma ... 66

7.2.4 Interpretasi Data Metabolit ... 66

7.3 Implikasi Terapi ... 67

7.3.1 Prodrug tidak aktif dan metabolit aktif ... 67

7.3.2 Obat Aktif dan Metabolit Tidak Aktif ... 68

7.4 Contoh-contoh Soal ... 68

BAB VIII KEANEKARAGAMAN RESPONS ... 70

8.1 Ketidaksesuaian Penggunaan Obat ... 70

8.2 Genetik ... 71

8.3 Toleransi (ketergantungan) ... 74

8.4 Penyakit ... 75

8.5 Usia dan Berat Badan ... 75

8.6 Formulasi ... 77

8.7 Rute Pemberian ... 78

8.8 Interaksi Obat ... 78

BAB IX PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL ... 81

9.1 Penyakit Ginjal Kronik ... 81

9.2 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika ... 82

9.2.1 Perubahan Farmakokinetika ... 82

9.2.1.1 Perubahan absurpsi obat ... 82

9.2.1.2 Perubahan distribusi obat ... 82

9.2.1.3 Perubahan metabolisme dan eksresi ... 83

9.2.2 Perubahan Farmakodinamika ... 84

9.3 Penyesuaian Dosis untuk Pasien dengan Gangguan Ginjal ... 84

9.3.1 Therapeutic Drug Monitoring ... 84

9.3.2 Pendekatan Praktis ... 86

9.4 Contoh-contoh Soal ... 87

BAB X PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN HATI ... 90

10.1 Fungsi dan Gangguan Hati ... 90

10.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinik ... 91

10.3 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika Obat ... 91

10.4 PerubahanAliran Darah di Hati ... 91

(9)

10.6 Strategi Penyesuaian Dosis ... 94 10.6.1 Obat dengan Extraction Ratio Tinggi ... 94 10.6.2 Obat dengan Extraction Ration Menengah ... 95 10.6.3 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan

Protein Rendah ... 95 10.6.4 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan

Protein Tinggi ... 95 10.7 Contoh-contoh Soal ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 102

LAMPIRAN I - DAFTAR SINGKATAN ... 102

LAMPIRAN II - PARAMETER FARMAKOKINETIKA, REGIMEN DOSIS DAN FARMAKODINAMIKA

BERBAGAI OBAT... 104

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

Disiplin ilmu biofarmasi, farmakodinamika, farmakokinetika, dan farmakokinetika klinis sangat erat hubungannya dan sering dipertukarkan antara yang satu dengan lainnya. Biofarmasi mempelajari hubungan antara sifat fisika kimia obat dan bentuk sediaannya dengan efek biologik setelah diberikan kepada manusia ataupun hewan. Jadi, konsep biofarmasi banyak diaplikasikan dalam rangka pengembangan obat baru. Kajian biofarmasi bersifat semi kuantitatif.

Berbeda dengan biofarmasi, kajian farmakokinetika bersifat kuantitatif. Farmakokinetika berasal dari perkataan pharmacon (= obat) dan kinetics (=sesuatu yang berubah dengan pertambahan waktu). Jadi, farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan jumlah obat di dalam tubuh dengan bertambahnya waktu. Farmakokinetika juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi obat yang dihitung secara kuantitatif berdasarkan konsep matematika serta diaplikasikan untuk menghitung besarnya dosis dan interval pemberian obat. Farmakokinetika juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari apa yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat . Selain biofarmasi, konsep farmakokinetika juga penting diaplikasikan dalam rangka pengembangan obat baru.

(12)

Berbeda dengan farmakokinetika, farmakodinamika adalah ilmu yang mempelajari apa yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh atau ilmu yang mempelajari mekanisme kerja obat. Farmakodinamika menghubungkan konsentrasi obat di dalam plasma dengan respons terapi, sedangkan farmakokinetika menghubungkan antara dosis obat dengan konsentrasi obat di dalam plasma. Dengan demikian mudah dipahami bahwa farmakokinetika mempunyai hubungan yang erat dengan farmakodinamika.

(13)

BAB II

PENGGOLONGAN OBAT DAN

KONSEP PENGATURAN

RESPONS

2.1. Penggolongan Obat

Berdasarkan cara pemberiannya, obat dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu obat yang diberikan secara intravaskular (intravena) dan ekstravaskular yaitu dimasukkan ke dalam tubuh tidak secara langsung ke dalam pembuluh darah.

2.1.1 Pemberian Intravaskular

Pemberian intravaskular artinya obat langsung dimasukkan ke dalam pembuluh darah vena atau arteri. Dalam hal ini tidak ada proses absorpsi obat, maka semua obat (dosis yang diberikan) yang ada dalam sediaan masuk ke dalam tubuh.

2.1.2 Pemberian Ekstravaskular

(14)

Secara skematis, peristiwa yang dialami oleh obat di dalam tubuh setelah diberikan secara intravena dan per oral dapat dilihat pada Gambar 2.1. Dari skema tersebut dapat dilihat bahwa obat yang diberikan secara intravena langsung memasuki sirkulasi sistemik dan tidak mengalami peristiwa absorbsi. Jadi, seluruh obat yang diberikan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Berbeda dengan pemberian obat secara intravaskular, obat yang diberikan per oral, terlebih dahulu mengalami peristiwa absorpsi ke dalam sirkulasi sistemik. Di dalam darah, baik obat yang diberikan secara intravena maupun per oral akan berikatan secara reversible dengan protein plasma dalam bentuk senyawa kompleks yang mengadakan kesetimbangan (equilibrium) dengan obat bebas. Obat-obat yang bersifat asam berikatan dengan albumin, sedangkan obat-obat yang bersifat basa berikatan dengan alpha acid glycoprotein (AAG).

Obat bebas di dalam darah akan didistribusikan ke dalam jaringan tubuh termasuk yang mengandung reseptor dan organ pengmetabolisme yang selanjutnya metabolit yang dihasilkan akan dieksresikan. Obat dengan reseptor membentuk senyawa kompleks sehingga menyebabkan respons farmakologi. Berdasarkan teori penempatan (occupational theory), besarnya respons yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi obat yang berikatan dengan reseptor. Dengan demikian konsentrasi obat pada reseptor perlu dimonitor agar efek terapi yang diinginkan tercapai. Namun pendekatan ini tidak mungkin dilaksanakan karena tidak praktis. Contohnya adalah reseptor digoxin terdapat di dalam myocardium. Sampel obat tidak mungkin dapat diambil dari jaringan ini. Konsentrasi obat di dalam plasma, urin, saliva, dan cairan lainnya dapat diukur. Perubahan konsentrasi obat di dalam plasma merupakan gambaran perubahan konsentrasi obat pada reseptor dan jaringan lainnya. Peninggian konsentrasi obat di dalam plasma mengakibatkan peninggian konsentrasi obat di jaringan lainnya. Dengan perkataan lain, konsentrasi obat yang berikatan dengan reseptor ini sebanding dengan konsentrasi obat bebas yang ada di dalam plasma. Jadi, pengaturan respons dapat dilakukan dengan mengatur konsentrasi obat di dalam plasma.

(15)

pengaturan respons farmakologi ialah menjaga agar konsentrasi obat selalu berada dalam rentang terapi.

Gambar 2.1. Skematis nasib obat di dalam tubuh

Rentang terapi adalah batasan konsentrasi obat di dalam serum yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek pengobatan tanpa efek toksik yang signifikan. Sungguhpun rentang terapi merupakan konsentrasi efektif untuk kebanyakan pasien, namun konsentrasi terapi dapat bervariasi dari pasien yang satu ke pasien lainnya (individual variability). Kadang-kadang pasien tertentu membutuhkan kadar obat sedikit lebih rendah atau lebih tinggi dari rentang terapi untuk menghasilkan efek pengobatan yang optimal (optimal efficacy). Rentang terapi berbagai obat tercamtum pada Tabel 2.1. Seperti tercantum pada Tabel 2.1 rentang terapi obat-obat tersebut bervariasi dari 0.006 sampai 400 mcg/ml.

Efek terapi optimal dapat diperoleh dengan mempertahankan agar konsentrasi obat tetap berada dalam rentang terapi dengan mengatur besarnya dosis dan interval pemberian (kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh) yang berdasarkan kepada besarnya eliminasi obat. Karena struktur kimia berbagai kelompok obat

(16)

berbeda satu sama lainnya, maka akan menghasilkan parameter farmakokinetika yang berbeda-beda pula sehingga dosis dan interval pemberian akan berbeda.

Tabel 2.1 Rentang terapi berbagai obat

No Nama Obat Terapi Rentang

Terapi (mcg/ml)

1 Acatazolamide Glaucoma 10-30

2 Digitoxin Congestive Heart Failure

0,01-0,02

3 Digoxin Congestive Heart Failure

0,0006-0,002

4 Gentamycin Infeksi bakteri Gram negative

1-10

5 Lidocain Ventricular Arithmia 1,2-5,6

6 Lithium Depresi 0,04-1,4

(mEq/L) 7 Nortriptyline Depresi endogen 0,05-0,14

8 Phenobarbital Epilepsi 10-25

9 Phenytoin Epilepsi 10-20

10 Procainamide Ventricular Arithmia 4-8

11 Propranolol Angina Pectoris 0,01-0,1

12 Quinidine Cardiac Arithmia 3-6

13 Theophylline Asthma 6-20

14 Warfarin Thrombo embolic diseases

1-4

15 Salicylic Acid Pain & Aches 20-100

Rheumatoid arthritis 100-300

(17)

2.2. Contoh-contoh Soal

1. Ilmu yang mempelajari perubahan jumlah obat di dalam tubuh dengan pertambahan waktu disebut:

a. Farmakokinetika b. Farmakodinamika c. Bioavailabilitas d. Farmakogenetik

2. Farmakodinamika adalah ilmu yang mempelajari tentang: a. Apa yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat

b. Apa yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh

c. Menghubungkan antara dosis dengan konsentrasi obat didalam plasma

d. Tidak ada jawaban yang benar

3. Farmakokinetika berbeda dengan biofarmasi yaitu:

a. Kajian farmkokinetika lebih bersifat kuantitatif dibandingkan dengan kajian biofarmasi

b. Kajian biofarmasi lebih bersifat kuantitatif dibandingkan dengan kajian farmakokinetika

c. Hanya kajian farmakokinetika yang dapat diaplikasikan dalam pengembangan obat baru

d. Tidak ada jawaban yang benar

4. Strategi pengaturan efek terapi dapat dilakukan dengan: a. Menentukan kadar obat pada reseptor

b. Mnghitung jumlah obat di dalam plasma c. Mengatur konsentrasi obat di dalam plasma d. Tidak ada jawaban yang benar

5. Obat yang diberikan secara intravena mempunyai nilai bioavailabilitas:

a. > 100% b. < 100% c. 1

(18)

6. Obat yang diberikan per oral mempunyai nilai bioavailabilitas: a. > 100%

b. < 100% c. 1

d. Tidak ada jawaban yang benar

7. Setelah memasuki sirkulasi sistemik, obat yang bersifat asam: a. Berikatan secara reversibel dengan protein plasma

b. Berikatan secara irreversibel dengan protein plasma

c. Berikatan dengan protein plasma dan akan didistribusikan ke dalam organ-organ lain

d. Tidak ada jawaban yang benar

8. Di dalam plasma, obat yang bersifat basa berikatan dengan: a. Albumin

b. AAG c. Globulin

d. Tidak ada jawaban yang benar

9. Respons yang dihasilkan oleh suatu obat akan menurun sebagai akibat dari:

a. Distribusi obat ke dalam jaringan b. Metabolisme

c. Metabolisme dan eksresi d. Tidak ada jawaban yang benar

10. Yang dimaksud dengan rentang terapi suatu obat adalah: a. Konsentrasi obat yang menghasilkan efek maksimal dan

meniadakan efek samping

b. Konsentrasi obat yang meniadakan efek toksik

(19)

Jawaban:

Jawaban yang benar untuk soal nomor 1 sampai dengan 10 adalah sebagai berikut:

(20)

BAB III

PENGERTIAN DAN

PERHITUNGAN

PARAMETER-PARAMETER

FARMAKOKINETIKA

Seperti telah diuraikan dalam Bab II bahwa pengaturan respons terapi dilakukan dengan mengatur kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh yang berdasarkan kepada kecepatan eliminasi. Terkait dengan hal tersebut, parameter-parameter farmakokinetika yang menentukan besarnya jumlah obat di dalam tubuh dan kecepatan eliminasi serta berperan penting dalam menentukan regimen dosis perlu dipahami terlebih dahulu. Parameter-parameter tersebut meliputi:

 Volume Distribusi (V)

 Konstanta Kecepatan Eliminasi (k)

 Waktu paruh (t ½)

 Persen eliminasi dalam hubungan dengan t ½

 Cleareance (bersihan): - Clearance Total (Cl) - Clearance Renal (ClR) - Clearance Extra Renal (ClER)

3.1. Pemberian Obat Secara Intravena

3.1.1 Volume Distribusi (V)

(21)

Setelah distribusi sempurna (kesetimbangan atau equilibrium dicapai), maka jumlah obat (A) di dalam tubuh berhubungan dengan konsentrasi obat di dalam plasma (C) seperti dituliskan dalam persamaan (1) dan (2):

A = V.C ...……….………..(1)

V = A/C ………....(2)

Berdasarkan persamaan (2), maka mudah dipahami bahwa volume distribusi:

 merupakan perbandingan antara jumlah obat di dalam tubuh dengan konsentrasi di dalam plasma atau darah

 merupakan volume plasma atau darah yang dibutuhkan untuk memberi gambaran distribusi obat di dalam tubuh setelah kesetimbangan dicapai

 merupakan indikator besarnya distribusi obat ke dalam cairan tubuh dan jaringan serta gambaran/indikasi obat di dalam tubuh

 jarang berhubungan dengan ukuran tubuh

 berhubungan dengan ikatan protein

Obat yang bersifat polar cenderung memiliki volume distribusi yang kecil. Sebaliknya, obat yang bersifat non-polar cenderung mempunyai volume distribusi yang besar. Semakin besar volume distribusi obat, semakin sedikit jumlah obat yang berada di dalam plasma.

3.1.2 Konstanta Kecepatan Eliminasi (k)

Konstanta kecepatan eliminasi merupakan salah satu parameter

metabolisme dan eliminasi obat. Konstanta kecepatan eliminasi

ditentukan dengan mengaplikasikan konsep persamaan order reaksi. Dalam hal ini tubuh dianggap mengikuti model satu kompartemen terbuka dengan asumsi bahwa:

 tubuh merupakan suatu system yang homogen

 obat masuk ke dalam sirkulasi darah, tanpa proses absorpsi

 distribusi obat berlangsung dengan cepat dan homogen

(22)

Dengan demikian kecepatan eliminasi obat berbanding lurus dengan jumlah obat di dalam tubuh sebagaimana dijelaskan berikut ini:

Setelah kesetimbangan dicapai, kecepatan eliminasi adalah sebagai berikut:

dt dA

= k.A

k = A

dt dA/

A = Jumlah obat di dalam tubuh.

Perubahan jumlah obat di dalam tubuh dapat dituliskan dengan persamaan (3).

dt dA

= - kA ……….…………. (3)

Bila persamaan (3) diintegralkan, maka akan diperoleh persamaan (4) dan (5):

A = Ao e –kt ………...(4) V. C = V. Co e –kt ………...(5) Setelah obat diberikan secara intravena, jumlah obat di dalam tubuh saat t = 0 (Ao) adalah sama dengan dosis obat. Persamaan (5) dapat disederhanakan menjadi persamaan (6).

C = Co e-kt ………...(6)

Persamaan (6) menunjukkan konsentrasi obat di dalam tubuh menurun secara eksponensial setelah diberikan secara intravena bolus seperti tertera pada Gambar 3.1.

Ao ( = Dosis ) k t = 0

(23)

Gambar 3.1. Plot konsentrasi versus t

Umumnya analisis parameter-parameter farmakokinetika dan konsentrasi obat dapat dengan mudah dilakukan dengan menggunakan persamaan garis lurus. Persamaan (6) dapat ditulis menjadi persamaan (7):

In C = In Co – kt ………...…(7)

Persamaan (7) merupakan persamaan garis lurus yang mana apabila diplot ln C versus waktu (t), maka akan diperoleh garis lurus seperti tertera pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Plot ln C versus t

Cara lain untuk menganalisis data adalah dengan memplot konsentrasi versus waktu di atas kertas grafik semilog. Contoh kertas grafik semilog adalah seperti dicantumkan pada Gambar 3.3.

C

t

lnC

(24)
(25)

Gambar 3.3. Kertas grafik semilog

Siklus ketiga

Siklus pertama

(26)

Contoh kertas grafik semilog pada Gambar 3.3 adalah kertas grafik 3 siklus. Nilai sumbu y adalah fleksibel, tergantung kepada rentang konsentrasi obat yang akan diplot. Bila nilai y terendah adalah 1 (perpotongan antara sumbu y dan sumbu x), maka nilai paling tinggi pada siklus petama adalah 10. Selanjutnya angka 2 pada siklus kedua adalah 20 dan angka paling tinggi pada siklus ini adalah 100.

Dari persamaan (7) dapat dipahami bahwa:

konstanta kecepatan eliminasi merupakan slope dari persamaan linier tersebut dan dapat dibaca dari grafik.

 konstanta kecepatan eliminasi merupakan fraksi obat yang dieliminasi dari dalam tubuh setiap unit waktu. Contoh: Suatu obat mempunyai nilai k sebesar 0,3 jam-1. Nilai ini bermakna bahwa 30 persen dari jumlah obat yang berada di dalam tubuh dieliminasi setiap jam. Satuan k untuk reaksi order pertama adalah waktu-1.

 Bila k diketahui, maka jumlah obat yang tinggal di dalam tubuh untuk waktu tertentu setelah diberikan secara intravena (iv) dapat diketahui.

Misalkan suatu obat diberikan secara intravena dengan dosis sebesar 1000 mg. Obat tersebut mempunyai nilai k = 0,1 jam-1. Jumlah obat yang tinggal dan dieliminasi setiap jam dapat dihitung dan hasilnya adalah seperti tertera pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Perubahan jumlah obat di dalam tubuh (dosis = 1000mg; k = 0,1 jam-1)

Waktu Jumlah Tereliminasi (mg) Jumlah yang tinggal di

dalam tubuh (mg)

0 0 1000

1 100 900

2 90 810

Dua konsep penting yang perlu dipahami, yaitu:

 proporsi obat tereliminasi adalah konstan

(27)

3.1.3 Waktu Paruh (t1/2)

Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga konsentrasi obat tinggal setengah dari konsentrasi sebelumnya. Berdasarkan persamaan (7) yaitu:

In C = In Co – kt

maka waktu paruh (t1/2) dicapai pada konsentrasi (C) = 2 Co

, bila

disubtitusikan ke dalam persamaan (7), maka:

In 2 Co

= In Co – k t1/2

k t1/2 = In 2, maka waktu paruh dapat dituliskan dengan persamaan (8).

t1/2 = k o,693

………...…(8)

Waktu paruh:

 merupakan ukuran bagaimana obat dieliminasi dari dalam tubuh

 tidak tergantung kepada dosis

 tidak tergantung kepada cara pemberian obat

 spesifik untuk setiap obat

 merupakan faktor penentuan dalam perhitungan dosis obat

3.1.4 Proporsi Obat Tereliminasi

Proporsi obat tereliminasi dapat dihubungkan dengan waktu paruh obat. Dari persamaan (4):

A = Ao e –kt

Proporsi yang tinggal (P) di dalam tubuh adalah:

P = Ao

A

(28)

Misalkan n = jumlah t1/2 yang dilalui setelah obat diberikan secara

Dengan demikian, apabila diketahui waktu paruh obat, maka proporsi yang tinggal di dalam tubuh dan proporsi tereliminasi dapat dihitung. Proporsi obat yang tinggal di dalam tubuh dan proporsi tereliminasi dihubungkan dengan waktu paruh tercantum dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Proporsi obat yang tinggal di dalam tubuh dan tereliminasi dihubungkan dengan waktu paruh

t ½ kumulatif (n) P (proporsi yang

3.1.5 Clearance Total (Cl)

Clearance total merupakan volume obat per satuan waktu (misalnya ml/menit) yang dikeluarkan oleh tubuh. Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk menghitung nilai clearance obat, yaitu: a. Menghubungkan kecepatan eliminasi obat dengan konsentrasi

obat di dalam plasma yang dapat dituliskan sebagai berikut:

(29)

Persamaan (10) = persamaan (11) Cl . C = k V C

Jadi:

Cl = kV ……….(12)

b. Menghubungkan dosis dengan Luas Daerah Dibawah Kurva (LDDK) atau Area Under the concentration-time Curve (AUC)

Dari persamaan (11):

dt dA

= k V C

dt dA

= Cl. C

Ao

o dA = Cl

t

o

Cdt

Maka akan diperoleh persamaan (13):

Ao = Dosis = Cl x A U C ……….(13)

Nilai clearance dapat dihitung dengan mengaplikasikan persamaan (13) karena dosis yang diberikan diketahui dan AUC dari Gambar 3.4 dapat dihitung dengan menggunakan Trapezoidal Rule (rumus trapezium).

Gambar 3.4. Plot konsentrasi versus t

C

AUC

(30)

3.1.6 Clearance Renal dan Clearance Ekstrarenal

Ginjal (renal) merupakan organ utama pengeliminasi obat. Peranan renal dalam proses eliminasi dapat dipisahkan dari proses-proses ekstrarenal (hepatic metabolisme, biliary excretion) dengan menganalisis jumlah obat yang muncul di dalam urin pada interval waktu tertentu. Konstanta kecepatan eliminasi adalah jumlah dari konstanta kecepatan eliminasi renal dan konstanta kecepatan eliminasi ekstrarenal seperti dituliskan pada persamaan (14).

K = kR + kER ……….(14)

KR = Konstanta kecepatan eliminasi renal. KER = konstantan kecepatan eliminasi ekstrarenal.

Untuk obat yang dieliminasi berdasarkan reaksi order pertama, kecepatan munculnya obat di dalam urin:

dt dAu

= kR. A ……….(15) A = jumlah obat di dalam tubuh.

Karena A = Ao e –kt

Maka akan diperoleh prsamaan (16):

dt dAu

= kR. Ao.e –kt……….(16)

Persamaan (16) dapat dirubah menjadi persamaan linier sebagaimana dituliskan pada persamaan (17) berikut:

In dt dAu

= (InkR Ao ) – kt ..……….(17)

(31)

Gambar 3.5. Plot ln dAu/dt versus t

Berdasarkan persamaan (17) maka:

Intercept = kR . Dosis ……….(18)

Karena dosis yang diberikan diketahui dan nilai intercept dapat dibaca dari grafik, maka nilai konstanta renal dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (18). Selanjutnya, konstanta ektrarenal dapat dihitung dengan persamaan (14).

k = kR + kER

kER = k – kR

Clearance renal: ClR = kR . V

Clearance ekstrarenal: ClER = kER . V

Fraksi obat yang diekskresikan dalam bentuk tidak berubah (fu) adalah:

fu = C Cl

C ClR

. .

= Cl ClR

= k kR

...(19)

Parameter fu ini dibutuhkan untuk menghitung fungsi ginjal dalam perhitungan dosis untuk pasien dengan gangguan ginjal yang akan dibahas pada Bab IX.

In

dt dAu

t

(32)

Parameter farmakokinetika berbagai obat dapat dilihat pada

d. t1/2 bila terjadi induksi enzim (dalam hal ini km menjadi dua kali lipat)

Jawab:

a. Perhitungan waktu paruh obat Konstanta kecepatan eliminasi:

c. Pada pasien gagal ginjal kR = 0, maka eliminasi obat hanya melalui proses metabolisme, maka:

t1/2 = 3,5jam

e. Bila terjadi induksi enzim (km dua kali lipat), maka: Km = 2 x 0,2 jam-1 = 0,4 jam-1

(33)

2. Suatu obat diberikan secara intravena bolus sebanyak 100 mg kepada pasien dengan t1/2 = 8 jam; Cl = 2 1iter/ jam. Hitunglah konsentrasi obat pada saat t = 0 (Co) dan konstanta kecepatan eliminasi (k).

Jawab: intravena dan diperoleh konsentrasi obat di dalam plasma pada saat t = 0 adalah 25 mg / liter. Delapan jam kemudian

konsentrasi obat di dalam plasma menurun menjadi 6.25 mg/liter.

Hitunglah:

a. waktu paruh obat (t1/2) b. clearance ( Cl )

c. bila konsentrasi efektif minimum adalah 10 mg/liter, kapan konsentrasi ini dicapai?

Jawab:

a. Perhitungan waktu paruh obat

(34)

t1/2 =

b. Perhitungan clearance obat

Cl = kV: V = 10liter

c. Perhitungan waktu yang dibutuhkan sehingga dicapai konsentrasi efektif minimum (10 mg/liter)

log C = log Co -

konsentrasi efektif minimum dicapai 5,3 jam setelah obat diberikan. Jadi waktu tersebut adalah saat berkhirnya efek optimal obat.

(35)

Misalkan tubuh bersifat sebagai model satu kompartemen terbuka dan berat badan (BB) rata-rata pasien adalah 75 kg. Hitunglah:

a. Volume distribusi b. Waktu paruh c. Clearance total

Jawab:

a. Perhitungan volume distribusi obat Dosis = 2 mcg / kg ; BB = 75 kg

Gambarkan grafik hubungan antara konsentrasi dan waktu di atas kertas semilog, maka akan diperoleh kurva seperti tertera pada Gambar 3.6, maka dari grafik dapat dibaca bahwa Co = 6.5 ng / ml

V = Dosis/Co = (75x 2 mcg)/(6,5 ηg/ml) = 22,9 liter = 23 liter

b. Dari Grafik akan diperoleh nilai t1/2 = 3,3 jam c. Perhitungan nilai clearance total

Cltotal = kV

K = 0,693/t1/2 = 0,693/3,3 jam = 0,21jam-1

(36)
(37)

5. Data di bawah ini obat yang diekskresikan dalam bentuk tidak berubah melalui urine setelah diberikan 100 mg secara intravena.

Diketahui volume distribusi obat (V) = 100 liter Hitunglah:

a. Waktu paruh obat (t1/2)

b. Konstanta Kecepatan Eliminasi (k) c. Konstanta Kecepatan ekskresi renal (k R) d. Clearance renal (Cl R)

e. Fraksi obat tidak berubah di dalam urin (fe)

Jawab:

a. Untuk mendapatkan waktu paruh obat, maka terlebih dahulu

digambarkan grafik ln dt dAU

versus t. Jadi karena akan

digunakan kertas grafik semilog, maka dt dAU

langsung diplot

terhadap waktu sehingga akan diperoleh kurva seperti tertera pada Gambar3.6

Berdasarkan persamaan:

(38)

Gambar 3.6. Plot kecepatan eksresi versus waktu

1 4 7

.

.

.

.

31mg/jam

Waktu (jam)

Ke

cepat

an

eksre

si (dAU

/dt)

(m

g

/jam

)

1

0,1 10

(39)

c kR . Dosis = intercept = 31 mg / jam

kR x 100 mg = 31 mg / jam kR = 0,31 jam-1

d. Cl R = k R . V

= 0.31 jam-1 x 100 liter = 31 liter / jam

e. fe = 76.05% jam

4076 . 0

jam 31 . 0

1 --1

 

k kR

(40)

BAB IV

PEMBERIAN INFUS DENGAN

KECEPATAN KONSTAN

4.1. Prinsip Steady State

Steady state (SS) atau kondisi tunak adalah suatu keadaan yang mana tidak terjadi perubahan jumlah atau konsentrasi obat di dalam tubuh dengan bertambahnya waktu. Bila kecepatan masuknya (input rate) obat ke dalam tubuh adalah konstan (order nol) sedangkan kecepatan eliminasi (output rate) adalah eksponensial, maka obat akan terakumulasi sampai kondisi tunak dicapai. Dengan demikian steady state dapat dipertahankan apabila kecepatan infus dipertahankan.

4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi SteadyState

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah obat di dalam tubuh selama infus diberikan dapat dijelaskan berdasarkan prinsip farmakokinetika seperti tertera pada Gambar 4.1 berikut:

Gambar 4.1. Plot jumlah obat di dalam tubuh versus t R k

A

……….. SS: R = k A A

(41)

R = Kecepatan pemberian infus

A = Jumlah obat dalam tubuh dalam waktu t

K = Konstanta kecepatan eliminasi untuk reaksi order pertama

Selama infus diberikan, kecepatan perubahan jumlah obat di dalam tubuh dengan pertambahan waktu (dA/dt) adalah selisih antara kecepatan pemberian dengan kecepatan eliminasi, maka:

dt dA

= Kecepatan pemberian infus - kecepatan eliminasi

dt dA

= R – kA …….………..………(1)

Pada kondisi tunak (steady state) tidak ada perubahan jumlah obat di dalam tubuh dengan adanya pertambahan waktu atau:

dt

Dari persamaan (2), jelaslah bahwa jumlah obat pada steady state:

 Berbanding lurus dengan kecepatan pemberian infus

 Berbanding terbalik dengan konstanta kecepatan eliminasi

Persamaan (2) dapat ditulis sebagai berikut:

Css V =

Dari persamaan (3) dapat diambil kesimpulan bahwa:

(42)

 peninggian kecepatan infus dengan faktor X akan menghasilkan peninggian konsentrasi Steady State dengan faktor yang sama

4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Obat Selama Infus Diberikan

Dari persamaan (1) diketahui bahwa:

dt A = Jumlah obat di dalam tubuh selama pemberian infus

Mengingat bahwa jumlah (A) adalah hasil kali antara volume (V) dengan konsentrasi (C), maka:

VC =

Maka akan diperoleh persamaan (4):

C = Css (1 – e-kt)………...(4)

Konsentrasi obat selama infus diberikan:

 Berbanding lurus dengan kecepatan pemberian infus

 Berbanding terbalik dengan konstanta kecepatan eliminasi

 Berbanding terbalik dengan volume distribusi

4.4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Mencapai Steady State

(43)

Bila nilai k dan t disubtitusikan ke dalam persamaan (4), maka akan diperoleh:

C = Css [1 – e-0,693/ t ½ . n t½ ]

C = Css ( 1 – e -0,693 n ) = Css (1 – ( ½ ) n)

Fraksi steady state dapat dihitung dengan persamaan (5):

C/Css = 1 – (1/2)n ...……….………..(5) Bila n = 1:

Css C

= 1 – (1/2) = 0,50

Bila n = 2: Css

C

= 1 – (1/2)2 = 0,75

Bila n = 3: Css

C

= 1 – (1/2)3 = 0,88

Bila n = 3.3: Css

C

= 1 – (1/2)3.3 = 0,90

Praktisnya, steady state dianggap dicapai dalam waktu 3.3 t ½ setelah obat diberikan atau 90 % SS.

Dari persamaan (5):

Css

C

= 1 – (1/2)n

Dengan demikian waktu yang dibutuhkan untuk mencapai steady state (SS):

 Hanya tergantung kepada t1/2

 Tidak tergantung kepada dosis atau kecepatan pemberian infus

Semakin singkat waktu paruh obat semakin cepat steady state dicapai.

4.5. Kombinasi Intravena Bolus dan Infus

(44)

steady state. Dengan demikian, obat yang mempunyai waktu paruh panjang tidak praktis apabila hanya diberikan secara infus kecepatan konstan saja, karena membutuhkan waktu yang lama sampai diperoleh efek pengobatan. Kombinasi pemberian intravena bolus dengan infus kecepatan konstan seperti tertera pada Gambar 4.2 sering dilakukan agar efek pengobatan segera diperoleh dan dipertahankan.

Gambar 4.2. Plot konsentrasi versus waktu untuk rute infus dan intravena

Dalam hal ini, pemberian intravena bolus berperan sebagai dosis muatan (loading dose, LD), sedangkan pemberian infus kecepatan konstan berperan sebagai dosis pertahanan (maintenance dose, MD).

Dosis muatan dihitung dengan menggunakan rumus:

LD = Css.V

Dosis pertahanan dihitung dengan menggunakan rumus:

MD = Cl.Css

………

………..

Infus

C

t

(45)

4.6. Konsentrasi Obat di dalam Plasma Setelah Infus Dihentikan

Profil konsentrasi obat di dalam plasma setelah infus dihentikan adalah sama dengan profil konsentrasi obat setelah diberikan secara intravena seperti tertera pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Plot konsentrasi versus jumlah t ½ setelah infus dihentikan

C = Konsentrasi obat di dalam plasma

Selama infus diberikan, maka:

C = Css (1 – e –kt) Setelah infus dihentikan, maka:

C = Css e –kt ………...(6)

……… Css

C

Jumlah t ½

Setelah

(46)

4.7. Estimasi Parameter Farmakokinetika

Parameter farmakokinetika dapat dianalisis berdasarkan kepada persamaan (4):

C = Css ( 1 – e –kt ) C = Css - Css e –kt

In ( Css - C) = In Css –kt………...(7)

Persamaan (7) merupakan persamaan linier, bila ln (Css - C) diplot terhadap waktu (t), maka akan diperoleh garis lurus seperti tertera pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Plot ln (Css - C) versus t

 K = Slope dari ln (Css – C) versus t

 t 1/2 = k 693 , 0

 Cl T = Css

R

R = ClT . Css

 V = k Cl

………. Intercept = Css

Ln (Css – C) ……… Slope = -k

(47)

4.8. Contoh-contoh Soal

1. 5 Fluorouracil mempunyai t1/2 = 7,5 menit. Kapan dicapai konsentrasi tunak (Css)?

Jawab:

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi tunak adalah 3,3 t1/2 = 3,3 x 7,5 menit = 25 menit.

2. Phenobarbital mempunyai t1/2 = 5 hari. Kapan dicapai konsentrasi tunak (Css)?

Jawab:

Konsentrasi tunak dicapai setelah 3,3 x 5 hari = 16,5 hari

3. Hitunglah loading dose dan maintenance dose theophylline yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mempertahankan konsentrasi di dalam darah sebesar 10 mcg/ml. Diketahui volume distribusi (V) = 0,5 1iter/kg ; t1/2 = 8 jam.

Jawab:

Loading dose = Css V

= 10 mcg/ml x 0,5 1iter/kg = 5 mg/kg

K = 2 / 1

693 , 0

t = 8jam

693 , 0

= 0,087 jam -1

Cl = kV = 0,087 jam-1 x 0,5 1iter/kg = 0,04 1iter/kg jam Maintenance dose = Cl . Css

= 0,04 1iter/kg jam x 10 mg/liter

= 0,4 mg/kg jam

(48)

Jawab:

Dosis untuk pasien dengan kebiasaan merokok perlu disesuaikan. Kecepatan pemberian infuse untuk pasien perokok tersebut adalah 1,5 x 0,4 mg/kg jam sampai 2 x 0,4 mg/kg jam atau 0,6 mg/kg jam sampai 0,8 mg/kg jam.

5. Suatu obat diberikan secara infus dengan kecepatan konstan (R = 300 mcg/menit) selama 60 menit. Hubungan antara konsentrasi obat dan waktu adalah seperti tertera pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hubungan antara konsentrasi dan waktu setelah obat diinfuskan

Konsentrasi steady state (Css) dicapai pada akhir pemberian infus.

a. Hitunglah k dan V

b. Berapa konsentrasi obat setelah 20 menit infus dihentikan ? c. Jika kecepatan infus 600 mcg / menit, berapa konsentrasi

obat setelah

20, 40 dan 60 menit infuse diberikan?

d. Berapa dosis muatan yang dibutuhkan untuk memperoleh 70 mcg / 100 ml dengan segera dan berapa kecepatan pemberiaan infus untuk mempertahankan konsentrasi ini?

Jawab:

a. R = 300 mcg / menit, CSS = 51,8 mcg / ml Dari grafik diperoleh t1/2 = 10 menit

(49)

R = CSS x Cl  Cl = 600/300 (dua kali lipat). Jadi:

Konsentrasi setelah 20 menit obat diinfuskan adalah 70 mcg / 100 ml

Konsentrasi setelah 40 menit obat diinfuskan adalah 96 mcg / 100 ml.

(50)

BAB V

PEMBERIAN OBAT

EXTRAVASCULAR

Salah satu cara pemberian ekstravaskular yang paling sering dilakukan untuk menghasilkan efek sistemik adalah per oral karena dapat dilakukan oleh pasien sendiri tanpa bantuan perawat ataupun dokter. Berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorpsi yang meliputi kinetika absorpsi, ketersediaan hayati (F), hubungan antara waktu dengan konsentrasi, analisis parameter-parameter farmakokinetika (konstanta kecepatan absorpsi, konstanta kecepatan eliminasi, konsentrasi maksimum dan waktu yang diperlukan agar dicapai konsentrasi maksimum) setelah obat diberikan per oral.

5. 1. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi

Untuk obat yang diberikan per oral, absorpsi saluran pencernaan ke dalam sirkulasi sistemik merupakan persyaratan (prerequisite) agar obat didistribusikan ke organ-organ tubuh termasuk reseptor, selanjutnya dihasilkan efek pengobatan.

(51)

Gambar 5.1. Tahapan yang terlibat dalam proses absorpsi obat

Umumnya obat diberikan per oral dalam bentuk padat, seperti tablet dan kapsul. Karena obat padat tidak dapat diabsorpsi melalui membran, maka obat tersebut harus terlebih dahulu larut. Kecepatan dan besarnya disolusi tergantung kepada sifat fisika kimia, proses produksi obat, dan faktor fisiologi tubuh. Di samping senyawa aktif, senyawa lain yang ditambahkan untuk meningkatkan stabilitas, mempermudah proses pembuatan, dan meningkatkan penerimaan pasien (patient acceptability) dapat mempengaruhi disolusi senyawa aktif serta efek terapi.

(52)

Obat yang berada di dalam sirkulasi sistemik, selanjutmya didistribusikan ke organ-organ tubuh termasuk reseptor, kemudian dihasilkan efek pengobatan. Besarnya respons yang dihasilkan ditentukan oleh obat yang berikatan dengan reseptor. Semakin banyak obat yang berikatan dengan reseptor, semakin tinggi respons yang dihasilkan.

5.1.1. Ketersediaan Hayati Per Oral

Ketersediaan hayati (F) per oral merupakan fraksi obat yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah diberikan dengan dosis tertentu per oral dibandingkan dengan fraksi yang masuk ke dalam sirkulasi sitemik setelah diberikan secara intravena dengan dosis yang sama. Nilai F dapat dihitung persamaan berikut:

F = AUCpo/AUCiv

AUCpo = Area under the concentration-time curve atau luas daerah di bawah kurva setelah diberikan per oral. AUCiv = Area under the concentration-time curve atau luas

daerah di bawah kurva setelah diberikan intravena. Nilai F biasanya lebih kecil dari satu.

5.1.2. Kinetika Absorpsi

Absorpsi obat per oral ke dalam tubuh manusia selalu dianggap mengikuti kinetika order pertama, seperti halnya absorpsi ekstravaskular lainnya, maka dapat dituliskan sebagai berikut:

Kecepatan absorpsi = ka . Aa ...………(1) ka = konstanta kecepatan absorpsi

Aa = jumlah obat yang akan diabsorpsi.

Kekuatan penggerak absorpsi adalah perbedaan konsentrasi obat pada absorption site (Ca) dengan konsentrasi obat tak terikat di dalam darah arteri (Cu).

(53)

p = konstanta permiabilitas

A = Luas permukaan saluran pencernaan.

Distribusi dan eliminasi obat yang telah diabsorpsi menjamin supaya nilai Cu jauh lebih kecil dari Ca, sehingga persamaan (2) dapat ditulis menjadi:

Kecepatan absorpsi = p . A . Ca...……(3)

Bila diasumsikan bahwa volume cairan pada absorption site (Va) selalu konstan, maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai berikut:

Kecepatan absorpsi =



Dari persamaan (4) dapat dilihat bahwa kecepatan absorpsi mengikuti reaksi order pertama yang mana konstanta kecepatan absorpsi ditentukan oleh konstanta permiabilitas obat, luas area saluran pencernaan, serta volume cairan pada absorption site. Sungguhpun absorpsi dibatasi oleh kecepatan disolusi sebagaimana dirumuskan dalam persamaan (1), namun kecepatan absorpsi masih mengikuti reaksi order pertama. Hal ini disebabkan karena disolusi merupakan fungsi luas permukaan partikel terlarut yang mana menurun secara eksponensial. Sebagai mana halnya proses reaksi order pertama lainnya, absorpsi obat dapat digambarkan dalam waktu paruh. Bila persamaan (1) diintegralkan, maka:

Aa = F . Dose . e-ka . t ...………(6)

5. 1.3.Hubungan antara Waktu dengan Konsentrasi Obat

Kecepatan perubahan jumlah obat di dalam tubuh merupakan selisih antara kecepatan absorpsi dengan kecepatan eliminasi yang dapat ditulis sebagai berikut:

(54)

Cl .C Bila persamaan (7) diintegralkan, maka:

Mengingat bahwa jumlah adalah hasil kali antara volume dengan konsentrasi (A = V.C), maka:

C = tertentu setelah diberikan per oral dengan menggunakan persamaan (8).

5.1.4. Analisis Parameter-Parameter Farmakokinetika

(55)

dari kecepatan eliminasi yang dapat diamati dari penurunan kurva.

Gambar 5.1. Plot konsentrasi obat terhadap waktu

Waktu paruh obat dan konstanta kecepatan eliminasi dapat ditentukan dari fase eliminasi obat. Waktu paruh absorpsi obat dan konstanta kecepatan absorpsi dapat dihitung dengan menggunakan metode residual dengan melakukan tahapan berikut:

a) Data diplot di atas kertas grafik semilog sehingga diperoleh kurva C

b) Fase eliminasi kurva C diekstrapolasikan ke sumbu y, maka

diperoleh kurvaC

c) Hitung perbedaan konsentrasi antara C dengan C pada fase konstanta kecepatan eliminasi (k). Pada saat waktu (t) sama dengan tidak terhingga (~), maka:

(56)

e-ka.t = 0

C = I e-kt ………..…(10)

Persamaan (10) dapat ditulis menjadi persamaan (11) yaitu:

ln C = ln I - kt ………..…(11)

Konstanta kecepatan eliminasi obat (k) dan waktu paruh obat dapat dihitung dari persamaan tersebut di atas.

Bila persamaan (10) dikurangi dengan persamaan (9) maka:

C - C = I e-kt - I ( e-kt - e–ka.t )

= I e-kt - I e-kt + e–ka.t C - C = I e–ka.t

In (C – C ) = 1n I - ka . t………...(12)

Pada saat t = 0, maka:

e–ka.t = 1 e-kt = 1 maka :

( C – C ) = 0

Sehingga konsentrasi maksimum obat di dalam tubuh (Cmax) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (13) sebagai berikut:

Cmax = .e-k.t max V

D F

………..(13)

Waktu yang dibutuhkan agar dicapai konsentrasi maksimum dapat dihitung dengan persamaan (14).

tmax =

k -ka

(ka/k) In

(57)

5.2. Contoh-contoh Soal

1. Aminophyllin sebanyak 600 mg (setara dengan theophylline 520 mg) diberikan per oral kepada seorang pasien dengan berat badan 70 kg. Rentang terapi theophylline adalah 10–20 mg/liter, k = 0.11 jam-1, V = 0,5 L/kg BB, ka = 0.8 jam-1 dan F = 1.0. Ditanya:

a) Konsentrasi obat di dalam plasma 6, 8 dan 12 jam setelah pemberian obat.

b) Berapa konsentrasi maksimum obat di dalam plasma?

Jawab:

Dengan cara yang sama, konsentrasi obat di dalam plasma: 8 jam setelah diberikan adalah 7,02 mg/L

12 jam setelah diberikan adalah 4,599 mg/L

b. Konsentrasi maksimum obat di dalam plasma dapat

ln7,273/(0,69) = 1,984/0,69 = 2,875

(58)

BAB VI

PRINSIP PENGATURAN

PEMBERIAN DOSIS GANDA

Dalam bab ini diuraikan pendekatan pengaturan dosis dan interval pemberian obat, penentuan kecepatan dan besarnya akumulasi setelah obat diberikan dengan dosis dan interval tertentu, penentuan regimen dosis obat berdasarkan t½, F, interval pemberian & CI (untuk eliminasi reaksi order pertama), penentuan parameter farmakokinetika obat dari data pasien serta pemberian obat dosis berganda, konsep perhitungan konsentrasi minimum dan maksimum obat serta pemberian obat dengan dosis berganda.

6.1. Pendekatan Pengaturan Dosis dan Interval Pemberian Obat

Pertanyaan berapa banyak obat harus diberikan dan berapa frekuensinya untuk tujuan terapi bukan hal yang sederhana. Pada prinsipnya ada 2 pendekatan yang telah dilakukan yaitu:

1. Pendekatan empiris 2. Pendekatan kinetika

6.1.1. Pendekatan Empiris

(59)

pendekatan ini yaitu memerlukan biaya yang lebih besar dan waktu yang lebih lama, bahkan kadang-kadang terjadi efek toksik.

6.1.2. Pendekatan Kinetika

Pendekatan kinetika yaitu berdasarkan kepada hipotesis bahwa respons pengobatan dan efek toksik berhubungan dengan jumlah obat di dalam tubuh dan konsentrasi obat di dalam plasma. Pendekatan ini lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan empiris. Berdasarkan data farmakokinetika dosis tunggal, maka kadar obat di dalam tubuh dapat diprediksi ketika akan diberikan dengan dosis berganda. Kesesuaian regimen dosis tertentu selanjutnya dapat dievaluasi dalam hal lamanya obat di dalam tubuh dan hubungan yang diketahui antara kadar obat, respons terapi dan efek toksik. Selanjutnya regimen dosis diatur berdasarkan respons terapi yang dihasilkan. Aplikasi prinsip-prinsip farmakokinetika penting untuk menghitung dosis dan interval yang tepat dengan segera dan berfungsi untuk mengevaluasi regimen dosis yang diberikan.

6.1.3. Faktor-faktor Penentu Pengaturan Dosis dan Interval

Agar diperoleh efek terapi yang optimal, maka dalam pengaturan dosis dan interval obat yang rasional harus dipertimbangkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan efek terapi. Faktor-faktor-faktor tersebut meliputi aktivitas-toksisitas, farmakokinetika, faktor klinik, toleransi, faktor genetik, serta interaksi obat. Semua faktor ini saling berhubungan satu sama lain. Untuk mempertahankan jumlah obat di dalam tubuh, dosis muatan dan dosis pertahanan harus diberikan pada interval tertentu untuk menjaga agar jumlah obat berada di atas konsentrasi efektif minimum dan di bawah konsentrasi yang menghasilkan efek samping dan toksik. Pada Bab 2, Tabel 1 tercantum rentang terapi (batasan antara konsentrasi efektif minimum dan konsentrasi efektif maksimum) berbagai obat.

(60)

aktivitas-toksisitas, klinik, toleransi, genetik serta interaksi obat akan dibahas secara mendetail dalam Bab VIII.

6.2. Akumulasi Obat

(61)

Gambar 6.1. Fluktuasi jumlah obat di dalam tubuh dengan dosis yang berbeda

6.3. Interpretasi Kinetika

6.3.1. Interval Pemberian dan Akumulasi Obat

Pengaruh dosis dan interval pemberian terhadap akumulasi obat dapat dijelaskan sebagai berikut:

Misalnya obat diberikan secara intravena dengan dosis 100 mg dan interval pemberian sama dengan waktu paruh. Bila diplot hubungan antara jumlah obat di dalam tubuh versus waktu (dalam hal ini sebagai sumbu y adalah jumlah obat di dalam tubuh dan sumbu x adalah waktu paruh), maka akan diperoleh kurva sebagai berikut:

Waktu (waktu paruh)

A

B Cssmax

(62)

Gambar 6.2. Pengaruh dosis dan interval pemberian terhadap akumulasi obat

Berdasarkan Gambar 6.2, maka dapat dijelaskan bahwa:

1. Setelah interval I, pada saat t = 0, jumlah maksimum obat di dalam tubuh (Ab1max) sama dengan dosis yaitu 100 mg.

(63)

semakin tinggi akumulasi. Hal yang penting diketahui adalah apakah jumlah obat maksimum di dalam tubuh berada dalam batas yang aman atau telah mengakibatkan efek toksik. Konsep perhitungan jumlah maksimum dan minimum obat di dalam tubuh akan dijelaskan berikut ini.

6.3.2. Jumlah Maksimum dan Minimum Obat di Dalam Tubuh

Misalkan sejumlah obat (=Dose) diberikan secara intravena dengan

interval pemberian (τ). Setelah setiap pemberian, maka:

Fraksi obat yang tinggal pada waktu t adalah e-kt.

Fraksi obat yang tinggal pada akhir interval pemberian (τ) adalah e-kτ.

Jumlah obat di dalam tubuh setelah pemberian ke N dapat dihitung.

Bila waktu = 2τ, maka fraksi yang tinggal = e-2kτ

. Jumlah obat di dalam tubuh setelah pemberian dosis berganda adalah total dari jumlah yang tinggal dari setiap pemberian terdahulu.

Misal:

e-kτ = r

Maka, jumlah maksimum obat setelah pemberian ke 4 adalah:

Ab 4 max = Dose . (1 + r + r2 + r3)

Jumlah maksimum obat di dalam tubuh setelah pemberian ke N adalah:

Ab N max = Dose. (1 + r + r2……+ rN-2 + rN-1) ...…..(1)

Persamaan tersebut dikalikan dengan r, akan diperoleh:

Ab N max . r = Dose. (1 + r + r2 ……+ rN-2 + rN-1 + rN)...(2)

Bila persamaan (2) dikurangi dengan persamaan (1), maka akan diperoleh persamaan:

(64)

Ab N max = Dose .

Jumlah minimum obat di dalam tubuh:

AbN, min =

Jumlah maximum obat di dalam tubuh pada Steady State:

Abss, max =

(1/2) 1

1

D ...………..(5) Jumlah minimum obat di dalam tubuh pada Steady State:

Abss, min =  

Pada steady state kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh (input) sama dengan kecepatan eliminasi (output), artinya jumlah obat yang dieliminasi sama dengan jumlah obat yang diabsorbsi seperti ditulis pada persamaan (7).

(65)

D/ = k Abav ………...(7) D = dosis

 = interval pemberian

Abav = jumlah rata-rata obat di dalam tubuh

k = konstanta kecepatan eliminasi =

2

Maka akan diperoleh persamaan (8):

Abav = 1,44 t1/2 (D/ ) ...(8)

6.3.4 Konsentrasi Rata-Rata Obat Di Dalam Plasma Pada

Steady State

Mengingat bahwa konsentrasi (C) adalah jumlah per volume ( V Ab

)

serta absorbsi diasumsikan berlangsung cepat, maka berdasarkan persamaan (5), konsentrasi obat maksimum pada kondisi tunak (Css, max) adalah sebagai berikut:

Dengan cara yang sama berdasarkan persamaan (6) konsentrasi obat minimum pada kondisi tunak (Css, min) adalah sebagai

FD/τ = k. V.Cav, sehingga:

(66)

Dengan demikian, konsentrasi rata-rata obat di dalam plasma (Cav) adalah sebagai berikut:

V FD t

Cav1,441/2( /)

……….(12)

6.3.5. Indeks Akumulasi

Indeks akumulasi atau accumulation ratio (RAC) dapat diperoleh dengan menghubungkan jumlah maksimum dan jumlah minimum obat pada steady state dengan jumlah setelah pemberian dosis

6.3.6. Kecepatan Akumulasi Sampai Dicapai Steady State

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai steady state tergantung kepada waktu paruh obat (yaitu sebesar 3,3 t1/2) dantidak tergantung kepada frekuensi pemberian obat.

(67)

6.3.7. Hubungan antara Dosis Muatan dengan Dosis Pertahanan

Bila absorbsi obat berlangsung sangat cepat, maka profil hubungan antara konsentrasi (C) dengan waktu (t) atau jumlah obat di dalam tubuh (Ab) dengan waktu (t) setelah obat diberikan per oral dapat diasumsikan sama dengan profil setelah obat diberikan

secara intravena. Selama satu interval (1τ) pada steady state, jumlah pada saat t = 0 adalah sama dengan Abss maksimum, maka:

Jumlah tersisa pada 1 Abss, max. e-kτ

Jumlah yang hilang pada 1  Abss, max – Abss max . e-kτ = Abss, max (1-e-kτ)

Dosis pertahanan atau maintenance dose (MD) yang harus diberikan untuk mempertahankan konsentrasi tunak harus sama dengan jumlah obat yang hilang pada satu interval yaitu:

FMD = Abss, max (1- e-kτ) Yang mana:

MD = Maintenance Dose pada steady state F = ketersediaan hayati absolut

Ketersediaan hayati obat ekstravaskular, berbeda antara yang satu dengan lainnya karena perbedaan sifat fisika kimia obat dan faktor fisiologi. Biasanya nilai ketersediaan hayati obat yang diberikan secara ekstravaskular adalah lebih kecil dari 1. Jadi, agar segera dicapai jumlah maksimum steady state, maka faktor ketersediaan hayati (F) harus dimasukkan ke dalam perhitungan dosis muatan sebelum obat diberikan kepada pasien menggunakan persamaan berikut:

LD = Abss, max/F MD = LD (1- e-kτ) LD =

) 1

( e k) DM

(68)

dosis muatan (LD = 500 mg), dosis pertahanan (MD) adalah 250 mg. Berdasarkan Gambar 6.3 pada regimen A jelas terlihat bahwa jumlah obat di dalam tubuh langsung berada dalam kondisi tunak dengan efek terapi yang diharapkan. Berbeda dengan regimen A, pada regimen B faktor ketersediaan hayati tidak dimasukkan ke dalam perhitungan dosis muatan. Pada regimen B, dosis muatan sama dengan dosis pertahanan yaitu 250 mg. Sebagai konsekuensinya yaitu diperlukan waktu yang lebih lama sampai dicapai kondisi tunak sebagaimana terlihat pada Gambar 6.3. Jadi pada regimen B diperlukan waktu sekitar 3 sampai 4 waktu paruh sampai dicapai steady state.

Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa bila efek terapi optimal ingin dicapai dengan segera, maka faktor ketersediaan hayati harus diperhitungkan dalam pemberian dosis muatan.

Gambar 6.3. Profil pemberian obat dengan regimen yang berbeda

Setelah Steady State dicapai selanjutnya kurva A akan sama dengan kurva B seperti ditunjukkan pada Gambar 6.3.

6.4. Contoh-contoh Soal

1. Suatu obat diberikan dengan dosis 30 mg per hari dan mengakumulasi di dalam tubuh sampai dicapai jumlah rata-rata dalam keadaan tunak sebesar 300 mg. Obat diabsorpsi segera dengan sempurna. Ditanya:

(69)

b. Jumlah maksimum (Abmax) dan jumlah minimum (Abmin) obat pada kondisi tunak apabila diberikan 300 mg per minggu

c. Dosis muatan yang diperlukan agar dicapai konsentrasi tunak dengan segera

Jawab:

a. Perhitungan waktu paruh obat:

Rac = Abavg/(F.Dose) = 300 mg/(1x 30 mg) = 10 Rac = 1,44 (t1/2/τ)

10 = 1,44 (t1/2/1) t1/2 = 6,9 hari = 7 hari

b. Berdasarkan konsep, maka jumlah maksimum dan minimum obat pada kondisi tunak apabila diberikan 300 mg per minggu adalah:

Abmax = 2 x dosis = 2 x 300 mg =600 mg Abmin = Dosis = 300 mg

c. Dosis muatan yang diperlukan agar dicapai konsentrasi tunak dengan segera adalah 300 mg

2. Chlorpropamide diberikan kepada seorang pasien penderita diabetes dengan dosis 250 mg per hari. Bila bioavailabilitas obat = 1 dan waktu paruh obat = 36 jam, berapa jumlah rata-rata obat di dalam tubuh pada kondisi tunak?

Jawab:

(F.D)/τ = k. Abavg

Abavg = 1,44 t1/2 (D/ )

= 1,44. 36 jam (250 mg/24 jam) = 540 mg

3. Paracetamol diberikan kepada seorang pasien dengan dosis 500 mg tiga kali sehari. Waktu paruh obat adalah 8 jam. Hitung jumlah paracetamol rata-rata di dalam tubuh.

Jawab:

Abavg = 1,44 t1/2 (D/ )

= 1,44. 8 jam (500 mg/8 jam) = 729 mg

(70)

Dokter akan memberi terapi ciprofloxacin tablet. Diketahui waktu paruh ciprofloxacin adalah 6 jam, volume distribusi 0,25L/kg berat badan, bioavailabilitas adalah 0,5, dan rentang terapi adalah 3 - 6 mcg/ml. Berapa dosis dan interval pemberian ciprofloxacin tablet agar diperoleh efek terapi yang optimal?

Jawab:

Pengaturan besarnya dosis dan interval pemberian obat adalah berdasarkan kepada kecepatan eliminasi obat. Parameter kecepatan eliminasi obat adalah clearance dan konsentrasi obat di dalam plasma.

k =0,693/t1/2 = 0,693/6 jam = 0,12 jam-1 V = 70 kg x 0,25L/kg = 17,5 L

Maka:

Cl = k x V = 0,12 jam-1 x 17,5 L = 2,1L/jam = 2100 ml/jam

Perhitungan kecepatan pemberian obat:

F .D/τ = Cl .Css

Bila Css yang dipilih adalah 4 mcg/ml, maka:

0,5 D/τ = 2100 ml/jam x 4 mcg/ml = 8400 mcg/jam D/τ = 16800 mcg/jam

Perhitungan interval pemberian maksimum (τmax):

τmax = 1,44 t1/2 lnCmax/Cmin

= 1,44. 6 jam ln 4/3= 1,44. 5 jam (ln 6 – ln 3) = 8,64 jam ( 1,792 – 1,099) = 8,64 jam .0,693 = 5,988 jam

Bila interval pemberian yang dipilih adalah 6 jam, maka: D (dosis) = 6 jam x 16800 mcg/jam = 100800 mcg = 100,8 mg Jadi dosis ciprofloxacin tablet yang harus diberikan adalah 100,8 mg/6 jam.

(71)

BAB VII

KINETIKA METABOLIT

Metabolit obat merupakan salah satu aspek yang harus dikaji, karena dapat menyebabkan perubahan respons farmakologi. Kemungkinan pertama yaitu metabolit dapat menghasilkan respons farmakologi yang sama dengan respons farmakologi obat asalnya sehingga meningkatkan efeknya, seterusnya dapat menimbulkan efek toksik terhadap pasien. Kemungkinan lain yaitu metabolit dapat bersifat tidak aktif secara farmakologi, namun bersifat sebagai inhibitor, memperpanjang ataupun memperbesar efek pengobatan. Selain itu metabolit juga dapat mempengaruhi disposisi (metabolisme) obat dengan cara menggeser ikatan antara molekul obat dengan protein plasma ataupun jaringan sehingga mempengaruhi efek terapi. Dalam Bab ini akan dibahas tentang berbagai metabolit, faktor-faktor penentu jumlah metabolit di dalam tubuh, serta implikasinya terhadap terapi.

7.1. Proses Metabolisme Obat

(72)

Tabel 7.1. Berbagai obat dengan metabolit aktif

Obat yang Diberikan

Metabolit Obat yang

diberikan diberikan secara intravena dosis tunggal, dapat dijelaskan berdasarkan skema seperti tertera pada Gambar 7.1. Obat di dalam tubuh (A) menghasilkan sejumlah metabolit (Am) yang mempunyai kecepatan konstanta metabolisme (k), serta metabolit yang dihasilkan dieliminasikan dalam bentuk tidak berubah (Ame).

Metabolisme eliminasi metabolit A Am Ame

(k) (km)

Gambar 7.1. Skematis pembentukan metabolit

yang mana:

(73)

Kedua tahap di atas yaitu proses metabolisme obat dan eliminasi metabolit dapat dicirikan sebagai reaksi order pertama yang mempunyai konstanta berturut-turut k dan km. Kecepatan perubahan jumlah metabolit di dalam tubuh dapat ditulis sebagai berikut:

Kecepatan perubahan = kecepatan pembentukan – kecepatan eliminasi Metabolit di dalam tubuh

= k . A - km . Am

Kecepatan pembentukan metabolit (kA) juga merupakan kecepatan masuknya metabolit ke dalam sirkulasi darah.

km . Am = kecepatan eliminasi metabolit.

Jumlah tahapan yang terlibat di dalam eliminasi metabolit tidak begitu penting, akan tetapi yang penting adalah di tahapan mana berlangsung paling lambat. Sebagai contoh adalah tahapan metabolisme seperti tertera pada Gambar 7.1. Jumlah metabolit yang dihasilkan ditentukan oleh proses yang paling lambat berlangsung diantara kedua tahap tersebut. Untuk memperjelas pemahaman tentang prinsip tersebut dapat dilihat dari skema metabolisme obat A seperti dicantumkan pada Gambar 7.2.

Gambar 7.2. Skema metabolism obat A. Konstanta kecepatan metabolisme dinyatakan dalam jam-1.

Berdasarkan Gambar 7.2 dapat dilihat bahwa ada 3 tahap dalam proses metabolisme obat A menjadi metabolit D. Tahap penentu kecepatan metabolisme obat A menjadi metabolit D ditentukan oleh metabolisme metabolit B menjadi menjadi metabolit C yaitu sebesar 0.05 jam-1.

A B C D

(74)

7.2.1. Kecepatan Metabolisme Sebagai Penentu Jumlah Metabolit

Jumlah metabolit di dalam tubuh akan ditentukan oleh kecepatan metabolisme apabila:

1. Waktu paruh eliminasi obat lebih panjang dari waktu paruh metabolit.

2. Jumlah obat di dalam tubuh lebih banyak dibanding dengan jumlah metabolit

3. Kecepatan eliminasi metabolit hampir sama dengan kecepatan pembentukannya, sehingga:

Km . Am ≈ k A Maka,

Am = k/km . A

4. Jumlah metabolit di dalam tubuh sebanding dengan jumlah obat. Bila diplot hubungan antara konsentrasi dengan waktu, akan diperoleh kurva seperti tertera pada Gambar 7.3. Pada kurva terlihat seolah-olah waktu paruh metabolit sama dengan waktu paruh obat. Namun sebenarnya apabila metabolit diberikan secara tunggal, akan mempunyai waktu paruh yang lebih singkat dibanding dengan waktu paruh obat sendiri.

Gambar 7.3. Hubungan antara konsentrasi dengan waktu I = obat di dalam tubuh; II = metabolit di dalam tubuh; III = obat

pada lokasi absorpsi t

konsent

rasi I

(75)

Contoh situasi dimana kecepatan metabolisme obat sebagai faktor penentu pembentukan metabolit adalah pemberian tolbutamide secara intravena. Tolbutamide merupakan salah satu antidiabetes. Obat ini dimetabolisme melalui oksidasi menjadi metabolit aktif yaitu hydroxytolbutamide. Di dalam tubuh, hampir seluruh tolbutamide diubah menjadi metabolit yaitu mendekati 100%. Clearance hydroxytolbutamide lebih besar (kira-kira 20 kali lipat) dibandingkan dengan clearance tolbutamide. Karena volume distribusi tolbutamide dan hydroxytolbutamide hampir sama yaitu 0,15 – 0,30 liter, maka oksidasi tolbutamide menentukan eliminasi hydroxytolbutamide. Metabolit ini segera diieksresikan dari dalam tubuh, maka dengan demikian metabolit ini tidak begitu penting dipertimbangkan dalam terapi.

7.2.2. Kecepatan Eliminasi Metabolit Sebagai Penentu

Kondisi-kondisi berikut ini mengimplikasikan bahwa jumlah metabolit ditentukan oleh kecepatan eliminasi:

1. Waktu paruh eliminasi metabolit lebih panjang dari waktu paruh obat.

2. Metabolit mengakumulasi di dalam tubuh.

3. Faktor penentu jumlah metabolit adalah eliminasi metabolit.

Plot hubungan antara konsentrasi metabolit dan obat versus waktu adalah sebagaimana tertera pada Gambar 7.4.

Gambar 7.4. Plot konsentrasi metabolit versus waktu. I = metabolit di dalam tubuh; II = obat pada lokasi absorpsi;

III = obat di dalam tubuh

konsent

rasi

I

II III

Gambar

Gambar 2.1. Skematis nasib obat di dalam tubuh
Gambar 3.2. Plot ln C versus t
Gambar 3.3. Kertas grafik semilog
Tabel 3.1.  Perubahan jumlah obat di dalam tubuh (dosis =   1000mg; k = 0,1 jam-1)
+7

Referensi

Dokumen terkait