Makalah Proposal Penelitian Mikrobiologi Pertanian
Trichoderma Viride sebagai biofungisida untuk mengatasi penyakit antraknosa pada tanaman cabai (Capsicum annuum).
Dosen Pengampu : Ir. Nur Rochman, MP
Oleh : Yusuf Bachtiar
A.1410872
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Djuanda Bogor
BAB. I PENDAHULUAN
I. 1. Latar BelakangCabai merupakan komoditas hortikultura penting di Indonesia. Salah satu kendala penyebab berfluktuasinya produksi cabai adalah gangguan penyakit yang dapat menyerang sejak tanaman di persemaian sampai pascapanen. Antraknosa pada cabai merupakan penyakit yang paling sering ditemukan dan hampir selalu terjadi disetiap areal tanaman cabai. Penyakit antraknosa ini disebabkan oleh jamur
Colletotrichum capsici (Syd.) Bult.et.Bisby. Penyakit ini selain mengakibatkan penurunan hasil juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Serangan patogen ini dapat terjadi baik sebelum maupun setelah panen yang menurunkan hasil produksi cabai dan merugikan para petani sampai 50% (Semangun, 2007).
Selama ini pengendalian penyakit ini masih bertumpu pada penggunaan fungisida. Namun disadari selain hasilnya tidak memuaskan, penggunaan pestisida terus menerus dapat mengakibatkan timbulnya resistensi patogen, merusak lingkungan dan berbahaya bagi konsumen.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu diambil alternatif pengendalian yang efektif terhadap penyebab penyakit tanaman tanpa mengandalkan fungisida sistetik. Pengendalian biologi menunjukkan alternatif pengedalian yang dapat dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan sekitarnya, salah satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus, jamur atau cendawan, bakteri atau aktiomisetes.
Jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai agens hayati dari jamur patogenik diantaranya adalah Trichoderma spp. Jamur Trichoderma spp digunakan sebagai jamur atau cendawan antagonis yang mampu menghambat perkembangan patogen melalui proses mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi. Jamur
Pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang sering dilakukan oleh petani adalah dengan menggunakan fungisida, karena sampai saat ini belum ada tanaman cabai merah yang tahan terhadap penyakit antraknosa. Prinsip penggunaan fungisida didasarkan pada prinsip antibiotik terhadap tanaman. Cara lainnya yang digunakan untuk mengendalikan penyakit yaitu penggunaan bahan kimia sintetik yang mampu memicu ketahanan tanaman.
Bila patogen sudah menginfeksi jaringan tanaman, umumnya fungisida tidak efektif dalam pengendalian penyakit. Dalam banyak kasus, informasi spesifik tentang siklus penyakit sangat dibutuhkan dalam aplikasi fungisida yang tepat untuk melindungi tanaman. Dalam label fungisida memberikan petunjuk pengaplikasian, biasanya dengan jarak interval 7-14 hari. Jika kelembaban tinggi atau pertumbuhan tanaman cepat, maka interval terendah antar aplikasi yang sering digunakan, dan jika kelembaban rendah maka digunakan interval tertinggi.
I. 2. Tujuan
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Prajnanta (1996) tanaman cabai dalam taksonomi tumbuhan, diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub. Divisio : Angiospermae
Kelas : Dycotiledoneae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annuum L.
Tanaman cabai mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung zat berkhasiat yaitu minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas. Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar ( Harpenas, 2010).
Morfologi Tanaman cabai
berkisar 35 – 48 cm dan lateral (sekunder). Menurut (Tjahjadi, 1991) akar tanaman cabai masuk tegak lurus ke dalam tanah. Akar ini berfungsi sebagai penegak pohon.
Batang utama cabai tegak dan pangkalnya berkayu dengan tinggi 20 – 28 cm dan diameter 1,5 – 2,5 cm (Hewindati, 2006). Percabangan bersifat dikotomi atau menggarpu. Menurut (Tjahjadi, 1991) tanaman cabai memiliki batang tegak berbentuk bulat dapat tumbuh setinggi 50 – 150 cm, merupakan tanaman perdu yang warna batangnya hijau dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku yang panjang tiap ruas 5 – 10 cm dengan diameter data 5 – 2 cm.
Daun cabai menurut Dermawan, (2010) berbentuk hati , lonjong, atau agak bulat telur dengan posisi berselang-seling. Sedangkan menurut (Hewindati, 2006), daun cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing, tulang daun menyirip dilengkapi urat daun. Panjang daun berkisar 9 – 15 cm dengan lebar 3,5 – 5 cm. Daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai dengan panjang 0,5 – 2,5 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, panjang 1,5 – 12 cm, lebar 1 – 5 cm dengan warna hijau.
Menurut (Hendiwati, 2006), bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil, umumnya bunga cabai berwarna putih. Cabai berbunga sempurna dengan benang sari yang lepas tidak berlekatan. Bunga tanaman cabai cenderung bersifat protogyny, yaitu kepala putik (stigma) telah masak (receptive) sebelum tepung sari atau sebelum antesis, dan tepung sari keluar pada saat bunga mekar. (Yenni Kusandriani, 1996). Warna mahkota putih, memiliki kuping sebanyak 5 – 6 helai, panjangnya 1 – 1,5 cm, lebar 0,5 cm, warna kepala putik kuning. Mahkota bunga terdiri atas 6 – 7 petal yang berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu. Kepala sari berwarna kebiruan sampai ungu.
menjadi merah cerah. Biji yang masih muda berwarna kuning, setelah tua menjadi cokelat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar 4 mm.
Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Cabai
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) penting yang sering menyerang tanaman cabe adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Gloeosporium piperatum dan Colletotrichum capsici. Tingkat serangan penyakit ini bervariasi dan dapat menyebabkan terjadinya kerugian 5-65% (Semangun, 1994).
Menurut Semangun (2007) Penyakit ini selain mengakibatkan penurunan hasil juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Serangan patogen ini dapat terjadi baik sebelum maupun setelah panen yang menurunkan hasil produksi cabai dan merugikan para petani sampai 50%.
Penyakit ini memiliki gejala mati pucuk yang berlanjut ke bagian tanaman bawah, daun, ranting dan cabang menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada batang cabai aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat, et al.2007). pada lingkungann kondusif penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal pertanaman cabai (Syukur, 2007).
Jamur Colletotrichum spp. merupakan jamur parasit fakultatif dari Ordo Melanconiales dengan ciri-ciri konidia (spora) tersusun dalam aservulus. Jamur dari Genus Colletotrichum termasuk dalam Class Deuteromycetes yang merupakan bentuk anamorfik (bentuk aseksual), dan pada saat jamur tersebut dalam telemorfik (bentuk seksual) masuk dalam Class Ascomycetes yang dikenal dengan jamur dalam Genus Glomerella. (Alexopoulos et al., 1996).
Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa pada buah cabai besar secara umum hampir sama dengan gejala serangan jamur patogen lainnya. Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. diawali dengan adanya inokulasi jamur Colletotrichum spp. pada buah cabai, kemudian diikuti dengan proses penetrasi, infeksi, kolonisasi, dan diseminasi. Inokulasi merupakan proses deposisi atau kontaknya inokulum (spora) pada permukaan jaringan inang. Proses penetrasi yaitu proses masuknya organisme patogen ke dalam tubuh inang. Kemudian setelah organisme patogen tersebut masuk ke dalam tubuh inang, maka akan terjadi proses perkecambahan spora.
Terdapat tiga jalan atau cara yang digunakan oleh patogen dalam melakukan penetrasi yaitu, luka, lubang alami, dan penetrasi langsung. Luka yang ada pada tanaman dapat disebabkan oleh manusia, faktor fisik seperti angin, air hujan, atau serangan dari hama. Lubang alami yang biasa digunakan oleh patogen untuk masuk ke dalam tubuh tanaman inang antara lain, stomata, hidatoda dan lenti sel. Sedangkan untuk cara penetrasi langsung, dibutuhkan usaha dari patogen antara lain dengan memproduksi zat kimia berupa enzim atau toksin yang berfungsi untuk mendegradasi dinding sel dan atau merubah permeabilitas membran sel tanaman. Keadaan cuaca yang lembab sangat cocok untuk pembentukan spora dan terjadinya infeksi sehingga diameter lesio akan cepat membesar.
Trichoderma sp
Kemampuan Trichoderma sp untuk melindungi tanaman melibatkan beberapa mekanisme yang terkait dengan sifat biokimiawi spesies tersebut. Semua galur
dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri (Shoresh & Harman, 2008, Conteras-Cornejo et al., 2009).
Mekanisme penyerangan terhadap patogen tanaman antara lain adalah melalui proses mikoparasitisme, yang melibatkan produksi berbagai enzim (biokatalis) hidrolitik (pemecah berbagai senyawa polimer) dan sekresi (produksi dan pengeluaran) senyawa antifungi, antibakteri dan antinematoda.
BAB. III METODELOGI
Pembuatan Biofungisida Trichoderma VirideTrichoderma, sp banyak ditemukan di dalam tanah hutan maupun tanah pertanian atau pada tunggul kayu. Trichoderma, sp akan tumbuh dengan baik pada suhu 6oC sampai dengan 41oC dengan pH optimum 3 sampai dengan 7 dan Sukrosa dan glukosa merupakan karbon utama. Untuk berkembangbiak cendawan ini menggunakan konidia (spora). simpan pada ruangan bersih dan terhindar dari sinar matahari. Trichoderma, sp akan terlihat tumbuh setelah satu sampai dua minggu.
Trichoderma, sp yang telah tumbuh pada media beras dan sekam disebut dengan starter beras yang selanjutnya dapat dibiakkan pada media tanah (BBPP Lembang,2014)
1. Alat dan Bahan
Menurut BBPP Lembang (2014) bahan yang digunakan adalah
 Jamur induk TrichodermaViride (F0)
 Beras
 Setelah beras menjadi 1/3 masak dinginkan pada wadah nampan yang telah disediakan.
 Masukkan beras yang telah didinginkan tersebut kedalam plastik bening. Setiap plastik diisi dengan beras 3 sendok makan.
 Kemudian beras yang telah selesai dimasukkan kedalam plastik kemudian disterilkan dengan cara dikukus selama 10 menit.
 Selanjutnya dinginkan lagi pada nampan hingga benar-benar dingin.
 Sterilkan sendok yang akan digunakan dengan menggunakan alcohol, begitu juga dengan tangan kita.
 Sendok tersebut dekatkan dengan api lilin secara sekilas saja, hal ini untuk bertujuan mensterilkan sendok dari bakteri-bakteri di udara.
 Gunakan sendok yang telah disterilkan tersebut untuk mengambil bahan induk jamur Trichoderma yang telah disediakan.
 Setiap 1 kantong plastik yang berisi beras yang telah dikukuskan tadi akan kita isi dengan bahan induk jamur Trichoderma sebanyak 1/3 sendok.
 Kocokkan agar jamurTrichoderma merata tercampur dengan media beras yang telah kita kukuskan tadi.
 Kemudian setelah itu streples ujung plastik yang terbuka agar tidak ada celah binatang kecil seperti semut masuk kedalam plastik tersebut. diamkan pada wadah nampan selama 14 hari.
 Setelah 14 hari media beras diatas akan berubah warna menjadi warna hijau yang merata.
Perlakuan Tanaman
minggu tanam bibit cabai dengan cara disemprotkan pada seluruh tanaman. Sebanyak 250 mL larutan suspensi konidia Trichoderma Viride. dengan kepadatan 3,7 x 108 konidia/mL dituang ke dalam tanah tempat tumbuh tanaman cabai dan disemprotkan pada tanaman cabai yang telah berumur 2 minggu. Penyemprotan dilakukan pada seluruh tanaman terutama pada organ daunnya. Selanjutnya 3 hari kemudian sebanyak 300 mL suspensi sporangia jamur patogen Colletotrichum capsici dengan kepadatan 103 sporangia/mL juga disemprotkan pada seluruh tanaman kecuali pada perlakuan kontrol positif. Kelembaban udara relatif dijaga dan diatur di sekitar 100%
Daftar pustaka
BBPP Lembang. 2014. Manfaat dan Cara Pembuatan Biofungisida Trikoderma. http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-pertanian/759-manfaat-dan-carapembuatan-biofungisida-trikoderma diakses pada 27 Juni 2016
Conteras-Cornejo, H. A., Macias-Rodriguez, L., Cortes-Penagos, C., Lopez-Bucio, J. 2009. Plant Physiology
Dickman, M.B. (1993). Colletrotichum gloesporoides. Department of Plant Pathology University of Hawaii. Hilo
Djarwaningsih, T. 1984. Jenis- jenis Cabai di Indonesia, dalam Penelitian Peningkatan Pendayagunaan Sumber Daya Alam
Duriat, A.S., N.Gunaeni., dan A.W.Wulandari. 2007. Penyakit Penting Pada Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung.
Harpenas, Asep & R. Dermawan. 2010. Budidaya Cabai Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hewindati, Yuni Tri dkk. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.
Prajnanta. 1994. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Semangun, H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Semangun, H. 2007. Penyakit-penyakit Hortikultura di Indonesia (edisi kedua). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Syukur, M,. 2007. Mencari Genotipe Cabai Tahan Antraknosa. Diakses dari http://ipb.bogor.agricultural.university/mencari.genotipe.cabai.tahan.antrakn osa.htm.