• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KEBIJAKAN PENCAIRAN TUNJANGAN PRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAMPAK KEBIJAKAN PENCAIRAN TUNJANGAN PRO"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN PENCAIRAN TUNJANGAN PROFESI GURU BAGI KEADILAN DAN PERILAKU GURU

Oleh : Winarno

Sejak diberlakukannya UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menjdi angin segar bagi para guru di tanah air. Guru yang selama ini diujuluki ‘Umar Bakri” dengan pandangan yang miring karena menjadi guru pasti miskin sehingga banyak dari mereka tidak mampu menyekolahkan anaknya sampai tinggi, menjadi bisa bernafas agak lega. Harapan mulai terpampang di depan mata akan masa depan putra-putri mereka. Harapan itu masuk akal karena selama ini tugas merek mencerdaskan anak bangsa tapi masa depan putra putri mereka belum jelas.

Undang-undang tersebut dikeluarkan dengan tujuan yang sangat mulia. Pertama mengangkat derajat guru sejajar dengan profesi yang lain seperti dokter, apoteker, atau profesi lainnya sehingga martabat guru sebagai agen pembelajaran meningkat. Hal ini termaktub dalam pasal 2 ayat 1 dan 2. Dan pasal 4. Mulai guru pandidikan anak usia dini sampai guru SMA atau yang sederajat pada jalur pendidikan formal mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional. Bukti dari keprofesionalan seorang guru dtunjukkan dengan adanya serifikat pendidik. Kedua, untuk meningkatklan penghasilan para guru. Hal ini termaktub dalam pasal 14 ayat 1 huruf a, pasal 15 huruf a dan pasal 16. Ke tiga meningkatkan mutu pendidikan nasional seperti termaktub pada pasal 5.

Dari Undang-undang Guru dan Dosen tersebut keluarlah peraturan peraturan pemerintah untuk mengatur regulasi tentang tunjangan profes guru. Peraturan peraturan tersebut mengalami perbaikan-perbaikan yang semakin lama terjadi pengetatan terhadap penyaluran tunjangan profesi guru. Yang terakhir adalah Juknis Penyaluran Tunjangan Profesi Guru PNSD melalui Mekanisme Transer Daerah yag dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015. Namun hal yang belum berubah adalah bahwa untuk mendapat tunjangan profesi seorang guru harus mengampu 24 jam tatap muka yang linear dengan ijasah dan sertifikat pendidiknya, untuk guru tanpa jabatan tambahan apapun dan ada kebijakan boleh menambah jam tatap muka di sekolah lain apabila di sekolah induk belum mencapai 24 jam.

(2)

Keharusan 24 tatap muka inilah yang justru menimbulkan munculnya rasa ketidakadilan bagi guru-guru yang mengajar di sekolah kecil yang jumlah total rombelnya tidak lebih dari 4 atau 5 rombel. Sekolah–sekolah di daerah terpencil atau sekolah yang baru merintis, mereka akan kesulitan memperoleh tunjangan profesi atau bahkan tidak pernah boleh bermimpi memperoleh tunjangan profesi. Sementara mereka mengabdi sepenuhnya di dunia pendidikan. Sungguh hal ini merupakan ketidakadilan. Apalagi ekuivalensi yang semestinya bisa menambah jumlah jam juga semakin diperketat misalnya tenaga perpustakaan harus memenuhi syarat 1000 judul, bagi SMA/SMK yang dulu mempumyai wakil kepala sekolah berjumlah 4 dengan adanya juknis tahun 2015 tersebut jumlah wakil yang diakui sesuai dengan jumlah rombel. Sekolah dengan rombel kurang dari 9 jumlah wakil yang diakui hanya satu, jumlah rombel 10-18 jumlah wakil yang di akui 2, jumlah rombel 19-27 jumlah wakil yang diakui 3 dan jumlah rombel diatas 27 jumlah wakil yang diakui adalah 4. Hal ini semakin membuat guru yang mengabdi di sekolah kecil atau terpencil semakin tidak boleh bermimpi memperoleh tunjangan profesi.

Ketidakadilan berikutnyaterjadi antar guru dalam sekolah. Adanya kebijakan boleh mengajar di sekolah lain juga menambah daftar ketidakadilan dalam penyaluran tunjangan profesi. Dengan adanya ketentuan tersebut di sekolah akan ada dua jenis guru, yaitu guru yang penuh mengabdi di sekolah induk dan guru yang membagi waktunya di sekolah lain. Guru yang mencurahkan pengabdiannya di sekolah induk belum tentu mendapatkan tunjangan profesi karena bisa jadi jamnya kurang. Sedangkan guru yang “ngojek” di sekolah lain pasti dapat. Saya istilahkan ngojek karena tidak jauh berbeda dengan guru jaman dulu yang pulang sekolah menyambi ngojek karena kekurangan finansial. Hal ini merupakan kenyataan di lapangan.

Munculnya perubahan perilaku guru

(3)

jam sehingga mendapat tunjangan profesi. Maka jalan satu satunya adalah mengajar di sekolah lain.

Akibat yang ditimbulkan bagi guru mengajar di sekolah lain adalah ia harus membagi waktu mengajar tanpa memperdulikan lagi bagaimana ia harus mendidik dan melatih siswa. Seandainya guru hanya mendapat 12 jam di sekolah induk maka ia harus mengajar di sekolah lain 12 jam. Akibatnya mungkin di sekolah induk hanya 3 hari dan di sekolah lain 3 hari. Selama tiga hari ia tidak akan peduli bagaimana kondisi siswanya di sekolah induk. Maka jiwa mendidik seorang guru lama-kelamaan akan luntur karena dibenaknya hanya berpikir bagaimana mengajar 24 jam.

Padahal sebenarnya kunci keberhasilan seorang guru adalah bagaimana ia mampu mendidik siswanya. Mendidik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Bagaiamana seorang guru bisa mendidik dengan sungguh sungguh bila waktunya terbagai bagi? Bagaimana apabila hampir semua guru berperilaku demikian?. Sulit membayangkan nasib pendidikan di negeri ini mendatang mengalami kemajuan sesuai harapan undang-undang. Hal ini terbukti hasil UKG tahun 2015 yang hasilnya tidak memuaskan semua pihak.

Perilaku negatif berikutnya adalah guru tidak mau lagi menjabat jabatan tambahan yang tidak diakui dalam pencairan tunjangan sertifkasi dan tidak mau lagi mengajar mata pelajaran lain yang tidak linear karena tidak diakui dalam pencairan tunjangan sertifikasi padahal masih banyak mata pelajaran tidak ada gurunya. Terus kalau demikian siapa yang mangajar mata pelajaran tersebut?

Kita tidak bisa menyalahkan guru sepihak dalam hal ini. Karena perilaku guru tersebut buah dari peraturan yang tidak mengakomodasi wilayah Indonesia yang sangat luas dan hampir semua ada di wilayah yang jauh dari perkotaan dan tidak mengakomodasi adanya banyaknya sekolah yang masih kekurangan guru.

Solusi Pemecahan Masalah

Berangkat dari permasalah munculnya ketidakadilan dan perubahan perilaku guru menuju ke arah negatif dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru maka mestimya pemerintah meninjau kembali juknis tersebut.

(4)

pasien yang hrus ditangani. Seorang guru mestinya tidak harus mengampu 24 jam tatap muka untuk memperoleh tunjangan profesi karena tugas guru tidak hanya mengajar di kelas. Seorang guru yang telah dinyatakan profesional karena memperolah sertifikat pendidik mestinya otomatis memperoleh tunjangan profesi. Untuk menjaga keadilan pencairan tunjangan profesi maka besar perolehan tunjangan profesi disesuaikan dengan banyaknya jam mengajar yang ia ampu. Bila mengajar 24 jam maka ia memperoleh penuh tunjangan profesi yaitu sebesar gaji pokok. Bila hanya mengampu 12 jam ia memperoleh setengahnya. Untuk menambah jam di sekolah tersebut bisa diberlakukan ekuivalensi bagi jabatan atau kegiatan yang lain seperti membina ekstrkurikuler dengan pengawasan yang benar dan ketat. Sehingga guru yang mengajar di sekolah kecil atau terpencil bisa bermimpi untuk memperoleh tunjangan profesi.

Untuk menjaga perilaku guru maka seharusnya seorang guru tidak boleh mengajar di sekolah lain karena tugas utama ia adalah di sekolah dimana surat keputusan pengangkatannya adalah di sekolah tersebut. Sehingga guru benar-benar berkonsentrasi mengajar, mendidik dan melatih di sekolah tersebut. Tentunya hal ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Mudah-mudahan solusi yang penulis berikan dapat menjadi masukan bagi para pemangku kebijakan dibidang pendidikan. Tulisan ini mewakili para guru yang tidak memperoleh keadilan akibat kebijakan yang mungkin belum mengakomodir keluh kesah mereka yang memang telah sungguh-sungguh dan profesional menjadi guru. Penulis adalah : Mahasiswa Magister

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan evaluasi terhadap Dokumen Perusahaan Saudara pada Paket Pekerjaan Pengadaan Bibit Cengkeh Sebanyak 100.450 Pohon, maka untuk proses selanjutnya kami perlu

Shao (2009), the inequality (1.2) has been applied to prove the necessary upper and lower bounds in Theorem 8.6 in order to obtain the moderate deviation result for

Mewujudkan sekolah yang bertanggung jawab dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui tata kelola sekolah yang baik untuk.. mendukung

Dengan demikian, dapat diperoleh kesimpulan bahwa modulus elastisitas spesimen uji papan partikel serbuk kulit kacang tanah dengan variasi ukuran butir mesh 16 lebih tinggi

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati terutama keanekaragaman tumbuhan hias.Beranekaragam flora dan fauna ada di Indonesia dan sebagian

” Dalam rangka penanaman karakter pembelajaran IPS harus memasukan nilai-nilai karakter dalam RPP maupun implementasi pembelajaran, dan selama ini kita masih

[r]

Menurut Jejen Mustafa (2011 : 5), “Jika mutu guru rendah, maka mereka akan sulit dan/atau kalah berkompetensi dengan guru yang lebih bermutu,