• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM (1)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG

GHULUL DAN RISYWAH TERKAIT KORUPSI By Wahyono Saputro, M. Pd. I.

Makalah ini ditulis sebagai sebuah usaha penulis dalam menelusuri nash baik yang berupa ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Muhammad Saw juga pendapat para ulama muslim tentang ghulul dan risywah terkait korupsi. Temuan yang

didapati dalam penelusuran ini pada akhirnya diharapkan dapat memberi kontribusi positif berupa informasi tentang ghulul dan risywah untuk

disosialisaikan kepada ummat Islam Indonesia khususnya, saran dan rekomendasi serta memberikan dukungan terhadap upaya aparat pemberantas korupsi di Indonesia dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan kajian literatur, baik literatur umum maupun khusus terkait dengan korupsi. Kajian literatur umum meliputi perundangan dan peraturan pemerintah Indonesia terkait dengan korupsi. Kajian literatur umum dimaksudkan untuk memberikan wawasan umum mengenai korupsi. Adapaun kajian literatur khusus, yaitu yang meliputi ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad Saw dan pendapat para ulama muslim tentang

ghulul dan riswah terkait korupsi dan bagian inilah yang akan mendapatkan porsi

lebih pada penulisan makalah ini.

Pada bagian pembahasan dalam makalah ini, penulis mendeskripsikan ghulul dan risywah secara bahasa, dilanjutkan pendeskripsian ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad Saw juga pendapat para ulama muslim tentang ghulul

dan risywah. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap ayat Al-Qur’an berdasar teks

hadits Nabi Muhammad Saw dan juga pendapat para ulama muslim agar diperoleh gambaran yang jelas tentang ghulul dan risywah.

Pada bagian kesimpulan dalam makalah ini, penulis menyimpulkan hasil analisa pada bagian pembahasan. Kesimpulan itu berupa pernyataan hukum tentang dengan ghulul dan risywah, saran sosialisasi untuk ummat Islam terkait ghulul dan risywah dan bahan pertimbangan bagi para aparat pemberantas korupsi

di Indonesia dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

(2)

Abstract

ISLAMIC PERSPECTIVE ABOUT GHULUL AND RISYWAH CORNCERNED WITH CORRUPTION

By Wahyono Saputro, M. Pd. I.

The paper wrote as the writer efforted in searched on the nash (Al-Qur’an text), hadits (traditional collection of stories relating words or deeds of Muhammad the

chief source of guidance for understanding religious question), and muslim scholars perception of ghulul (betrayal) and risywah (bribe) concerned with

corruption.

Results of the research, finally, can give the positive contribution as the sharing information hopefully to Indonesian muslim people, specially to suggest and recommendation and giving support for Indonesian goverment agencies concerned with against corruption doing their obligation and duty.

In this paper, writer using the specific and general literatur concerned with collecting corruption data. The genaral literatur covered the rule and law of Indonesian goverment concerned with corruption. And the specific literatur are the nash (Al-Qur’an text), hadits (traditional collection of stories relating words

or deeds of Muhammad the chief source of guidance for understanding religious question), and muslim scholars perception concerned with ghulul (betrayal) and risywah (bribe), so this part is given more portion in this paper

On the core of paper, writer described ghulul (betrayal) and risywah (bribe)

on etimology perspective then described the nash (Al-Qur’an text), hadits

(traditional collection of stories relating words or deeds of Muhammad the chief source of guidance for understanding religious question), and muslim scholars perception concerned with ghulul (betrayal) and risywah (bribe). So that, founded

clear description about ghulul (betrayal) and risywah (bribe).

Finally, on the conclusion part of paper, writer concluded results of analitics. The conclusion were law statement, suggest of sharing to muslim people concerned with ghulul (betrayal) and risywah (bribe) and recommendation for

Indonesian corruption agencies doing their obligation and duty.

(3)

PENDAHULUAN

Strategi nasional (Stranas) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK)

memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang

(2012-2025) adalah ‘terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan

didukung nilai budaya yang berintegritas’. Adapun visi jangka menengahnya

(2012-2014) yaitu ‘terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi

dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang

berintegritas’.1 Kedua visi baik menengah dan jangka panjang diusahakan

pencapaiannya melalui serangkaian misi strategi nasional PPK. Salah satu dari

kelima misi strategi nasional PPK tersebut ialah membangun dan

menginternalisasi budaya anti korupsi pada tata kepemerintahan dan masyarakat. Untuk mewujudkannya, maka pada tahap implementasi strategi,

rumusan yang sejalan dengan strategi nasional tersebut, yaitu meningkatkan

upaya pendidikan dan budaya anti korupsi. Strategi implementasi meningkatkan

upaya pendidikan dan budaya anti korupsi ini merupakan usaha dalam menjawab

satu dari tiga tantangan, yaitu absennya strategi komunikasi dalam pendidikan

budaya anti korupsi yang ditunjukkan dengan kurang efektifnya materi maupun

penyampaian pendidikan dan kampanye anti korupsi pada masyarakat.2 Untuk

1 Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; Jangka Panjang (2012-2025) dan Jangka Menengah (2012-2014), 2012, Jakarta, hlm. 12.

(4)

merealisasikan hal tersebut secara efisien, fokus jangka menengah (2012-2014)

strategi nasional PPK terkait dengan strategi pendidikan dan budaya antikorupsi

yaitu memperluas ruang partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan

korupsi dengan melaksanakan diseminasi antikorupsi oleh masyarakat. Fokus

jangka menengah (2012-2014) ini merupakan penjabaran dari strategi pendidikan

dan budaya antikorupsi fokus jangka panjang (2012-2025) .

Ummat Islam merupakan bagian dari masyarakat Indonesia secara

keseluruhan, juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam upaya pemberantasan

korupsi dengan melaksankan diseminasi antikorupsi seperti dijabarkan pada fokus

jangka panjang (2012-2025) dan jangka menengah (2012-2014) di atas. Hak

berpartisipasi ini bisa dimengerti karena ummat Islam memiliki nilai-nilai

universal yang dianut terkait persoalan substansial korupsi dimana Al-Qur’an dan

Hadits merupakan sumber nilai-nilai universal tersebut dan sumber hukum juga

tentunya.

Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah yang diajukan pada tulisan ini

adalah bagaimana perspektif Islam tentang ghulul dan risywah terkait dengan

korupsi?

Tujuan Penulisan

Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan perspektif

(5)

Kegunaan Penulisan

Melalui penelusuran nash baik yang berupa ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi

Muhammad Saw juga pendapat para ulama muslim tentang ghulul dan risywah

terkait korupsi, diharapkan adanya gambaran yang jelas tentang ghulul dan riswah

terkait dengan korupsi. Kegunaan tulisan ini dapat dirinci sebagai berikut:

Pertama, hasil yang diperoleh dari penulisan makalah ini akan dapat

berguna bagi penulis untuk memperkaya wawasan pengetahuan perspektif Islam

tentang ghulul dan risywah terkait korupsi,

Kedua, secara teoritis penulisan makalah ini dapat memberikan masukan

dan memperkaya referensi para pembaca pada kajian perspektif Islam tentang

ghulul dan risywah terkait korupsi

PEMBAHASAN Pengertian Korupsi

Secara bahasa pengertian korupsi dapat ditemukan disejumlah literatur, seperti

tertulis dalam Webster’s integrated dictionary an Thesaurus. Dalam kamus ini

korupsi memiliki beberapa arti antara lain decomposition (kebusukan), immunity

(6)

(infeksi, menular).3

Transparency International mendefinisikan korupsi dengan the abuse of entrusted power for private gain (penyalahgunaan kekuasaan untuk

kepentingan pribadi).

Korupsi merupakan perbuatan yang dikategorikan Malum in se

(jamaknya mala in se) yang merupakan istilah latin yang artinya salah atau jahat

yang bersumber dalam dirinya sendiri. Frasa malum in se digunakan untuk

mengacu pada tingkah laku yang dinilai sebagai sebuah dosa atau kesalahan tak

terpisahkan pada dasarnya. Ini dibedakan dari malum prohibitum, yang mana

sebuah kesalahan hanya dikarenakan ia dilarang (Malum in se is a Latin

phrase meaning wrong or evil in itself. The phrase is used to refer to conduct assessed as sinful or inherently wrong by nature, independent of regulations governing the conduct4It is distinguished from malum prohibitum, which is wrong only because it is prohibited). Contohnya seperti pembunuhan dan pencurian.

Secara umum masyarakat di Indonesia memahami korupsi sebagai sesuatu

yang merugikan keuangan negara. Namun berdasarkan deskripsi yang terdapat

pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijumpai 30 jenis

tindak pidana korupsi. Secara garis besar ketiga puluh jenis tindak pidana korupsi

tersebut intinya dikelompokkan menjadi tujuh yaitu; 1) kerugian keuangan negara,

3 Abdulmajeed Hassan Bello, Corruption and Democratic Governance in Nigeria: An Islamic Perspective on Solution, International Journal of Advanced Research in Management and

Social Sciences, , Department of Religious Cultural Study, University of UYO AKWA IBOM, State Nigeria, 2013, Vol. 2, No. 1, hlm. 305.

(7)

2) suap-menyuap, 3) penggelapan dalam jabatan, 4) pemerasan, 5) perbuatan

curang, 6) benturan kepentingan dalam jabatan, dan 7) gratifikasi.5 Untuk jenis

yang ketujuh yaitu gratifikasi diatur dalam pasal 12B Ayat 1 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang

dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas,

yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa

bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Garatifikasi tersebut baik yang diterima di

dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan

sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Deskripsi mengenai gratifikasi

tersebut bila dicermati masih umum dan mutlak, ada yang netral (boleh) dan yang

terlarang. Dan supaya jelas kapan sebuah gratifikasi itu dianggap menjadi

kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu setiap

gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya6

Deskripsi mengenai ketujuh jenis korupsi dan tambahan mengenai

pengertian gratifikasi sebagaimana di atas diharapkan akan membantu memahami

bagaimana konsep korupsi terkait dengan pembahasan lebih lanjut tentang ghulul

dan risywah.

5 Doni Muhardiansyah, et.al., Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi Pemberantasan

Korupsi Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. iii.

(8)

Istilah atau term korupsi secara eksplisit tidak terdapat dalam Islam

(Al-Qur’an-Hadits atau Syar’i). Namun demikian, Islam mengemukakan istilah dan

konsep lain yang mirip dan identik dengan istilah korupsi. Terdapat dua istilah

yang sering diangkat terkait dengan istilah korupsi, yaitu istilah ghulul dan

risywah. Pada uraian selanjutnya akan dideskripsikan mengenai kedua istilah

tersebut.

Ghulul

Secara bahasa ghulul berasal dari bahasa Arab yakni, ghalla- yaghullu- ghuluulan

yang salah satu maknanya berarti khianat.7

Lawan dari sifat ghulul (khianat) adalah amanah.8 Dan salah satu bentuk amanah adalah tidak menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Ilyas, jabatan

merupakan amanah yang wajib dijaga. Segala bentuk penyalahgunaan jabatan

untuk kepentingan pribadi, keluarga, famili, atau kelompoknya termasuk

perbuatan tercela yang melanggar amanah. Ia mencontohkan seperti hadiah dan

komisi.9

Terkait tentang ghulul, sejumlah pakar memberikan pendapatnya. Menurut

As-Sa’dy, ghulul adalah al-kitmaan minal ghaniimah (penyembunyian ghanimah).

7 لـ ـَغغ ﱠغغغ ــغـ لغ غغغليـغـﱠلغغلـ Karim Al-Bustaani, Al- Munjid fii al-Lughah wa al- A’laam, Maktabah

Syarqiyyah, Beirut, Libanon, 1987, hlm. 556. Lihat juga Ibnu Jazierah dalam Hukum Korupsi, Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997, No. 330, hlm. 28.

8 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI),

Yogyakarta, 2002, hlm. 89.

(9)

Selain berkaitan dengan ghanimah (harta rampasan perang), ghulul juga dapat

bermakna khianat dalam segala hal yang dikelola oleh manusia (al-khiyaanatu fii

kulli maa yatawallahu al- insaan).10 Menurut Ibnu Jazierah mendefinisikan ghulul yaitu mengambil dari milik bersama atau orang lain dengan cara yang tidak sah

dan meminta atau menerima pemberian atas suatu pekerjaan yang untuk pekerjaan

itu sudah mendapatkan bayaran atau gaji.11

Dalam Al-Qur’an penunjukkan istilah ghulul secara eksplisit pada surah

Ali ‘Imran (3) ayat 161:

َممث ةةماةي ققلا ةمقوةَي َلةغ اةم ب تقأةي قلملقغةَي قنةمةو َلمغةَي قنةأ ٍي بةن ل ةناةك اةمةو

ةنوممةلقظمي ةل قممهةو قتةبةسةك اةم سقفةَن ُلمك ىَفةومَت

Artinya: tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. Q.S. Ali ‘Imran (3): 161.

Dalam sebuah asbabun nuzuul, Ayat ke- 161 dari QS. Ali ‘Imran tersebut

diduga berkaitan dengan hilangnya permadani berwarna merah pada perang

Badar. Hal ini disampaikan oleh Ibnu Abbas ra. “Ayat ini turun berkenaan dengan

hilangnya permadani merah pada perang Badar. Kata sebagian orang, “Mungkin

Rasulullah saw. telah mengambilnya.” Oleh karena itu turunlah ayat ini (Hadits

10 Al-Qur’an beserta tafsir, Tafsir As-Sa’dy (Versi off line, edisi. 4. 1.)

www.islamspirit.com

11 Ibnu Jazierah, Hukum Korupsi, Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997,

(10)

hasan lighairih, riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Thabrani).12

Pendapat Ibnu

Abbas ra. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu ‘Ubaid, bahwa

ungkapan ghulul pada ayat tersebut di atas secara khusus tertuju pada harta

rampasan perang. Terungkapnya peristiwa ghulul pada ayat ke 161 surah Ali

‘Imran menyiratkan dugaan adanya konflik kepentingan.13 Dugaan adanya konflik

kepentingan tersebut diidentifikasi dari peristiwa hilangnya permadani merah

pada perang Badar sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan

Thabrani yang bersumber pada Ibnu Abbas r.a. di atas. Para pakar tafsir seperti

Ibnu Katsir, Qurthubi dan Shihab sepakat bahwa ayat ke 161 surah Ali ‘Imran

tersebut berbicara tentang ghulul (khianat). Ungkapan ghulul pada ayat tersebut

disebut tiga kali. Pertama dengan ungkapan an yaghulla pada kalimat maa kaana

linabiyyin an yaghulla. Bila ungkapan an yaghulla diartikan berkhianat berarti

merujuk kepada makna fiil mudlari (kata kerja bentuk sekarang). Bila ungkapan

an yaghulla diartikan khianat berarti merujuk kepada makna masdar (kata

12 Ahmad Hatta et. al., The Great Quran, Referensi Terlengkap Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,

Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2013, Jilid. 1, hlm. 296. Riwayat yang bersumber dari shahabat Ibnu Abbas terkait dengan asbabun nuzul QS. Ali Imran (3): 161 tersebut juga terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir (Al-Qur’an beserta tafsir, tafsir Ibnu Katsir (Versi off line, edisi. 4. 1.)

www.islamspirit.com) sebagai berikut:

نبا ينثدا زمسقم انثدا زبي ا انثدا زدايز نب دااولا دبع انثدا براوشلا يبأ نب كلملا دبع نب دمحم انثدا :ريرج نبا لاقو اورهكأف زاهعاأ اا لو}ر ل ل :يانلا ا ب لاقف زردب موي تدقف ءارما ةفيطق يف تلزن {لغي نأ يبنل ناك امو} ةيةلا هعه نأ يابع دبع نع زةبيلق نع أا يمج قعمرللاو دواد وبأ هاور اعكو {ةمايقلا موي لغ امب تأي للغي نمو علغي نأ يبنل ناك امو} اا لزنأف زكلذ يف هيرغ نسا :قعمرللا لاقو عهب دايز نب دااولا

(11)

benda/sifat).14

Kata benda atau kata sifat ini bila disandang oleh pelakunya

mengindikasikan bahwa pelakunya memiliki potensi sifat atau bahkan menjadi

karakteristik bagi pelakunya. Namun kedua kemungkinan tersebut yaitu arti

berkhianat dan khianat ini digugurkan oleh kalimat maa15

kaana linabiyyin (tidak

mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang). Dengan

demikian penggalan ayat “tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan

harta rampasan perang” menghilangkan dugaan dan anggapan bahwa Nabi

Muhammad Saw akan melakukan tindakan berkhianat apalagi memiliki sifat

khianat. Kedua dengan ungkapan yaghlul pada kalimat wa man yaghlul

(Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu). Kata man

(huruf syarat) yang mendahului yaghlul berarti bila perbuatan yaghlul yang

diiyaratkan itu benar-benar terjadi (ketika itu) dan akan terjadi lagi setelahnya,

maka konsekwensi yang timbul adalah akibat yang akan ditanggung oleh sipelaku

khianat sebagaimana yang dijelaskan pada ungkapan ketiga, yakni ghalla (fi’il

14 Huruf an/ نٲ yang mendahului fiil (kata kerja) yaghulla disebut huruf masdariyah,

nashab dan istiqbal/mendatang. Disebut huruf masdariyah karena an/ نٲ menjadikan fiil (kata

kerja) sesudahnya dalam pengertian masdar. Disebut huruf nashab karena menashabkan

(memfathahkan) fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang), dan disebut huruf istiqbal/mendatang

dikarenakan an/ نٲ tersebut menjadikan fiil mudhari’ menerima makna mendatang (Musthafa Al-

Ghalayayni, Jamii’u Ad-Duruus Al-‘Arabiyyah, Maktabah Ashriyyah, Beirut, 1987, hlm. 168).

15 Lafadz maa/ اغم menafikan (meniadakan) sesuatu pada masa lampau secara umum.

Contoh penggunaan lafadz maa/ اغم antara lain terdapat pada QS. Maryam (19): 28:

اًي غةب كُممأ قتةناةك اةمةو ءقوة} ةأةرقما كومبةأ ةناةك اةم

...ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina", Potongan ayat di atas merupakan ungkapan keheranan dengan kelahriran putrra Maryam (Isa As). Mereka, yakni anggota masyarakat Maryam tersebut, menggunakan kata maa/ اغم , karena

(12)

maadli/kata kerja lampau) pada kalimat ya’ti bimaa ghalla yaumal qiyaamah

(Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu).

Hukum Tindakan atau Perbuatan Ghulul

Nabi Muhammad Saw menjatuhkan sanksi atau hukuman moral kepada pelaku

tindakan atau perbuatan ghulul setelah benar-benar didapati bukti bahwa pelaku

telah melakukannya. Hukuman moral yang diberikan Nabi Muhammad Saw yaitu

berupa tidak ikut sertanya Nabi Muhammad Saw untuk menyolati pelaku tindakan

atau perbuatan ghulul. Hukuman moral yang diberikan Nabi Muhammad Saw

terhadap pelaku tindakan atau perbuatan ghulul tersebut terekam dalam sebuah

riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad yang bersumber pada

sahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani sebagai berikut:

Artinya: Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwa seorang laki-laki dari kaum muslimin mati di Khaibar. Mereka (sahabat) memberitahu hal itu kepada Rasulullah Saw, lalu ia bersabda: Shalatlah kalian untuk temanmu! Karena itu berubahlah wajah-wajah para shahabat. Ketika ia (Rasulullah Saw) melihat apa yang ada pada mereka, ia (Rasulullah Saw) bersabda: Sesungguhnya temanmu ini telah ghulul (khianat) di jalan Allah. Maka kami (Shahabat) periksa barang-barangnya, lalu kami dapati mutiara milik orang Yahudi senilai dua dirham (HR. Abu Daud, Ibnu

Majah, Tirmidzi dan Ahmad).

Sayyid Sabiq dalam fiqh as-Sunnah, mengharamkan perbuatan atau

tindakan ghulul yang benar-benar terbukti secara meyakinkan. Pendapat tentang

haramnya tindakan ghulul tersebut didasarkan pada penunjukan QS. Ali ‘Imran

(3) ayat 161 tepatnya pada penggalan ayat tidak mungkin seorang Nabi

(13)

dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.16

Selain ghulul pada harta rampasan perang, terdapat bentuk lain dari ghulul

yaitu menerima hadiah bagi orang yang telah diangkat pegawai ketika

menjalankan tugasnya. Ghulul jenis ini terekam dalam sebuah riwayat Abu Daud

dalam Musnadnya dan Muslim dalam shahihnya yang bersumber dari shahabat

Abu Hamid As-Saa-‘idy:

هيلع اا ىلص يبنلا نأ قدعاسلا ديما يبأ نع هحيحص يف ملسمو هنن} يف دواد وبأ ىور

ءاجف ،ةقد لا ىلع ةيبتلا نبا حرسلا نبا لاق ةيبلللا نبا هل لاقي دزلا نم لجر لم ل}ا مل}و

ىنثأو اا دمحف ربنملا ىلع مل}و هيلع اا ىلص يبنلا ماقف عيل قدهأ اعهو مكل اعه :لاقف

همأ تيب يف سلج لأ يل قدهأ اعهو مكل اعه لوقيف ءيجيف هه بن لما لا لاب ام) :لاقو هيلع

ل مأ هيلإ ىدهيأ رظنيف هيبأ وأ

،

Artinya: Dari Abu Hamid As-Saa-‘idy, bahwa Nabi Muhammad Saw mempekerjakan seseorang yang berasal dari Azad yang dikenal dengan Ibnu Al-Lutbiyyah (Ibnu Al-Atbiyyah menurut pendapat Ibnu As-Sarh) atas tugas memungut shadaqah (Zakat), kemudian ia kembali dari tugasnya lalu berkata: “Ini (zakat) untukmu (Muhammad Saw) dan hadiah ini untukku.” Maka Nabi Muhammad Saw berdiri di atas mimbar, lalu memuji dan menyanjung Allah Swt dan bersabda:”Apa kehendak seorang pegawai, kami mengutusnya lalu ia (pegawai) kembali seraya melapor:”Ini (zakat) untukmu (Nabi Muhammad Saw) dan ini hadiah yang diberikan untukku. Tidakkah ia duduk-duduk di rumah ayah atau ibunya, lalu lihatlah apakah ia mendapat hadiah atau tidak.” (HR. Muslim dan Abu Daud).17

Riwayat Muslim dan Abu Daud yang bersumber dari Abu Hamid

As-Saa-‘idy di atas memberikan arahan bagi seseorang yang telah diangkat menjadi

16 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah; As-Silmu wa al-Harbu- Mu’amalaat, Darul al-Fikr,

Beirut, 1983, jilid ke- 3, hlm. 83

17Al-Qur’an beserta tafsir, Tafsir Qurthuby (Versi off line, edisi. 4. 1.)

(14)

pegawai melaksanakan tugas yang diembannya dengan cara sebaik-baiknya dan

berakhlak. Hal ini secara implisit difahami dari pujian dan sanjungan kepada

Allah: Maka Nabi Muhammad Saw berdiri di atas mimbar, lalu memuji dan

menyanjung Allah Swt, ketika hendak memberikan penjelasannya. Karena bila

tugas yang telah diembankan pada pegawai tersebut tidak dilakukannya secara

baik dan berakhlak, maka tentunya akan mencemarkan dan memalukan pegawai

itu sendiri atau bahkan atasannya langsung. Oleh karenanya ghulul kategori ini

juga disebut al-fadliihah oleh Qurthuby dalam tafsirnya ketika mengawali

komentarnya terkait penjelasan dari QS. Ali ‘Imran (3) ayat 161. Demikian pula

menurut Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa ghulul ini dinamai al-Faadlihah, yakni

sesuatu yang mencemarkan dan memalukan.18 Hal ini dapat difahami karena orang

atau oknum yang telah melakukan ghulul kategori ini telah membuat cemar dan

membuat malu nama baik dan wibawa dirinya sebagai pegawai maupun

atasannya. Riwayat di atas juga menegaskan kecaman Nabi Muhammad Saw

terhadap seseorang yang telah dipekerjakan atau dijadikan pegawai yang dalam

melaksanakan tugas yang diembannya ia menerima hadiah. Kecaman tersebut

merupakan sebuah bentuk hukuman moral terhadap pegawai yang telah terbukti

menerima hadiah berdasarkan laporannya sendiri. Hadiah yang diterima oleh

seorang pegawai ketika menjalankan tugasnya dikategorikan sebagai ghulul.

Pengertian ghulul jenis ini sejalan dengan apa yang dideskripsikan oleh Nabi

Muhammad Saw dalam sebuah riwayat berikut:

(15)

ُلﱠغلــسَ ل ـَغغ سلرـللالغق

١

ـلمغلغُغﱠغلغسلوـسهـغيغلغغﱠغلغعـ ل

ـ׃

َلغلغمغلعـللﱠعـالغنغـﱠغغلمغـعغلتغغـساـسنغلم

ٌل ـَ غﱠغ ــلكغسللذـلدـغعغلبـلذغغلخلأـاغلغملغفــالغغقـزسرـاغغلنغـغقلزلرغلف

د والدَغ غبلاـ هالولر

Artinya: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan dan telah kami tentukan gajinya, maka apa yang ia ambil (terima) selain dari gaji itu adalah Ghullul (HR. Abu Daud).

Deskripsi yang dipaparkan pada riwayat di atas secara jelas menyebutkan

dan menguatkan riwayat Muslim dan Abu Daud yang bersumber dari Abu Hamid

As-Saa’idy bahwa apa saja yang diambil (terima) selain gaji oleh seorang setelah

diangkat pengawai, maka ia telah melakukan tindakan atau perbuatan ghulul.

Selain sanksi di dunia berupa tidak dishalati secara langsung oleh Nabi

Saw terhadap jenazah pelaku tindakan atau perbuatan ghulul dalam konteks

ghanimah (harta rampasan perang) seperti riwayat Abu Daud, Ibnu Majah,

Tirmidzi dan Ahmad dari Zaid bin Khalid Al-Juhani dan kecaman terhadap pelaku

tindakan atau perbuatan ghulul seperti riwayat Riwayat Muslim dan Abu Daud

yang bersumber dari Abu Hamid As-Saa-‘idy di atas, terdapat sanksi hukuman

akhirat juga atas pelaku tindakan atau perbuatan ghulul seperti deskripsi riwayat

berikut:

ـللاغلغقـستسمـالغُصُلـاـسنـبـةلدالغبغ عـ ـنلع

׃

ُلﱠغلــسَ ل ـَغغ سلرـللالغقــ

١

ـلمغلغُغﱠغلغسلوـسهـغيغلغغﱠغلغعـ ل

׃

(16)

Artinya: Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian ghulul; karena ghulul itu (perbuatan yang membawa ke) neraka dan (perbuatan) tercela di dunia dan akhirat atas pelakunya (HR. Ahmad dan Nasa’i).

Pada riwayat di atas secara jelas dideskripsikan pelarangan ghulul yang

diikuti penyebutan hukuman neraka atas pelakunya dan tercelanya pelaku baik di

dunia maupun di akhirat. Secara implisit (tersirat) pendahuluan penyebutan

hukuman atau sanksi akhirat ini mengindikasikan bahwa ghulul merupakan

persoalan serius dan ancaman sanksi atau hukuman atas pelakunya sangat berat.

Risywah

Rusywah, rasywah atau risywah, artinya (uang) suap, sogok. Risywah adalah

apa-apa yang diberikan untuk membatalkan atau menggugurkan (yang hak) atau

berusaha untuk memiliki (sesuatu) dengan cara yang batil, tidak benar.19

Pengertian umum risywah ialah pemberian atau penerimaan guna memperoleh

atau memberi sesuatu yang tidak sah.20

Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengomentari

pengertian umum risywah tersebut dengan mengajukan sebuah pertanyaan

Apakah memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan dengan dengan demikian dapat dibenarkan? Pada pengertian risywah secara

umum tersebut Shihab menyamakan pengertian risywah dengan sogok-menyogok.

Ia juga memperluas batas pengertian riswah atau sogok-menyogok tidak hanya

19 Karim Al-Bustaani, Al- Munjid fii al-Lughah wa al- A’laam, Maktabah Syarqiyyah,

Beirut, Libanon, 1987, hlm. 262.

20 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an; Kisah dan Hikmah Kehidupan Lentera

(17)

pemberian atau penerimaan guna memperoleh atau memberi sesuatu yang tidak

sah saja tetapi pemberian atau penerimaan guna memperolah hak yang sah juga

termasuk risywah atau sogok menyogok. Penegertian ini bisa diperoleh dengan

memahami pertanyaan bernada keberatan yang dikemukakannya “Apakah

memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan dengan dengan demikian dapat dibenarkan? Pengertian lain tentang risywah

dikemukakan oleh Syamsuddin Adz-Dzahabi yang menyamakan pengertian

riswah dengan suap dalam deskripsinya tentang riswah yaitu memberikan sesuatu,

baik berupa uang maupun yang lain, kepada penegak hukum agar ia dalam

menyelesaikan masalah hukum mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari

ancaman hukuman.21 Pengertian yang dikemukakan tersebut Adz-Dzahabi lebih

khusus dan hanya menekankan nilai pemberian dan tidak menyertakan kata-kata

menerima, tepatnya pemberian uang atau barang lain kepada penegak hukum

dengan tujuan mendapat keistimewaan atau terbebas dari ancaman hukuman.

Pengertian lain tentang risywah dikemukakan oleh Ibnu Jazierah yaitu suatu

tindakan, baik memberi maupun menerima uang atau lainnya dengan tujuan

mengubah hukum atau undang-undang, yang haram menjadi halal atau yang benar

disalahkan.22 Pengertian yang dikemukakan oleh Ibnu Jazierah ini lebih terfokus

pada mengubah hukum dari semula halal menjadi haram atau sebaliknya

21 Syamsuddin Adz-Dzahabi, Al-Kabair/75 Dosa Besar (terj. Oleh M. Ladzi Safrony),

Media Idaman Press, Surabaya, thn. 1992, hlm. 196.

22 Ibnu Jazierah, Hukum Korupsi, Riswah dan Ghulul, majalah Al-Muslimun, tahun 1997,

(18)

meskipun juga menyebutkan pemberian atau penerimaan uang atau lainnya

tersebut dimaksudkan untuk mengubah hukum atau undang-undang secara umum.

Berdasarkan sejumlah pengertian tentang risywah yang telah dikemukan

para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa risywah atau suap adalah menerima

(bagi penegak hukum) atau memberi (oleh penyuap/tersangka/terdakwa) sesuatu

baik berupa uang, barang ataupun lainnya kepada penegak hukum dengan maksud

atau tujuan yaitu pertama mengubah hukum atau undang-undang, yang haram

menjadi halal atau yang benar disalahkan, dan kedua agar ia (penyuap) dalam

menyelesaikan masalah hukum mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari

ancaman hukuman.

Hukum Tindakan atau Perbuatan Risywah atau Suap

Sejumlah pakar seperti Syamsuddin Adz-Dzahabi menyatakan bahwa tindakan

atau perbuatan risywah atau suap adalah terlarang dan pelakunya telah melakukan

salah satu perbuatan dosa besar. Ia mendasarkan pendapatnya tersebut pada nash

Al-Qur’an berikut:

(19)

Selain berdasar pada Ayat 188 surah Al-Baqarah si atas, Adz-Dzahabi23

Artinya: dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Laknat Allah terhadap orang yang menyuap dan orang yang menerima suap. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Pendapat lain mengenai hukum terlarangnya risywah atau suap

dikemukakan oleh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani (dalam Subul Al-Salam)

dan Al-Syaukani (dalam Nail al-Authar) seperti dikutip oleh Prof. Dr. M. Quraish

Shihab. Namun keduanya membolehkan pemberian dalam rangka memperoleh

hak yang sah. Sementara pendapat Shihab sendiri terkait risywah sejalan dengan

Al-Kahlani dan Al-Syaukani yaitu tidak memperkenankan pemberian sesuatu

untuk mengambil hak orang lain dengan melakukan dosa dan dalam mengetahui

bahwa pelakunya sebenarnya tidak berhak.24

Berbeda dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Al-Kahlani dan Al-Syaukani yang membolehkan pemberian

dalam rangka memperoleh hak yang sah, Shihab menolak pendapat Al-Kahlani

dan Al-Syaukani dalam pernyataanya “Bukankah dengan memberi-walau dengan

dalih meraih hak yang sah- seseorang telah membantu sipenerima melakukan

23 Syamsuddin Adz-Dzahabi, Al-Kabair/75 Dosa Besar (terj. Oleh M. Ladzi Safrony),

Media Idaman Press, Surabaya, thn. 1992, hlm. 196-198.

(20)

sesuatu yang haram dan terkutuk dan dengan demikian ia memperoleh pula-sedikit atau banyak-sanksi keharaman dan kutukan itu?”25

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan analisa atas penelusuran pada nash baik yang

berupa ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad Saw dan pendapat para ulama

pakar muslim tentang ghulul dan risywah terkait korupsi dapat disimpulkan

sebagai berikut:

Ghulul

Pertama, ghulul ialah mengambil dari milik bersama atau orang lain dengan cara

yang tidak shah dan meminta atau menerima pemberian atas suatu pekerjaan yang

untuk pekerjaan itu sudah mendapat pembayaran atau gaji.

Kedua, secara fiqih (hukum), ghulul merupakan tindak/perbuatan buruk

yang dilarang oleh Islam apabila benar-benar terbukti secara shah dan

meyakinkan. Terlarangnya tindakan atau perbuatan ghulul ini didasarkan pada

zahir QS. Ali ‘Imran (3) ayat 161 dan beberapa hadits Nabi Muhammad Saw yang

tersebut pada sub bahasan ghulul.

Ketiga, terdapat dua jenis tindakan ghulul. Yakni ghulul dalam hal harta

rampasan perang (ghanuimah) dan ghulul menerima hadiah bagi orang yang telah

diangkat pegawai ketika menjalankan tugasnya. Kedua-duanya terlarang dan

dikenakan sanksi bbagi para pelakunya.

25 Prof, Dr. M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an; Kisah dan Hikmah Kehidupan Lentera

(21)

Risywah

Pertama, risywah atau suap adalah menerima (bagi penegak hukum) atau

memberi (oleh penyuap/tersangka/terdakwa) sesuatu baik berupa uang, barang

ataupun lainnya kepada penegak hukum dengan maksud atau tujuan yaitu pertama

mengubah hukum atau undang-undang, yang haram menjadi halal atau yang benar

disalahkan, dan kedua agar ia (penyuap) dalam menyelesaikan masalah hukum

mendapat keistimewaan dan dapat terlepas dari ancaman hukuman.

Kedua, Syamsuddin Adz-Dzahabi menyatakan bahwa tindakan atau

perbuatan risywah atau suap adalah terlarang dan pelakunya telah melakukan

salah satu perbuatan dosa besar. Ia mendasarkan pendapatnya berdasarkan

pengertian zahir dari QS. Al-Baqarah (2) ayat 188. Pendapat lain mengenai

hukum terlarangnya risywah atau suap dikemukakan oleh Muhammad bin Isma’il

Al-Kahlani (dalam Subul Al-Salam) dan Al-Syaukani (dalam Nail al-Authar)

seperti dikutip oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Namun keduanya membolehkan

pemberian dalam rangka memperoleh hak yang sah. Sementara pendapat Shihab

sendiri terkait risywah sejalan dengan Al-Kahlani dan Al-Syaukani yaitu tidak

memperkenankan pemberian sesuatu untuk mengambil hak orang lain dengan

melakukan dosa dan dalam mengetahui bahwa pelakunya sebenarnya tidak

berhak.

SARAN

(22)

Pertama, kepada stake holder (pemilik kepentingan) yaitu Pemerintah (KPK,

BPK, Kejaksaan, POLRI, Kehakiman) melibatkan ummat Islam dalam

merumuskan setiap perundangan, peraturan maupun kebijakan terkait dengan

pemberantasan tindak pidana korupsi agar terdapat kesamaan persepsi dan visi.

Kedua, kepada pihak penyelenggara seminar agar mensosialisasikan hasil dari

(23)

DAFTAR PUSTAKA

A. Rifai, Rusdy, 2004. Manajemen, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Palembang.

Abu Zahrah, Muhammad, 1994. Ushul Fiqih, terj. Oleh Saefullah Ma’shum,

PT. Pustaka Firdaus, Jakarta.

Al-Dzahabi, Syamsuddin, 1992. Al-Kabair/75 Dosa Besar, (terj. Oleh M. Ladzi

Safrony), Media Idaman Press, Surabaya.

Al- Ghalayayni, Musthafa, 1987. Jamii’u Ad-Duruus Al-‘Arabiyyah, Maktabah

Ashriyyah, Beirut.

Al- Qardhawi, Yusuf, 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam (II), Era

Intermedia, Solo.

Alfitra, 2012. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses, Depok.

Hatta, Ahmad, et. al., 2013. The Great Quran, Referensi Terlengkap Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Maghfirah Pustaka, Jakarta.

Ilyas, Yunahar, 2002. Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam

(LPPI), Yogyakarta.

Isma’il bin Umar bin Katsir, Abu Al-Fida’, Tafsir Ibnu Katsir, (Versi off line, edisi.

4. 1.) www.islamspirit.com

Mukantardjo, Rudy Satriyo, 2010. Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah Perkembangannya, Materi Pelatihan Hakim dalam Perkara Korupsi,

Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) MA- RI, Bogor.

Romli, Khomsahrial, 2011. Komunikasi Organisasi, PT. Grasindo, Jakarta.

Rosadisastra, Andi, 2012. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, Amzah,

Jakarta.

Sabiq, Sayyid, 1983. Fiqh As-Sunnah; As-Silmu wa al-Harbu- Mu’amalaat, Darul

al-Fikr, Beirut.

Shihab, M. Quraish, 2013. Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an, Lentera Hati,

(24)

---, 2010. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1 dan 2, Lentera Hati, Jakarta.

---, 2008. Lentera Al-Qur’an, Kisah dan Hikmah Kehidupan,

Penerbit Mizan, Bandung.

---, 2007. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung.

---, 2006. Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asmaa’ Al-Husnaa dalam Perspektif Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta Selatan.

Syafe’i, Rachmat, 2007. Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung.

Majalah Al-Muslimun. Siklus Korupsi, Kikis Habis! Bangil, Edisi September

1997, No. 330.

Majalah SAKSI. Menakar Ancaman. Jakarta, Edisi April 2002, No. 15, tahun IV.

Sumber Internet

Al-Qur’an beserta tafsir (Versi off line, edisi. 4. 1.) www.islamspirit.com

Abuarqub, Mamoun, 2009. Islamic Imperatives to Curb Corruption and Promote Sustainable Development, Islamic Relief Worldwide, Birmingham, United

Kingdom. www.islamic-relief.com

Arafa, Mohamed A, 2012. Corruption and Bribery in Islamic Law; Are Islamic Ideals being Met in Practice, Annual Survey of Int’l and Comp. Law, Vol. XVIII.

http://ssm.com/abstract=2148127.

Hassan Bello, Abdulmajeed, 2013. Corruption and Democratic Governance in Nigeria: An Islamic Perspective on Solution, International Journal of Advanced

Research in Management and Social Sciences, Vol. 2, No. 1, Department of Religious Cultural Study, University of UYO AKWA IBOM, State Nigeria.

Muhardiansyah, Doni, et. al., 2010. Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Jakarta.

Klitgaard, Robert, 1998. International Cooperation Against Corruption, Jurnal

Finance and Development.

Referensi

Dokumen terkait

Pola resistensi untuk bakteri Gram negatif Shewanella putrefaciens terhadap antibiotik amoksillin, seftazidim, siprofloksasin, eritromisin, trimetoprim,

Kondisi pembibitan sapi potong saat ini sangat beragam dan sebagian besar (95%) dikelola dan dikembangkan pada peternakan rakyat dengan pola produksi induk-anak dalam

Pendekatan fenomenologi menggunakan pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang masalah dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna

Adapun tampilan laporan data asumsi bilangan fuzzy penerimaan beasiswa seperti yang ditunjukkan pada

Untuk pertanian masa panen sekitar empat bulan antara bulan agustus sampai november, sedangkan masa tanam antara bulan januari sampai maret, jadi masyarakat muara

matematika Yunani yang teorinya masih dipakai hingga saat ini (yang kemudian dikembangkan bilangannya oleh Fibonacci sekitar abad 12), Golden Section (Seksi Emas) atau

Objective-C saat ini banyak digunakan pada platform Mac OS X dan iOS (iOS adalah sistem operasi untuk iPhone, iPod Touch dan iPad. Dengan adanya framework

Dari pembahasan dan uraian tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa dalam posisi Pemerintah sebagai stimulator pembangunan, maka masyarakat akan berpartisipasi