33
BAB III
PANDANGAN MASYARAKAT NEGERI RUMAHTIGA TENTANG
KEBERSAMAAN FALSAFAH SAGU SALEMPENG PATAH DUA PASCA
KONFLIK 1999
A. Pendahuluan
Bagi orang Maluku, pohon sagu merupakan identitas orang Maluku. Pohon sagu tersebut menghasilkan banyak fungsi, yakni: (a) daun sagu dijadikan sebagai atap rumah dan wadah, (b) dahan pohon sagu dijadikan sebagai dinding rumah (gaba-gaba), (c) batang pohon sagu diolah untuk sagu yang merupakan makanan tradisional Maluku.
34 yang dilakukan oleh para leluhur itulah yang membuat timbulnya falsafah sagu salempeng patah dua.1
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membina tatanan hidup orang bersaudara yang saling menyayangi dan mempedulikan antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, hal ini dilakukan agar kehidupan mereka tetap harmonis dan saling berbagi juga saling menolong. Seiring berjalannya waktu, falsafah ini kemudian menjadi kebiasaan yang dimaknai sebagai salah satu identitas orang Maluku secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Sagu salempeng patah dua merupakan salah satu falsafah orang Maluku yang dapat diartikan sebagai berikut: (a) Sagu adalah salah satu makanan pokok yang berasal dari sari pati pohon sagu yang menjadi konsumsi masyarakat Maluku dan dapat diartikan sebagai simbol eksistensi kita sebagai orang Maluku. (b) Salempeng adalah satu buah. (c) Patah Dua adalah di bagi menjadi dua bagian. Ungkapan sagu salempeng patah dua bukan sekedar sebuah “tautologis” (permainan kata) tetapi merupakan impresi atau “pernyataan hidup”
tentang arti kehidupan beragama dan bermasyarkat yang sesungguhnya. Kenyataan eksistensial tentang hidup basudara itu, bukan sekedar peristiwa sosiologis atau kultural (socio-cultural) saja, tetapi justru sebuah “peristiwa theologis” yang sangat mendasar.2
Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Maluku. Dalam kehidupan sehari-hari, sagu menjadi kebutuhan yang sangat besar bagi masyarakat Maluku.
1
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 november 2014.
2
Aholiab Watloly, Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak negeri,
35 Dengan demikian, sagu salempeng patah dua menjadi filosofi mendalam bagi masyarakat Maluku. Mengapa? Karena sagu adalah simbol kehidupan bagi masyarakat Maluku dan salempeng patah dua (sikap hidup berbagi) merupakan bagian integral dalam kehidupan masyarakat Maluku. Dengan kata lain, masyarakat Maluku harus hidup dengan tidak mementingkan kepentingan pribadi dan mempedulikan orang lain. Hal ini disebabkan karena sagu salempeng patah dua megajarkan makna kehidupan yang rukun, saling menyayangi satu dengan yang lain, dan saling menghargai satu dengan yang lain.3
Lebih lanjut bapak E.M menjelaskan pemaknaan sagu salempeng patah dua adalah merujuk pada adanya krisis hidup (lapar) yang dialami bersama, tetapi hal tersebut tidak mengakibatkan pada pudarnya nilai-nilai kasih (berbagi), malah sebaliknya dalam menghadapi krisis itu masyarakat Maluku lebih mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi, hal tersebut diwujudkan lewat sikap saling berbagi (sagu salempeng patah dua), agar semua orang dapat sejahtera dan hidup dalam rasa saling mempedulikan antar sesama. Artinya bahwa kehidupan yang rela berbagi dengan sesama di Maluku masih ada ketika orang tidak memikirkan perutnya saja tetapi malah sebaliknya lebih mementingkan kebersamaan yang terjalin. Maluku memaknai sagu salempeng patah dua bukan hanya dalam lingkup keluarga, tapi juga dalam lingkup masyarakat yang luas. Hal ini dikarenakan
3
36 Maluku merupakan daerah yang majemuk, baik dari sisi agama, budaya maupun adat-istiadat yang dijadikan sebagai identitas masyarakat.4
Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua mempunyai makna dan nilai yang sangat mendalam yaitu nilai persatuan, persaudaraan, serta rasa saling berbagi antara satu dengan yang lainnya. Lewat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, masyarakat Maluku dapat membina kehidupan yang lebih harmonis dalam bingkai persatuan dan persaudaraan. 5
Negeri Rumahtiga merupakan salah satu daerah di Maluku (Pulau Ambon) yang juga mempraktekan falsafah sagu salempeng patah dua. Falsafah sagu salempeng patah dua telah hadir dalam kehidupan masyarakat Negeri Rumahtiga sejak dulu, diakui bahwa falsafah ini sangat membantu untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat Negeri Rumahtiga.6 Namun seiring berjalannya waktu, falsafah ini mulai mengalami pergeseran makna yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam hubungan antar masyarakat.7 Hal tersebut terjadi tidak dengan sendirinya melainkan ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi pergeseran nilai dan makna dari falsafah ini, di antarnya kurang adanya pengetahuan tentang sejarah adat-istiadat, pengaruh modernisasi yang berdampak pada sifat individualisme, pembauran etnik serta konflik kemanusiaan yang terjadi sejak tahun 1999.8 Konflik pada saat itu merupakan ancaman terbesar bagi keharmonisan dan persaudaraan warga Negeri Rumahtiga yang pada umumnya beragama Islam dan
4Ibid. 5Ibid. 6
Hasil wawancara dengan Ibu. N. D. dan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
7
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
8
37 Kristen. Sagu salempeng patah dua seakan tidak mampu mengembalikan situasi kota Ambon terkhususnya Negeri Rumahtiga pada saat itu, di mana kekhawatiran dan rasa takut yang besar setiap waktunya meliputi kehidupan warga Negeri Rumahtiga yang berdampak pada hilangnya rasa percaya antara warga Muslim dan Kristen sehingga mereka melarikan diri ke tempat-tempat yang dianggap aman dan jauh dari bahaya konflik.9
Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan pandangan orang Negeri Rumahtiga tentang kebersamaan dalam falsafah sagu salempeng patah dua pasca konflik 1999 berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh selama penelitian yang dilakukan di Negeri Rumahtiga. Sekedar untuk diketahui, ketika penulis melakukan proses penelitian di Negeri Rumahtiga ada terjadi konflik di dalam internal pemerintahan Negeri sehingga data yang didapatkan merupakan hasil wawancara, ada juga yang bersumber dari data statistik pemerintah serta beberapa sumber dari internet.
9
38
B. Gambar Umum Negeri Rumahtiga
1. Konteks Sejarah Rumahtiga
Sejarah sebagai teropong kehidupan komunitas di Maluku sulit direkonstruksi oleh sebab beberapa alasan antara lain: [a]. cerita sejarah asal-usul dijadikan sebagai cerita sakral yang tidak boleh diceritakan secara „sembarangan‟. Sebab itu hanya orang tertentu yang mengetahui detailnya.
Ketika berkembang dari waktu ke waktu, dari satu orang ke keturunan berikutnya, separuh dari penggalan-penggalan sejarah telah hilang. Akibatnya tidak ada lagi suatu gambaran detail karena bergantung pada memoria atau daya ingat seseorang; [b]. sumber sejarah tertulis cukup langka; [c]. cerita sejarah sering dijadikan bahan propaganda suatu kelompok atau sub-suku, atau soa, sehingga menimbulkan beragam versi dan cara memahami sejarah suatu negeri. Ini terjadi di beberapa negeri adat di Maluku termasuk di Rumahtiga.
39 ke Karang Pari, tidak jauh dari Hatu Parinusa, dan Hunihua-lah yang menurunkan turunan di Rumahtiga.10
Di Karang Pari terdapat 128 pengikut dan 40 budak, mereka hidup dari sagu dan sageru. Karang Pari dipimpin oleh Laonelo (1600). Di sini orang Hukunalo sudah bersentuhan dengan pengaruh Katolik yang dibawa oleh orang-orang Portugis. Malah dalam sejarah diusirnya orang-orang Portugis dari Hitu, orang-orang Hukunalo yang berperan mengantar mereka untuk selanjutnya mendiami Hative dan dari sana menyeberang ke seberang lautan untuk mendirikan Benteng (New Victoria). Dari perjumpaan dengan orang Portugis itu, orang Hukunalo mengenal injil. Terjadi beberapa perubahan mendasar kala itu di kalangan orang Hukunalo. Salah satunya adalah baptisan yang dilayankan kepada Latu Oetoe. Dari peristiwa baptisan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa orang Hukunalo kemudian menjadi salah satu pemeluk agama Katolik bersama dengan orang-orang di Hative.11
Pada masa pemerintahan gubernur Herman Spulsz (1640), karena misi keagamaan, masyarakat Karang Pari diperintahkan turun ke Hukunalo. Saat itu, Hukunalo dipimpin oleh Hete Latukao dengan jabatan kepala kampung. Keturunan Laonelo yang ikut turun adalah Matheus, Pieter dan Tutuhory (mereka bertiga selanjutnya disebut Mendes). Ketika bergabung di Hukunalo mereka membangun tiga barak yang disebut Belanda sebagai Drei Huizen (Luma Telu/Rumah Tiga). Pada waktu itu Poka juga ikut bergabung bersama
10
http//negerirumahtiga.blogspot.com/p/sejarah-negeri-rumahtiga.html, diunduh pada 25 November 2014.
40 Karang Pari di Hukunalo. Mereka berembuk untuk memberikan nama pada tempat itu dan sepakat menamainya Negeri Rumahtiga.12
Terbentuknya Negeri Rumahtiga ini sekitar tahun 1663 – 1664. Negeri Rumahtiga akhirnya merupakan negeri kelima yang terbentuk di Uli Lisawane, yang terdiri dari Wakal, Eli, Pelisa, Senalo, Hukunalo (Rumahtiga) dan dipimpin oleh Wakal. Masyarakat menuju rumah Matheus dan memintanya menjadi pemimpin, karena dia merupakan orang kaya di situ. Matheus memiliki jabatan “The Orang Kaya Matheus Drei Huzein of Hukunalo”. Matheus Mendes
memiliki tiga orang anak yaitu Christian Mendes, Johana Mendes, dan Kalasina Mendes. Setelah masa kepemimipinan Matheus Mendes berakhir, dia digantikan oleh anaknya, Christian Mendes. Christian Mendes akhirnya menikah denngan Maria Kastanja dan hijrah ke Hatalai. Johana Mendes meninggal dan tidak mempunyai ketururnan. Kemudian kepemimpinan Christian Mendes digantikan oleh Marcus da Costa yang merupakan suami dari Kalasina Mendes.13
Kepemimpinan Marcus da Costa selanjutnya digantikan oleh Elifas da Costa. Elifas da Costa merupakan orang kaya terakhir yang memimpin Negeri Rumahtiga. Sekitar tahun 1800an negeri Rumahtiga dipimpin oleh seorang raja yaitu Pieter Fredrick Theodorus da Costa. Kemudian pada akhir tahun 1800 – masuk tahun 1900 pemerintahan diganti dengan Wellem da Costa. Setelah pemerintahan Wellem da Costa, pemerintahan mengalami kekosongan disebabkan banyak keturunan da Costa pergi menuntut ilmu di Pulau Jawa.14
41 Kemudian untuk menutupi kekosongan, diangkat tiga orang yang diberi gelar Wijk Master (Kepala Dusun). Wijk Master Persulessy memimpin di Wijk Pohon Mangga, Wijk Master Enos Hendriks memimpin di Wijk Kusu-kusu, sedangakan Wijk Master Andreas Saimima memimpin di Wijk Pantai. Pada tahun 1920 pemerintahan Negeri Rumahtiga dipimpin kembali oleh seorang raja yaitu Ishak Theodorus Tita. Dia merupakan anak (arken15) dari Wijk Master Andreas Saimima.16
Pada tahun 1930 – 1957, masa peralihan dari Belanda ke Jepang, pemerintahan dipegang oleh Rachel Tita atau dikenal dengan nama Nona Raja. Waktu Nona Raja sakit terjadi kekosongan kekuasaan. Untuk menyelamatkan pemerintahan diangkat Willem Hatulesila (1957 – 1958) sebagai pejabat sementara. Kemudian posisi pejabat digantikan oleh Alexander David Tita yang memimpin tidak sampai satu tahun. Setelah itu, Bupati Chris Kainama mendefenitifkan Josephus Tita (1980 – 1996) sebagai Raja Negeri Rumahtiga yang memerintah selama dua periode.17
Kemudian sejalan dengan keputusan peraturan pemerintah yang dikeluarkan, maka status pemerintahan Negeri diubah menjadi pemerintahan Desa. Pada waktu itu pemerintahan di pegang oleh Ferdinand Tita (1996–2000). Yang pada waktu itu pun terjadi tragedi kemanusiaan di Maluku yang mengakibatkan situasi pemerintahan kacau. Dalam situasi yang demikian, beliau tetap memimpin walaupun masa pemerintahannya telah berakhir. Pada tahun 2008, Ricky Sopacua ditunjuk oleh Walikota Ambon sebagai Pejabat sementara
15
Pengalihan dari satu marga ke marga yang lain.
42 bersamaan dengan diubah kembali status Desa menjadi Negeri sesuai dengan keputusan Peraturan Daerah. Pada akhir tahun 2009 telah terpilih Pejabat Negeri Rumahtiga yang baru yaitu Samuel Hendriks dan beliau dilantik pada tanggal 12 Mei 2010 dan salah satu tugasnya untuk mempersiapkan proses pemilihan Raja Negeri Rumahtiga yang defenitif.18
2. Letak Geografis dan Sejarah Awal Negeri Rumahtiga
Negeri adat Rumahtiga secara geografis berkedudukan sebagai berikut:19 Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Wakal dan Hitumessing
Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Dalam dan Teluk Ambon Sebelah Timur berbatasan dengan Hunuth-Durian Patah, petuanan
Negeri Halong
Sebelah Barat berbatasan dengan negeri Hative Besar dan Wayame
Masyarakat Rumahtiga adalah komunitas adat di Pulau Ambon yang secara kultural termasuk dalam Uli Lisawane bersama negeri adat seperti Wakal, Eli, Pelisa, Senalo, Hukunalo (Rumahtiga) dan dipimpin oleh Wakal yang sekaligus adalah gandong dari Rumahtiga.20
Sebagai suatu negeri adat, masyarakat Rumahtiga terhimpun dalam tiga soa besar yakni: Soa Pari, yang terdiri dari marga da Costa (sebagai kepala soa) bersama dengan marga Limba, Huwae, Talahatu dan Hatumeseng, Soa Hukunalo, yang terdiri dari marga Tita (sebagai kepala soa) bersama marga
18Ibid. 19
Pemerintah Negeri Rumahtiga, 2014.
20
43 Saimima, dan Soa Haubaga, yang terdiri dari marga Hatulesila (sebagai kepala soa), bersama dengan marga Parera, Pettipeilohy dan Narua. Kelompok marga da Costa, Tita dan Hatulesila diyakini sebagai kelompok masyarakat asli Rumahtiga yang sejarahnya telah dituturkan pada bagian awal Bab ini. Sedangkan marga lain seperti Limba, Talahatu, Persulessy, Mataheru, Huwae, Saimima, merupakan marga-marga yang juga memiliki sejarah keleluhuran tersendiri di Rumahtiga dan diyakini pula sebagai penduduk asli Rumahtiga.21
Para penduduk asli ini menempati wilayah-wilayah adatis dalam teritori negeri Rumahtiga antara lain di wijk-wijk yang sekarang lebih dikenal dengan nama daerah Pohon Mangga, Kusu-kusu dan Rumahtiga Pantai. Seiring dengan perkembangan penduduk asli ini, sebagian dari mereka mulai membuka daerah sekitar Wailela, Kota Mahu dan Srisa Ueng (Blimbing Ueng) untuk sebagai tempat permukiman baru. Negeri Rumahtiga pun berkembang dan kawasan permukiman baru itu kini lebih dikenal dengan nama Wailela.22
Penduduk asli ini yang kemudian menjadi penganut agama Kristen. Dari sejarahnya, mereka semula adalah orang-orang Katolik, yaitu komunitas orang Hukunalo yang bergaul erat dengan Portugis semasa Portugis diusir dari Hitu dan menyebar ke Leitimor dan mendirikan benteng pertahanan (New Victoria). Jejak Katolisisme agak sulit ditemui di Rumahtiga. Kecuali itu, fakta adanya sebagian jemaat Parokhi Katolik di Rumahtiga dewasa ini adalah perkembangan baru seiring dengan pembauran sosial akibat berdirinya Universitas Pattimura.23
21
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
44
3. Konteks Pembauran Sosial di Rumahtiga:
a. Pembauran Sosial Masyarakat Rumahtiga
Jemaat Rumahtiga yang homogen ternyata sudah lama hidup bersama dengan komunitas sub-etnis lain. Dalam sejarahnya, orang-orang Hukunalo yang kemudian turun dari Hatu Parinusa menetap di daerah yang kini menjadi negeri Rumahtiga. Orang-orang dari Seram, dalam hal ini moyang dari marga Tita merupakan salah satu kelompok sub-etnik (Alune) yang menempati Rumahtiga dan menjadi salah satu penduduk asli negeri itu. Nama da Costa adalah nama Portugis yang diperkirakan ada di Rumahtiga karena perkawinan dengan penduduk setempat. Selain itu marga Limba, merupakan marga lain yang datang ke Rumahtiga dan diperkirakan dari Bali pada saat ekspansi Majapahit, jadi sudah ada jauh lebih awal sebelum masuknya Portugis dan Belanda. Mereka kemudian menyebar ke Toraja.24
Tentang orang-orang Buano di Rumahtiga tidak ada lagi penanggalan yang jelas. Tetapi beberapa fakta sejarah menunjukkan bahwa komunitas orang Buano sudah ada di Rumahtiga dan bukti situs Mesjidnya masih ada hingga kini, yakni di Wijk Kusu-kusu. Komunitas Buano diperkirakan datang di zaman Portugis. Rupanya mereka menjadi pekerja untuk membangun Benteng di tepi teluk Ambon. Di masa Belanda, orang-orang Lease yang diambil sebagai pendayung armada Hongi turut dimukimkan berdekatan dengan orang Buano di Rumahtiga.25
24
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
45 Sejarah dengan orang Buano cukup tragis. Perang antara orang Hukunalo atau orang Rumahtiga dengan Buano terjadi secara besar-besaran, dan mengakibatkan orang-orang Buano keluar meninggalkan negeri Rumahtiga. Peperangan ini terjadi karena orang-orang Buano yang adalah pekerja benteng teluk Ambon bertengkar dengan orang-orang Lease yang adalah pendayung armada hongi yang pada saat itu sedang bermukim di Rumahtiga, pertengkaran ini diakibatkan oleh karena masalah yang kurang jelas. Sehingga terjadi baku pukul dan armada Hongi sempat dibakar. Saat hendak keluar mereka bersumpah tidak akan kembali ke Rumahtiga untuk alasan apa pun terutama mendirikan rumah untuk bermukim.26
Selain orang-orang Buano, kemudian pula orang-orang Leihitu, Lease dari Saparua, Nusalaut dan Haruku juga datang dan menempati Rumahtiga. Marga-marga seperti Talahatu, Hetharion dan Tulaseket dari Lilibooy menempati Rumahtiga dan terus menetap sampai saat ini. Sedangkan dari Saparua yakni Pattipeilohy, Saimima dan Persulessy malah menempati posisi strategis dalam pemerintahan Wijk di Rumahtiga pada zaman Belanda. Selain itu dari Haruku seperti Mataheru juga menempati posisi yang serupa.27
Hal ini menandakan bahwa konteks pembauran sosial di Rumahtiga di masa lampau meninggalkan indikasi dialektika sosial: di satu sisi konflik dan di sisi lain relasi mutual antarsub-etnik yang berbeda. Salah satu contoh dari dialektika mutual itu ialah setiap orang dagang yang datang dan tinggal diberi lahan untuk membangun rumah oleh marga asli tertentu dan jika ada suatu acara
46 keluarga (pesta perkawinan, syukuran sidi dan baptisan) semua penduduk negeri diundang menghadiri acara dimaksud.28
Dari data statistik penduduk Rumahtiga, komposisi penduduknya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Data tersebut adalah gambaran mengenai keberadaan masyarakat Rumahtiga pasca konflik sosial 1999 atau setelah kembali dari pengungsian pada tahun 2005. Dari situ tergambar bahwa pembauran sosial di Rumahtiga saat ini terjadi di antara komunitas kristen (Protestan dan Katolik) dengan muslim. Corak bermukim pun terstruktur seperti dahulu sebelum konflik. Penduduk Kristen tinggal di daerah yang disebut Negeri Rumahtiga (awal), sedangkan penduduk Muslim menempati dusun-dusun seperti Taeno, Kota Jawa, Karanjang, Waringin Cap, Air Ali, Telaga Pange, Bandari, dan Pasar Rumahtiga.29
Sedangkan realitas penduduk asli dan pendatang, dari data jumlah jiwa pada masyarakat Rumahtiga, komposisinya menunjukkan perbandingan yang
28 Ibid. 29
47 cukup signifikan, yakni penduduk asli sejumlah 570 jiwa atau 138 KK, sedangkan penduduk dalam kategori pendatang sejumlah 8.778 jiwa atau 1720 KK.30
Penduduk Rumahtiga sangat terbuka dan pembauran sosialnya tidak bisa dibendung. Akibatnya komunitas pendatang, yang masuk melalui migrasi dan perkawinan lebih tinggi jumlahnya dari penduduk asli. Hal itu berlaku pula pada jemaat atau orang-orang kristen, mengingat Rumahtiga semula adalah komunitas protestan yang homogen.
Sedangkan mata pencaharian masyarakat Negeri Rumahtiga didominasi oleh Petani. Dari jumlah penduduk Negeri Rumahtiga sebanyak 9.348 jiwa, rincian mata pencahariannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 02 :
Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No. Jenis Pekerjaan Jumlah (orang)
1 PNS 698
2 Wirausaha 440
3 Petani 703
4 Sopir 56
5 TNI/POLRI 428
6 Buru/Swasta 94
7 Pengusaha 42
8 Pedagang 305
12 Lain-lain 93
Jumlah 2.859
Sumber : Pemerintah Negeri Rumahtiga, 2014
48
b. Komunitas Buton di Rumahtiga
Orang Buton di Rumahtiga ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang. Oleh alasan-alasan penuturan sejarah seperti telah dikemukakan sebelumnya, jejak ke awal kedatangan komunitas Buton pun agak sulit dipastikan. Namun lazimnya sejarah kedatangan orang Buton ke Maluku dapat dipastikan bersamaan dengan masuknya armada dari Malaka dan Makassar dalam rangka perdagangan rempah-rempah di awal abad ke-14.31
Dalam gradasi sejarah itu, orang Buton terkenal sebagai pengelana yang memiliki tipikal berbeda dari orang-orang Cina, India dan Arab yang juga mengunjungi dan malah tinggal dan membangun permukiman serta melakukan aktifitas perekonomian di Ambon.32 Orang Buton pada awalnya memilih tinggal di pesisir pantai dan menekuni kerja sebagai nelayan. Mereka makan seadanya dari hasil tangkapan dan hasil bameti33. Namun lambat laun mereka meminta ijin untuk menjaga kebun atau dusun cengkih, kelapa dan pala milik penduduk asli setempat. Atas ijin itu mereka mulai membangun rumah untuk dihuni dengan tetap mempertahankan tipe rumah panggung, sebagai model dan gaya rumah orang Buton di sepanjang pulau Ambon.34
Dari konteks itu mereka mulai membangun kampung di dusun-dusun atau di kawasan yang sebelumnya disebut ewang35 oleh penduduk asli setempat. Lambat laun komunitas ini mulai berkembang. Saudara-saudara mereka dari
31
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
32
Elifas Tomix Maspaitella, Ambtenar dan Pendatang: Klaim Landscape dan Interelasi Demografis di Ambon, diakses penulis dari http://www.kutikata.blogspot.com, tanggal 12 Desember 2014.
33
Kegiatan melaut pada saat air laut sedang sudut.
34
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
35
49 Pulau Buton atau tempat lain di Pulau Ambon mulai berdatangan dan membangun juga rumah dengan alasan yang sama. Dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya penduduk, wilayah hunian mereka menjadi semakin terbuka dan melebar. Mereka mampu menjangkau kawasan ewang yang lebih jauh lagi dan membangun pula perkampungan yang baru. Di Rumahtiga tipikal itu sangat kelihatan. Malah di Rumahtiga komunitas Buton menempati lebih dari satu tempat yang kemudian menjadi dusun, seperti Taeno, Telaga Pange, Air Ali, Bandari, dan Waringin Cap yang dahulu ditempati orang-orang Hukunalo sebelum turun atau diturunkan ke negeri saat ini.36
Konteks pembauran sosial di Rumahtiga antara penduduk asli dan pendatang ternyata bukan hanya yang berasal dari Maluku, melainkan juga komunitas Buton dari Sulawesi Tenggara. Di sisi lain, pembauran antaragama menjadikan Rumahtiga sebagai negeri adat yang majemuk dari sisi agama, sebab komunitas Buton beragama Islam dan tinggal sejak puluhan tahun di Rumahtiga. Relasi dengan komunitas Buton selama ini berlangsung baik. Dalam sistem pemerintahan, dusun-dusun yang dihuni orang Buton/Muslim diberi kewenangan tertentu melalui kepala Dusun. Semula Kepala Dusun dijabat oleh orang-orang Rumahtiga yang beragama Kristen, termasuk orang dagang Kristen karena mayoritas yang terdapat dalam Negeri Rumahtiga adalah Kristen. Kini semua kepala dusun adalah orang Buton.37
36Ibid. 37
50
C. Pandangan Orang Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam
Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999
1. Sagu Salempeng Patah Dua Sebagai Identitas dan Lambang Pemersatu
Sagu salempeng patah dua, mencerminkan sikap batin orang Maluku itu sendiri. Falsafah sagu salempeng patah dua merupakan energi budaya yang menggerakan orang Maluku untuk mampu membina hidup bersama yang harmonis dalam perbedaan-perbedaan yang eksistensial. Hal inilah yang membuat Maluku termaknai sebagai sebuah keluarga besar yang majemuk dan kemajemukan itulah membuatnya besar. Sagu salempeng patah dua dimaknai sebagai kehidupan yang saling peduli dan berbagi dengan hubungan-hubungan batiniah yang terbangun dalam cara hidup orang Maluku.38
Dapat dikatakan bahwa sagu salempeng patah dua dimaknai sebagai kehidupan yang saling peduli dan berbagi dalam hal ini semua hal dalam kehidupan orang Maluku dilakukan atas dasar saling peduli dan berbagi. Secara sederhana dapat pula dikatakan kesusahan satu orang merupakan kesusahan semua orang. Oleh kerena itu harus ditanggung secara bersama atas dasar kehidupan orang basudara di Maluku. Inilah eksistensi orang Maluku yang berbeda dalam banyak hal dan merangkai perbedaan-perbedaan itu menjadi kehidupan yang harmonis. Orang tatua (para leluhur), berkat kepeduliannya telah mewariskan falsafah hidup orang basudara melalui falsafah sagu
51 salempeng patah dua sebagai gaya hidup yang menunjang terbinanya hidup yang harmonis dengan mengelola banyak perbedaan yang dipandang sebagai anugerah.39
Falsafah Sagu salempeng patah dua merupakan salah satu identitas orang Maluku yang sangat dipegang teguh oleh para orang tua yang dulunya sangat merasakan dan mengimplementasikan falsafah tersebut dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Maluku. Mengapa demikian? Sagu selain dijadikan sebagai makanan pokok orang Maluku, filosofisnya diartikan lebih mendalam dari sekedar pemaknaan „makanan pokok‟ tersebut tegas Bapak E.M.40
Baginya, sagu telah dilekatkan sebagai jati diri orang Maluku dimanapun mereka membangun kehidupan. Hakikatnya ketika berbicara tentang jati diri itu berarti orang Maluku membangun sebuah kehidupan yang berpola pada kerasnya sagu yang tidak mudah untuk dihancurkan. Dengan bahasa yang sederhana mau dikatakan bahwa, kerasnya sagu menunjukkan hubungan persaudaraan orang Maluku yang sangat intim tidak hanya bagi satu agama saja misalnya Kristen tetapi, bagi semua agama di Maluku tanpa terkecuali. Pemaknaaan selanjutnya tentang sagu salempeng patah dua itu berbicara tentang kehidupan yang saling berbagi. Filosofi inilah yang dipakai sebagai identitas orang Maluku.41
Sagu salempeng patah dua tidak hanya dimaknai sebagai identitas orang Maluku saja. Akan tetapi, hal tersebut juga dimaknai sebagai lambang pemersatu. Sagu salempeng patah dua yang artinya ialah sagu dibagi menjadi
39
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
40
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
52 dua bagian bukan menunjukan kehancuran dalam tatanan kehidupan masyarakat Maluku melainkan dengan adanya pembagian sagu menjadi dua bagian tersebut mau menunjukan bahwa masyarakat Maluku memiliki nilai hidup kasih, kepedulian dan saling berbagi yang sangat tinggi sehingga lewat nilai-nilai itulah menyatukan semua masyarakat Maluku tanpa memandang status sosial, ras bahkan agama sekalipun. Berbicara tentang sagu sebagai lambang pemersatu itu berarti berbicara tentang turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, tegas Bapak E.M.42
Dengan sederhana mau dikatakan, sagu salempeng patah dua memberikan nilai hidup yang berharga bagi orang Maluku bahwasanya hidup orang bersaudara sangat berharga nilainya dibandingkan dengan apapun.43
Pepatah usang (sudah lama; sudah kuno; sudah sudah tidak lazim lagi)44 orang Maluku ale rasa beta rasa45 atau juga ibarat pepatah berat sama dipikul ringan sama dijinjing begitulah nilai-nilai yang dilahirkan dari filosofi sagu salempeng patah dua. Filosofi ini tidaklah terbantahkan dalam keberadaan plural masyarakat Maluku. Nilai-nilai kehidupan yang dimaknai dari filosofi sagu salempeng patah dua telah lama terpatri dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Maluku. Setiap generasinya diajarkan untuk mewujudnyatakan filosofi tersebut dalam kehidupan kebersamaan.46
Benar bahwa, sagu salempeng patah dua ialah identitas dan lambang pemersatu bagi masyarakat Maluku. Akan tetapi, realita kehidupan yang
Pepatah orang Maluku yang artinya saling merasakan suka dan duka bersama-sama.
46
53 ditampilkan sekarang ini tidak lagi menunjukan nilai-nilai yang dilahirkan dari falsafah hidup orang Maluku tersebut masih terpelihara. Sejatinya sagu salempeng patah dua yang dimaknai sebagai lambang pemersatu tersebut lama-kelamaan tidak lagi memiliki eksistensi dalam tatanan kehidupan sosial orang Maluku sehingga ketika makna dari lambang pemersatu tersebut mulai bergeser secara tidak langsung orang Maluku akan kehilangan identitas mereka.47
Hal ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, di mana ada rasa ketidaknyamanan dari pihak orang Kristen maupun Muslim, jika mereka berada di wilayah-wilayah yang bukan merupakan wilayah mayoritas dari pihak mereka yang beragama Kristen maupun Islam. Ketidaknyamanan ini meruapakan salah satu akibat yang timbul pasca atau sesudah konflik kemanusiaan yang terjadi di Maluku beberapa tahun lalu. Padahal jika dibandingkan dengan keadaan sebelum terjadinya konflik, baik orang Kristen maupun orang Islam, hidupnya saling berdampingan dan tidak ada rasa ketidaknyamanan seperti yang sekarang dirasakan oleh kedua belah pihak. Contohnya: pada waktu dulu, orang Kristen dan orang Islam hidup bertetangga dalam satu wilayah atau kompleks. Namun sekarang, kehidupan yang dulu telah berubah dan sangat berbeda, d imana orang Kristen sekarang tinggal dalam wilayahnya sendiri dan sebaliknya orang Islam pun telah tinggal di tempat atau wilayah yang mayoritas beragama Islam. Dengan demikian, eksistensi dari falsafah sagu salempeng patah dua dalam
54 tatanan kehidupan sosial orang Maluku, kini mulai bergeser dalam hal prakteknya.48
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Pemaknaan
Sagu Salempeng Patah Dua Dalam Praktek Kehidupan Masyarakat Rumahtiga
Bergesernya pemaknaan akan falsafah hidup orang Maluku sagu salempeng patah dua tentu memiliki akar penyebab mengapa hal tersebut terjadi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya pergeseran pemaknaan sagu salempeng patah dua oleh masyarakat negeri Rumahtiga. Ketika dikatakan adanya pergeseran pemaknaan dari falsafah tersebut, Bapak O.L menguraikan bahwa modernisasi yang mengakibatkan lahirnya sifat-sifat individualistis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran pemaknaan falsafah hidup tersebut. Masyarakat Maluku terkhusus masyarakat negeri Rumahtiga telah terkontaminasi dengan pola hidup modern yang cenderung mementingkan diri sendiri sehingga seolah melupakan kehidupan kebersamaan yang terbentuk oleh falsafah sagu salempeng patah dua tersebut. Faktor yang dimaksudkan oleh narasumber diistilahkan sebagai faktor individualistis.49
Bapak S.L juga menambahkan bahwa faktor yang tidak kalah penting ialah konflik atau tragedi kemanusiaan yang terjadi beberapa tahun silam. Baginya, konflik telah melahirkan luka yang dalam bagi masyarakat negeri Rumahtiga. Luka konflik tersebut menjadi trauma yang mendalam bagi mereka
48
Hasil wawancara dengan Bpk. S.L, pada 28 November 2014.
49
55 hingga kini. Faktor kedua ini dianggap sangat esensial terjadinya pergeseran pemaknaan falsafah sagu salempeng patah dua.50
Selain dari kedua faktor penyebab diatas, Bapak A.M juga menambahkan bahwa pembauran etnik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran pemaknaan sagu salempeng patah dua. Pembauran etnik yang dimaksudkan ialah lebih banyaknya warga pendatang dari luar daerah Maluku dibandingkan dengan warga asli masyarakat Rumatiga. Dengan adanya dominasi penduduk pendatang inilah warga asli mulai terpengaruh oleh hasutan mereka terkhusus kepada penduduk asli yang kurang memahami nilai adat istiadat tentang hidup persaudaraan. Hasutan yang dimaksudkan ialah agama dipakai sebagai bahan legitimasi politik sehingga menyebabkan sentimen agama. Dengan begitu, perpecahan dan konflik akan mudah terjadi di Maluku terkhusus dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat negeri Rumahtiga yang dulunya sangat menghidupi falsafah hidup sagu salempeng patah dua.51 Bapak O.L juga menambahkan bahwa yang menyebabkan bergesernya falsafah sagu salempeng patah dua dari kehidupan masyarakat atau orang Maluku dan warga Negeri Rumahtiga adalah para pendatang yang hadir tengah-tengah kehidupan mereka dengan cara berdagang dan berdomisili di daerah Negeri Rumahtiga.52
Berdasarkan hasil wawancara, maka hal-hal tersebut merupakan faktor-faktor yang telah menyebabkan terjadinya pergeseran aktualisasi nilai sagu salempeng patah dua, di mana masyarakat Negeri Rumahtiga dulunya sangat memaknai falsafah hidup sagu salempeng patah dua sebagai nilai hidup
50
Hasil wawancara dengan Bpk. S.L, pada 28 November 2014.
51
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
52
56 persaudaraan yang diwariskan dari leluhur kepada masyarakat Negeri Rumahtiga.
3. Dampak dari Pergeseran Pemaknaan Sagu Salempeng Patah Dua Realita kehidupan sosial yang dulunya telah dibangun oleh orang tua dahulu bahwasannya setiap generasi Maluku harus melestarikan bahkan mempraktekkan filosofi yang telah mereka bentuk dan lahirkan lewat pemaknaan sagu salempeng patah dua kini mulai pudar dalam prakteknya. Seolah pemaknaan filosofi tersebut oleh generasi Maluku sekarang ini tidak lagi bermakna oleh karena faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas. Dengan adanya faktor-faktor tersebut menimbulkan dampak terhadap pola hidup masyarakat negeri Rumahtiga.53
Pemaknaan sagu salempeng patah dua memang bergeser, akan tetapi lebih dari itu hal ini tidak hilang sama sekali. Sagu salempeng patah dua lebih dirasakan pada masa lalu namun, tidak untuk sekarang ini. Bpk A.M kemudian bercerita bahwa, ketika Hari Raya Natal atau Lebaran biasanya warga bebas untuk saling mengunjungi, di mana orang Muslim datang berkunjung ke orang Nasrani pada waktu Natal dan sebaliknya pada saat Lebaran tiba. Akan tetapi pada masa sekarang, kegiatan ini hanya dilakukan sebatas pada adanya hubungan keluarga. Pengakuan ini pun diungkapkan oleh Ibu N.D, di mana setelah konflik warga Muslim maupun Kristen terlihat sudah memiliki jarak
53
57 padahal sebelum konflik 1999, jarak itu seakan tidak ada dan tidak ada rasa takut satu dengan yang lain.54
Diakui juga bahwa sagu salempeng patah dua sudah mulai bergeser sejak konflik 1999 namun masih ada yang melakukannya dalam kehidupan setiap hari antar tetangga.55 Berbagai macam bentuk acara yang bersifat kebersamaan dilakukan oleh masyarakat Negeri Rumahtiga untuk mengembalikan rasa persaudaraan antar sesama, di antaranya makan patita atau makan bersama yang bermanfaatkan untuk mempersatukan masyarakat Negeri Rumahtiga. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Rumahtiga, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Dengan demikian, dijelaskan bahwa sagu salempeng patah dua bukan hanya untuk orang Islam maupun Kristen melainkan untuk semua kalangan umat beragama yang berdomisili di Negeri Rumahtiga.56
Inilah realita yang terjadi, karena bagi masyarakat Negeri Rumahtiga, sagu salempeng patah dua merupakan falsafah hidup orang Maluku yang kini sudah mulai terkikis namun tidak ditinggalkan sama sekali serta masih dapat ditemui dalam acara-acara tertentu seperti acara ikat tali gandong maupun acara adat lainnya.57
Selain dampak-dampak yang telah dikemukakan di atas, kecurigaan antara individu atau kelompok yang berbeda agama pun masih terpelihara hingga kini. Konflik telah menimbulkan kecurigaan yang besar bagi sesama terkhusus untuk kaum Muslim dan Nasarani. Sagu salempeng patah dua dilihat
54
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
55
Hasil wawancara dengan Ibu. N. D., pada 23 November 2014.
56
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
57
58 sebagai pemersatu bagi masyarakat Negeri Rumahtiga yang terbecah-belah karena konflik namun lewat kehadiran sagu salempeng patah dua, warga Muslim maupun Nasrani yang ketika konflik melarikan diri dan mengungsi di luar daerah atau kawasan Negeri Rumahtiga, kini kembali dengan alasan bahwa mereka adalah satu ikatan persaudaraan yang harus kembali ke tanah asal mereka yaitu Negeri Rumahtiga.58
Sagu salempeng patah dua telah hidup sejak dahulu dalam kehidupan masyarakat Rumahtiga. Sagu salempeng patah dua juga bukan hanya dipratekkan dalam kehidupan sesama masyarakat Rumahtiga melainkan juga dilakukan oleh masyarakat Rumahtiga terhadap para pendatang yang kini telah hidup bersama dengan masyarakat Rumahtiga. Namun hal ini mulai bergeser ketika konflik di Maluku terjadi pada tahun 1999. Tetapi konfllik tidak secara mutlak menghilangkan falsafah ini dari kehidupan masyarakat Negeri Rumahtiga. Hal lain yang juga mempengaruhi bergesernya falsafah ini adalah sikap individualisme yang di mana orang sudah tidak lagi mementingkan kepentingan bersama melainkan lebih dari itu orang lebih banyak memikirkan dan mementingkan kepentingan pribadi demi kesejahteraan hidupnya.59
Modernisasi juga menjadi salah satu faktor bergesernya falsafah tersebut, hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Negeri Rumahtiga sudah memiliki lapangan pekerjaan yang berbeda-beda sehingga hal tersebut juga mempengaruhi pola pikir masyarakat. Misalnya: berbagai macam pekerjaan yang menjadi tanggung jawab masing-masing, mengakibatkan orang tidak lagi memiliki pola
58Ibid. 59
59 pikir yang sama sehingga kadangkala terjadi kesalahpahaman satu terhadap yang lain.60
Dengan kata lain, keberadaan dan pemaknaan sagu salempeng patah dua saat ini hanya sebatas kata-kata yang kemudian marak dibicarakan sesuai kebutuhan, namun lebih dari itu perwujudannya dalam kehidupan setiap hari sudah mulai bergeser tetapi tidak hilang sama sekali.
D. Rangkuman :
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikatakan bahwa falsafah sagu salempeng patah dua telah sejak zaman dahulu dan merupakan warisan dari leluhur. Sagu salempeng patah dua merupakan identitas masyarakat Negeri Rumahtiga yang telah menjadi pola hidup dari masyarakat Negeri Rumahtiga untuk membina kehidupan sosial yang lebih baik. Sagu salempeng patah dua memiliki makna penting bagi masyarakat Negeri Rumahtiga, yaitu hidup saling berbagi, saling tolong-menolong dan saling mempedulikan satu dengan yang lainnya.
Aktualisasi nilai falsafah sagu salempeng patah dua dulunya sangat baik, tetapi sekarang mulai bergeser. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: konflik kemanusiaan yang menimpa Negeri Ruamhtiga, pembauran etnik dan pengaruh modernisasi. Meskipun demikian, falsafah sagu salempeng patah dua tidak ditinggalkan sama sekali. Hal ini terbukti dengan masih diberlakukannya ritual-ritual adat untuk kembali memperkuat eksistensi dari nilai sagu salempeng
60