• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Mengangkut Barang Impor yang Tidak Tercantum Dalam Daftar Barang Niaga yang Dimuat Dalam Sarana Pengangkutan (Studi Kasus Putusan Nomor 2378 Pid.B 2011 PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Mengangkut Barang Impor yang Tidak Tercantum Dalam Daftar Barang Niaga yang Dimuat Dalam Sarana Pengangkutan (Studi Kasus Putusan Nomor 2378 Pid.B 2011 PN.Mdn)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TENTANG BARANG-BARANG IMPOR YANG TIDAK TERDAFTAR DALAM BARANG NIAGA

A. Perkembangan Peraturan Barang-Barang Impor yang Tidak Terdaftar dalam Barang Niaga

Menteri Perdagangan mengeluarkan aturan baru terkait aktivitas impor

melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor

48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor. 20

Menurut Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)

Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor

disebutkan bahwa semua barang dapat diimpor, kecuali barang dibatasi impor,

barang dilarang diimpor atau ditentukan lain berdasaran peraturan

perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat ketentuan baru yakni

barang impor dikelompokkan menjadi tiga yaitu barang bebas impor, barang

dibatasi impor, dan barang dilarang impor. Untuk barang impor yang dibatasi,

importir wajib memiliki izin impor sebelum barang tiba. Sebelum melakukan

impor, importir harus mengetahui peraturan perundang-undangan di bidang impor Peraturan ini

mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Permendag Nomor 54 tahun 2009.

Ketentuan umum di bidang impor ini mengatur setiap importir yang mengimpor

barang wajib memiliki Angka Pengenal Importir (API).

20

(2)

yang berlaku. Informasi mengenai peraturan di bidang impor ini dapat diakses

melalui portal Kementerian Perdagangan.

Pengaturan atas barang dibatas impor dilakukan melalui mekanisme

perizinan impor :21

1. Pengankuan sebagai importer produsen.

2. Penetapan sebagai importer terdaftar

3. Persetujuan impor

4. Laporan surveyor

5. Mekanisme perizinan impor lain.

Menurut Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor

48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor disebutkan

bahwa :22

1. Importir wajib memiliki perizinan impor atas barang yang dibatasi impornya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum barang masuk ke dalam daerah

pabean.

2. Importir yang tidak memiliki periinan impor sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) pada saat barang yang diimpor masuk ke dalam daerah pabean dikenai

sanksi pembekuan API dan sanksi lain sesai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Terhadap barang yang diimpor tidak memiliki perizinan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib diekspor kembali oleh importir.

21

Pasal 5 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor

22

(3)

Berdasarkan pasal di atas, maka ada dua sanksi bagi importir yang tidak

memiliki perizinan impor, yakni pertama pembekuan API dan sanksi lain sesuai

peraturan perundang-undangan atau kedua, diekspor kembali oleh importir.

Tujuan dari ketentuan yang baru ini adalah untuk menciptakan tertib administrasi

di bidang impor dan importir yang andal serta mengatasi permasalahan dwelling

time di pelabuhan.

B. Pengaturan Hukum Tentang Kepabeanan Menurut Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia

1. Undang-Undang yang Ada Sebelum Indonesia Merdeka

Sebelum merdeka, ada tiga undang-undang yang mengatur tentang

Kepabeanan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka undang-undang ini masih

tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum amandemen bahwa

“segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama

belum diadakan yang baru menurut undang-undang Dasar ini.” Di bawah ini, tiga

undang-undang yang dimaksud.

a. Indische Tarief Staatblad Tahun 1873 Nomor 35.

b. Rechten Ordonantie Staatblad Tahun 1882 Nomor 240

c. Tarief Ordonantie Staatblad Tahun 1910 Nomor 682

Rechten Ordonantie adalah Undang-Undang Bea (UU Bea).23

23

R. Wiyono, Pengantar Tindak Pidana Ekonomi, Alumni, Bandung, 1995, hlm. 5

Undang-Undang Bea ini mengatur antara lain tentang peraturan-peraturan tentang

(4)

(dalam UU Bea tidak disebutkan secara jelas pegawai apa yang dimaksud) untuk

melakukan penyidikan, dokumen-dokumen yang harus dibuat, dan ketentuan

pidana. Namun pada UU Beatidak mencantumkan pidana penjara seperti pada

undang-undang masa kini yang selalu mencantumkan pidana penjara dan

maksmimal minimal lamanya pidana penjara.

Pelanggaran terhadap Rechten Ordonantie adalah salah satu tindak pidana

ekonomi, sebagaimana diatur pada Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955

tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU

Tindak Pidana Ekonomi atau UU TPE). Pada perubahan kedua UU TPE yaitu

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1958 (Lembaran Negara No. 156 Tahun

1958) ditambahkan pelanggaran terhadap Rechten Ordonantie sebagai salah satu

tindak pidana ekonomi. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat ketentuan-ketentuan

UU TPE terutama pada poin h di bawah ini.

Pasal 1 : Yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu

ketentuan dalam atau berdasarkan :

1) Ordonantie Gecontroleerder Goedaren 1948 (Staatblad Nomor 144

Tahun 1948) sebagaimana diuubah dan ditambah dengan Staatblad

Nomor 160 Tahun 1949;

2) Prijsbeheersing-ordonantie 1948 (Staatblad Nomor 295 Tahun 1948); 3) Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang 1951 (Lembaran Negara

Nomor 4 Tahun 1933);

4) Rijsordonantie 1948 (Staatblad Nomor 253 Tahun 1948);

5) Undang-Undang Darurat tentang Kewajiban Penggilingan Padi (Lembaran Negara Nomor 33 Tahun 1952);

(5)

Dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1958 (Lembaran Negara Nomor

156 Tahun 1958) telah ditambahkan pada daftar sebagai tindak pidana ekonomi

peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai berikut :24

1) Crisis uitvoerordonantie 1939 (Staatblad No. 658 tahun 1939)

sebagaimana kemudian diubah dan ditambah;

2) Rechtendordonantie (Staatblad Nomor 240 tahun 1882 Nomor 240)

sebagaimana kemudian diubah dan ditambah;

3) Indische Scheepvaartwet (Staatblad Nomor 70 Tahun 1936) dan

Scheepvaartverordening 1936 (Staatblad Nomor 703 Tahun 1936) sebagaimana kemudian diubah dan ditambah.

Dengan demikian, pelanggaran terhadap Rechten Ordonantie dengan

sendirinya menjadi delik ekonomi, akibat yuridisnya, semua sanksi pidana dalam

Rechten Ordonantie menjadi tidak berlaku dan digantikan dengan sanksi pidana

dan tindakan tata tertib yang ada dalam UU TPE.25

2. Undang-Undang yang ada setelah Indonesia Merdeka.

a. Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah

suatu bentuk pembaharuan di bidang peraturan kepabeanan, bagaimana tidak 50

(lima puluh) tahun setelah Indonesia merdeka berulah Indonesia memiliki

undang-undang kepabeanannya sendiri. Sebelum adanya Undang-Undang RI Nomor 10

Tahun 1995 tentang Kepabeanan, produk hukum tentang kepabeanan di Indonesia

hanyalah perubahan-perubahan dan penambahan-penambahan terhadap

undang-undang peninggalan kolonial. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor RI 10

Tahun 1995 tentang Kepabeanan, peraturan peninggalan zaman kolonial tersebut

24

Ibid,hlm.7

25

(6)

di atas dinyatakan tidak berlaku lagi sebagaimana ditegaskan pada Ketentuan

Penutup Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan telah

mengakomodir kepentingan perdagangan internasional yang semakin berkembang

serta adanya penyesuaian-penyesuaian terkait dengan aturan-aturan internasional

yang ada misalnya ketentuan tentang bea masuk antidumping dan bea masuk

imbalan yang sebelumnya tidak diatur dalam ketiga peraturan

perundang-undangan sebelumnya di atas. Hal baru dalam Undang-Undang RI Nomor 10

Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang tidak ada pada peraturan yang ada

sebelumnya adalah adanya aturan mengenai pengendalian impor atau ekspor

barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, pembukuan, sanksi

administrasi, penyidikan, dan lembaga banding.26

b. Undang RI Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

Sebelas tahun setelah disahkannya Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun

1995 tentang Kepabeanan, diadakan lagi pembaharuan terhadap undang-undang

ini dengan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Hal ini dilakukan

untuk menyesuaikan undang-undang yang ada dengan kondisi masa kini. Dengan

berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1995 masih tetap berlaku. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 adalah

bentuk penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 dalam

bentuk pengubahan, penambahan, dan penghapusan pasal untuk mengakomodir

26

(7)

perkembangan kegaiatan kepabeanan masa kini dan memperjelas ketentuan yang

kurang jelas pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995. Oleh karena itu,

Undang RI Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 masih merupakan satu kesatuan.

Adapun yang menjadi perbaikan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2006 terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 di antaranya :

1) ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 yang disebut

delik penyelundupan yang hanya menyatakan “barang siapa yang mengimpor

atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini

dipidana karena melakukan penyelundupan....”. Pada Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2006 ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995

tersebut diubah agar lebih jelas tentang perbuatan-perbuatan apa saja yang

merupakan tindak pidana penyelundupan dan dibagi atas penyelundupan di

bidang impor yang diatur pada Pasal 102 dan ditampahkan Pasal 102A tentang

penyelundupan di bidang ekspor;

2) Bab yang baru ada pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dan tidak ada

pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 adalah tentang Pembinaan

Pegawai. Pembinaan pegawai ini mengatur tentang kode etik pegawai dan

komisi kode etik, adanya sanksi bagi pegawai yang tidak teliti, pemeriksaan

internal dalam hal terdapat indikasi tindak pidana kepabeanan yang

menyangkut pegawai DJBC, penghargaan bagi pegawai dan orang lain yang

berjasa menangani pelanggaran kepabeanan.

(8)

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan mengatur dan

menetapkan tata cara atau kewajiban yang harus dipenuhi apabila seseorang

mengimpor atau mengekspor barang. Dalam hal seseorang mengimpor atau

mengekspor barang tampa megindahkan ketentuan atau prosedur yang telah

ditetapkan Undang-undang dapat diancam dengan pidana dengan berupa hukuman

penjara dan denda. Sanksi pidana berupa hukuman penjara dan denda dalam

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 diatur dalam Pasal 102, yang berbunyi:

Barang siapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau

mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini dipidana

kerena melakukan penyeludupan dengan pidana penjara paling lama delapan

tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Mengindahkan dalam pasal di atas adalah samamsekali tidak memenuhi

ketentuan prosedur sebagaimana telah Undang-undang ini. Dengan demikian

apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah mengindahkan

ketentuan Undang-undang ini, walupun tidak sepenuhnya, tidak termasuk

perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan pasal tersebut.

Pasal 103 menyebutkan bahwa: Barangsiapa yang:

a. Menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban Pabean. b. Mengeluarkan barang impor dari Kawasan Pabean atau dari Tempat

Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor.

c. Membuat, menyetujui, atau serta dalam penambahan palsu ke dalam buku atau catatan.

(9)

pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Seseorang yang menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual,

menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak

pidana akan dikenai sanksi pidana, dalam hal ini secara spesifik dikaitkan dengan

importir pakaian bekas secara ilegal.

Keempat jenis tindak pidana kepabeanan ini secara jelas dapat terlihat

mengatur khusus pelanggaran atas kewajiban kepabeanan berbeda dengan

Pasal-pasal pelanggaran. Misalnya, butir a menegaskan adanya kesengajaan

menyerahkan dokumen palsu yang secara umum sebenarnya juga di atur dalam

pasal-pasal pemalsuan yang ada dalam hukum pidana.

Ketentuan Pasal 103 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 yang

berhubungan dengan keadaan dimana seseorang ditemukan menimbun, memiliki,

menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh atau memberikan barang

impor yang berasal dari Tindak Pidana Penyeludupan dimana barang tersebut

dapat menyita barang dengan wewenang yang miliki. Orang yang melakukan hal

tersebut di atas dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun

atau denda paling bayak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Akan tetapi jika yang bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad

baik, maka yang bersangkutan tidak dapat dituntut. Namun, kemungkinan lain

bisa terjadi bila pelaku kejahatan dapat diketahui, sehingga kedua-duanya dapat

dihukum.

Seseorang atau kelompok yang melakukan pelanggaran atas peraturan

(10)

seseorang yang mengangkut barang yang tampa memiliki dokumen yang sah yang

menurut Undang-undang ini diharuskan disimpan, hal ini dilihat dalam Pasal 104

Undang-Undang Nomor 104 Tahun 1995 yang berbunyi: Mengangkut barang

yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 yang

berbunyi:

a. Memusnakan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut Undang-undang ini harus disimpan.

b. Menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkapan pabean, atau catatan.

c. Menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomosili diluar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda pling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

d. Dalam pasal ini disebutkan bahwa semua bukti transaksi perdagangan harus disimpan dengan baik dan dijaga, hal ini menjadi suatu keharusan menurut Undang-undang. Dan apabila ada dokumen yang seharusnya diserahkan kepada kepabeanan sebagai administrasi kenegaran yang berhubungan dengan tansaksi antar negara.

Pasal 106 menyebutkan bahwa:

Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan pengusaha Pengurusan Kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, Pasal 50, atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).

Menelaah kepada isi pasal tersebut di atas maka dapat diketahui jika ada

importir yang melakukan impor pakaian bekas merupakan suatu perbuatan yang

(11)

ketentuan perundang-undangan jaga telah melangkahi kewenanan kepabeanan

dalam menjaga dan menjalankan tugas mengawasi perdangan disuatu wilayah.

Pasal 107 juga menyatakan bahwa: Pengusaha pengurusan jasa

kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan kuasa yang diterimanya

dari importir atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang diancam dengan

pidana berdasarkan Undang-undang ancaman pidana tersebut berlaku

terhadapnya.

Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pelanggaran

pidana perihal pekerjaannya dan perbuatan yang terancam pidana, maka petigas

itu akan dikenai ancaman pidana yang sesuai, begitu juga petus yang membantu

importir pekaian bekas dan terkait dalam modus tansaksinya secara langsung akan

dikenai saksi yang berlaku.

Pasal 108 menyebutkan bahwa:

a. Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badanhukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan ataukoperasi, tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

1) Badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan,yayasan atau koperasi tersebut.

2) Mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindakpidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan ataumelalaikan pencegahannya.

b. Tindak pidana menurut Undang-undang ini dilakukan juga oleh atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

(12)

pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.

Pasal 109 menyatakan bahwa:

Barang impor atau ekspor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, 103 huruf b atau huruf d, Pasal 104 huruf a atau Pasal 105 huruf a dirampas untuk negara:

a. Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dapat dirampas untuk negara. b. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan

ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73.

Pasal 109 ini disebutkan dengan jelas segala jenis barang yang merupakan

barang yang dilarang dalam kegiatan ekspor-impor akan disita oleh Negara dan

ditindak secara hukum, serta mendapat penyelesaian hukum pula dengan tidak ada

suatu pengecualian. Dengan kata lain impor-ekspor pakain bekas yang dilarang

oleh perundang-undangan akan mendapat perlakuan yang sama seperti halnya

Undang-undang mengaturnya.

Perihal sanksi pidana yang diberikan kepada suatu badan hukum yang

melakukan suatu Tindak Pidana Penyeludupan dapat dilihat pada Pasal 108

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan. Dalam pasal ini

dimungkinkan dapat dipidananya suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan,

termasuk badan usaha milik Negara atau daerah dengan mana dan dalam bentuk

apapun, bentuk usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk

persekutuan, firman atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau koperasi

(13)

dibelakang atau mengatas namakan badan-badan tersebut di atas. Oleh sebab itu

selain badan- badan tersebut di atas harus dipidana juga mereka yang telah

memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang sesungguhnya

melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian orang yang bertindak

tersebut tidak untuk diri sendiri tetapi wakil dari badan tersebut, harus juga

mengindahkan peraturan dan larangan yang diancam dengan hukuman pidana,

seolah-olah mereka sendiri yang melakukan tindak pidana tersebut. Atas dasar

hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang akan dikenakan kepada

badan-badan yang bersangkutan dan atau pemimpinnya.

Badan-badan tersebut di atas dapat dipidana berupa pidana denda paling

banyak RP. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), jika atas tindak pidana

tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana

denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara atau

denda.

D. Mekanisme Pengangkutan Barang

Kepabeanan berfungsi dalam pengawasan atas lalu lintas barang, baik

yang dibawa atau yang dimasukkan ke/dari luar negeri yang biasa disebut dengan

ekspor-impor. Dalam pelaksanaan pengawasan lalu lintas barang, terkait dengan

sistem dan prosedur yang berlaku dalam perdagangan internasional. Sistem dan

prosedur tersebut dikenal secara umum dalam teknik perdagangan internasional.

Selain itu, juga diatur mengenai teknik-teknik yang harus diterapkan dalam

hubungan dagang antara pembeli dan penjual. Semua tata cara tersebut

(14)

yang terlibat dalam transaksi perdagangan global terutama mengenai pemenuhan

hak dan kewajiban para pihak yang terkait.

Secara umum, dokumen-dokumen yang diperlukan dalam pengangkuta

barang dapat terbagi menjadi :27

1. Dokumen komersial (commercial documents)

a. Perjanjian Jual-Beli (Sales Contract)

Merupakan dokumen berupa kontrak atau perjanjian mengenai perikatan

jual beli yang dibuat oleh kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli

dengan persyaratan yang telah disepakati, seperti pihak-pihak yang

mengadakan perjanjian atau kuasa yang ditunjuk, cara pembayaran, cara

penyerahan barang, nilai pabean/harga (customs value), cara penyelesaian

jika timbul sengketa, dimuat dalam surat kontrak perjanjian jual beli.

b. Data Pesanan (Purchase Order/PO)

Merupakan dokumen yang dapat membuktikan bahwa pembeli telah

memberikan order untuk membeli barang-barang yang disebut dalam PO.

PO merupakan dokumen komersial yang diterbitkan oleh pembeli,

ditujukan kepada penjual berisi tipe, kuantitas, dan harga yang telah

disetujui untuk produk yang akan dipasok oleh penjual. Dalam PO

biasanya disertakan kondisi tertentu serta cara pembayaran, cara

penyerahan barang, penanggung biaya pengangkutan, dan tanggal

penyerahan barang.

c. Konfirmasi Pemesanan (Order Confirmation)

27

(15)

Kesepakatan pembeli untuk membeli barang-barang sesuai dengan

pesanan, dapat dilakukan dengan mengirimkan Order Confirmation, yaitu

konfirmasi mengenai pemesanan atau pembelian yang dilakukan, sehingga

surat tersebut mengikat kedua belah pihak sebagai telah terjadi transaksi

jual beli. Dokumen ini diterbitkan oleh pembeli. Order Confirmation dapat

dianggap sebagai “tanda jadi” yang sebelumnya telah dilakukan

korespondensi (Memory of Understanding).

d. Faktur Dagang (Commercial Invoice)

Dokumen yang penting dalam penyelesaian pemenuhan kewajiban pabean

adalah Invoice, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Commercial

Invoice atau Shippers Export Declaration, yaitu dokumen kunci untuk

pengangkutan barang yang melintasi perbatasan antar negara. Commercial

invoice digunakan saat sudah ada transaksi jual beli. Dokumen ini

merupakan bagian dari transaksi komersial yang dilakukan oleh penjual

dan pembeli. Pihak pabean akan menerima Commercial Invoice sesuai

dengan ketentuan yang berlaku. Invoice akan dilengkapi dengan nama

perusahaan pelayaran, alamat lengkap, nomor telepon, dan ditandatangani

oleh pengirim atau agennya. Deskripsi barang yang akurat dan lengkap

diperlukan untuk penelitian yang akan dilakukan oleh bea dan cukai.

Apabila penerima barang bukan importir sendiri, atau dalam hal ini ada

notify party atau orang atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk menerima

dan mengurus penerimaan barang, harus dituliskan dalam Invoice. Asli

(16)

diserahkan kepada importir dan satu salinan dilampirkan pada dokumen

pengapalan, kalau diminta.

e. Daftar Kemasan (Packing List)

Merupakan suatu daftar kemasan yang menyertai dan harus ada setelah

Commercial Invoice. Di dalam Packing List yang merupakan suatu

pernyataan tentang isi dari peti kemas, seperti jumlah barang, jenis barang,

ukuran, masing-masing kemasan diberikan nomor atau inisial untuk

mempermudah pengenalan pemesan barang. Dalam hal satu peti kemas

terdapat beberapa shippers dan beberapa consignee, dan ditandatangani

oleh pengirim barang atau manufakturer.

f. Sertifikat Hasil Analisis (Certificate of Analysis)

Beberapa negara memerlukan selain C/O atau SKA juga beberapa

sertifikat seperti Certificate of Analysis yang merupakan hasil analisis

mengenai barang yang di ekspor, misalnya mengenai campuran barang

kimia. Ketentuan membuat sertifikasi negara asal barang dapat dilakukan

dengan menuliskan pada Commercial Invoice. Dokumen-dokumen

tersebut penting bagi petugas bea dan cukai untuk menentukan apakah

akan dikenakan tambahan bea masuk atau apakah terdapat larangan dan

pembatasan. Dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk

barang-barang tertentu seperti Certificate of Quarantine, Certificate of Surveyor,

dan lainnya, harus dapat dilampirkan untuk kelengkapan dokumen.

2. Dokumen finansial (financial documents)

(17)

Disebut sebagai wesel insako berarti pembayaran baru dilakukan setelah

wesel tersebut diaksep (ditandatangani di belakang wesel). Selama belum

diaksep, eksportir masih berhak atas barang-barang yang akan diterimakan

kepada importir. Hal ini dilakukan oleh eksportir yang belum mengenal

atau memahami pembeli barang-barangnya atau dapat juga terjadi kalau

importansinya dilakukan oleh indentor.28

b. Konsinyasi (Consignment)

Cara pembayaran dengan

Collection Draft ini disebut juga sebagai Document Againts Payments,

dapat diartikan dokumen-dokumen baru diserahkan apabila pembayaran

sudah dilaksanakan sesuai dengan perjanjian. Hal ini juga dapat disebut

Document of Acceptance, yaitu dokumen diserahkan jika importir sudah

mengakseptasi wesel.

Cara pembayaran konsinyasi, hak 41 indentor adalah Pengusaha yang

dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menyuruh importir

mengimpor Barang Kena Pajak untuk dan atas kepentingannya. (Lihat

Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984) atas barang

yang diekspor tetap dipegang oleh eksportir, barang yang diserahkan

kepada penerima dapat dijual lebih dahulu, sedangkan pembayarannya

kemudian. Cara pembayaran ini biasanya dilakukan antarperusahaan yang

bergerak dalam multilevel marketing atau MLM, sehingga kerugian bagi

penerima/importir kecil. Sebaliknya perputaran uang (turn over) modal

28

(18)

eksportir berlangsung lama dan kepastian pembayaran dari importir tidak

ada.

3. Dokumen Kredit (Letter of Credit (L/C)

Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sistem transaksi pembayaran

dalam perdagangan internasional seperti UCP–ICC29

29

ICC adalah kependekan dari International Chamber Of Commerce. ICC pertama kali menerbitkan UCP pada tahun 1933 dan secara rutin mengadakan Up-date terhadap standard praktek perdagangan tersebut

(Uniform Customs and

Practice for Documentary Credits). UCP adalah kodifikasi kebiasaan yang

sudah diidentifikasikan seragam dalam penanganan L/C, yaitu keseragaman

transaksi kredit secara internasional dengan maksud meminimalkan perbedaan

penafsiran di antara para pihak yang mengikatkan diri pada UCP dan dapat

dijadikan penyelesaian konflik atau sengketa. Kredit merupakan transaksi

terpisah dari underlying contracts dan harus dinyatakan dengan bank mana

kredit tersedia atau tersedia untuk setiap waktu (by sight payment atau by

deffered payment atau by negotiation atau by acceptance). Tanggal jatuh

tempo penyerahan dokumen harus dinyatakan secara tegas dalam kredit dan

presentasi harus dilakukan pada atau sebelum tanggal jatuh tempo. Dokumen

kredit berbentuk L/C tunduk kepada peraturan yang mengatur mengenai cara

pembayaran dalam perdagangan internasional. UCP diperlukan mengingat

bahwa hukum atau aturan mengenai L/C berbeda di setiap negara, padahal

kredit merupakan instrumen perdagangan internasional yang lazim diterapkan.

(19)

bagi para pihak yang mengikatkan diri pada UCP dan dapat dijadikan dasar

penyelesaian sengketa.

4. Dokumen transportasi (transportation documents)

a. Dokumen Rincian Barang (Manifest)

Merupakan dokumen sarana pengangkutan yang berupa suatu daftar

muatan barang-barang yang diangkut, dengan rincian: nomor daftar

nama/inisial penerima, tujuan (nama pelabuhan), nama negara dan nomor

kode harmonized system (HS) yang menunjukkan jenis barang yang ada

dalam kemasan.

b. Dokumen Bukti Tanda Terima Barang (Bill of Lading (B/L atau BOL) dan

Airway Bill)

B/I dan AWB merupakan suatu dokumen kontrak antara pengangkut dan

pengirim barang, terdiri atas 3 (tiga) original dan lainnya merupakan copy,

memuat nama pengirim (shipper), penerima (consignee), notify party

(orang atau badan hukum yang diberikan kuasa untuk menerima,

mengurus, dan membayar kepengurusan barang yang diimpor), nama

sarana pengangkut, pelabuhan muat dan tujuan, jumlah barang/container

dan berat barang. Dokumen transportasi ini sebenarnya merupakan

perjanjian tertulis, tentang penyerahan barang dari pengirim kepada sarana

pengangkut dengan tujuan untuk diangkut ke pelabuhan tujuan dan

memuat mengenai :

1) Nama pengirim barang dan penerima barang atau notify party, yaitu

(20)

untuk kepentingannya menerima dan mengurus barang yang

dikirimkan oleh eksportir atau supplier. Nama ini dinotifikasikan oleh

perusahaan pengangkutan pada saat barang tiba di pelabuhan.

2) Nama pengangkut (carrier), selain untuk kepentingan pemenuhan

prosedural kepabeanan, juga asuransi dan pembayaran/perbankan

(pelabuhan muat harus sesuai dengan yang tertulis dalam L/C).

3) B/L ditandatangani oleh carrier, master atau agen yang ditunjuk oleh

perusahaan sarana pengangkut. Dalam hal ditandatangani oleh agen,

secara khusus harus dinyatakan penandatanganan atas nama carrier

atau master.

4) Tanggal pemuatan barang (selesai dimuat) dan tanggal penerbitannya

harus sama dengan barang selesai dimuat (date of shipment).

5) B/L boleh mengindikasikan bahwa barang akan atau mungkin

dilakukan transhipment sepanjang pelayaran dilindungi dengan B/L,

jika barang dikapalkan dengan peti kemas, trailer atau LASH barge.

B/L yang diterbitkan oleh perusahaan sarana pengangkut

diindikasikan tunduk pada satu charter party, ditandatangani oleh

master; pemilik sarana pengangkut, orang yang mencarter atau agen

yang ditunjuk (secara khusus dinyatakan atas nama master, pemilik

atau orang yang mencarter). Nama pelabuhan bongkar menunjuk

sebagai rangkaian pelabuhan atau wilayah geografis sebagaimana

dinyatakan dalam L/C. Selain itu juga memuat mengenai apakah biaya

(21)

belum dibayar, sehingga harus dibayar di pelabuhan bongkar (freight

collect). Perlu diperhatikan oleh importir adalah persyaratan atau

perjanjian yang diterakan dalam B/L atau AWB dan keabsahan

dokumen dengan penandatanganan oleh pegawai perusahaan sarana

pengangkut di bawah kolom tempat dan tanggal diterbitkannya. Selain

itu diperhatikan juga adalah mengenai kondisi barang, ukuran berat,

marks, jumlah, kualitas, isi, dan harga harus sesuai dengan

Commercial Invoice. Terakhir, keabsahan B/L dapat dibuktikan

dengan tanda tangan pengangkut.

5. Dokumen Penyerahan Barang (Delivery Order).

Dokumen-dokumen yang diperlukan sebagai tanda kepemilikan atas barang

yang dipertukarkan dapat diurus oleh international freight forwarder yang

merupakan perorangan atau perusahaan/badan hukum. Perusahaan ini akan

membukukan atau mempersiapkan ruang (space) untuk pengangkutan barang

serta tidak hanya menyediakan kapal kargo, tetapi juga pengatur angkutan

baik dengan pengangkut yang telah menjadi langganan maupun dengan

pengangkut yang lain, memproses dokumen, dan kegiatan lain yang terkait

dengan kepentingan perusahaan sarana pengangkut, seperti penagihan biaya

angkutan (freight collect) atau yang bersifat keagenan. D/O adalah dokumen

yang dimiliki oleh penerima, pengirim atau pemilik dari perusahaan sarana

pengangkut yang berisi perintah untuk menyerahkan barang-barang yang

diangkut kepada pihak lain atau yang tertera dalam dokumen tersebut. D/O

(22)

Peraturan yang mengatur mengenai D/O secara internasional adalah UCC atau

Uniform Commercial Code. apa yang perlu diperhatikan importir atas D/O,

yaitu tanggal dan masa berlakunya. Hal ini menunjukkan bahwa jika waktu

pengurusan barang melewati masa berlaku yang telah ditentukan, akan

dikenakan sewa gudang ditambah dengan denda yang dihitung harian.

6. Dokumen Asuransi (Cargo Policy)

Fungsinya hampir sama dengan Certificate of Insurance, yaitu kesepakatan

antara dua belah pihak, dimana satu pihak menjamin terhadap kejadian

(occurance) yang terjadi atas barang-barang yang diangkut oleh suatu sarana

pengangkut. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan mengenai hak dan

kewajiban kedua belah pihak dan mekanisme tuntutan ganti rugi yang harus

dilaksanakan. Seperti halnya untuk pengangkutan melalui laut, udara,

dokumen ini juga menyatakan nama sarana pengangkut, ditandatangani oleh

pengangkut atau agennya dan tanggal penerbitan barang untuk dikirim.

7. Dokumen resmi (official documents)

a. Perizinan

Dokumen resmi atau official adalah dokumen-dokumen yang diterbitkan

oleh departemen teknik, yang mempunyai otoritas untuk lisensi yang harus

dimiliki oleh importir maupun eksportir dalam kegiatan kepabeanannya.

Dokumen tersebut misalnya, lisensi atau izin-izin yang diperlukan atau

diharuskan oleh departemen tersebut. Selain itu, izin untuk importasi

barang-barang bekas, meskipun pada prinsipnya dilarang, namun jika

(23)

dibutuhkan, masih diizinkan untuk diimpor. Izin-izin lain, seperti untuk

impor hewan atau tanaman, masing-masing harus mendapatkan izin

Departemen Pertanian.

b. Surat Keterangan Asal (SKA)

Dalam perdagangan internasional dikenal beberapa jenis upaya untuk

membatasi ekspor suatu negara, misalnya melalui sistem kuota. Untuk

mengetahui kepastian bahwa negara pengekspor adalah yang mendapatkan

jatah/kuota, diperlukan C/O. Selanjutnya C/O digunakan untuk

kepentingan bea cukai dalam menetapkan nilai pabean atau harga barang.

Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin merupakan

pernyataan yang ditandatangani dan menyatakan bahwa barang yang

diproduksi seperti yang tersebut dalam dokumen tersebut. Namun, SKA

bukan merupakan pernyataan darimana barang dimaksud dikapalkan.

Sebenarnya negara asal barang ini sudah termuat di dalam commercial

invoice. Tetapi beberapa negara SKA dipisahkan dari invoice. Dengan

mengetahui negara asal barang, akan dapat diketahui mengenai kualitas

barang dan akan berpengaruhatas harga yang diberitahukan dalam

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan surat nomor : 027/ 27.13/ POKJA70.BB-PS/ DI SBUN/ 2017/ Adm.PPBJ-C tanggal 26 Mei 2017 hal Berita Acara Hasil Pelelangan Sederhana Paket/ Pekerjaan tersebut di atas

Termasuk dalam kategori ini ialah perhatian mereka yang sangat besar untuk menyingkirkan dosa-dosa kecil dan melalaikan dosa-dosa besar yang lebih berbahaya, baik dosa-dosa

Saleku sale kurma adalah sebuah brand produk makanan ringan berbahan dasar kurma yang di produksi oleh ukasa food sejak tahun 2013 di semarang jawa tengah yang

Untuk tujuan 1 Digunakan untuk mengetahui besar pendapatan usaha ternak domba yaitu dengan perhitungan selisih antara penerimaan dan semua biaya maka.. dirumuskan

Konsep dari perancangan visual branding saleku sale kurma adalah menggunakan desain yang simple dan ilustrasi digital painting dari buah atau pohon kurma yang sesuai

Cara kerja sistem ini adalah: (1) Perguruan Tinggi melakukan pengisian Data Digital (2) BAN PT sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam melakukan akreditasi

Analisi Statistik Regresi Linear Berganda Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Peternak Sistem Semi Intensif.

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2014 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut