Filsafat
Ilmu
•
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
•
Syamsul Kurniawan & Tijani
PERPUSTAKAAN NASIONAL: Katalog Dalam Terbitan (KDT) FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi
antara Filsafat, Ilmu dan Islam (16 x 24 cm = x + 169 halaman)
ISBN: XXX-XXX-XXXX-XX-X Judul Buku: FILSAFAT ILMU Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Penulis: S YA M S U L K U R N I AWA N & T I J A N I
Editor: F AC H R U L RAZ I
Kreatif: SETIA PURWADI
Pengantar
Penulis
FILSAFAT adalah mater scientiarum (induk ilmu pengetahuan).
Disebut demikian karena memang ilsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu pengetahuan yang ada. Filsafat telah
berhasil mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris.
Awalnya Bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia
beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh
para dewa. Karenanya para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan ilsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang
tergantung pada rasio.
Perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris
maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari penelitian alam
jagad raya muncul ilmu-ilmu alam (natural sciences), sedangkan dari manusia muncul ilmu-ilmu sosial (social sciences).
Pada perkembangan selanjutnya, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan, dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pada gilirannya, cabang ilmu semakin subur dengan segala variasinya. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa ilmu yang
terspesialisasi itu semakin menambah sekat-sekat antara satu
disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain, sehingga muncul arogansi ilmu yang satu dengan yang lain. Tidak hanya sekedar sekat-sekat antar disiplin ilmu dan arogansi ilmu, tetapi yang terjadi adalah terpisahnya ilmu itu dengan nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu menjadi bencana bagi kehidupan umat manusia,
seperti pemanasan global dan dehumanisasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan
ilmu memiliki dampak positif dan negatif. Di antara konsekuensi negatif perkembangan ilmu, ilmu dan teknologi kehilangan ruhnya yang fundamental karena ilmu kemudian mengeliminir
peran manusia dan bahkan manusia tanpa sadar menjadi
budak ilmu dan teknologi. Karena itu, ilsafat ilmu berusaha
mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar tidak menjadi
bumerang bagi kehidupan umat manusia. Di samping itu, salah tujuan ilsafat ilmu adalah untuk mempertegas bahwa ilmu dan
teknologi adalah instrumen bukan tujuan.
Pada konteks mengatasi problematika dikotomi ilmu, ilsafat ilmu juga menekankan pentingnya merajut kembali
harmonisasi antara ilmu dan agama melalui integrasi keilmuan.
Berikutnya muncul istilah-istilah untuk mendukung proyek integrasi agama dan ilmu ini seperti islamisasi ilmu pengetahuan, ilmuisasi Islam, integrasi ilmu, integrasi dan interkoneksi, dan
Ide penyusunan buku ini dilatarbelakangi bahwa buku ilsafat ilmu dalam kajian yang komprehensif dan integratif sulit
diperoleh. Hal tersebut memberikan motivasi bagi penulis untuk
menyusun buku ini. Tentu saja apa yang dipaparkan lewat buku ini tidak hanya berguna bagi mahasiswa, tetapi juga bagi semua orang yang berminat untuk mengayunkan langkah menapak jalan ke alam ilsafat demi meningkatkan daya pikir kritis, logis, dan sistematis. Kepada mereka itu kiranya buku ini dapat memberikan sumbangan yang berharga.
Buku ini dapat terwujud tidak lepas dari bantuan banyak pihak, maka ucapan terimakasih patut penulis sampaikan kepada siapapun yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan buku ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pihak penerbit yang sudah bersedia menerbitkan buku ini.
Penulis juga menyadari bahwa materi yang ada dalam
buku ini belum sempurna. Penulis akan selalu berusaha
menyempurnakan buku ini secara bertahap berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan saran-saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca. Mudah-mudahan buku ini ada manfaatnya yang bisa dipetik bagi banyak orang. Amin.***
Pontianak, 15 Mei 2017
PENGANTAR PENULIS DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 RANCANG BANGUN FILSAFAT ILMU 2.1. Deinisi ilsafat ilmu
2.2 Ruang lingkup ilsafat ilmu 2.3 Filsafat Ilmu dalam Islam
2.4 Manfaat mempelajari ilsafat ilmu
BAB 3 HAKIKAT, SUMBER, DAN TUJUAN ILMU 3.1 Hakikat ilmu
3.2 Sumber ilmu 3.3 Tujuan ilmu
BAB 4 SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU 4.1 Dasar Pemikiran
4.3 Ilmu dalam peradaban abad pertengahan 4.3 Ilmu pada zaman renaisans (14-16 M) 4.4 Ilmu pada zaman moderen (17-19 M) 4.5 Ilmu pada zaman kontemporer
BAB 5 KRITERIA KEBENARAN 5.1 Macam-macam teori kebenaran 5.2 Kebenaran ilmiah
BAB 6 KLAKSIFIKASI ILMU
A. Klaksiikasi ilmu sebagai pengaturan yang sistematik B. Pengklaksiikasian ilmu
BAB 7 SARANA ILMIAH
7.1 Sarana ilmiah: bahasa, logika, matematika,
dan statistika
7.2 Hubungan antara sarana ilmiah bahasa, logika, matematika, dan statistika
BAB 8 TANTANGAN DAN MASA DEPAN ILMU 8.1 Kemajuan ilmu dan dehumanisasi
8.2 Kontrol nilai dan moral terhadap ilmu dan teknologi
BAB 9 MERAJUT HARMONISASI
ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN ISLAM 9.1 Dasar Pemikiran
9.2 Pemetaan Secara Filosois Hubungan Agama dan Ilmu 9.3 Mengharmonisasikan Ilmu dan Agama
BAB 10 PENUTUP
MELIHAT lahirnya ilmu yang dilatarbelakangi ketidakpuasan
para ilmuan terhadap penemuan kebenaran oleh para ilsuf,
maka dapat diasumsikan bahwa ilmu merupakan bentuk-bentuk
perkembangan ilsafat (Bakhtiar, 2010: 2). Filsafat sebagaimana dijelaskan Rapar merupakan mater scientarium (induk ilmu) (Rapar, 1996: 5). Disebut induk ilmu pengetahuan, karena melalui rahim ilsafat lahir berbagai cabang ilmu dan terus berkembang dari zaman ke zaman. Atau, sebagai cikal bakal ilmu pengetahuan, ilsafat telah memainkan fungsi dan perannya
sebagai kontrol utama bagi keberlangsungan ilmu menuju pada
tujuan mulianya, di antaranya membangun kehidupan manusia yang beradab.
Filsafat juga memediasi pertentangan-pertentangan yang timbul antara ilmu pengetahuan, agama, dan aspek-aspek kemanusiaan. Jauh dari keinginan untuk mendewakan atau memuliakan ilsafat, senyatanya kehadiran ilsafat yang
terus-menerus di sepanjang sejarah peradaban manusia sejak
Bab Satu
kelahirannya sekitar puluhan abad yang lalu, telah memberi kesaksian yang meyakinkan tentang betapa pentingnya ilsafat bagi manusia. Filsafat harus ada, karena salah satu itrah pada manusia adalah berpikir. Hampir dapat dipastikan, tidak ada manusia yang tidak berpikir. Dengan berpikir, manusia menjadi makhluk yang memiliki kemampuan dan kekuatan, tidak pernah berhenti dan selalu dalam keaktifan.
Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran yang sebelumnya mitosentris menjadi logosentris. Perubahan dari pola pikir yang mitosentris menjadi logosentris senyatanya membawa implikasi yang tidak kecil. Bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia yang sebelumnya beranggapan bahwa
semua peristiwa atau kejadian di alam semesta dipengaruhi
oleh kehendak para dewa, dan karenanya para dewa harus dihormati, ditakuti, dan kemudian disembah, dengan ilsafat berangsur-angsur mulai berubah. Pola pikir yang mulanya amat
bergantung pada dewa (mitosentris) bergeser pada pola pikir
yang tergantung pada rasio (logosentris). Alam dengan segala macam gejalanya yang sebelumnya ditakuti kemudian didekati
dan bahkan dieksploitasi.
Hanya saja, karena ilsafat disebut-sebut sebagai induk ilmu, tidak sedikit yang gagal paham terhadap keberadaan ilsafat. Sebagian mereka menganggap ilsafat sebagai ilmu yang istimewa sehingga menempati tempat duduk yang paling tinggi di antara seluruh ilmu yang ada. Bahkan sebagian mereka menilai, ilsafat adalah ilmu khusus yang hanya dapat dimengerti oleh orang-orang jenius dan punya kapasitas intelektual di atas rata-rata. Konsekuensinya, ada sebagian mahasiswa atau kalangan akademisi yang sengaja menghindari mata kuliah ilsafat atau berilsafat, karena dianggap terlampau sukar atau pelik.
mengherankan apabila di toko-toko buku terkemuka sekalipun
sering terlihat penempatan buku-buku ilsafat dicampurbaurkan begitu saja dengan buku-buku astrologi, psikologi, dan teologi.
Ada juga yang berpendapat bahwa ilsafat itu tidak berharga untuk dipelajari. Filsafat tidak lebih dari sekedar lelucon yang tak bermakna alias “omong kosong”. Apa gunanya mempelajari ilsafat yang tidak sanggup memberi petunjuk
tentang bagaimana seseorang dapat meningkatkan keuntungan
bagi perusahaannya? Apa gunanya mempelajari ilsafat yang tak mampu memberi petunjuk tentang bagaimana merancang sebuah bangunan yang bisa memikat banyak orang sehingga laku dipasarkan? Apa gunanya mempelajari ilsafat yang tidak dapat memberi petunjuk tentang bagaimana beternak ayam yang paling berhasil?. Singkatnya, mereka hendak mengatakan bahwa ilsafat tidak memiliki kegunaan praktis.
Sebagian lain yang berpendapat bahwa ilsafat hanyalah sejenis “ilmu” yang mengawang tanpa memiliki dasar pijakan konkret yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebabnya karena ilsafat berbicara tentang apa saja. Sementara mereka mengasumsikan sebuah disiplin ilmu hanya mengacu pada satu objek tertentu, maka ilsafat tidak dapat dikatakan
sebagai sebuah disiplin ilmu.
Di kalangan rohaniwan dan teolog, gagal paham terhadap ilsafat juga ditemui. Sebagian mereka ada yang memperlakukan ilsafat hanya sebagai ancilla theologiae, yaitu sebagai budak atau pelayan teologi, ilsafat bertugas memformulasikan argumentasi-argumentasi yang kuat untuk membela keyakinan dan ajaran agama, tanpa memperdulikan apakah cara yang ditempuh itu benar atau sahih. Bahkan, ada juga rohaniwan dan teolog yang menuding ilsafat sebagai alat iblis yang terkutuk,
karena itu harus ditolak oleh semua orang beriman.
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan ungkapan-ungkapan tersebut? Apakah arti istilah “falsafah” atau “ilsafat” yang digunakan dalam ungkapan-ungkapan tersebut di atas? Istilah “falsafah” atau “ilsafat” yang digunakan dengan cara itu sesungguhnya mengacu kepada sikap, pandangan, dan gagasan yang dipegang oleh seseorang untuk menghadapi segala persoalan dan tantangan yang harus diatasinya.
Ada lagi orang-orang yang hendak menawarkan “jasa baik” dengan berupaya membedakan pemakaian istilah “falsafah” dan “ilsafat” dalam penggunaan praktis sehari-hari, namun malah berakibat semakin rancu. Ada juga yang mengatakan bahwa karena semua orang berpikir, sesungguhnya semua orang adalah ilsuf. Apakah benar setiap orang yang berpikir itu adalah ilsuf? Jika benar demikian, berarti berpikir adalah berilsafat, dan berilsafat adalah berpikir. Jadi pemikiran (sebagai hasil berpikir) adalah ilsafat, dan ilsafat adalah pemikiran. Memang benar orang yang berilsafat itu berpikir, tetapi tidak semua yang berpikir berarti pula berilsafat. Untuk berpikir secara ilsafati, ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.
sangat “kerdil” karena kehilangan ruang gerak dan wawasan?. Pada masa kini ada sebagian orang yang mengatakan bahwa ilsafat telah berada di penghujung jalan. Filsafat telah menempuh perjalanan yang sangat panjang dan kini harus berhenti. Pengembaraannya telah berakhir, dan tidak ada lagi sesuatupun yang dapat dilakukannya. Filsafat sebagai induk segala ilmu telah berhasil melahirkan berbagai ilmu yang kini
telah mandiri. Ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science),
ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social science), dan seluruh disiplin ilmu lainnya satu persatu telah memisahkan diri dari ilsafat dan telah tumbuh menjadi dewasa. Filsafat selaku induk
segala ilmu kini telah renta dan mandul. Ia tak mampu dan memang tak mungkin lagi untuk mengandung dan melahirkan.
Karena itu, benar-benar tidak berguna lagi.
Pandangan-pandangan yang keliru tentang ilsafat menunjukkan ketidaktahuan tentang apa sesungguhnya ilsafat. Memang pengamatan sekilas terhadap keberadaan ilsafat dapat menyesatkan. Akan tetapi, apabila benar-benar disimak secara lebih serius dan lebih mendalam, ilsafat akan semakin diminati, semakin menarik, semakin memikat, dan semakin memukau.
Pada umumnya ilmu dikembangkan dengan bertolak dari realitas serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan faktual dan praktis. Akan tetapi, apabila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada suatu bidang ilmu telah melampaui yang faktual dan praktis serta mengacu kepada upaya untuk mencari kejelasan tentang seluruh realitas serta mencari akar dan asas realitas itu sendiri, maka berbagai ilmu yang telah mandiri itu terpaksa harus kembali ke induknya, yaitu ilsafat, untuk meminta jawabannya. Segala upaya untuk memperoleh klariikasi tentang seluruh realitas serta mencari akar dan asas realitas telah berada di luar kompetensi ilmu karena sesungguhnya hal itu merupakan suatu upaya ilsafati yang membutuhkan pemikiran abstrak dan relektif kritis (Rapar: 73-74).
Karena banyaknya pertanyaan yang diajukan pada berbagai
bidang ilmu pengetahuan telah melampaui kompetensi bidang
itu sendiri dan harus dimintakan jawabannya kepada ilsafat, maka lahirlah ilsafat ilmu yang menerapkan berbagai metode ilsafati dalam upaya mencari akar dan menemukan asas realitas yang dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi memperoleh kejelasan lebih pasti (Rapar: 74). Misalnya, tentang konsekuensi negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana gejala pada manusia moderen yang disebut dengan “mabuk teknologi”. Naisbitt (2002: 23-24) memaparkan gejala “mabuk teknologi” ditandai beberapa indikator, yaitu:
1. Masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat dari masalah agama sampai masalah gizi;
2. Masyarakat takut dan sekaligus memuja teknologi;
3. Masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu;
4. Masyarakat menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wa
-jar;
5. Masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan; 6. Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan tereng
Filsafat ilmu merupakan suatu bagian ilsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu, yaitu apa yang ilsafat umumnya lakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat ilmu melakukan dua macam hal: di satu pihak, membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan (Caws, 1965: 5).
Pada konteks ini, ilsafat ilmu semestinya juga mengacu dan tidak bertentangan dengan agama. Artinya, selain bersumber dari pemikiran ilosois, kajian atas ilmu hendaknya juga bersandar pada kajian-kajian keagamaan. Apalagi, dalam ilsafat juga tercakup pembahasan tentang manusia, alam, dan Tuhan, (Spencer, 1955: 1125-1126) yang relevan dengan agama.
Sekiranya ilsafat berusaha mengkaji hubungan antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan penciptanya. Demikian pula pada agama, terutama Islam, yang secara lengkap terakumulasi semua kupasan ilsafat ini. Sebagaimana dimafhumi, Alquran sebagai sumber umat Islam, mempunyai cakupan yang holistik
dan universal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sudah banyak buku tentang Filsafat Ilmu yang beredar. Namun demikian buku ini sengaja
melakukan positioning, terutama dari aspek kedekatan kajian
Bab Dua
Rancang Bangun Filsafat Ilmu
2.1 DEFINISI FILSAFAT ILMU
KATA ilsafat bukan terma asing lagi, keberadaannya lazim
dipakai dalam percakapan sehari-hari. Meskipun demikian perlu diketahui rangkaian, pembahasan, dan pemikiran apa yang terdapat di dalamnya. Karena ilsafat berkonotasi dengan akar kata yang abstrak dan mengandung nilai-nilai dasar tertentu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui pengertian ilsafat
tersebut baik menurut bahasa (etimology) maupun istilah (terminology).
Secara etimologis, ilsafat merupakan padanan kata falsafah (Bahasa Arab) dan philosophy (Bahasa Inggris), berasal
dari bahasa Yunani philosophia (Gie, 2010: 29) yang merupakan
kata majemuk yang terdiri dari kata philos dan sophia. Kata
philos berarti kekasih, bisa juga berarti sahabat. Adapun sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan, dapat juga berarti pengetahuan. Jadi secara hariah philosophia dapat dimaknai
ilsafat digunakan pertama kali oleh Phytagoras (572-497 SM).
Gambar 2.1
Patung Pythagoras dari Samos di Capitoline Museums, Roma (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Pythagoras)
Deinisi ilsafat menurut istilah sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekanannya. Bahkan, Mohammad Hatta dan Langeveld seperti dikutip Bakhtiar (1997: 7), mengatakan bahwa deinisi ilsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam deinisinya. Oleh karena itu, biarkan saja seseorang meneliti ilsafat terlebih dahulu kemudian menyimpulkan sendiri.
terdapat dalam pembahasan bukan pada deinisi. Namun deinisi ilsafat dapat digunakan sebagai patokan awal yang diperlukan untuk memberi arah dan cakupan objek yang dibahas, terutama yang terkait dengan ilsafat ilmu. Karena itu, dalam pembahasan ini akan dikemukakan beberapa pengertian ilsafat dari sejumlah ilosof terkemuka yang cukup representatif, baik dari segi zaman
maupun kualitas pemikiran.
Plato mengatakan, bahwa ilsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa ilsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan Aristoteles (murid Plato) berpendapat bahwa ilsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari
realitas ada.
Rene Descartes, ilsuf Prancis yang termasyhur dengan
argumen je pense donc je suis, atau dalam bahasa latin cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), mengatakan bahwa ilsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia. Bagi William James, ilsuf Amerika yang terkenal sebagai tokoh Pragmatisme dan Pluralisme, ilsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang (Rapar, 1996: 15).
RF. Beerling (1966: 22) mengatakan bahwa ilsafat mengajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, prinsip dari kenyataan. Beerling juga mengatakan bahwa ilsafat adalah suatu usaha untuk mencapai radix atau akar dari kenyataan dunia wujud, serta akar
pengetahuan tentang diri sendiri.
memperlihatkan adanya tiga ciri pokok dalam ilsafat, yaitu: 1. Adanya unsur berpikir yang dalam hal ini menggunakan
akal;
2. Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berpikir tersebut;
3. Adanya unsur ciri yang terdapat dalam pikiran tersebut, yaitu mendalam (Nata, 1999: 3-4).
Uraian di atas menunjukkan dengan jelas ciri dan karakteristik berpikir secara ilosois. Intinya adalah, serangkaian upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran – sebagai alat utamanya – untuk menemukan hakikat segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu.
Berikutnya deinisi ilmu. Terma Ilmu berasal dari Bahasa Arab, ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa‘ila, yaf‘alu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar (Bakhtiar, 2010: 12).
Dalam bahasa Inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan) yang diturunkan dari kata scire (mengetahui)
(Gie, 2010: 87). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa
Yunani adalah episteme (Suriasumantri, 1998: 324). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu disamakan artinya dengan pengetahuan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan (Depdiknas, 2013: 524).
Di antara para ilsuf dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan. Seorang ilsuf yang meninjau ilmu yaitu Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (Kemeny, 1959: 175). Menurut Gie (2010), di kalangan ilmuan sendiri umumnya juga ada kesepakatan bahwa ilmu terdiri
atas pengetahuan. Dengan mengutip pendapat seorang ilmuan
teknik-teknik pengamatan yang objektif. Dengan demikian, maka isi
ilmu terdiri dari kumpulan-kumpulan teratur dari data.
Secara terminilogis, ilmu mempunyai ciri-ciri utama sebagai berikut :
1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman
pribadi.
2. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah
mengartikan kepingan pengetahuan sebagai satu putusan
tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu kepada objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu koherensi
sistematik adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip objek dan
hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metaisis objek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicirikan oleh
visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir.
3. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalam dirinya sendiri hiptesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan. 4. Di pihak lain, yang seringkali berkaitan dengan konsep ilmu
pengetahuan ilmiah adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu.
metodologis yang penting adalah terminologi ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu. 6. Kesatuan setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya.
Teori skolastik mengenai ilmu membuat pembedaan antara objek material dan objek formal. Yang terdahulu disebut adalah objek konkret yang disimak ilmu. Sedangkan yang
belakangan disebut adalah aspek khusus atau sudut pandang
terhadap objek material. Yang mencirikan setiap ilmu adalah objek formalnya. Sementara objek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain. Pembagian objek studi mengantarkan ke spesialisasi ilmu yang terus bertambah (Bagus, 1996: 3017-308).
Selain sejumlah ciri-ciri utama di atas yang sangat normatif, berikut sejumlah pengertian yang disampaikan oleh beberapa ahli :
1. Hatta mendeinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang
teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu
golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
2. Pearson mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
3. Montagu berpendapat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
4. Afanasyef, seorang pemikir marxist bangsa Rusia mendeinisikan ilmu sebagai pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praksis (Anshari, 1987: 47-49).
pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (Bakhtiar, 2010: 16).
Dari keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasiikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara logis maupun empiris. Deinisi ini sekaligus membedakan pengertian antara ilmu dan pengetahuan, di mana pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metaisisik maupun isik. Dapat juga dikatakan, pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang labih tinggi
oleh karena memiliki metode dan mekanisme tertentu.
Berikut diterangkan beberapa pengertian ilsafat ilmu menurut para ahli:
1. Ackerman mendeinisikan ilsafat ilmu sebagai sebuah
tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau
yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi ilsafat ilmu demikian jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya (Ackermann, 1970: 19).
2. Beck (1964: 16) mengatakan bahwa ilsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menerapkan nilai dan pentingnya
usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3. Benjamin mendeinisikan ilsafat ilmu sebagai cabang pengetahuan ilsafat yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual (Gie, 2010: 58).
penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah, dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni
tentang metode ilmiah.
5. Brodbeck (1953: 6) mendeinisikan ilsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan ilsafati, pelukisan, dan
penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
6. Caws berpendapat bahwa ilsafat ilmu merupakan suatu bagian ilsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang ilsafat lakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal: pertama, membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; kedua, ilsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan. (Caws, 1965: 5).
7. Liang Gie (2010: 61-62) berpendapat bahwa ilsafat ilmu adalah segenap pemikiran relektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan
ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia. Landasan dari ilmu itu mencakup: konsep-konsep dasar, anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, struktur-struktur teoritis, dan ukuran-ukuran
kebenaran ilmiah.
2.2 RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU
merupakan bagian dari epistemologi (ilsafat pengetahuan) secara spesiik mengkaji hakikat ilmu, seperti beberapa hal berikut ini :
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan? (landasan ontologis).
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/ teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis).
3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral? (Landasan aksiologis).
2.3 FILSAFAT ILMU DALAM ISLAM
Filsafat ilmu sama sekali tidak bertentangan dengan agama, terutama Islam. Artinya, selain bersumber dari pemikiran ilosois, kajian atas ilmu hendaknya juga bersandar pada kajian-kajian keagamaan. Apalagi, dalam ilsafat juga tercakup pembahasan tentang manusia, alam, dan Tuhan (Spencer, 1955: 1125-1126), yang relevan dengan agama.
semesta, dan manusia dengan penciptanya. Demikian pula pada agama, terutama Islam, yang secara lengkap terakumulasi semua kupasan ilsafat ini. Sebagaimana dimafhumi, Alquran sebagai sumber umat Islam, mempunyai cakupan yang holistik dan universal. Dalam Alquran terdapat banyak ayat-ayat yang menyeru dan menganjurkan supaya menggunakan akal pikiran atau berilsafat.
Berikut terjemahan dari beberapa kutipan ayat Alquran yang memuliakan orang-orang akal pikiran atau berilsafat:
...Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (Qs al-Baqarah: 219).
... Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berpikir (Qs. Yunus: 24).
... Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir (QS az-Zumar: 42).
... Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir (Qs. Al-Jatsiyah: 13).
“...Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (Qs. Ar-Ra’du: 4).
“...yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal” (Qs. Al-Maidah: 58).
Yasin: 68).
“...(Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal” (QS asy-Syuara: 28).
“...Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS al-An‘am: 32).
“...Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (Qs. Al-Mu’minun: 80).
“...Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya” (QS al-Baqarah: 242).
Selain ayat-ayat di atas, masih banyak ayat-ayat lain yang senada maksudnya, yaitu agar kita dapat mempergunakan akal pikiran dan berilsafat. Ayat-ayat ini juga memberikan dasar untuk berpikir secara mendalam dan berilsafat tentang berbagai hal, termasuk yang berkaitan dengan pendidikan.
Kecuali pada Alquran, isyarat untuk menggunakan akal pikiran dan berilsafat juga bisa dijumpai pada hadits Nabi Muhammad Saw., seperti: “ambillah hikmah (ilsafat) dari mana datangnya”; “agama itu adalah akal, barangsiapa yang tidak berakal, maka ia tidak bisa beragama”; dan sebagainya.
2.4 MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT ILMU
Beberapa manfaat yang bisa dipetik dari mempelajari ilsafat ilmu:
rasa ingin tahu manusia. Melainkan juga bermaksud membantu manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Salah satu persoalan aktual yang dihadapi manusia yang hidup di era moderen, seperti bagaimana memecahkan masalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, maupun penyakit dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti dimafhumi, ilmu pengetahuan dan teknologi, meski juga ada dampak negatifnya, sekurang-kurangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi telah membantu mengurangi penderitaan
manusia dan meningkatkan kesejahteraannya.
2. Memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis (Bakhtiar, 2010).
3. Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan non ilmiah. Sebagai mata kuliah ilsafat, kuliah ilsafat ilmu, bersama kuliah ilsafat lainnya, membantu mahasiswa untuk semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa di sini dituntut untuk tetap kritis terhadap berbagai macam teori dan pengetahuan ilmiah yang diperolehnya baik di ruang kuliah maupun dari berbagai sumber yang dapat diperolehnya. Ini sangat penting karena seorang mahasiswa dicirikan terutama oleh sikap kritisnya, sikap tidak mudah dipercaya, sikap tidak mau menerima begitu saja berbagai teori, pendapat, pandangan dari mana saja, termasuk pandangan dan pendapatnya sendiri. Sikap ini harus dikembangkan terus menjadi sebuah cara hidup (Keraf dan Dua, 2001: 25).
ilmu diharapkan calon ilmuan dibantu untuk mengembangkan kemampuan analitis ilmiahnya dengan menggunakan metode ilmiah tertentu. Pada tingkat pertama, calon ilmuan dibantu untuk secara kritis melihat segala sesuatu dalam hidup ini sebagai sebuah masalah, sebagai sebuah teka-teki, maupun sebagai sebuah pertanyaan. Dengan ini diharapkan calon ilmuan selalu peka dan tanggap terhadap berbagai persoalan di sekitarnya. Pada tingkat kedua, dengan melihat segala sesuatu sebagai masalah, ilmuan terdorong untuk berupaya mencari secara ilmiah teoritis apa yang menjadi sebab dari masalah tersebut, di mana letak masalahnya, dan apa yang menyebabkannya. Apa akibat lebih lanjut dari
masalah tersebut terutama kalau masalah tersebut tidak
ditangani secara baik? Apa pemecahan atas masalah itu? Apa konsekuensi dari pemecahan tersebut? Apa dampaknya bagi pihak lain atau bagi hal lain? Dan seterusnya. Dengan demikian, diharapkan calon ilmuan mampu menganalisis
berbagai peristiwa dan mampu menjelaskan atau memahami
keterkaitannya dengan peristiwa lainnya. Kalau perlu, mampu pula mengajukan solusi atau pemecahan atas masalah tersebut. Bahkan sampai tingkat tertentu diharapkan
ilmuan mampu meramalkan peristiwa tertentu berdasarkan
peristiwa yang sudah terjadi, atau berdasarkan langkah, tindakan atau kebijaksanaan tertentu yang diambil sekarang. Semua hal itu, yang dikenal sebagai kemampuan ilmiah. Kemampuan ilmiah yang perlu dimiliki seorang ilmuan. antara lain:
1. Mampu melihat sebuah peristiwa (fakta, data, informasi, tindakan, dan semacamnya) sebagai sebuah masalah ilmiah; 2. Mampu membuat analisis atas peristiwa tersebut dan
kemudian memberi pelajaran atas peristiwa itu dalam
hubungan sebab akibat dengan peristiwa lainnya;
4. Mampu membuat prediksi atau ramalan tentang berbagai kemungkinan yang akan timbul berkaitan dengan peristiwa tersebut serta solusi yang telah diajukan. Kemampuan ini
perlu dilatih terus-menerus.
Filsafat ilmu dapat mensistematiskan, meletakkan dasar, dan memberi arah kepada perkembangan sesuatu ilmu, maupun
usaha penelitian dari para ilmuan untuk mengembangkan
ilmu. Dengan mempelajari ilsafat ilmu, proses pendidikan, pengajaran, dan penelitian dalam suatu cabang ilmu dapat menjadi lebih mantap dan tidak kehilangan arah (Gie, 2010: 64).
Tabel 2.1
Bab Tiga
Hakikat Ilmu
3.1 DEFINISI ILMU
UNTUK memahami lebih lanjut deinisi ilmu, ada baiknya kita
bedakan antara deinisi pengetahuan dan ilmu. Seperti sudah diulas pada bab 2 terdahulu, bahwa pengetahuan tidak sama dengan ilmu, walaupun ada hubungan yang sangat erat antara keduanya.
Menurut tinjauan kebahasaan, pengetahuan berasal dari kata dalam Bahasa Inggris yaitu knowledge. Sidi Gazalba (1992: 4) mengungkapkan bahwa pengetahuan ialah apa yang diketahui
atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil
kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah
semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Penganut paham pragmatis, terutama Dewey, tidak
membedakan antara pengetahuan dengan kebenaran (antara
knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan haruslah benar,
Jika pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Salam mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu: 1. Pengetahuan biasa;
2. Pengetahuan ilmu; 3. Pengetahuan ilsafat; 4. Pengetahuan religi.
Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang dalam istilah ilsafat disebut common sense, dan sering pula diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik. Semua orang menyebut sesuatu itu merah, karena memang itu merah, benda itu panas karena
memang dirasakan panas. Dengan common sense, semua orang sampai kepada keyakinan secara umum tentang sesuatu, di mana mereka akan berpendapat sama semuanya. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai untuk menyiram bunga, makanan dapat memuaskan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan sawah tadah hujan, dan sebagainya.
Beberapa ciri khusus dari common sense:
1. Common sense cenderung menjadi biasa dan tetap, atau bersifat peniruan, serta pewarisan dari masa lampau (contohnya folkways pada masyarakat tradisional);
2. Common sense sering kabur atau samar dan memiliki arti
ganda;
3. Common sense merupakan suatu kebenaran atau kepercayaan yang tidak teruji, atau tidak pernah diuji kebenarannya.
Pengetahuan ilmu adalah ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan
untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha
pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan
menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir yang objektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi, eksperimen dan klaksiikasi. Analisis ilmu itu objektif dan mengenyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian (subjektif), karena dimulai dengan fakta. Ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif. Ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati panca indera manusia.
Selainjutnya pengetahuan ilsafat yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan ilsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau
ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, ilsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang relektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup
menjadi longgar kembali.
Terakhir, pengetahuan agama. Pengetahuan agama adalah pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan melalui utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para
pemeluk agama. Pengetahuan agama mengandung beberapa
hal yang pokok yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering juga disebut dengan hubungan horizontal.
tersebut dianggap mempunyai persamaan deinisi. Bahkan ilmu
dan pengetahuan terkadang dirangkum menjadi kata majemuk
yang mengandung arti tersendiri. Hal ini sering kita jumpai dalam berbagai karangan yang membicarakan tentang ilmu pengetahuan. Namun jika kedua kata itu berdiri sendiri-sendiri, akan tampak perbedaan antara keduanya.
Pada Bab 2 telah disebutkan bahwa menurut bahasa, pengetahuan dan ilmu bersinonim arti. Ilmu berasal dari Bahasa Arab, ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa‘ila, yaf‘alu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar Bakhtiar, 2010: 12).
Dalam bahasa Inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan) yang diturunkan dari kata scire (mengetahui).
Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme (Gie, 2010: 87). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu disamakan artinya dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan (Depdiknas, 2013: 524). Sedangkan dalam arti material, keduanya mempunyai perbedaan. Pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah
merupakan bagian tinggi dari itu karena memiliki metode dan
mekanisme tertentu. Ilmu bagaikan sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi, sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat lain yang belum tersusun dengan baik.
Menurut Salam (2003: 31), pada prinsipnya ilmu merupakan
usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan
common sense, yaitu suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan
teliti dengan menggunakan berbagai metode.
dan analisis. Ilmu itu objektif dan mengenyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian, karena dimulai dengan fakta; ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif. Ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika, dan dapat diamati panca indera manusia.
Karakteristik umum dari ilmu, bisa dilihat pada tabel 3.1 sebagai berikut:
Hasil dari ilmu yang telah lalu dapat
dipergunakan untuk penyelidikan dan
penemuan hal-hal baru, dan tidak menjadi
monopoli bagi yang menemukannya saja,
setiap orang dapat menggunakan,
me-manfaatkan hasil penyelidikan atau hasil
penemuan orang lain.
2
Hasil ilmu
kebenarannya
tidak mutlak
Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak
dan bisa terjadi kekeliruan, karena yang
menyelidikinya adalah manusia. Namun
yang perlu diketahui, kesalahan-kesalahan
itu bukan karena metodenya, melainkan
terletak pada manusia yang menggunakan
metode tersebut.
3
Ilmu itu
objek-tif
Bandingkan karakteristik umum ilmu sebagaimana pendapat Ralph Rose dan Ernest van den Haag yang dikutip Burhanuddin Salam,(2003: 32) yaitu: rasional, bersifat empiris, bersifat umum, dan bersifat akumulatif. Ilmu dikatakan rasional
karena ilmu merupakan hasil dari proses berpikir dengan
menggunakan akal, atau hasil berpikir secara rasional.
3.2 SUMBER ILMU
Kajian tentang sumber ilmu dalam ilsafat adalah masuk
dalam rumpun epistemologi. Dalam perjalanan sejarah
pemikiran manusia, kajian tentang epistemologi telah dilakukan sejak zaman Yunani kuno. Dalam dunia Islam, pembahasan
tentang epistemologi ilmu sudah dilakukan sejak masa al-Kindi
(796-873 M). Secara agak khusus, kajian tentang epistemologi ini dilakukan dalam kajian ilsafat ilmu.
Dalam kajian epistemologi di Barat, pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan dua mazhab utama, yaitu
empirisme dan rasionalisme. Keberatan Islam terhadap kedua
mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam Islam, kajian terhadap sumber ilmu
memadukan bahan-bahan empirikal (kealaman) dan spiritual
(kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat.
3.2.1 SUMBER ILMU MENURUT KAJIAN
EPISTEMOLOGI DI BARAT
Sebagaimana telah disinggung di atas, kajian yang pokok tentang sumber ilmu diwakili oleh dua mazhab utama, yaitu empirisme dan rasionalisme. Berikut akan dijelaskan kedua mazhab dimaksud, baru kemudian penulis akan menjelaskan
1. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, yang berarti pengalaman (Bakhtiar, 2010: 98). Menurut aliran ini, sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia adalah pengalaman. Hal yang paling pokok untuk bisa sampai pada pengetahuan yang benar menurut kaum empiris, adalah data dan fakta yang ditangkap oleh pancaindera kita. Satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan pancaindera. Atas dasar ini, bagi kaum empirisis, semua pengetahuan manusia bersifat empiris. Pengetahuan yang benar dan sejati, yaitu pengetahuan yang pasti benar adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan empiris (Keraf dan Dua, 2001: 49).
Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan pancaindera. Pengalaman semacam ini berkaitan dengan data yang ditangkap oleh pancaindera, khususnya yang bersifat spontan dan langsung. Jadi, pengalaman/ percobaan/ pengamatan, penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan data, itulah yang
merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia karena pada
dasarnya kita tahu tentang sesuatu hanya berdasarkan dan hanya dengan titik tolak pengalaman inderawi kita. Tidak ada sumber pengetahuan lain selain pengalaman. Maka panca indera
– dan bukan akal budi – memainkan peranan penting dengan
menyajikan bagi kita pengalaman langsung dengan objek tertentu (Keraf dan Dua, 2001: 50).
Bagi kaum empirisis, pancaindera memainkan peranan terpenting dibandingkan dengan akal budi karena:
a. Semua proposisi yang kita ucapkan merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari pengalaman. b. Kita tidak bisa punya konsep atau ide apapun tentang
sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh
dari pengalaman.
c. Akal budi hanya bisa berfungsi kalau punya acuan ke realitas
Pada konteks ini, bagi kaum empirisis akal budi hanya
mengkombinasikan pengalaman inderawi untuk sampai pada
pengetahuan. Maka tanpa pengalaman inderawi tidak ada
pengetahuan apa-apa.
Hal ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?”. Seorang empiris akan mengatakan, “Karena saya merasakan hal itu atau karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa
pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman
inderawi yang sesuai (Bakhtiar, 2010: 99).
John Locke (1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabularasa yaitu manusia dilahirkan sebagai kertas putih yang kosong, tanpa ada ide atau konsep apapun. Locke beranggapan bahwa semua konsep, pemikiran, dan ide kita bersumber dari apa yang ditangkap melalui dan dengan pancaindera kita. Sebelum kita menangkap sesuatu dengan pancaindera kita, akal budi kita berada dalam keadaan kosong tanpa isi apapun. Akal budi kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi yang diperoleh melalui pancaindera. Sebelum ada informasi dari pancaindera, akal budi kita mirip dengan kertas yang belum ditulis apa-apa (Keraf dan Dua, 2001: 50).
Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Menurut asumsi Locke pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar (Bakhtiar, 2010: 100).
David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan
hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas).
Adapun yang dimaksud Hume dengan kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Sedangkan yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau tereleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman (Bakhtiar, 2010).
Hume juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi
keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi, seperti membuat air mendidih, padahal dalam api tidak dapat diamati adanya “daya aktif” yang mendidihkan air. Jadi itu bukanlah yang diamati. Bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam “air” yang direbus. Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat pancaindera (Bakhtiar, 2010: 101).
Gejala itu jika ditelaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Seperti langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Di samping itu kita melihat adanya karakteristik lain, yaitu adanya kesamaan dan pengulangan, umpamanya saja bermacam-macam logam jika
dipanaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita
untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, dapat disusun suatu pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala isik yang bersifat individual (Suriasumantri, 1991: 52).
konsep tersebut atau membagi-baginya (as-Shadar, 1995: 32). Kaum empiris juga menganggap akal sebagai jenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan
hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut padahal hubungan
yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman. Karena itu, semua eksperimen selanjutnya seharusnya berdasarkan pada perkiraan, bukan kepastian bahwa peristiwa yang akan datang kemungkinan cocok dengan yang lewat (Bakhtiar, 2010: 102).
Jadi, dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itupun sebatas ide yang kabur. Aliran ini mempunyai banyak kelemahan, di antaranya:
1. Indera manusia terbatas, benda yang jauh kelihatannya kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
2. Indera bisa menipu. Pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3. Objek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera, ia membohongi indera.
4. Berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini, indera (mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Simpulannya, teori empirisme dalam sisi-sisi tertentu mempunyai kelemahan, terutama karena keterbatasan indera
manusia.
Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya
dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa
sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalis, sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya, kaum rasionalis
menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan
melalui pancaindera kita (Keraf dan Dua, 2001: 44).
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan
indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan
bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan oleh akal
dalam pengalaman berpikir. Akal mengatur bahan tersebut
sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Fungsi pancaindera hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain (Bakhtiar, 2010: 103).
Akal, selain bekerja karena ada bahan dari indera, juga akal dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak. Menurut Descartes, seorang pelopor rasionalisme, untuk sampai kepada kebenaran, maka tidak mungkin hanya mengandalkan indera. Secara metodologi, maka ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti, meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah.
pertentangan pemikiran ilsafat pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala sesuatu. Dalam konteks ini hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Sifat meragukan ini bukan khayalan, melainkan suatu kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir, dan oleh karena aku berpikir maka
aku ada (cogito ergo sum). Memang menurut Descartes, apa saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan, akan tetapi bahwa kegiatan berpikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berpikir, dan oleh karena itu di dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada” (Hadiwijono, 1980: 21)
B. De Spinoza (1632 -1677 M) memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan menyusun sistem rasionalisme atas dasar ilmu ukur. Menurutnya, dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika seseorang memahami makna yang terkandung oleh pernyataan, “Sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua titik.” Maka seseorang mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya tidak perlu ada bukti-bukti yang lain kecuali makna yang dikandung kata-kata yang digunakan (Bakhtiar, 2010: 105).
Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti
mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu
ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah utama yang
dihadapi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran
premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan (Suriasumantri, 1991: 51).
Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme)
merupakan gabungan dari kedua aliran tersebut. Dalam hal
ini pancaindera mengumpulkan data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, yang kemudian disebut universal. Tapi kebenaran yang model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu. Namun teori ini pun mengalami kesulitan, karena data-data yang ada di alam tidak semuanya dapat dikumpulkan karena alam terlalu besar. Hal ini karena yang dapat dikumpulkan hanyalah sebagian dari data-data yang ada dan itupun yang telah terjadi. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh belum sempurna, karena data-data yang dikumpulkan tidak sempurna (Bakhtiar, 2010: 105).
Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang
menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme
yang dipelopori oleh August Comte dan Immanuel Kant. Comte
berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh
ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan
diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan
ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains
benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan
didukung bukti-bukti empiris yang terukur. Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam (Bakhtiar, 2010: 106).
berkerjasama dengan memasukkan perlunya eksperimen dan
ukuran-ukuran.
3.2.2 SUMBER ILMU PERSPEKTIF ISLAM
Kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti ― kajian berlanjut di Barat hingga kini ― baru memasuki abad modern umat Islam
kembali melakukan kajian.
Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy (divine science) dan ‘ilm insāniy (human science).
‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut terakhir
adalah pemikiran (ratio-reason) (Nasution, 1990: 15).
Abu Hamid al-Gazali membagi ilmu terkesan tidak
konsisten. Dalam Mizan al-Amal, ia membagi ilmu kepada
teoritis (nazariyyah) dan praktis (‘amaliyah). Pada buku
lainnya, ia membagi ilmu kepada fardu ‘ain dan fardu kifayah.
Di sisi lain, ia membagi ilmu kepada ilmu religius (syar‘iyyah) dan intelektual (‘aqliyah). Al-Gazali juga membagi ilmu kepada hudhuri (yang dihadirkan) dan hushuli (yang dicapai). Meskipun begitu, berdasarkan pembagian ini, nampak dengan jelas bahwa al-Ghazali memandang bahwa sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik). Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Gazali menggunakan indera, akal dan qalb.
Al-Ghazali juga berpandangan bahwa seorang yang benar-benar ‘alim akan menyampaikannya ke pencapaian ilmu ladunni.
yang diarahkan pada qalb (hati) yang jernih, kosong dan lembut (Sholihin, 2001: 91).
Berangkat dari penjelasan di atas, maka Allah SWT yang ‘Alim, Basir, Sami’, Khabir, menjadi sumber dan tujuan
berilmu. Pada awalnya manusia tidak memiliki ilmu sedikitpun. Untuk mendapatkan ilmu Allah Yang Maha Luas itu, maka manusia diberi pendengaran, penglihatan dan hati nurani. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78).
Jadi dalam Islam, sumber ilmu sesungguhnya adalah Sang Pemilik Ilmu itu sendiri, yakni Allah SWT. Pemahamannya, ilmu
teramat sedikit diperoleh manusia melalui pengerahan indera
dalam dan indera luar. Manusia amat memerlukan petunjuk dalam memperoleh ilmu yang datang dari atau oleh Allah SWT.
Secara garis besar, sumber ilmu itu ada dua, yakni ayat tanziliyah (naqliyah) dan ayat kauniyah (aqliyah). Ayat tanziliyah diperoleh manusia melalui perantaraan utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul Allah, sedangkan ayat kauniyah diperoleh manusia melalui usahanya mempelajari ciptaan Allah SWT. Kedua sumber ilmu ini bersifat komplementer, yakni saling melengkapi. Pemisahan keduanya berakibat munculnya dualisme keilmuan, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, dan berbahaya bagi masa depan peradaban manusia.
3.3 Tujuan Ilmu
Kalau kita lihat ilmu pada dewasa ini, maka ilmu
merupakan kumpulan pengetahuan dalam berbagai bentuk
dan sistematis. Kumpulan pengetahuan ini makin berkembang
dengan adanya kegiatan penelitian ilmiah. Tetapi yang lebih penting harus didukung dengan cara berpikir yang berorientasi kepada ilmu. Sikap ilmiah ini harus tercermin dalam kehidupan kita sehari-hari. Tanpa pengembangan sikap ilmiah ini maka ilmu dan teknologi hanya merupakan pajangan yang tak berarti.
Kiranya jelas bahwa kegunaan ilmu dalam kehidupan kita sehari-hari membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh. Tanpa pengetahuan mengenai hal itu dan kesadaran untuk melaksanakannya maka ilmu tak banyak bedanya dengan pengetahuan lainnya. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa ilmu tidak lagi fungsional karena dua hal:
1. Karena kita tidak mengetahui fungsi ilmu yang sebenarnya; 2. Karena terdapat cara-cara dan pengetahuan-pengetahuan lain
yang kebenarannya lebih dapat dipercayai. Hal yang pertama merupakan masalah pendidikan, sedangkan hal yang kedua merupakan masalah kebudayaan (Salam, 2003: 33).
Manusia belajar dari pengalamannya, dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu merupakan salah satu hasil budaya manusia, di mana lebih mengutamakan kuantitas yang objektif, dan mengenyampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan keinginan pribadi. Sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan mementingkan dirinya sendiri (2003: 34).
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan demi kesejahteraan umat manusia, namun ternyata berkembang secara ironi, yaitu menjadi alat yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki,
penggunaan senjata kimia di medan perang seperti di Vietnam
dan Afghanistan, pembuatan senjata nuklir secara besar-besaran, serta peluru kendali antar benua yang memungkinkan semua ini bisa menghancurkan manusia dengan segala aspeknya.
pada batas-batas tertentu, juga telah banyak membantu manusia dalam mencapai tujuan hidup dan kehidupannya: yaitu kehidupan yang lebih baik. Sekalipun kebenaran ilmu tidak pernah mencapai kebenaran mutlak, tetapi dalam keterbatasannya ia membantu
kehidupan dan kepentingan manusia.
Bagan 3.1 Hakikat Ilmu
teknologi akan berkembang terus (2003: 34-35).
Dengan ilmu dan teknologi memungkinkan manusia untuk
mengurangi rintangan-rintangan ruang dan waktu, misalnya dengan sistem komunikasi moderen, di mana suatu kejadian/ peristiwa yang terjadi pada suatu titik di dunia ini, dalam waktu yang relatif singkat, dengan segera dapat diketahui ke seluruh pelosok dunia. Beberapa contoh di bawah ini adalah kegunaan dari ilmu dan teknologi bagi kehidupan manusia:
Biologi, isika, matematika, kimia sebagai ilmu telah menyumbangkan berbagai teori dan hukum-hukumnya kepada ilmu kedokteran sebagai ilmu terapan, dalam usaha manusia untuk: menghindarkan diri dari penyakit, menyembuhkan penyakit, memperbaiki usaha-usaha kehidupan untuk hidup sehat, dan sebagainya.
Fisika moderen dewasa ini telah membantu manusia untuk meningkatkan kehidupannya melalui elektro ataupun elektromagnetiknya. Dalam hal ini bisa disebutkan masalah penerangan, pemanasan, komputer, dan masih banyak lagi kalau
harus disebutkan satu per satu.
Ilmu-ilmu sosial dasar seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi, telah memberikan sumbangan keserasian dalam pergaulan antar insani; di samping menyodorkan berbagai teori dan hukum-hukumnya kepada ilmu pendidikan sebagai ilmu terapan, misalnya bagaimana seharusnya hidup bersama-sama dengan manusia lain, dan sebagainya.
Meskipun ilmu dan teknologi banyak mendatangkan manfaat bagi manusia, namun ada beberapa kekurangan, mungkin dianggap berbahaya karena:
1. Ilmu itu objektif, mengenyampingkan penilaian yang sifatnya subjektif; ia mengenyampingkan tujuan hidup,
sehingga dengan demikian ilmu dan teknologi tidak bisa dijadikan pembimbing bagi manusia dalam menjalani hidup ini.
Bab Empat
Sejarah Perkembangan Ilmu
4.1 DASAR PEMIKIRAN
Sebagai makhluk hidup yang lain, manusia memiliki kemiripan baik secara morfologis, anatomis, termasuk mekanisme organis yang secara signiikan memiliki kesamaan proses biologis, seperti kebutuhan makan/ minum (nutrisi); berkembang biak (reproduksi); menerima rangsang (iritabilitas) bergerak dan lain-lain yang merupakan ciri-ciri makhluk hidup secara umum. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan makhluk lain, manusia memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya, yaitu rasa ingin tahu (curiousity).
Dari rasa ingin tahunya yang terus berkembang kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan daya pikir.
bahkan dengan nyamuk yang sangat kecil sekalipun manusia masih lebih lemah, karena hanya dengan gigitannya manusia bisa sakit dan bahkan sampai mati. Namun manusia dikaruniai akal budi dan kemauan sangat kuat, sehingga dengan akal budi dan kemauannya itu manusia dapat mengembangkan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Suprayogo dan Tabrani, 2003: 3). Dengan kedua alat itu manusia dapat mengangkat ribuan kilogram barang, berlari jauh lebih cepat daripada cheetah, dan terbang jauh lebih cepat dan kuat daripada elang.
Dengan kedua alat tersebut, manusia dapat menguasai dan mengungguli makhluk lain. Akal budi dan kemauan kerasnya adalah sifat unik dari manusia. Dengan demikian keunikan dan keunggulan manusia jika dibanding dengan makhluk lainnya
adalah terletak pada kemampuan berpikir tersebut.
Semua makhluk hidup termasuk manusia, memberikan tanggapan terhadap rangsangan dari lingkungannya. Tumbuhan yang berhijau daun memberikan reaksi terhadap sinar matahari, harimau atau burung ingin tahu tempat lain hanya sekedar untuk memperoleh makanan. Rasa ingin tahu pada
hewan itu didorong oleh naluri (instinct) dan oleh ilmuwan
Issac Asimov disebut idle curiousity. Naluri ini berpusat pada
mempertahankan kelestarian hidup dan sifatnya tetap sepanjang zaman. Karena manusia memiliki akal budi mengakibatkan rasa ingin tahu tadi tidak tetap sepanjang zaman. Rasa ingin
tahu manusia tidak pernah dapat dipuaskan. Apabila suatu
masalah dapat dipecahkan, akan dapat timbul masalah lain yang menunggu pemecahannya. Manusia terus bertanya, setelah tahu ”Apa” maka ingin tahu ”Bagaimana” dan kemudian ”Mengapa”.
Manusia mampu menggunakan pengetahuan yang telah
lama diperoleh untuk dikombinasikan dengan pengetahuan
yang baru menjadi pengetahuan yang lebih baru lagi. Kecuali
untuk memenuhi kepuasan manusia ilmu pengetahuan juga berkembang untuk keperluan praktis agar hidup manusia lebih