• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTROL NILAI DAN MORAL TERHADAP ILMU DAN TEKNOLOG

Dalam dokumen Filsafat Ilmu Merajut Harmonisasi Antara (Halaman 130-143)

Tantangan dan Masa Depan Ilmu

8.2 KONTROL NILAI DAN MORAL TERHADAP ILMU DAN TEKNOLOG

Ilmu dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan

hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban

manusia berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu dan

teknologi. Karena itu, tidak bisa dipungkiri, peradaban manusia berhutang budi kepada sains dan teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman,

pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan

manusia. Jarak antara desa dengan kota serta antara satu negara

dengan negara lain terasa lebih pendek dan dapat ditempuh

dalam waktu yang lebih singkat berkat teknologi transportasi. Dunia semakin mengglobal dengan batas-batas yang semakin

menipis akibat perkembangan teknologi komunikasi dan

informasi. Ringkasnya, ilmu dan teknologi membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.

Namun, ilmu dan teknologi juga menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan umat manusia. Ilmu dan teknologi

dapat mengurangi atau bahkan menihilkan nilai kemanusiaan

atau yang disebut dehumanisasi, seperti adanya kloning yang menghancurkan struktur keluarga dan masyarakat; adanya senjata kimia dan biologi yang dapat menghancurkan struktur kehidupan. Karena itu, sangat perlu adanya kontrol nilai dan moral terhadap ilmu dan teknologi. Tapi, di manakah nilai-nilai moralitas itu dimasukkan? Apakah pada saat penggunaan ilmu itu dengan asumsi bahwa ilmu netral dan universal, atau pada saat perumusan teori-teori ilmiah?

Sejak Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Roosevelt tanggal 2 Agustus 1939 yang merekomendasikan untuk melakukan serangkaian kegiatan penelitian yang mencapai puncaknya pada pembuatan bom atom yang dapat

memusnahkan ribuan umat manusia dalam waktu sesaat, (Suriasumantri, 1988: 246-247) pandangan ilmu sebagai berkah dan penyelemat umat manusia dipertanyakan. Apakah ilmu memberi berkah atau menimbulkan kegoncangan bagi manusia? Einstein mungkin tidak salah dengan rekomendasinya, karena seandainya Amerika Serikat tidak segera membuat bom atom, Nazi sedang mempersiapkan diri untuk membuat bom nuklir yang dapat menjadi pembunuh massal dan menimbulkan bencana kemanusiaan.

Sejak saat itu, muncul pertanyaan-pertanyaan di sekitar kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan nilai, dan tanggung jawab moral ilmuan. Untuk apa ilmu dan teknologi dikembangkan? Apakah ilmu dikembangkan untuk tujuan- tujuan kemanusiaan, atau untuk tujuan perang? Apakah ilmu bebas nilai atau ilmu sarat nilai? Kemana perkembangan ilmu sebenarnya harus diarahkan?

Secara faktual ilmu dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang memanfaatkan kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi.

Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka.

Di samping berbagai senjata modern, juga dikembangkan berbagai teknik penyiksaan. Teknologi yang seharusnya menerapkan konsep-konsep ilmu untuk membantu memecahkan

masalah-masalah manusia – baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) – cenderung menimbulkan gejala dehumanisasi, bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, akibat perkembangan ilmu dan teknologi di bidang rekayasa genetika dan teknik rekayasa sosial. Ilmu bukan lagi sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga menciptakan tujuan hidup itu

sendiri.

Rekayasa genetika yang cenderung menimbulkan

menimbulkan pertanyaan di sekitar batas dan wewenang ilmu, di samping masalah moral dan tanggung jawab ilmuan. Jika ilmu melakukan telaahan terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal, barangkali hal itu tidak menjadi masalah, terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi-fungsi organ tubuh manusia. Tapi jika ilmu mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah proses penciptaan manusia, seperti dalam kasus kloning, hal ini inilah yang menimbulkan pertanyaan di sekitar batas dan wewenang ilmu. Sejauh mana sebenarnya batas dan wewenang ilmu dan teknologi itu? Sejauh mana perkembangan ilmu dan teknologi berhubungan secara linier

dengan perkembangan moralitas dan tanggung jawab sosial para ilmuan.

Pertanyaan di sekitar batas wewenang ilmu, kaitan ilmu dengan moral dan nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan

serta tanggung jawab sosial ilmuan telah menempatkan

”aksiologi” ilmu pada posisi yang sangat penting. Karena itu, terdapat pertanyaan tentang sejauh mana ilmu berguna untuk menumbuhkan kesadaran ketuhanan? Atau, apakah pendalaman ilmu dan teknologi cenderung menegasikan aspek ketuhanan? Dan, sejauh mana kekuatan moral dan tangung jawab para ilmuan dalam mengaplikasikan hasil penelitiannya bagi kepentingan kemanusiaan? Hal ini memerlukan telaah yang bersifat aksiologis (Salam, 1997: 168).

Menurut bahasa, aksiologi berasal dari dua kata, axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi secara hariah merupakan “teori tentang nilai” yang berkaitan dengan kegunaan hasil penelitian. Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1988: 234).

Aksiologi, menurut Bramel, terbagi menjadi tiga bagian: 1. moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan

disiplin khusus, yakni etika.

2. esthetic expression, yaitu ungkapan keindahan. Bidang ini

melahirkan keindahan.

3. sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan ilsafat sosio-politik (Jalaluddin dan Idi, 1997: 106).

Dalam Ensyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi

disamakan dengan value and valuation (nilai dan penilaian)

yang terdiri dari tiga bentuk:

1. Nilai merupakan kata benda abstrak, baik dalam arti sempit — seperti baik, menarik, dan bagus – maupun dalam arti yang lebih luas, meliputi segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.

2. Nilai sebagai kata benda konkret. Nilai atau nilai-nilai sebagai

kata benda konkret seringkali dipakai untuk merujuk kepada

sesuatu yang bernilai, seperti ”nilai yang dimiliki,” ”nilai sebuah keluarga,” dan ”sistem nilai yang dimiliki oleh sebuah komunitas,” dan lain-lain. Kemudian dipakai untuk sesuatu yang memiliki nilai atau bernilai yang merupakan kebalikan dari apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.

3. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ungkapan menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan, dalam arti menghargai dan mengevaluasi (Edwards, 1967).

Dari beberapa deinisi aksiologi yang ada menunjukkan bahwa masalah utama yang menjadi fokus aksiologi ialah nilai

dan penilaian.

Nilai yang dimiliki oleh seseorang merupakan kerangka untuk melakukan pertimbangan tentang suatu obyek yang dinilai. Teori tentang nilai dalam ilsafat mengacu pada

permasalahan etika dan estetika. Makna “etika” memiliki dua arti:

perbuatan manusia, seperti ungkapan ”saya pernah belajar etika”.

2. Suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau membedakan manusia dari manusia lainnya, seperti ungkapan “ia bersifat etis” atau “ia seorang yang jujur” atau ”pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”. Etika merupakan standar penilaian tentang perbuatan manusia. Maka, lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika ialah norma-norma kesusilaan yan melekat pada manusia. Juga, dapat dikatakan bahwa etika

mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan

tidak baik dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya (Bakhtiar, 2010: 165-166).

Dalam kaitannya dengan ilsafat ilmu, nilai itu bersifat obyektif, tapi kadang-kadang bersifat subyektif. Dikatakan obyektif jika nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subyek yang melakukan penilaian. Kebenaran

tidak tergantung pada pendapat individu melainkan pada

objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolok ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang (Bakhtiar, 2010).

Bagaimana dengan obyektivitas ilmu? Sudah menjadi

ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa

ilmu harus bersifat obyektif. Salah satu faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dengan anggapan umum (common sence) ialah terletak pada obyektivitasnya. Seorang ilmuwan

kesadaran yang bersifat ideologis, agama, dan budaya. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen yang bersifat keilmuan. Karena itu, ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai subjektif.

Obyektivitas ilmu memang kini dipertanyakan. Ilmu berbeda dengan fakta. Fakta bersifat obyektif dan netral, tetapi ilmu ialah fakta dan penjelasan seorang ilmuan. Sesuatu tidak bisa dikatakan ilmu tanpa adanya penjelasan dari ilmuan atau peneliti tentang suatu obyek baik yang bersifat obyek isik

maupun masalah-masalah sosial dan ekonomi. Dalam hal ini

diduga adanya kesadaran ilmuan, baik yang berasal dari ideologi, budaya, lingkungan sosial, maupun agama (Kartanegara, 2003: 120). Seorang ahli ilsafat ilmu, Thomas Khun, mempertanyakan obyektivitas dan universlisme ilmu, karena adanya unsur kesadaran dalam proses penjelasan terhadap fakta.

Upaya untuk menegakkan obyektivitas ilmu, dan melepaskannya dari dogma agama (Kristen) dalam sejarah Eropa mengalami pergulatan yang sangat panjang. Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti

teknologi. Perkembangan ilmu berbanding terbalik dengan

kepercayaan agama, seperti dalam tradisi positivisme. Satu- satunya kebenaran ialah kebenaran ilmiah yang bersifat obyektif,

dapat diobservasi (observable) dan terukur (measurable).

Penemuan-penemuan ilmiah hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sudah meninggalkan keyakinan agama yang bersifat dogmatis. Akibatnya, dalam tradisi Eropa terdapat kontradiksi antara ilmu dengan keyakinan agama, yang berakhir dengan

sekularime.

puncak intelektualitas manusia yang tidak terkait dengan persoalan moral dan agama, ternyata menimbulkan ekses negatif yang cenderung menimbulkan fenomena masyarakat yang bersifat dehumanisasi. Dihadapkan pada masalah moral dan ekses sains dan teknologi yang bersifat merusak, pendapat para ilmuwan terbagi kedalam dua kelompok:

Kelompok Pertama berpendapat bahwa ilmu harus

bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah

menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk

mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Kelompok ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada masa Galileo. Kelompok Kedua berpendapat bahwa

netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metaisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah

berlandaskan nilai-nilai moral.

Kelompok kedua mendasarkan pendapatnya pada realitas bahwa:

1. Ilmu menimbulkan ekses yang bersifat destruktif, seperti munculnya senjata pemusnah massal;

2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan

makin eksoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui

ekses-ekses yang mungkin terjadi dalam kasus peyalahgunaan ilmu;

3. Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetik (Suriasumantri, 1988: 235).

Kelompok kedua menginginkan adanya moralitas

keilmuan pada saat penggunaan ilmu tersebut untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat

kemanusiaan. Dengan kata lain, mereka menginginkan adanya kriteria etis dan moral pada saat pemanfaatan ilmu dan pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan.

Kriteria etik dan moral apa yang akan dikembangkan? Sebagian pemikir yang tertarik pada proses islamisasi ilmu cenderung

ingin menjadikan Islam sebagai kriteria etis dan moral dalam

pengembangan ilmu, dengan asumsi bahwa ilmu bersifat netral dan bebas nilai. Karena hanya sebagai kriteria etik, agama berada di luar struktur ilmu itu sendiri. Konsekuensi logisnya,

mereka menganggap mustahil ada ilmu pengetahuan Islami

sebagaimana mustahil munculnya ilmu pengetahuan Marxist (Mulyanto, 2000: 17-18).

Jika tidak memasuki wilayah ilmu itu sendiri, agama hanya menjadi “polisi lalu lintas” moral dan etika bagi hasil-hasil kerja ilmu; padahal sebagaimana diketahui bahwa ilmu yang berkembang sejak masa pencerahan cenderung bersifat sekuler. Bahkan atas nama obyektivitas, hasil-hasil kerja ilmu mengarah pada pengingkaran terhadap Tuhan. Seorang ilmuan Prancis, Laplace – misalnya — menerima teori grativasi Newton dengan asumsi bahwa hukum tersebut bisa berjalan secara independen tanpa campur tangan Tuhan (dalam bentuk apapun). Bahkan hukum tersebut seolah dapat menggantikan Tuhan sebagai Tuhan, sehingga Tuhan dianggap sebagai hipotesis yang tidak diperlukan (Kartanegara, 2003: 134). Ilmu yang berkembang dengan watak sekular yang kental, dengan sendirinya akan menghasilkan produk yang tidak mempertimbangkan aspek

ketuhanan.

Kriteria etis agama dalam konteks ini seakan-akan harus

membendung arus ”sekularisasi” yang sangat deras. Ilmu diibaratkan mobil yang lari dengan kecepatan sangat tinggi, sedangkan kriteria etis bagaikan polisi lalu lintas yang harus menghentikan secara tiba-tiba mobil yang sedang melaju dengan cepat – suatu hal yang sulit dilakukan. Hal ini dengan sendirinya akan menyulitkan dalam pembentukkan masyarakat ilmiah yang

memiliki sikap moral luhur.

Karena itu, kriteria etis, moral, dan keyakinan agama bukan hanya bergerak dalam wilayah aksiologis, tetapi harus

masuk dalam struktur bangunan ilmu itu sendiri, baik pada tatanan epistemologis maupun ontologis. Hanya saja ketika agama memasuki wilayah ilmu tidak bermaksud mencampuri penemuan-penemuan ilmiah yang bersifat obyektif, atau menimbulkan tarik menarik antara keyakinan dan dogmatisme

agama (Kristen) dengan penemuan ilmiah seperti dalam sejarah

abad pertengahan di Eropa yang telah banyak mengorbankan ilmuan, seperti inquisisi Galileo.

Selain itu, masuknya agama ke dalam wilayah ilmu tidak

akan menimbulkan pseudo-science seperti kasus Lysenko di Uni Soviet yang telah memaksakan pandangan sosialis dalam teori biologi. Menurut teori Lycenko, spesies tanaman sejenis

tidak akan bersaing untuk mempertahankan hidup, bahkan pohon-pohon dari spesies yang sama yang ditanam berdekatan

akan saling menolong untuk mempertahankan hidup. Akibat

mempercayai pandangan Lycenko tersebut, ribuan hektar perkebunan di Uni Soviet mengalami kerugian (Hoodbhoy, 1992: 145).

Lalu, bagaimana memasukkan nilai-nilai, etika, dan moral agama ke dalam bangunan ilmu yang akan melahirkan masyarakat ilmiah yang berbasis kesadaran ketuhanan? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Tuhan, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada praksis, pada kemudahan- kemudahan material duniawi (Bakhtiar, 2010: 173).

Maka bangunan sebuah ilmu merupakan bangunan yang syarat dengan nilai-nilai ketuhanan. Sebuah bangunan yang syarat dengan kriteria etik, moral, dan berbagai ketentuan yang memancar dari ajaran agama – atau penuh dengan kesadaran ketuhanan — dengan sendirinya tidak akan menghasilkan berbagai produk yang kontraproduktif dengan ajaran agama.

Karena itu, kekhawatiran akan terjadinya dehumanisasi atau

mengubah hakikat kemanusiaan akibat perkembangan ilmu dan

teknologi tidak akan terjadi, jika desekularisasi ilmu berhasil dengan baik – walaupun diakui proses ini tidak mudah, tetapi harus segera dilakukan. Bahkan sebaliknya, penguasaan ilmu dan teknologi akan berbanding lurus dengan kejujuran, moralitas, tanggung jawab sosial, serta atribut-atribut moralitas lainya.

Demikianlah, penggunaan kriteria etik dan moral agama bukan hanya pada penggunaan produk ilmu, tetapi pada bangunan ilmu itu sendiri yang merupakan bagian dari realitas kehidupan yang harus senantiasa memencar dari ajaran agama. Pengembangan ilmu pada intinya merupakan proses pencarian atau pembuktian kebesaran Sang Pencipta dengan mengamati berbagai penciptaan dan ayat-ayat yang berbentuk alam semesta. Tugas aksiologi ilmu yang berbentuk nilai, etika dan moral yang bertugas sebagai ”polisi lalu lintas” bagi penggunaan produk- produk ilmu dengan sendirinya tidak akan terlalu sulit, karena ilmu dan teknologi ibarat kendaraan yang melaju kencang, tetapi dikendalikan oleh “sopir” yang sangat disiplin, yaitu ajaran

agama.

Dengan asumsi bahwa kesadaran ketuhanan sudah menjadi bagian integral dalam bangunan sebuah ilmu – atau sudah

tercipta sebuah bangunan ilmu yang terintegrasi dengan nilai- nilai Ketuhanan – maka muncul pertanyaan: ke manakah arah perkembangan ilmu? Untuk apa penggunaan produk-produk dari proses ilmu yang sangat melelahkan itu? Pertanyaan ini sangat penting karena ilmu yang bersifat sekuler nampak mengalami disorientasi tujuan yang bermuara pada perendahan derajat manusia; kemudahan dan kenyamanan semu; serta kebahagiaan yang bersifat artiisial. Bahkan hal ini pun dapat melahirkan masyarakat ilmiah yang mengalami kepribadian terpecah (split personality) yang akan bermuara pada disorientasi hidup.

Ketika ilmu dan teknologi mengalami proses sekularisasi, dikosongkan dari nilai-nilai ketuhanan, seperti ilmu Barat

pada umumnya, maka tujuan akhir dari ilmu itu ialah semata- mata manfaat, baik yang bersifat isik – seperti kenikmatan, keindahan, dan kenyamanan – maupun kepuasan intelektual dan kebanggaan. Sedangkan ukuran manfaat itu bersifat relatif, dan sangat sulit dipenuhi secara hakiki. Karena itu, perkembangan ilmu cenderung sangat liar. Seorang dokter yang ahli rekayasa genetik, misalnya, mungkin belum merasa memperoleh manfaat dan kepuasan sebelum berhasil melakukan kloning, dan mendistorsi proses penciptaan manusia secara konvensional.

Sebaliknya, ketika nilai-nilai ketuhanan dimasukkan ke dalam proses keilmuan, di samping menghasilkan teori, baik dalam ilmu-ilmu eksakta maupun non-eksak (sosial, ekonomi, politik, ekonomi, dan lain-lain) yang sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman agama, juga akan menghasilkan produk yang bersifat materi (kebendaan) dari proses eksperimen, yang syarat dengan nilai-nilai ruhiah. Karena itu, seorang ilmuan muslim akan mengintegrasikan antara penemuan ilmiah yang bersifat materi dengan kesadaran ruhiah. Nilai ruhiah yang paling tinggi ialah ketika seseorang merasa dekat dengan Tuhan dan merasa mendapat ridha Tuhan. Hal ini sesungguhnya bukan hanya dalam proses ilmu tetapi dalam setiap tindakan manusia seperti berdagang, bertani, dan lain sebagainya. Karena itu,

aspek ruhiah harus ada dalam setiap tindakan manusia.

Pencapaian keuntungan materi merupakan salah satu nilai yang hendak diperoleh dari proses penelitian ilmiah. Namun upaya memperoleh keuntungan tersebut digerakkan oleh kesadaran ruhiah, sehingga terintegrasi antara keuntungan materi dengan penghambaan terhadap Tuhan. Karena itu, semakin tingginya profesionalisme keilmuan akan diikuti oleh semakin tingginya kesadaran ruhiah. Kegiatan ilmiah kadang-

kadang dimaksudkan untuk memperoleh nilai kemanusiaan.

Penemuan dan penyebaran teknologi tepat guna untuk pengembangan petani miskin di daerah terpencil secara materi, tentunya, tidak terlalu menguntungkan. Tapi penelitian tetap

dilakukan karena terdorong oleh nilai kemanusiaan untuk menolong petani tersebut.

Selain itu, pengembangan sejumlah teori melalui proses perenungan yang sejalan dengan ajaran agama juga sering

terdorong oleh nilai-nilai moral dan tanggung jawab untuk

memecahkan masalah umat manusia dengan jujur, obyektif, dan amanah. Tindakan yang dilakukan oleh seorang ilmuwan kadang-kadang semata-mata ruhiah, seperti pengembangan ilmu di bidang astronomi hanya untuk keperluan menentukan waktu salat, awal puasa, dan awal lebaran (http://www.pusbangsitek. com/?p=1214).

Pembentukan masyarakat ilmiah secara aksiologis mengindikasikan perlunya kriteria etik dan moral dalam setiap penggunaan hasil-hasil dari proses kerja yang bersifat saintiik. Hal ini mengasumsikan bahwa ilmu bersifat netral, universal dan tidak terkait dengan persoalan agama. Hanya saja ketika ilmu berkembang dengan cepat, cenderung liar, dan bertubrukan dengan nilai-nilai agama, maka dalam konteks ini kendali moral

dan nilai-nilai agama terhadap sains dan teknologi mengalami

kesulian. Atas hal demikian, nilai-nilai moral dan agama bukan hanya berada pada posisi sebagai “polisi lalu lintas” bagi penggunaan ilmu di masa depan, tetapi harus menjadi bagian

integral dari proses perumusan teori-teori ilmu itu sendiri.

Dengan sendirinya ilmu yang syarat dengan nilai-nilai moral akan memiliki kontrol yang lebih baik bagi penggunaan ilmu. Hal ini akan tampak dalam perilaku masyarakat ilmiah yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Hanya saja, hal

ini masih harus dibuktikan pada dunia realitas dalam sebuah komunitas ilmiah.***

9.1 DASAR PEMIKIRAN

SEBAGAIMANA paparan bab 8, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang pesat di era globalisasi memberikan banyak dampak, baik positif maupun negatif. Kecuali memberikan kemudahan dan kesejahteraan sebagai dampak positif, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dapat berdampak pada dehumanisasi. Hal ini menjadi dasar

pemikiran pentingnya merajut harmonisasi antara ilsafat, ilmu

dan agama.

Pengakuan adanya kebenaran ayat qauliyah (yang tertera di dalam kitab suci) dan ayat kauniyah (ayat yang ada di alam semesta) harusnya dipandang cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara ilsafat, ilmu, dan agama dalam Islam. Karena secara ontologis berasal dari Yang Satu. Motivasi Islam menempatkan ilmu-ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS al-Mujadilah: 58), sesungguhnya mengisyaratkan perintah bagi setiap muslim

Dalam dokumen Filsafat Ilmu Merajut Harmonisasi Antara (Halaman 130-143)