• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Orientasi Nilai

Orientasi ialah peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan

sebagainya) yang tepat dan benar; pandangan yang mendasari pikiran, perhatian

atau kecenderungan. Menurut Kluckhohn (dalam Mulyana, 2004), nilai adalah

konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri

kelompok) dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan

terhadap cara, tujuan antar dan tujuan akhir. Definisi ini berimplikasi terhadap

pemaknaan nilai-nilai budaya.

Kluckhohn mengungkapkan ada enam implikasi terpenting, yaitu sebagai berikut:

a. Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logis dan rasional)

dan proses ketertarikan dan penolakan menurut kata hati.

b. Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi tidak selalu bermakna apabila

diverbalisasi.

c. Apabila hal itu berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara unik

oleh individu atau kelompok.

d. Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa

pada dasarnya disamakan (aquated) daripada diinginkan, ia didefenisikan

berdasarkan keperluan sistem kepribadian dan sosiol budaya untuk mencapai

keteraturan dan menghargai orang lain dalam kehidupan sosial.

e. Pilihan diantara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan

(2)

f. Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada saat yang

sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.

Pandangan Kluckhohn itu mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang

diinginkan baik itu materi, benda atau gagasan mengandung nilai, karena

dipersepsi sebagai sesuatu yang baik, seperti makanan, uang, rumah, kebenaran,

kejujuran dan keadilan. Menurut Kattsoff (dalam Sofyan Sauri dan Herlan

Firmansyah, 2010) mengungkapkan bahwa hakikat nilai dapat dijawab dengan

tiga macam cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, bergantung

kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan

kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam

ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui

melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun

kenyataan. Sedangkan Sadulloh (2004) mengemukakan tentang hakikat nilai

berdasarkan teori-teori sebagai berikut: menurut teori voluntarisme, nilai adalah

suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Menurut kaum hedonisme,

hakikat nilai adalah pleasure atau kesenangan, sedangkan menurut formalisme,

nilai adalah sesuatu yang dihubungkan pada akal rasional dan menurut

pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan nilai instrumental

yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

hakikat dan makna nilai adalah sesuatu hal sesuatu hal yang dihubungkan dengan

akal rasional, logis dan bergantung pada pengalaman manusia pemberi nilai itu

sendiri. Nilai itu sendiri adalah sesuatu hal yang bersifat abstrak, seperti penilaian

(3)

kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar yang dapat

mempengaruhi perilaku manusia dalam bertindak atau berbuat sesuatu hal dalam

kehidupan sosial.

Orientasi nilai dapat dikatakan bersifat komplek tetapi berpola pada

prinsip yang mengutamakan tatanan dan langsung pada tindakan dan pikiran

manusia yang berhubungan dengan solusi dalam memecahkan masalah. Lima

masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia

menurut Kluckhohn (dalam Pelly, 1994) :

a. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia

Ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu

hal yang buruk dan menyedihkan. Pada agama Budha misalnya, pola-pola

tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju arah tujuan

bersama dan memadamkan hidup baru. Adapun kebudayaan-kebudayaan lain

memandang hidup manusia dapat mengusahakan untk menjadikannya suatu

hal yang indah dan menggembirakan.

b. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia

Kebudayaan memandang bahwa karya manusia bertujuan untuk

memungkinkan hidup, kebudayaan lain menganggap hakikat karya manusia

itu untuk memberikannya kehormatan, ada juga kebudayaan lain yang

menganggap karya manusia sebagai suatu gerak hidup yang harus

menghasilkan lebih banyak karya lagi.

c. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu

Kebudayaan memandang penting dalam kehidupan manusia pada masa

(4)

tindakannya contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa lampau.

Sebaliknya ada kebudayaan dimana orang hanya mempunyai suatu pandangan

waktu yang sempit. Dalam kebudayaan ini perencanaan hidup menjadi suatu

hal yang sangat amat penting.

d. Masalah mengenai hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya

Kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu hal yang begitu dahsyat

sehingga manusia hanya dapat bersifat menyerah tanpa dapat berusaha

banyak. Sebaliknya, banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam

sebagai lawan manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha

menaklukan alam. Kebudayaan lain masih ada yang menganggap

bahwa manusia dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam.

e. Masalah mengenai hakekat hubungan manusia dengan sesamanya

Ada kebudayaan yang memntingkan hubungan vertikal antara manusia dengan

sesamanya. Tingkah lakunya akan berpedoman pada tokoh-tokoh pemimpin.

Kebudayaan lain mementingkan hubungan horizontal antara manusia dan

sesamanya dan berusaha menjaga hubungan baik dengan tetangga dan

sesamanya merupakan suatu hal yang penting dalam hidup terutama menjaga

hubungan baik dengan keluarga. Kecuali pada kebudayaan lain yang tidak

menganggap manusia tergantung pada manusia lain, sifat ini akan

menimbulkan individualisme.

Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan

manusia yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda-beda untuk

tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan

(5)

Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka Kluckhohn di atas untuk

menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia, dan menunjukkan titik

kelemahan dari kebudayaan Indonesia. Kelemahan utama antara lain

mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya

kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, mentalitas suka mengabaikan

tanggung jawab.

2.2 Sistem Kekeluargaan Masyarakat Tionghoa

Keluarga dalam masyarakat Tionghoa merupakan pranata sosial yang

paling penting. Adapun masyarakat Tionghoa memegang suatu landasan sebagai

ajaran moral yang sudah menjadi suatu kepercayaan di masa Tionghoa kuno yaitu

ajaran Konfusianisme, Taoisme dan Budhisme. Dimana menurut Konfusius,

keharmonisan dalam masyarakat bersifat hirarkis dan anti egaliter yang

didasarkan pada jenis kelamin, usia, pertalian saudara, dan fungsi sosial.

Konfusianisme menekankan dalam lima norma dasar tentang hubungan-hubungan

sosial di dalam masyarakat. Dalam etika konfusian kelima norma dasar kesopanan

tentang hubungan dalam masyarakat tersebut menjadi tuntunan hidup

bermasyarakat. Kelima norma dasar tersebut meliputi hubungan antara raja

dengan rakyatnya yaitu kesetiaan mutlak rakyat kepada penguasa, kebaktian

kepada orang tua (filial piety) yaitu rasa hormat dan patuh anak kepada ayahnya,

cinta kasih dalam hubungan suami dengan istri, rasa hormat adik kepada

kakaknya, dan sifat dapat dipercaya dalam hubungan antar teman (Hidajat Z.M,

1993).

Dari lima hubungan sosial yang diatur Konfusius di atas, mayoritas

(6)

hubungan kekerabatan. Artinya dalam hubungan sosial yang terjadi, baik dalam

pemerintahan maupun kekerabatan, seperti diatur dalam lima hubungan utama

tersebut, dituntut suatu kepatuhan tanpa syarat dari bawahan terhadap atasannya.

Hal inilah yang dimaksudkan sistem kekeluargaan bersifat hirarkis, dalam

hubungan keluarga yang memiliki kekuasaan tertinggi berada pada orangtua. Oleh

karena itu, dalam keluarga Tionghoa pada masa tradisional khususnya hubungan

keluarga yang paling penting adalah hubungan antara orangtua dan anak, terutama

hubungan antara ayah dan anak laki-lakinya, karena ayah merupakan pemimpin

dalam keluarga dan anak laki-laki sebagai calon pemimpin bagi keluarganya kelak

sehingga ayah sangat berperan dalam keluarga untuk mendidik dan membina anak

laki-lakinya dengan keras dan penuh kebajikan. Hubungan seperti inilah

menekankan pada sistem konsanguinal dimana pentingnya ikatan darah (Wibowo,

2008).

Dalam masyarakat yang didominasi filsafat Konfusianis, baik sebagai

ajaran moral maupun filsafat pemerintahan, masyarakat Tionghoa sangat

mengutamakan dan menjunjung tinggi kualitas hubungan sosial. Bagi masyarakat

Tionghoa, hubungan sosial menjadi semacam tolak ukur kualitas kehidupan

seseorang. Semakin baik seseorang mengatur kualitas hubungannya dengan

lingkungan sosialnya, maka ia akan semakin dihormati lingkungannya. Oleh

karena itu, banyak institusi-institusi sosial dibentuk untuk tujuan mempererat

hubungan sosial dan meningkatkan moralitas kemanusiaan individual, seperti

yang diajarkan Konfusius. Untuk tujuan ini, hampir setiap penguasa dari setiap

zaman mencoba berbagai bentuk lembaga sosial agar tercapai kondisi sosial yang

(7)

model institusi sosial berdasarkan kekerabatanlah yang paling sesuai dan mampu

bertahan dalam setiap zaman. Hampir semua lembaga sosial dibentuk berdasarkan

institusi keluarga dan berisikan keluarga-keluarga yang bernaung dalam satu unit.

Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya unit sosial saja yang

bertumpu dan berintikan keluarga, tetapi juga unit ekonomi, politik bahkan

keamanan (Wibowo, 2008).

Keluarga dalam masyarakat etnis Tionghoa mampu memainkan peranan

yang sangat menentukan, dimana keluarga sebagai unit sosial yang paling dasar

menjadi unit dasar yang memegang hak kepemilikan properti utama, seperti

rumah dan tanah. Dengan demikian, keluarga merupakan suatu unit sosial dasar

dari kegiatan produksi, distribusi, sekaligus konsumsi, yang dikelola secara

kolektif kekerabatan di bawah pimpinan seorang kepala keluarga (Wibowo,

2008). Oleh karena itu, hubungan yang baik antar anggota dalam unit sosial yang

paling dasar dapat menjadi titik tolak hubungan sosial yang baik pada unit yang

makin besar dalam masyarakat, bangsa, maupun negara. Atas dasar kondisi

demikian, dalam masyarakat Tionghoa tradisional, keluarga ikut berperan penting

dalam kehidupan ekonomi, kontrol sosial, pendidikan moral, bahkan

pemerintahan, karena keluarga merupakan bentuk miniatur sebuah negara, seperti

yang dikatakan Konfusius bahwa “(bentuk) pemerintahan kerajaannya bertumpu

pada aturan keluarga....” Zhong Yong (IX:7 dalam Wibowo, 2008).

Konfusius hidup pada tahun 551-479 SM yang dilahirkan di daerah Chou

di propinsi Shantung. Buah pikirannya merupakan suatu filsafat sosial yang

memimpikan suatu negara kesatuan untuk seluruh daerah Cina dan seluruh

(8)

ideal. Pikirannya didasarkan atas buah pikiran dari tokoh-tokoh masa kuno Cina

yaitu azas peraturan kuno yang merupakan pembentuk pemerintahan yang telah

terbukti kebaikannya dan yang sampai sekarang menjadi sumber segala peraturan.

Konfusius yakin bahwa untuk menghasilkan moral yang baik, tidak akan dicapai

dengan kekuatan raja, bangsawan atau kelas-kelas lainnya. Akan tetapi hanya bisa

dicapai dengan memelihara upacara-upacara tradisional, serta meyakini bahwa

pengolahan sifat-sifat yang ideal itu haruslah diserahkan kepada kaum

cendikiawan para sarjana. Para sarjana-sarjanalah yang ahli dalam tradisi ritual

dan yang mengutamakan kepentingan keluarga. Sedangkan di Indonesia,

Konfusius ini dikenal dengan nama Khong Hu Chu atau Kung Fu Tze dianggap

sebagai nabi yang mengajarkan agama, padahal yang sebenarnya ia seorang ahli

sastrawan dan seorang filsuf. Di Indonesia Khong Hu Chu diakui sebagai agama

resmi yang terdapat pada Penpres No 1 Tahun 1962 dan UU No. 5 Tahun 1969

(Hidajat Z.M, 1993: 29-30).

Bagi pengikut Konfusius berpendapat bahwa manusia dapat mencapai

keharmonisan yang terbaik antara langit dan bumi. Titik berat dari paham ini

terletak pada kekuatan manusia, bukan lagi pada fenomena-fenomena alam

dengan dunia supranaturalnya. Konfusius selalu menekankan pada pemeliharaan

sopan santun. Sopan santun ini terutama dalam realitas pembinaan keharmonisan

sosial yaitu melalui lima hubungan sosial yang telah disebutkan pada paragraf

pertama, yaitu hubungan antara pemerintah dan para menteri dengan rakyat,

hubungan antara ayah dengan anak-anak laki, hubungan antara saudara

laki-laki tertua dengan yang lebih muda, hubungan antara suami dan istri, hubungan

(9)

yang dapat memungkinkan hidup bersama dalam suasana selalu bekerjasama.

Kerjasama inilah berarti terlihat adanya keharmonisan antara semua

individu-individu dan semua anggota masyarakat dan negara (Hidajat Z.M, 1993).

Dalam keluarga etnis Tionghoa, yang paling penting diantara kelima

hubungan sosial tersebut ialah hubungan keluarga antara orangtua dan anak,

terutama hubungan antara ayah dengan anak laki-lakinya. Hubungan yang

menggunakan sistem keluarga konsanguinal, yang menekankan pada pentingnya

ikatan darah, mengalahkan ikatan suami-istri. Walaupun hubungan antara ayah

dan anak laki-lakinya dituntut kepatuhan tanpa syarat dan penghormatan dari sang

anak, tetapi sebenarnya hubungan ini mengandung ketergantungan satu sama lain

yang sangat besar. Seorang ayah dalam sebuah keluarga merupakan pusat

kekuasaan yang bertugas mengawasi dan mengontrol kekayaan keluarga serta

mengatur perkawinan anak-anaknya. Dimana sang ayah pun membutuhkan anak

laki-laki untuk menggantikan posisinya kelak dan hal ini berkaitan dengan

jaminan orangtua yang didapatkan dari anak-anaknya kelak jika orangtua telah

uzur dan tidak mampu lagi bekerja memenuhi kebutuhannya (Wibowo, 2008).

Dan setelah ayahnya meninggal, anak laki-laki tertualah yang akan menggantikan

kedudukan ayahnya dan kekuasaan di dalam keluarga berada di bawah pimpinan

anak laki-laki tertua. Anak sulung ini akan menerima yang paling banyak harta

warisan orangtuanya, dan harta warisan ini hanya diberikan kepada anak-anak

laki-laki saja, sedangkan anak-anak perempuan tidak diberi apa-apa (Hidajat Z.M

1993). Demikianlah keterkaitan erat hubungan sosial antara orangtua dengan

anaknya terlebih antara ayahnya dengan anak laki tertua, dimana anak

(10)

Apabila dasar-dasar hubungan-hubungan sosial dalam ajaran

Konfusianisme dapat dijalankan khususnya yang berkaitan dengan kehidupan

keluarga, maka hubungan-hubungan sosial dengan masyarakat luas juga tidak

akan mendapatkan suatu hambatan ataupun masalah. Semua hal berawal dari

keluarga, suatu sikap dan sifat seseorang paling dominan terbentuk di dalam

keluarga karena keluarga memiliki peran paling utama dalam membentuk sebuah

hubungan sosial, sehingga apabila dasar-dasar hubungan sosial seperti dalam

ajaran Konfusianisme dalam masyarakat Tionghoa dapat dijalankan dengan baik

di dalam keluarga tentu saja hubungan-hubungan sosial dengan masyarakat luas

juga akan tercipta baik dan harmonis.

Etnis Tinghoa sebagai salah satu etnis yang menganut prinsip keturunan

secara patrilinial sehingga peranan laki-laki di dalam suatu keluarga sangat besar.

Dimana dalam setiap keluarga inti (nuclear family) biasanya yang memegang

peranan penting adalah ayah dan anak laki-laki terutama anak laki-laki yang tertua

di dalam keluarga. Semua keluarga inti setelah ayahnya meninggal akan beralih

ke dalam kekuasaan anak laki-laki, semua anggota keluarga berada dibawah

kekuasaannya. Biasanya anak sulung ini juga akan mendapat bagian warisan

keluarga dengan jumlah yang paling banyak apabila dibandingkan dengan para

saudaranya yang lain, sedangkan anak perempuan menurut adat tidak akan

beroleh apa-apa. Maka bagi etnis Tionghoa nilai anak laki-laki dianggap lebih

tinggi daripada nilai anak perempuan. Oleh sebab itu peranan anak laki-laki lebih

besar dalam keluarga masyarakat Tionghoa dan masyarakat tersebut senantiasa

menuntut agar mendapatkan lebih banyak keturunan (anak laki-laki) di dalam

(11)

Pada etnis Tionghoa dikenal adanya bentuk keluarga inti (nuclear family)

dan bentuk keluarga luas (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang

anggota-anggotanya terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin,

sedangkan keluarga luas (extended family) adalah suatu bentuk keluarga yang

anggota-anggotanya terdiri dari nenek, ayah, ibu dan anak-anak yang belum

kawin dan sudah kawin dan tinggal dalam satu atap atau satu rumah. Jadi

perbedaan antara keluarga inti dan keluarga luas itu didasarkan pada

keanggotaannya. Terkhusus mengenai keluarga luas (extended family) sudah

menjadi suatu kebiasaan dimana masyarakat etnis Tionghoa hidup secara

berkelompok di dalam satu rumah tanpa menimbulkan perselisihan antar sesama

anggota keluarganya.

Seperti yang dikemukakan oleh Baker (dalam Wibowo, 2008) menyatakan

bahwa adanya bentuk keluarga besar yang menjadi cita-cita ideal masyarakat

Tionghoa. Bentuk keluarga ideal yang diharapkan adalah sebuah keluarga yang

terdiri dari sekelompok kerabat, berisi lima generasi, tinggal seatap, memiliki

anggaran bersama, dan makan dari dapur yang sama. Keluarga semacam ini

dipimpin seorang laki-laki tertua sebagai kepala keluarga. Bentuk keluarga yang

seperti ini disebut juga bentuk keluarga patrilineal yang merupakan sistem

kekerabatan masyarakat Tionghoa melalui garis keturunan laki-laki (ayah) dimana

artinya orang-orang yang menempati rumah tersebut berasal dari pihak laki-laki,

dan anak perempuan setelah menikah akan tinggal menetap di sekitar kediaman

kerabat suaminya yang juga akan hidup mengelompok di dalam satu rumah.

Pendapat Baker yang diungkapkannya mengenai keluarga ideal dalam masyarakat

(12)

berdasarkan kenggotaannya; terdiri dari beberapa keluarga inti yang hidup dalam

satu satuan unit kekerabatan.

Berbicara mengenai etnis Tionghoa tentu tidak terlepas dari adat istiadat,

religi dan kebudayaannya. Kebudayaan sebagai salah satu bentuk

kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat; tanpa adanya masyarakat, kebudayaan tidak akan

terbentuk. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sebagai keseluruhan manusia

dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus

didapatkanya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan

masyarakat, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan

keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi

kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan

masyarakat. Sistem nilai budaya ini merupakan suatu rangkaian dari konsep

abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari anggota suatu

masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam

hidupnya. Hal ini umumnya merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi

sebagai pemberi arah dan pendorong kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1988).

Dalam kebudayaannya, masyarakat etnis Tionghoa memiliki sikap pola

kehidupan berusaha dimana sikap pola kehidupan berusaha yang dimaksudkan

ialah seperti keuletan, kerajinan, ketekunan bekerja, dan juga sifat hemat yang

mereka miliki. Sikap-sikap seperti ini mengandung nilai estetika diri seperti

dorongan dan spiritual yang tinggi yang menjadi tonggak bagi sebagian besar

masyarakat etnis Tionghoa untuk maju dalam bidang pekerjaan. Hal ini yang

(13)

cermin dalam tata kehidupan masyarakat, agar masyarakat mampu berjuang dan

berupaya untuk memperoleh kesejahteraan sosial dan ekonomi.

2.2.1 Peran dan Posisi Orangtua dalam Keluarga Etnis Tionghoa

Pada etnis Tionghoa yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal

menggambarkan bahwa posisi orangtua khususnya ayah adalah posisi yang

tertinggi dalam keluarga (keluarga inti). Peran orangtua sangat besar dan penting

dalam perkembangan didik anak. Prinsip dasar etik moral bagi masyarakat etnis

Tionghoa dahulu adalah kepatuhan akan keturunannya pada tradisi yang berlaku,

dengan memelihara etik hubungan sosial dalam keluarga dan dalam masyarakat,

secara baik dan harmonis. Itulah sebabnya adalah keharusan bagi setiap orangtua

agar mendidik anak-anaknya patuh dan taat kepada orangtua (Hidajat Z.M, 1993).

Orangtua merawat dan membesarkan anak, dimana peran afeksi orangtua ialah

memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap anaknya. Anak yang

kekurangan kasih sayang akan tumbuh secara menyimpang, kurang normal, atau

mengalami suatu gangguan baik kesehatan fisik maupun psikis dalam masyarakat

seperti munculnya rasa malas yang dapat mempengaruhi proses perkembangan

didik anak.

Pada masyarakat etnis Tionghoa, ada kecenderungan masyarakat lebih

memikirkan status ekonomi dengan berusaha mengejar kekuasaan dan kekayaan,

positifnya mereka memiliki semangat dan daya juang yang tinggi serta kerja keras

dengan kegigihan yang tinggi. Tetapi menjadi dampak negatif bagi keluarga atau

anak, orangtua cenderung lebih memikirkan urusan bisnis dan pekerjaan daripada

merawat anaknya secara langsung. Hal itu dapat kita lihat khususnya pada

(14)

biasanya dirawat oleh babysitter apalagi yang sudah bersekolah. Orangtua hanya

akan membiarkan anak-anaknya mandiri dengan bertumbuh kembang sendiri dan

merawat dirinya sendiri atau dibantu oleh asisten rumah tangga. Sementara

orangtua akan lebih sibuk mengurusi urusan pekerjaan atau bisnis daripada

mengurus anaknya sendiri.

Cara, tindakan dan perilaku seperti inilah yang akan menjadi pandangan

bagi sebagian besar keluarga masyarakat Tionghoa. Mayoritas masyarakat etnis

Tionghoa ingin praktis dan tidak perlu repot dalam mengurus anak tetapi kembali

lagi kepada masyarakat itu sendiri merekalah (orangtua) yang menentukan

bagaimana dirinya seharusnya bersikap dalam mengurus anak dan keluarga, masih

ada orangtua etnis Tionghoa yang mengurus anak secara langsung. Orangtua yang

mampu mengurus dan memberikan perhatian serta kasih sayang secara langsung

terhadap anaknya sejak kecil menanamkan pola nilai dalam keluarga dimana

keluarga memiliki ikatan batin yang kuat dan menjadi prioritas yang nomor satu

yang harus diperjuangkan dan keluarga juga merupakan tujuan hidup seseorang.

Rasa perhatian dan kasih sayang pun akan timbal balik diberikan oleh anak

apalagi disaat orangtua sudah tua dan sangat membutuhkan perhatian dari

anaknya, anak pun akan lebih menghargai kedua orangtuaya karena merasakan

secara langsung.

2.2.2 Peran Keluarga Ideal dalam Merawat Orang Tua menurut Etnis Tionghoa

Menurut tradisi Tionghoa kuno, tanggung jawab dalam merawat orang tua

terletak di pundak anak laki-laki tertua, dimana anak laki-laki memiliki peran

(15)

dalam keluarga. Anak laki-laki tertualah yang bertanggung jawab lebih besar

dalam merawat orangtua. Jika ada diantara anak-anaknya ada seorang sanak

saudara tidak menikah, maka tanggung jawab sanak saudara yang harus merawat

orangtuanya tersebut. Hal ini berlaku mutlak pada zaman dahulu sehingga pada

zaman dahulu, orangtua pada masyarakat etnis Tionghoa menduduki posisi paling

tinggi dalam keluarga. Sudah menjadi tugas menantu dari anak laki-laki tertua

yang harus bertanggung jawab membantu suami dalam merawat orangtuanya,

walaupun bagi kalangan orang yang mampu menggaji pembantu rumah tangga,

akan tetapi anak dan menantu tetap wajib mengawasi langsung keperluan dan

perawatan orangtuanya

diakses pada hari Jumat, 12 April 2013 pukul 09.24). Ini merupakan hal mutlak

yang harus dilakukan oleh anak sebagai rasa baktinya terhadap orang tua dalam

tradisi masyarakat Tionghoa.

Anak perempuan pun bukan berarti tidak memiliki tanggung jawab dalam

mengurus orangtuanya hanya saja peran perempuan di dalam keluarga lebih kecil

dibandingkan laki-laki sehingga dianggap sedikit memiliki tanggung jawab dalam

merawat orangtuanya dan diharapkan anak laki-laki lah yang dapat merawat

orangtuanya. Karena peranan dan tanggung jawab yang sedikit dalam keluarga,

anak perempuan tidak memiliki wewenang dalam merawat dan mengurus

orangtuanya. Bagi anak-anak perempuan, ketergantungan mereka terhadap

keluarga lebih tinggi dibanding laki-laki, dan perempuan sebagai individu yang

merupakan bagian dari keluarga yang tidak dapat berbuat banyak (Wibowo, 2008:

(16)

Selain itu, bukan hanya karena peranannya yang kecil dalam keluarga,

masyarakat etnis Tionghoa memiliki sistem kekerabatan patrilineal yang

hubungan kekerabatan berdasarkan garis keturunan laki-laki sehingga apabila

anak perempuan sudah menikah maka anak perempuan tersebut akan ikut bersama

suaminya dan (atau) tinggal bersama keluarga dari pihak suaminya. Bagi seorang

perempuan menikah, maka perempuan tersebut akan terputus hubungan

kekerabatan dengan keluarganya, ditandai dengan penggunaan nama marga suami

(Wibowo, 2008: 64).

2.3 Pendekatan Teori Struktural Fungsional Dalam Keluarga

Ritzer (2009: 21) konsep utama dalam teori ini adalah fungsi, disfungsi,

fungsi laten, fungsi manisfest, dan keseimbangan (equilibrium). Menurut teori ini

masyarakat adalah suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling

berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu

bagian akan mempengaruhi akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang

lain. Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional

terhadap yang lain. Sebaliknya, jika tidak fungsional maka struktur tidak akan

nada atau akan hilang dengan sendirinya. Konsep teori ini dalam keluarga dapat

dilihat berdasarkan pada sistem (aturan orangtua dalam keluarga), subsistem

(anak), struktur keluarga (hubungan orangtua dan anak), pembagian peran, tugas

dan tanggung jawab, hak dan kewajiban, menjalankan fungsi, mempunyai aturan

dan nilai/ norma yang harus diikuti dan mempunyai tujuan. Penganut teori ini

cenderung melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap

sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa

(17)

Secara ekstrim, penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua

struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.

Penerapan teori Struktural Fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari

struktur dan aturan yang ditetapkan. Dinyatakan oleh Chapman (Herien, 2009:

20), bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti

peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau

fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak

memliliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak

adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang

tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional

serta hidup tanpa arah. Menurut Leslie dan Korman (dalam Ihromi, 2004),

diantara Sosiolog Amerika pendekatan Fungsional Struktural paling sistematis

diterapkan dalam kajian terhadap keluarga oleh Talcott Parsons. Penerapan teori

ini pada keluarga oleh Parsons adalah sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran

tentang melunturnya atau berkurangnya fungsi keluarga karena adanya

modernisasi.

Aplikasi Teori Struktural Fungsional dalam Keluarga:

a. Berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga tersebut,

hubungan antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan

anak perempuannya.

b. Setiap masyarakat mempunyai peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang

menggambarkan orang harus berperilaku.

c. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-anak

(18)

(single families), keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan

anggota yang cacat, atau keluarga berdasarkan tahapannya, dan lain-lain.

d. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib

(social order). Ketertiban keluarga akan tercipta kalau ada struktur atau strata

dalam keluarga, dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya dan

patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut.

e. Terdapat dua bentuk keluarga, yaitu: keluarga inti (nuclear family): ayah, ibu,

anak dan keluarga luas (extended family): ayah, ibu, anak, kakek, nenek.

f. Struktur dalam keluarga dapat dijadikan institusi keluarga sebagai sistem

kesatuan dengan elemen-elemen utama yang saling terkait ialah status sosial

dan fungsi dan peran sosial. Status sosial ialah pencari nafkah, ibu rumah

tangga, anak sekolah, dan lain-lain, sedangkan fungsi dan peran sosial ialah

perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat memotivasi tingkah laku

seseorang yang menduduki status sosial tertentu, contohnya: peran

instrumental yaitu: mencari nafkah; peran emosional ekspresif yaitu: pemberi

cinta, kasih sayang).

2.3.1 Aspek Struktural

Ada tiga elemen utama dalam struktur internal yaitu: status sosial, fungsi

sosial dan norma sosial yang ketiganya saling kait-mengkait. Berdasarkan status

sosial, keluarga inti biasanya distruktur oleh tiga struktur utama yaitu: suami, istri

dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur-figur seperti pencari nafkah,

ibu rumah tangga, anak-anak balita, anak remaja dan lain-lain. Keberadaan status

sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada anggota keluarga

(19)

memiliki karena ia merupakan bagian dari sistem keluarga. Keberadaan status

sosial secara instrinsik menggambarkan adanya hubungan timbal-balik antar

anggota keluarga dengan status sosial yang berbeda.

2.3.2 Aspek Fungsional

Aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena

keduanya saling berkaitan. Arti fungsi disini dikaitkan dengan bagaimana

subsistem dapat berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan sosial. Keluarga

sebagai sebuah sistem mempunyai fungsi yang sama seperti yang dihadapi oleh

sistem sosial yang lain yaitu menjalankan tugas-tugas, ingin meraih tujuan yang

dicita-citakan, integrasi dan solidaritas sesama anggota, memelihara

kesinambungan keluarga. Keluarga inti maupun sistem sosial lainnya, mempunyai

karakteristik yang hampir sama yaitu ada diferensiasi peran, struktur yang jelas

yaitu ayah, ibu dan anak-anak.

Sebagai sebuah sistem, keluarga dapat terpecah apabila salah satu atau

lebih anggota keluarga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam keluarga

hingga menyebabkan terjadinya keluarga disfungsi. Hal ini tentu akan

mempengaruhi keutuhan keluarga sebagai sebuah sistem. Disfungsi diartikan

sebagai tidak dapat berfungsi dengan normal sebagaimana mestinya. Keluarga

disfungsi dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial terkecil dalam masyarakat

dimana anggota-anggotanya tidak atau telah gagal manjalankan fungsi-fungsi

secara normal sebagaimana mestinya. Keluarga disfungsi berarti hubungan yang

terjalin di dalamnya tidak berjalan dengan harmonis, seperti fungsi masing-

masing anggota keluarga tidak jelas atau ikatan emosi antar anggota keluarga

(20)

disfungsi sangat berpengaruh pada sosialisasinya dalam keluarga, disfungsi

sosialisasi keluarga merupakan suatu hal yang disebabkan gagalnya keluarga

dalam menjalankan fungsi sosialisasi yang seharusnya dilakukan oleh keluarga

Referensi

Dokumen terkait