• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelibatan KPK dan PPATK dalam Pencalonan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelibatan KPK dan PPATK dalam Pencalonan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Kekuatan Hukum Rekomendasi KPK dan PPATK dalam Pencalonan Pimpinan Lembaga Negara

Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FH UI 20151

Latar Belakang

Reformasi bergulir dengan membawa kembali harapan bagi Indonesia untuk terlepas dari jerat korupsi yang menghadang negeri ini untuk mewujudkan tujuannya dalam mensejahterakan rakyat. Melengkapi cita-cita tersebut, semangat untuk mengembalikan wibawa Indonesia sebagai negara hukum juga ada pada jalur sebagaimana cita-cita pembentukan negara ini. Belakangan, kisruh mendera sejumlah institusi penegak hukum di negeri ini. Berawal dari suksesi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang tersandung penetapan calon tunggalnya menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan sejumlah alat bukti, diantaranya merupakan dokumen Laporan Hasil Analisis (LHA) yang ditelusuri oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),atas dugaan melakukan tindak pidana yang dijerat Pasal 12A atau B, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Rasa kepercayaan masyarakat pun semakin diuji ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan persetujuannya atas pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan dengan meloloskannya di uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test)2 sebagai calon Kapolri saat itu untuk selanjutnya dilantik oleh Presiden.

KPK dan PPATK pada Tata Negara Republik Indonesia

Konsep ketatanegaraan Trias Politica yang diintrodusi oleh Montesquieu mengkategorikan cabang kekuasaan negara menjadi: 1) Eksekutif, atau dalam istilah asing disebut sebagai rule application function yakni kekuasaan melaksanakan Undang-Undang dalam menjalankan pemerintahan, 2)Legislatif, atau rule making function adalah kekuasan dalam membuat Undang-Undang, dan 3)Yudisial, atau rule adjudication function adalah kekuasaan yang mengadili atas pelanggaran undang undang.3 Dalam menerjemahkan konsep tersebut, Indonesia menerapkan division of power, yaitu sebuah prinsip dimana satu sumber

1Tulisan ini dibuat dalam rangka kajian bersama BEM se-UI berkenaan dengan tindak lanjut isu KPK dan Polri

2Kompas, DPR Setujui Tersagka Korupsi Budi Gunawan Jadi Kapolri,

http://nasional.kompas.com/read/2015/01/15/12550071/DPR.Setujui.Tersangka.Korup si.Budi.Gunawan.Jadi.Kapolri, diakses 26 Februari 2015.

(2)

kedaulatan dibagi ke sejumlah organ. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, legitimasi cabang kekuasaan tersebut bersumber dari kedaulatan rakyat yang kemudian ‘dibagikan’ kepada organ-organ negara. Konsekuensinya, tidak ada segregasi yang memisahkan organ-organ tersebut melainkan adanya sinergi yang diejawantahkan melalui mekanisme check and balances.

Akan tetapi sejalan dengan perkembangan suatu zaman, semakin berkembang juga permasalahan ketatanegaraan di berbagai belahan dunia. Faktanya model pemisahan kekuasaan negara secara konvensional yang hanya mengasumsikan adanya tiga cabang kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif ternyata sudah tidakmampu lagi menjawab kompleksitas permasalahan ketatanegaraan di negara modern.4Sejalan dengan itu Sir William Ivor Jennings seorang pakar hukum tata negara yang berasal dari Inggris menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi perlu dibentuknya lembaga negara penunjang dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut :5

1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.

2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.

3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.

4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.

5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan

6.Menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta, dapat dipercaya.

KPK dan PPATK merupakan lembaga negara yang lahir pasca-reformasi. Keduanya dibentuk melalui instrumen undang-undang yang muncul atas amanat khusus untuk

4 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika: Jakarta, 2010

(3)

menangani tindak pidana tertentu dimana KPK dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsidan PPATK melalui Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Secara teoritis, belum ada nomenklatur yang seragam digunakan untuk menunjuk lembaga-lembaga jenis ini. Diantara berbagai penamaan, dikenal istilah komisi negara.Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, komisi negara independen adalah organ negara

(state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya.Tersebutlah KPK dan PPATK yang secara institusional keduanyabersifat independen sehingga tidak berada di bawah sub-ordinasi cabang kekuasaan manapun.

Tegas dikatakan dalam Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002 bahwa KPK merupakan lembaga yang independen. Selanjutnya, dielaborasikan dalam penjelasannya bahwa KPK bebas dari kekuasaan manapun baik individual, eksekutif, legislatif, yudikatif maupun kekuasaan lainnya yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK.6 Jika dikorelasikan dengan konsep division of power, legitimasi KPK berasal langsung dari rakyat. Sehingga sudah tepat ketentuan pertanggungjawaban KPK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 bahwa KPK bertanggung jawab kepada publik.7 Begitu pula halnya dengan PPATK yang juga bersifat independen.8Mekanisme check and balances kedua lembaga ini kepada publik dijalankan dengan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.9Selain dari segi kinerja institusi secara keseluruhan, dalam menjalankan fungsinya KPK dan PPATK pun menjalankan mekanisme check and balances. Kedua institusi ini memiliki interseksi yang cukup luas dari segi cakupan tugasnya yaitu, KPK dengan tugasnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,10 dan PPATK yang

6Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

7Lihat, Pasal 20 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002: Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

8Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

9Penjelasan Umum, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(4)

memegang tugas untuk memberantas tindak pidana pencucian uang yang salah satunya bersumber dari korupsi.11

Status Quo Pemilihan Ketua KPK dan Kapolri

Mekanisme pemilihan pimpinan KPK dan Polri memiliki mekanisme tersendiri yang sangat dipengaruhi oleh posisi masing-masing lembaga dalam struktur tata negara. Lain halnya dengan KPK yang independen, Polri merupakan lembaga yang berada di bawah Presiden.12 Oleh karenanya, Polri yang dipimpin oleh seorang Kapolri ini pun dalam kerjanya bertanggungjawab kepada Presiden.13 Pemilihan Kapolri diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Meskipun secara struktural Kapolri berada di bawah Presiden, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, seorang Kapolri haruslah merupakan seorang Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif.14Selain itu, seorang calon Kapolri juga sebelumnya sudah memenuhi kualifikasi jenjang kepangkatan dan karier.15Mekanismenya, Presiden memberikan usulan pengangkatan Kapolri kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan disertai alasannya.16 Setelah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dibentuk pada tahun 2005, Kompolnas pun terlibat dalam proses pemilihan Kapolri yaitu dengan memberikan rekomendasi sejumlah nama yang menjadi bakal calon Kapolri kepada Presiden.17 Setelah Presiden mengajukan nama-nama tersebut ke DPR, maksimal dalam waktu 20 hari DPR memberikan persetujuan maupun penolakannya. Apabila setelah 20 hari semenjak masuknya surat dari Presiden ke DPR tidak ada jawaban, baik itu berupa persetujuan maupun penolakan, maka calon yang diajukan oleh Presiden ini dianggap

11Pasal 39 juncto Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

12Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

13Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesiajuncto Pasal 5 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kelola Kepolisian Negara Republik Indonesia

14Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

15Ibid

16Pasal 11 ayat (1) juncto Pasal 11 ayat (2) ) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(5)

disetujui oleh DPR.18 Setelah persetujuan DPR diberikan, calon Kapolri ini kemudian diangkat oleh Presiden.

Lain halnya dengan Polri yang pimpinannya selain Kapolri dipilih melalui mekanisme internal,19 Pimpinan KPK secara keseluruhan dipilih melalui mekanisme eksternal.20 Pimpinan KPK berjumlah lima orang yang terdiri dari seorang Ketua (merangkap anggota) dan empat Wakil Ketua (merangkap anggota).21 Lima orang yang menjadi Pimpinan KPK ini dipilih oleh DPR berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh Presiden.22 Sehubungan dengan KPK yang bersifat independen dan bertanggungjawab pada publik, masyarakat dapat mendaftarkan diri menjadi calon pimpinan KPK. Kemudian, calon-calon yang mendaftarkan diri menjadi Pimpinan KPK ini disaring oleh Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK yang terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat.23 Setelah menerima pendaftaran, Pansel terlebih dahulu menyeleksi calon-calon tersebut untuk kemudian diserahkan kepada Presiden.24 Kemudian, dalam jangka waktu paling lama 14 hari, Presiden menyerahkan nama calon pimpinan KPK sejumlah dua kali dari jumlah calon pimpinan yang dibutuhkan kepada DPR.25 Setelah itu, dalam jangka waktu paling lama tiga bulan DPR memilih dan menetapkan lima calon yang dibutuhkan dengan menentukan salah satu diantaranya untuk menjadi Ketua KPK dan empat lainnya menjadi Wakil Ketua KPK.26 Lalu, calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden dalam jangka waktu tujuh hari untuk akhirnya ditetapkan oleh Presiden sebagai Pimpinan KPK.27

Norma Hukum Terkait Rekomendasi KPK, PPATK, dan Polri

18Pasal 11 ayat (3) juncto Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

19Pasal 11 ayat (8) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juncto Pasal 8 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kelola Kepolisian Negara Republik Indonesia

20Pasal 30 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

21Pasal 21 ayat (2) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

22Pasal 30 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

23Pasal 30 ayat (3) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

24Pasal 30 ayat (6) juncto Pasal 30 ayat (8) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

25Pasal 30 ayat (9) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

26Pasal 30 ayat (10) juncto Pasal 30 ayat (11) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(6)

Dari rumusan peraturan perundang-undangan di atas, kita hendaknya dapat memahami signifikansi kedua lembaga ini di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Peran begitu besar yang diemban oleh kedua lembaga ini menciptakan satu sirkumstansi yang harus dapat terpenuhi, yakni keberadaan seorang figur pemimpin yang tidak hanya mampu dari aspek intelektualitas, namun juga memiliki kematangan emosional yang mumpuni. Oleh karena itu, perumus UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mencoba menyusun serangkaian persyaratan yang harus dapat dipenuhi oleh individu-individu yang memiliki intensi untuk maju menjadi pemimpin lembaga yang bersangkutan, dalam hal ini posisi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pimpinan KPK.

Teori Perundang-Undangan

Ditinjau dari teori perundang-undangan, Hans Kelsen mengutarakan bahwa ada dua sistem norma, yakni sistem norma yang statik dan sistem norma yang dinamik. Sistem norma yang statik adalah sistem yang melihat pada isi norma. Sedangkan sistem norma yang dinamik adalah sistem norma yang melihat pada berlakunga suatu norma atau dari cara pembentukannya atau penghapusannya.28Lebih lanjut, Hans Kelsen menyatakan bahwa norma hukum merupakan norma yang bersifat dinamik karena dibentuk oleh lembaga ataupun pihak yang berwenang untuk menciptakan atau menghapus suatu norma hukum.29 Norma sendiri merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya, norma diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipenuhi.30 Terdapat perbedaan norma hukum dan norma-norma lainnya, yakni:

1. Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri seseorang.

2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik.

3. Pelaksanaan sanksi pidana atau sanksi pemaksa tersebut oleh aparat negara (misalnya polisi, jaksa, hakim).31

28Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell, 1945, hal.112-113.

29Ibid

(7)

Hierarki Norma Hukum

Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki. Konsekuensinya adalah bahwasanya suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber serta berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi ini juga berlaku, bersmumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya, hingga sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yakni norma dasar (grundnorm).32

Teori ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky, murid dari Hans Kelsen yang mengemukakan bahwa selain norma itu berlapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokkan norma hukum tersebut terbagi atas 4 kelompok besar, yaitu:33

a. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

Merupakan norma tertinggi yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, melainkan bersifat ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Substansinya merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara, termasuk norma pengubahannya.

b. Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara)

Biasanya mengatur mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, hubungan antar lembaga negara, serta mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Di Indonesia, hal ini tertuang di dalam batang tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR.

c. Formell Gesetz (Undang-Undang “Formal”)

Isinya bersifat lebih konkret, terinci, dan sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat.

d. Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & aturan otonom)

Berfungsi untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang.

Norma hukum ini ditranslasikan ke dalam dua bentuk, tertulis dan tidak tertulis. Peraturan perundang-undangan merupakan bentuk norma hukum tertulis. Di dalam Pasal 1

32Hans Kelsen, Op. cit. hal. 113

33Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

(8)

angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan didefinisikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.34 Bagir Manan menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang baik setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal, yakni:

a. Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya, undang-undang dalamarti formal (wet in formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang tidak merupakan produk besama antara Presiden dan DPR adalah batal demi hukum. Selanjutnya, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan, maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perndang-undangan tingkat lebih bawah. b. Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan yang

hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya (baca: peraturan perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya.

c. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata hukum (rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: peraturan

(9)

perundang-undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya, Semuanya ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.

Menurut D. W. P. Ruiter, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur, yakni:35

a. Norma hukum, yang sifatnya dapat berupa perintah, larangan, pengizinan, dan pembebasan.

b. Norma berlaku keluar

c. Norma bersifat umum dalam arti luas.

Rekomendasi Terkait Peran KPK, PPATK, dan Polri

Dalam kaitannya dengan konfigurasi pengaturan terkait dengan mekanisme pengangkatan Kapolri dan pimpinan KPK yang diatur di dalam undang-undang dirasakan masih kurang mampu mengakomodasi kehendak akan kehadiran pimpinan KPK dan Kapolri yang bersih dan sehat. Keterlibatan KPK, PPATK, dan Polri di dalam proses suksesi pimpinan KPK dan Kapolri yang selama ini tidak diatur secara tegas dan jelas dapat diatasi dengan menambah norma baru dalam persyaratan calon Kapolri dan pimpinan KPK dengan revisi undang-undang, baik undang-undang KPK maupun undang-undang Kepolisian Negara

(10)

Republik itu sendiri. Pengaturan mengenai perubahan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan dua cara, yakni:

a. Menambah materi

b. Menghapus/ mengganti sebagian materi.

Perubahan ini dilakukan terhadap seluruh/ sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/ atau ayat, kata, frasa, istilah, kalimat, angka, tanda baca. Prof. Maria Indrati dalam buku Ilmu Peraturan Perundang-Undangan (II) menyebutkan bahwa asas-asas perubahan peraturan perundang-undangan sama dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan, dimana asas formal pembentukan peraturan negara yang baik menurut I.C van der Vlies terdiri dari:36

1. Asas tujuan yang jelas

Asas kejelasan tujuan adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

2. Asas organ/lembaga yang tepat

Makna dari asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

3. Asas perlunya pengaturan 4. Asas dapatnya dilaksanakan

Makna dari asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis.

5. Asas consensus

Asas-asas ini kemudian diartikulasikan ke dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, karena asas hukum adalah dasar dari hukum positif itu sendiri. Penyimpangan terhadap asas berarti hukum positif tidak memiliki arti hukum apa-apa. Hal ini sejalan dengan

(11)

pendapat Prof. Satjipto Rahardjo dalam buku Ilmu Hukum dimana asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum.

Berkaitan dengan asas ini adalah materi muatan yang diatur oleh undang-undang sebagaimana di atur di dalam Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011, yakni:

a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Substansi yang diatur di dalam butir e di atas pada dasarnya telah menjadi justifikasi yang tepat untuk mendorong pemerintah, dalam hal ini Presiden dan DPR untuk melakukan revisi terhadap UU KPK, UU Kepolisian, serta UU Tindak Pidana Pencucian Uang yang menjadi dasar kewenangan PPATK. Adanya peristiwa hukum yang terjadi dalam konteks polemik di antara dua institusi tersebut jelas mengundang banyak reaksi dari masyarakat. Kekosongan norma hukum yang mengatur dengan tegas keterlibatan KPK, PPATK, serta Polri dalam proses pengangkatan Kapolri dan pimpinan KPK dapat diatasi dengan mekanisme ini. DPR dan Presiden selaku dua lembaga yang saling bersinergi dalam pembuatan suatu undang-undang jelas harus memiliki political will yang baik untuk bisa mengartikulasikan kehendak masyarakat tadi ke dalam suatu norma hukum tertulis yang dengan tegas dan jelas mengatur peran dan posisi KPK, PPATK, dan Polri dalam pergantian tampuk kepemimpinan.

Revisi undang-undang dilakukan dengan menambahkan materi baru berupa ayat yang menyatakan bahwa KPK, PPATK, dan Polri wajib untuk dilibatkan dalam penggantian pemimpin di dalam KPK dan Polri. Sehingga, jika selama ini melibatkan PPATK dan KPK hanya didasarkan pada niatan baik Presiden, sekarang terdapat suatu ketentuan yang tegas. Untuk lebih rincinya, revisi undang-undang berupa penambahan materi akan dilakukan pada:

(12)

2. Pengaturan proses pengangkatan Kapolri pada Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Pengaturan mengenai tugas dan wewenang PPATK di dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

4. Pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kepolisian NRI di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5. Pengaturan mengenai tugas dan wewenang KPK dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah rumah tangga usaha pertanian kelompok umur kurang dari 15 tahun dengan petani utama laki-laki tercatat sebesar 96 rumah tangga, lebih tinggi daripada

Teaching and learning is process of expressing and transforming the knowledge between teacher and students (please see Brown, 2001). Hence, the teaching is the

Demikian halnya dengan keluarga, adalah sebagai lembaga pendididkan pertama seorang anak, sebuah keluarga yang cendrung jauh dari dunia ilmu pengetahuan akan menghasilkan

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyusun hasil penelitian dengan judul, EVALUASI

Latar Belakang saat ini belajar kurang memerhatiakan peran dan pengaruh emosi pada proses dan hasil belajar yang di capai seseorang, Tetapi sejak orang mulai

Tidak ada Penyedia Barang/Jasa yang lulus evaluasi penawaran, sehingga Kelompok Kerja 28 Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Magelang mengambil keputusan bahwa lelang Paket

Kuesioner ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai I mplementasi E- learning di PT yang dilakukan oleh PTN dan PTS di I ndonesia dalam rangka peningkatan

Melalui world wide web informasi tersebut ditampilkan dalam bentuk yang menarik, dinamis, dan interaktif, yang biasanya disebut website, sehingga masyarakat berlomba-lomba