• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2_ _BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor : 54PID.BTPK2012 PN.JKT.PST, Putusan PT Jakarta Nomor : 11PIDTPK2013PT.DKI dan Putusan MA NOMOR : PID.SUS2013 Dikaitkan Tujua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2_ _BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor : 54PID.BTPK2012 PN.JKT.PST, Putusan PT Jakarta Nomor : 11PIDTPK2013PT.DKI dan Putusan MA NOMOR : PID.SUS2013 Dikaitkan Tujua"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem dan Tujuan Pemidanaan

“Sistem dalam kamus umum bahasa Indonesia mengandung dua arti

yaitu seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, dan juga dapat diartikan sebagai susunan yang teratur dari pada pandangan, teori, asas dan sebagainya atau diartikan pula

sistem itu “metode”.1

“Pemidanaan” atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim yang

oleh Sudarto dikatakan berasal dari istilah penghukuman dalam pengertian yang sempit. Lebih lanjut dikatakan “Penghukuman” yang demikian

mempunyai makna “sentence” atau “veroordeling”.2 Patut dicatat bahwa

pengertian “sistem pemindanaan” tidak hanya dilihat dalam arti

sempit/formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/materiil. Dalam arti sempit/formal, sistem pemidanaan berarti kewenangan menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana menurut Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Dalam arti luas/material, sistem pemidanaan merupakan suatu mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana.

1Kamus Umum Bahasa Indonesia, Yrama Widya, Bandung, 2003, h. 565 2 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, h.1

(2)

Menurut Andi Hamzah, pemidanaan sama halnya dengan penjatuhan pidana. Pidana macam bagaimanakah yang akan dijatuhkan oleh hakim kepada orang yang melanggar nilai-nilai itu. Bagaimanakah pelaksanaan pidana itu kepada terpidana dan bagaimanakah membina narapidana sehingga dapat diubah menjadi manusia yang berguna dalam masyarakat Pancasila ini.3

Menurut L.H.C Hulsman, sistem pemidanaan (the sentencing system)

adalah “ aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana

dan pemidanaan” (the statutory rules to penal sanctions and punishment).4 Pengertian “pemidanaan” dapat diartikan sebagai suatu “pemberian

atau penjatuhan pidana”, maka pengertian “sistem pemidanaan” dapat dilihat

dari 2 sudut :5

1. Dalam arti luas, sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut bekerjanya/prosesnya. Dalam arti luas ini, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai:

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/ operasionalisasi/ konkretisasi pidana.

b. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. 2. Dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif/

substantif, yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif. Dalam arti sempit ini, maka sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan.

b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

3 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Sistem Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, h. 9

4 L.H.C.Hulsman dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum

Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 129

(3)

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang

ada di dalam KUHP maupun di dalam Undamg-Undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang

terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special

rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus

terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP.6 Aturan khusus ini pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu dan juga memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.

Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif. Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.7

Perumusan tindak pidana di dalam aturan khusus hanya merupakan sub-sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana (sistem pemidanaan). Artinya, perumusan tindak pidana baik unsur-unsurnya, jenis tindak pidananya, maupun jenis pidana atau sanksi dan lamanya pidana, tidak merupakan sistem yang berdiri sendiri, untuk dapat diterapkan,

6 Barda Nawawi Arief, Op. cit, h. 3

(4)

dioperasionalkan dan difungsikan, perumusan tindak pidana itu masih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub-sistem aturan atau pedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atau aturan khusus di dalam undang-undang khusus yang bersangkutan.

KUHP membedakan aturan umum untuk tindak pidana yang berupa kejahatan dan pelanggaran, artinya kualifikasi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran merupakan kualifikasi yuridis yang akan membawa konsekuensi yuridis yang berbeda. Oleh karena itu, setiap tindak pidana yang dirumuskan di dalam undang-undang khusus harus disebut kualifikasi yuridisnya, sebab apabila tidak disebutkan, akan menimbulkan masalah yuridis dalam menerapkan aturan umum KUHP terhadap Undang-Undang khusus itu. Di dalam produk legislatif selama ini, banyak sekali Undang-Undang yang tidak menyebutkan atau menetapkan kualifikasi yuridis tindak pidana.

Sistem Pemidanaan adalah sebagai bagian dari mekanisme penegakan

hukum (pidana) maka pemidanaan yang biasa juga diartikan “pemberian

pidana“ tidak lain merupakan suatu “proses kebijakan” yang sengaja

direncanakan.

Kebijakan formulasi/kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pemidanaan merupakan suatu proses kebijakan yang melalui beberapa tahap:8 1. Tahap penetapan pidana oleh pembuatan undang-undang

2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

(5)

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam memberikan atau menjatuhkan pidana maka di dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam Pasal 2 sebagai berikut 9:

1. Maksud tujuan pemidanaan ialah:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk;

b. Membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna;

c. Menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana; d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia. 2. Pemidanaan bertujuan untuk:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;

c. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

B. Tindak Pidana Korupsi

Mendefinisikan tindak pidana korupsi maka kata tindak pidana korupsi terdiri dari kata tindak pidana dan kata korupsi. Definisi tindak pidana dapat dilihat dari pendapat para pakar antara lain VOS. Delik adalah

feit yang dinyatakan dapat dihukum undang-undang, sedangkan menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak orang lain. Menurut Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat

(6)

dipertanggungjawabkan tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dapat dihukum.10

1. Definisi tindak pidana

Pengertian sederhana dari tindak pidana ada perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan di mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut. 11

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.

Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

10 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika, Jakarta, 1991, h. 23

(7)

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu:12

a. Unsur obyektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan, terdiri dari: 1) sifat melanggar hukum;

2) kualitas dari si pelaku;

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3) kausalitas

Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suau kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subyektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2) Maksud pada suatu percobaan seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) kuhp;

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan sebagainya; 4) Merencanakan terlebih dahulu seperti tercantum dalam pasal

340 kuhp yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu; 5) Perasaan takut seperti terdapat dalam pasal 308 kuhp.

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenalkan dalam Undang-undang tindak pidana khusus misalnya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Narkotika dan Undang-undang mengenai Pronografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.

(8)

Sudarto menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal, asal diketahui apa yang dimaksudkan dan dalam hal ini yang penting adalah isi dari pengertian itu. Namun lebih condong untuk memakai istilah tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima oleh masyarakat. Jadi mempunyai ‘sociologische gelding’.13

Moeljatno menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan istilah perbuatan pidana. Alasan karena perkataan perbuatan merupakan suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit, yaitu:

a. Adanya kejadian yang tertentu;

b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.14

Istilah peristiwa pidana dipakai oleh Utrecht dalam bukunya ‘Sari

Kuliah Hukum Pidana I’ dan juga digunakan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.15

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa suatu tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum

13 Sudarto, tt, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, h. 23

(9)

perdata, hukum ketatanegaraan dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.16

Simons mengartikan starbaarfeit adalah kelakuan (handeling)

yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.17

Van Hamel merumuskan starbaarfeit sebagai kelakuan orang

(menselijk gadraging) yang dirumuskan di dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.18

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah duatu pengertian yuridis, lain halnya

dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen

atau misdaad) yang biasa diartikan secara sosiologis atau kriminologis.19 Menurut D. Simons, unsur-unsur starftbaarfeit adalah:

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (straftbaar gesteld); c. Melawan hukum (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (metschuld in veerband stand).

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon).

Jadi dalam mempergunakan istilah tindak pidana haruslah bagi orang lain apakah yang dimaksudkan adalah menurut pandangan

16 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Ereseo, Bandung, 1986, h. 45

17 Moeljatno Op. Cit., h.56 18Ibid.,

(10)

monistis atau dualisme. Bagi orang yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualisme sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat. 2. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 2 dijelaskan yaitu :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”. Sedangkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam jabatannya juga masuk dalam ranah korupsi bila perbuatannya itu merugikan keuangan negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 3;

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin ‘corruptio, ‘corruption’ (bahasa Inggris) dan ‘corruptie’ (bahasa Belanda), arti harfiahnya menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk dan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan.20

Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang

dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang

(11)

tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-hak lain.21

Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi diatur di dalam hukum pidana seperti pada Pasal 55 KUHP ayat (1) yang menyebut bahwa dipidana sebagai pelaku tindak pidana (1) mereka yang melakukan, menyuruh, melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan dan (2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Tindak pidana korupsi diatur secara tersendiri melalui Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana

(12)

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).

Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).

Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi diatur bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Undang-undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

(13)

b. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama; c. Tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi

tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain;

d. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan;

e. Tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

b. Perbuatan melawan hukum;

(14)

d. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

C. Putusan pengadilan

1. Pengertian putusan Pengadilan

Pengertian putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Yahya Harahap bahwa putusan akan dijatuhkan pengadilan, tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.22

Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya, dengan terlebih dahulu hakim memeriksa perkaranya. Setelah putusan Pengadilan diucapkan oleh hakim harus ditanda tangani oleh hakim dan panitera

22 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

(15)

(Pasal 200 KUHAP) dalam hal ini semua hakim yang memeriksa perkara harus ikut menandatangani baik hakim ketua maupun hakim anggota.

Putusan merupakan hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan23. Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief).

Putusan yang dimuat berupa penghukuman terdakwa oleh sebagian pakar yang menyebutkan putusan pemidanaan. Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.24

Penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 193

ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:”Jika pengadilan berpendapat

bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah hukum. Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dengan kata vonnis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut dengan

interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dalam preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan

(16)

pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.

2. Syarat Sahnya putusan pengadilan

Menurut Pasal 195 KUHAP, semua Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Dari pasal tersebut, dapat diambil pengertian sebagai berikut:25

a. Putusan pengadilan berlaku sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum. b. Semua keputusan tanpa kecuali harus diucapkan dalam sidang yang

terbuka untuk umum.

Dengan demikian, sahnya suatu putusan pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Memuat hal-hal yang diwajibkan;

b. Diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

Hal-hal tersebut harus dinyatakan sebagai syarat mutlak sesuatu putusan sedang hal-hal lain misalnya dengan hadirnya terdakwa, tidak merupakan syarat mutlak. Dengan hadirnya salah seorang terdakwa saja dari beberapa terdakwa maka putusan tersebut telah sah. Demikian pula dengan pengecualian yang mengadili terdakwa secara in absentia atau pengadilan yang memutuskan secara verstek, putusan tetap sah. Dengan demikian pakar yang mengatakan kehadiran terdakwa sebagai syarat sah tidaknya putusan adalah keliru.26

25Ibid, h. 357

(17)

3. Macam putusan pengadilan

Terdapat beberapa macam putusan dalam sidang perkara pidana adalah sebagai berikut.27

a. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.

Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili dapat terjadi dalam bentuk-bentuk peristiwa sebagai berikut:

1) Penetapan; 2) Keputusan; 3) Putusan.

b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.

Syarat dakwaan batal demi hukum dicantumkan dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang rumusannya adalah bahwa: ”Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”.

c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada hakikatnya tidak cermat Penuntut Umum karena putusan tersebut dijatuhkan karena hal-hal sebagai berikut:

1) pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan tidak ada (delik pengaduan);

2) perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah diadili (nebis in idem);

3) hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring). d. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepas dari segala

tuntutan hokum.

Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa di sidang pengadilan negeri terbukti tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hokum. e. Putusan bebas.

Putusan bebas dirumuskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:”Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas”.

4. Pertimbangan Hakim

Dalam proses pemeriksaan di persidangan tindak pidana, setelah hakim ketua menyatakan pemeriksaan selesai, maka hakim menyatakan

(18)

persidangan selesai dan menunda persidangan dengan menyatakan persidangan ditunda guna memberi waktu kepada hakim majelis bermusyawarah guna mengambil keputusan. Musyawarah hakim adalah untuk menetapkan putusan yang akan diambil berdasarkan persidangan, hal apa saja yang terbukti dari surat dakwaan.

Putusan yang diambil dalam musyawarah merupakan hasil permufakatan. Sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim mempertimbangkan fakta-fakta atau perbuatan yang dilakukan terdakwa, kemudian menetapkan pemidanaan yang cocok pada fakta-fakta itu, sehingga dengan jalan penafsiran dapat menentukan terdakwa dipidana atau tidak dan bagaimana bentuk pidananya.28

Hal yang senantiasa harus diingat adalah bahwa penjatuhan pidana merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari walaupun pemidanan pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran HAM yang nyata, tetapi perampasan HAM seorang yang terbukti melakukan tindak pidana haruslah dimaksudkan dengan tujuan yang lebih baik yaitu untuk memperbaiki si terpidana dan memulihkan keadaan masyarakat serta harus dilakukan dengan patokan, standar dan prosedur yang ketat dan dapat dipertanggungjawabkan.29

Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu

28 Paingot Rambe Manalu dkk, Hukum acara Pidana dari Segi Pembelaan, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2010,h. 168

(19)

dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya.30 Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatnya yang khas.31

Putusan yang dimuat berupa penghukuman terdakwa oleh sebagian pakar yang menyebutkan putusan pemidanaan. Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.32

Mengenai penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:”Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Bentuk dari suatu putusan tidak diatur dalam KUHAP. Namun jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.

Mengenai isi putusan, ditentukan secara rinci dan limitatif dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut:

30 Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Op.Cit., h. 1

(20)

Surat putusan pemidanaan memuat.

a. Kepala putusan yang ditulis berbunyi: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu dan keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu.

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

(21)

Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraiannya dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil barulah kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat dakwaan penuntut umum.

Hal-hal formil yang dimaksud misalnya sebagai berikut:

a. Apakah pengadilan di mana majelis hakim bersidang berwenang memeriksa perkara tersebut atau tidak;

b. Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat;

c. Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan

nebis in iden dan verjaring.

Setelah hal-hal formil ini terpenuhi, maka dilanjutkan dengan materi perkara misalnya tentang hal-hal sebagai berikut:

a. Perbuatan mana yang telah terbukti di persidangan, unsur-unsur mana yang terbukti dan alat bukti yang mendukungnya serta nama yang tidak terbukti;

b. Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut;

c. Apakah hukuman yang patut dan adil yang dijatuhkan kepada terdakwa atas perbuatannya.

Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan pendapat atau pertimbangan-pertimbangan dan keyakinannya atas perkara tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2) KUHAP), akan tetapi jika mufakat bulat tidak diperoleh maka putusan diambil dengan suara terbanyak.33 Adakalanya para hakim masing-masing berbeda pendapat atau pertimbangan, sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang

(22)

dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa seperti yang disebutkan dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pelaksanaan (proses) pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.

D. Penegakan Hukum Dalam Keadilan Bermartabat

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran, nilai-nilai tersebut harus mampu diwujutkan dalam realita nyata. Menurut Soerdjono Soekanto bahwa secara konsepsional hukum dalam arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh tenaga dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum, kegagalan hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman berbahaya akan lemahnya hukum yang ada.

(23)

penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitasinya hukum ditengah-tengah realiatas sosial.

Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh sebab itu hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum.

Di era sekarang ini penegakan hukum merupakan bagian dari tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya suatu reformasi hukum, akan tetapi seringkali tuntutan masyarakat terhadap reformasi hukum tersebut hanya disudutkan pada “Hakim” dalam hal ini Pengadilan, padahal penegakan hukum bukan hanya dibebankan pada tugas Hakim/Pengadilan saja, tetapi termasuk sebagai bagian dari Polisi selaku penyidik dan Jaksa selaku

penuntut umum, yang sering disebut dengan istilah “Criminal Justice System

yang sebagai prilaku penegakan hukum.

Dalam ilmu tentang “prilaku hukum” memang merupakan atau punya

pendekatan tersendiri dalam ilmu hukum, yang menurut Max Weber bahwa dalam mempelajari hukum ada 3 (tiga) pendekatan yang dapat digunakan yaitu:

1. Pendekatan moral terhadap hukum;

2. Pendekatan dari sudut ilmu hukum normatif; 3. Pendektan sosiologis terhadap hukum.34

Pendekatan moral terhadap hukum yang paling utama diperhatikan yaitu, hukum harus mengekspresikan suatu moralitas umum (a common

(24)

morality) yang didasarkan pada suatu konsensus tentang apa yang secara moral dianggap salah dan apa yang secara moral dianggap benar.

Pendekatan ilmu hukum normatif atau jurisprudensi berpandangan

bahwa hukum seharusnya “otonom” atau independent dari religi, filosofi dan nilai-nilai serta asas-asas politik, sedangkan pendekatan sosiologis hanya

terfokus pada hukum sebagai prilaku atau “behaviour”, hukum sebagai

tindakan atau “action” dan hukum sebagai realita atau reality. Keotonomian hukum yang dilakukan Pengadilan sebagaimana diungkapkan dalam pendekatan jurisprudensi ada kalanya dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu : Ekonomi; Sosial; dan Politik.

Untuk menghindari ketiga faktor yang mempengaruhi keotonomian hukum tersebut diatas, maka harus dapat membiasakan diri hidup sederhana,

jangan memaksakan keadaan, dan jangan menggunakan “Aji mumpung“

yaitu mumpung banyak orang-orang yang berkepentingan mau menyumbang, juga jangan meminta dan atau menerima sumbangan dari orang-orang yang secara tersirat maupun tersurat mempunyai kepentingan dengan jabatan, karena tidak ada seseorang/pengusaha yang mau menyumbang apabila tidak punya kepentingan, jika sekali saja menerima sumbangan dari

seseorang/pengusaha berarti telah “Menggadaikan Integritas Jabatan” atau

(25)

Dalam penegakan hukum bukan semata mata hanya menjalankan pelaksanaan Perundang-undangan atau Law enforcement, tetapi penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan keadamaian dalam pergaulan hidup.

Dalam melaksanakan penegakan hukum sangat bergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi yaitu:

1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri; 2. Faktor petugas yang menegakkan hukum; 3. Faktor warga masyarakat;

4. Faktor kebudayaan atau legal culture;

5. Faktor sarana atau fasilitas yang dapat diharapkan untuk mendukung pelaksana hukum.35

Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut diatas dapat digunakan untuk melihat penomena prilaku hukum di Pengadilan dalam melaksanakan penegakan hukum yang bermartabat.

Para pakar sosiologi hukum pada umumnya membatasi penelitian mereka hanya terhadap suatu masyarakat spesifik serta meninjau lembaga-lembaga sosial yang ada didalamnya seperti keluarga, komunitas keagamaan atau subkultur, untuk menentukan peran lembaga-lembaga tersebut dalam mengembangkan ketaatan terhadap hokum.

Sosiologi adalah kajian ilmu tentang kehidupan sosial dan dengan demikian sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang perilaku hukum.

(26)

Di dalam sosiologi hukum dikatakan bahwa hukum dapat dikelompokkan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat apabila:

Pertama : Berlaku secara yuridis yaitu perlakuan hukum didasarkan pada kaidah yang tingkatnya lebih tinggi. Bila berlakunya hanya secara yuridis maka hukum termasuk kaidah mati.

Kedua : Berlaku secara secara sosiologi, hukum dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa meskipun masyarakat menolaknya (teori kekuasaan) atau hukum berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Jika berlakunya hanya secara sosiologis dalam teori kekuasaan, maka hukum hanya akan menjadi alat untuk memaksa.

Ketiga : Berlaku secara filosofis (sesuai dengan cita cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi). Apabila berlakunya hanya secara filosofis, hukum hanya akan menjadi kaidah yang dicita-citakan (ius constituendum).

Sosiologi hukum peradilan fokus utamanya adalah tentang “realitas

peran Hakim” yang menyoroti prilaku Hakim sebagai salah satu unsur

pembentuk hukum melalui putusannya (judge made law).

Harus disadari bahwa masih banyak perundang-undangan di Indonesia dewasa ini yang belum mampu menjawab dinamika kebutuhan hukum yang sangat cepat, sehingga yang terjadi apa yang dikatakan Undang-undang senantiasa tertatih-tatih mengejar peristiwa yang seyokyanya diselesaikan, maka dalam kondisi ini peran para hakim sangat dibutuhkan untuk melahirkan putusan yang mampu mengisi ketertinggalan undang-undang, dan memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.36

Tentu saja dalam hal ini, kemampuan para hakim untuk menginplementasikan berbagai metode penemuan hukum, termasuk berbagai interpretasi dan juga konstruksi yang sangat diharapkan.

(27)

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa teori hukum dari perspektif keadilan sacara harfiah ia berarti “Pengatahuan dan pendapat tentang hukum” (Knowledge and opinion about law). Dalam teori ini dijelaskan bahwa pelaksanaan hukum ditentukan oleh dua variabel yaitu:

1) Variabel ekstra (meta) yuridis yaitu kompleksitas kekuatan sosial politik, struktur masyarakat, dan faktor-faktor peribadi;

2) Variabel intra yuridis, dalam variabel ini terdapat 3 (tiga) subvariabel yaitu:

a) Pembuat perundang-undangan; b) Birokrasi hukum;

c) Rakyat sebagai subyek hukum .37

Antara pembuat perundang-undangan dengan birokrasi dan rakyat diikat oleh norma, dan antara birokrasi dengan rakyat diikat oleh aktivitas pelaksanaan hukum. 3 (tiga) variabel tersebut masing-masing memiliki sifat umpan balik, terjadi hubungan umpan balik antara pembuat peraturan dengan birokrasi, terjadi hubungan umpan balik antara pembuat peraturan dengan rakyat dan terjadi hubungan umpan balik antara birokrasi dengan rakyat.

Selanjutnya bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga Negara. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum, adalah:

1) Faktor hukum atau perundang-undangan; 2) Faktor penegakan hukum;

3) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4) Faktor masyarakat, lingkungan yang menjadi tempat hukum diberlakukan dan diterapkan;

5) Faktor kebudayaan, karya, cipta, dan rasa manusia yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.38

(28)

Hasil kajian teori penegakan hukum yang telah diuraikan diatas kiranya dapat diduga bahwa wibawa Hakim/Pengadilan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu:

1) Faktor peraturan perundang undangan; 2) Faktor birokrasi;

3) Faktor kesadaran hukum masyarakat.

Faktor-faktor inilah yang diduga dapat memicu lahirnya Hakim yang unggul kompetitif dan Hakim yang unggul komparatif.

Di dalam sistem pembuatan putusan dan sistem penyelesaian sengketa dalam hal ini Pengadilan, tidak ada putusan yang hanya berasal dari satu

unsur yang bertindak sendiri. Semua “outputs” dihasilkan dari suatu sistem

hubungan-hubungan sosial yang terstruktur.

Idealnya para hakim benar-benar menyelaraskan antara harapan dan norma prilaku yang mengandung nilai-nilai. Khususnya secara konkret dirumuskan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan seperangkat orientasi atau sikap peran dari sosok hakim. Dengan kata lain pengembangan kemampuan hakim mencakup semua unsur yang ditentukan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 2004 tersebut yaitu:

1) Pengembangan integritas dan kepribadian hakim dengan senantiasa mengoptimalkan prilaku tidak tercela, jujur, adil dan mandiri;

2) Pengembangan diri dengan cara secara terus-menerus belajar dari menangani dan mengadili berbagai kasus in konkreto selama kariernya sebagai hakim;

(29)

3) Pengembangan profesionalisme hakim dengan cara terus menerus menambah wawasan keilmuan, baik dalam bidang hukum maupun bidang-bidang lain yang berada disekitar ilmu hukum, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan lain lain.

Dalam rangka pengembangan kemampuan hakim agar dengan wawasan intelektualitas dan penalarannya mampu menghasilkan putusan-putusan yang bukan saja berdasarkan hukum dan keadilan, melainkan juga benar-benar mampu mewujutkan tuntutan dan kebutuhan hukum masyarakat, yang pada akhirnya dengan putusannya tersebut dapat mewujutkan suatu Pengadilan yang bermartabat atau penegakan hukum yang bermartabat dalam suatu putusan hakim.

Tugas utama pengadilan/hakim adalah menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya, tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalil tidak ada aturan hukum yang mengaturnya, maka dalam hal ini pengadilan/hakim dituntut untuk menggali hukum yang berkembang dimasyarakat sehingga putusan yang dijatuhkannya bisa dianggap adil menurut masyarakat.

Berbicara keadilan yang bermartabat adalah sangat sulit, karena menurut pihak yang satu sudah adil, tapi belum tentu pihak yang lain adil. Dan tidak seorangpun yang dapat merumuskan adil secara interpralistik maupun komprehensif, karena kadang kala adil secara netralpun tidak mungkin diterima secara memuaskan bagi kalangan masyarakat.

Bertambah sulit lagi menentukan adilnya suatu putusan jika hakim

(30)

legalthinking”. Oleh karena itu putusan yang adil dan bermartabat adalah putusan yang memenuhi unsur : yuridis, sosiologis dan philosofis.

Bertitik tolak dari itu maka untuk menentukan patokan putusan yang adil dan bermartabat, maka hakim berdasarkan hati nurani yang bersih dan netral dalam menjatuhkan putusannya agar memenuhi kebenaran dan rasa keadilan. Terutama dalam perkara pidana, putusan harus memuat hal-hal sebagai berikut:

1) Bersifat koreksi, yaitu dimana hakim harus berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, karena hakim dalam melaksanakan pekerjaannya dituntut adanya keberanian dan tanggung jawab untuk mengoreksi pelaku tindak pidana yang diajukan kepadanya; 2) Bersifat edukasi, yaitu pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak

pidana bukan hanya untuk mengoreksi saja, tetapi juga harus dapat mendidik agar pelaku tindak pidana tidak akan mengulangi lagi perbuatan pidana yang telah dilakukannya;

3) Bersipat prefensi, yaitu dimana pelaku tindak pidana atau masyarakat setelah adanya putusan yang dijatuhkan oleh hakim akan merasa ketakutan apabila akan melakukan suatu tindak pidana;

Referensi

Dokumen terkait

Covey dalam Suryana (2000:35), bahwa kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik yaitu mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri

Proseding Seminar Bisnis & Teknologi ISSN : 2407-6171 SEMBISTEK 2014 IBI DARMAJAYA Lembaga Pengembangan Pembelajaran, Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat, 15-16

Algoritma K-Nearest Neighbor dapat diterapkan dalam sistem pendukung keputusan seleksi Paskibraka untuk melakukan klasifikasi dalam menentukan status diterima atau tidak

Implikasi Penelitian adalah berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan kepada pihak yang berkaitan dengan bidang pendidikan antara lain, guru dituntut

Sedangkan Variabel yang bersifat negative, kebalikanya (kelemahan dan ancaman ). Dari hasil Analisis Internal dan Eksternal yang tertuang dalam grafik letakkuadran maka

Pada tahun 2014 (Jan s/d Mei) daerah yang terjadi kasus HPAI antara lain : Kab. Padang Pariaman sebanyak 1 kasus di bl Feb

Nilai koefisien determinasi ditunjukkan oleh nilai R yang menunjukkan korelasi berganda, yaitu faktor pola komunikasi keluarga, percaya diri, introversi, dan harga

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan