BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembentukan sebuah keluarga biasanya diawali dengan ikatan
perkawinan baik yang dilakukan secara adat, hukum maupun agama.
Sudah menjadi kodratnya sebuah pasangan yang telah diikat menjadi suatu
keluarga akan melakukan fungsinya dalam mempertahankan ikatan
perkawinan dan kelangsungan hidup keluarga yang telah dibentuk. Ada
beberapa fungsi keluarga yaitu fungsi reproduksi atau fungsi biologik,
fungsi pendidikan,fungsi sosialisasi, fungsi perlindungan, fungsi afeksi,
fungsi agama, fungsi ekonomi, fungsi rekreasi (Khairuddin, 1997)
Salah satu fungsi yang paling hakiki dalam sebuah keluarga adalah
fungsi reproduksi atau fungsi biologik yaitu fungsi untuk melanjutkan
keturunan. Namun pada kenyataan yang terjadi, fungsi ini tidak dapat
terlaksana dalam suatu keluarga. Berbagai faktor dan juga alasan yang
menjadi penyebab ketidakhadiran anak dalam suatu keluarga misalnya
keikutsertaan pasangan suami-isteri dalam program Keluarga Berencana
(KB), faktor biologis (kemandulan/infertilitas) dan juga alasan kesehatan
yang tidak memungkinkan isteri untuk hamil dan melahirkan.
Dalam suatu keluarga, konflik merupakan hal yang tidak dapat
dipungkiri akan selalu terjadi. Konflik-konflik yang terjadidalam satu
mempererat hubungan dalam keluarga tersebut dan ada pula konflik yang
bahkan dapat mengancam keberlangsungan atau keharmonisan dalam
keluarga.
Lewis Coser berpendapat bahwa konflik tidak selalu disfungsional,
namun dapat memberikan konstribusi yang positif dalam suatu sistem,
misalnya dalam sistem keluarga. Keluarga akan memiliki hubungan yang
semakin erat apabila konflik yang mereka alami tidak semata-mata untuk
menghancurkan lawan konflik dalam keluarga itu sendiri.Konflik sebagai
perselisihan berhubungan dengan nilai-nilai, atau tuntutan-tuntutan
berkenaan dengan status, kekuasaan dan sumber-sumber kekayaan yang
tidak memadai ketersediaannya (Sutaryo,1992:39). Disisi lain konflik
benar-benar dapat merusak dan menyebabkan ketegangan-ketegangan
yang berujung pada disorganisasi. Keadaan disorganisasi dalam keluarga
dapat berakhir pada perceraian dan bahkan poligami.
Perceraian merupakan salah satu kasus yang sering terjadi dalam
masyarakat. kasus ini bukan hanya di Indonesia tapi juga diseluruh dunia.
Perceraian adalah berakhirnya sebuah pernikahan atau pasangan
suami-isteri yang tidak ingin lagi melanjutkan pernikahannya. Ada beberapa
penyebab terjadinya perceraian, misalnya masalah ekonomi, sering terjadi
pertengkaran, salah satu dari pasangan (isteri/suami) merasa pasanganya
mempunyai kekurangan yang tidak dapat diterima, krisis moral dalam
tanpa dilandasi oleh cinta, dan kemandulan (Infertilitas) atau keadaan
pasangan yang tidak bisa melahirkan anak.
Di Indonesia ada beberapa kasus perceraian yang terjadi saat ini,
yang melibatkan para publik figureatau para artis papan atas yang disorot
oleh media massa. Namun kasus perceraian tidak hanya melanda
orang-orang terkenal saja, masyarakat biasa juga mengalami perceraian. Akan
tetapi perceraian yang dialami oleh masyarakat biasa tidak selalu tersiar
seperti kasus perceraian yang dialami oleh para artis maupun para pejabat
tanah air.
Kasus perceraian sering mewarnai kehidupan rumah tangga
masyarakat Indonesia yang dapat dilihat berdasarkan data yang diterima
oleh Republika Online (ROL) dari kemetrian agama yang disampaikan
oleh kepala subdid kepenghuluan, Anwar Saadi dalam kurun waktu
2011-2013. Pada tahun 2011, masyarakat yang menikah sebanyak 2.319.821
sedangkan perceraian terjadi sebanyak 158.119 atau berkisar sekitar 6,8
persen. Ditahun berikutnya yaitu tahun 2012 terjadi pernikahan sebanyak
2.291.264 tetapi kasus perceraian mencapai angka 372.577 atau berkisar
16,2 persen. Sedangkan pada tahun 2013 terjadi 2.218.130 pernikahan dan
perceraian ditahun tersebut sebanyak 324.527 atau menyentuh berkisar
sekitar 14,6 persen (http://republika.co.id/).
Jika dilihat kembali salah satu penyebab terjadinya perceraian dan
yaitu kemandulan (Infertilitas) atau keadaan pasangan yang tidak bisa
keluarga melalui perkawinan yaitu antara lain agar dapat memiliki
keturunan. Keinginan untuk memiliki keturunan dapat diwujudkan melalui
perempuan, karena kaum perempuan memiliki kodrat untuk mengandung
dan melahirkan anak.
Anak dalam sebuah keluarga yang telah diikat dalam sebuah
pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan merupakan
sesuatu yang sangat diidam-idamkan. Pertimbangan pasangan suami-isteri
untuk memiliki anak antara lain sebagai kebanggaan tersendiri dalam hal
status sosial, karena anak sebagai penerus marga, keinginan untuk
memiliki ahli waris atas harta atau materi yang dimiliki, sebagai pihak
yang penopang dimasa tua dan lain sebagainya. Anak juga merupakan
sumber kebahagiaan sehigga dapat mencegah pasangan suami isteri untuk
bercerai. Jadi anak merupakan bagian terpenting dalam suatu unsur
keluarga (Ihromi. T, 1999:226)
Tidak berbeda halnya dalam masyarakat Nias yang dengan sistem
kekeluargaan yang mengikuti garis keturunan ayah atau Patrilinear.
Keberadaan anak terutama anak laki-laki, juga sangat penting dan
merupakan keinginan yang cukup populer dikalangan masyarakat tersebut.
Karena alasan-alasan diatas maka pasangan suami – isteri akan berupayah
untuk memiliki anak.
Selain alasan diatas, ada juga norma dan nilai yang dikandung
dalam keluarga maupun masyarakat agar memiliki anak, nilai- nilai
Misalnya norma adat dalam masyarakatNias mewajibkan anak atau
keturunan suatu keluarga kelak harus mengurus orang tua saat di usia
senja.
Adakalanya karena faktor tertentu dalamsuatu keluarga, khususnya
pasangan suami- isteri yang telah menikah dalam waktu yang cukup lama
tidak juga memiliki anak.Ketidakhadiran anak bisa saja menimbulkan rasa
rendah diri serta rasa bersalah dalam diri pasangan suami-isteri tersebut.
Terkadang juga ketidakhadiran anak dalam keluarga sering menimbukan
cemooh dan pembicaraan negatif oleh orang-orang dilingkungan baik
keluarga, maupun dari luar keluarga. Hal ini semakin memperburuk
keadaan pasangan suami-isteri yang tidak memiliki anak tersebut dan
mengarahkan pasangan kedalam perasaan negatif, seperti perasaan gagal
dalam kehidupan keluarga tersebut.
Tekanan dalam diri pasangan suami isteritimbul manakala melihat
kebahagiaan keluarga yang punya anak. Keinginan sama seperti pasangan
suami-isteri lain yang memiliki anak semakin kuat, apalagi anggapan
bahwa keluarga yang lengkap adalah keluarga yang memiliki anak.
Keputusasaan dan perasaan gagal yang dialami oleh pasangan tersebut
mungkin saja dapat mempengaruhi tindakan-tindakan pasangan
suami-isteri yang tidak memiliki anak yang berdampak timbulnya konflik.
Tindakan tersebut seperti perceraian, poligami, dan lain sebagainya.
Argyo Demartoto, 2008 dalam penelitiannya yang berjudul Dampak
dilakukan di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta menyatakan bahwa
semakin kuatnya tuntutan normatifpasangan untuk memiliki keturunan,
memaksa pasangan infertil tidak sabar untukmelakukan pengobatan
ataupun memastikan sebab dari kegagalan melahirkanketurunan. Dalam
kasus pasangan infertil di Banjarsari menunjukkan adanyapasangan yang
hanya berumur 10 bulan sampai 3 tahun. Padahal mereka
belummengetahui sebab-sebab ketidaksuburan itu.
Kebanyakan pasangan kurangmelakukan pengobatan karena malu
untuk melakukan cek medis, bahkan sudahada asumsi bahwa pihak
perempuan yang mandul.Infertilitas membawa implikasi psikologis,
terutama pada perempuan. Sumber tekanan sosio-psikologis pada
perempuan berkaitan erat dengan kodratdeterministiknya untuk
mengandung dan melahirkan anak. Sementara pada laki-lakiadalah
perasaan sedih, kecewa, kecemasan dan kekhawatiran menghadapimasa
tua.
Pada masyarakat yang patriarkis Jawa laki-laki diidentitaskan
sebagaimahkluk yang lebih kuat daripada perempuan. Anak merupakan
sumberkejantanan, kekuatan dan kapasitas seksual laki-laki. Persepsi hasil
konstruksisosial atas identitas gendernya membuat laki-laki merasa rendah
ketika tidakmempunyai anak, sehingga kesalahan dilimpahkan pada pihak
perempuan.Kasus perceraian akibat infertilitas di Banjarsari menunjukkan
bahwa telahterjadi ketidakadilan gender dimana pihak laki-laki lebih
Dalam UU RI nomor 1 tahun 1974 juga yang mengatur tentang
perkawinan. Dalam pasal 3 tentang jumlah isteri untuk seorang suami dan
jumlah suami untuk seorang isteri yaitu hanya seorang.Namun dalam pasal
4 ayat 2(dua), menyebutkan bahwa seorang suami dapat diberi izin untuk
memperoleh isteri lebih dari seorang apabila: Isteri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai isteri, Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan Isteri tidak dapat melahirkan
keturunan (UU RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan).
Keadaan isteri yang tidak dapat melahirkan keturunan yaitu pada
poin terakhir pasal 4 ayat 2 (dua) menyebabkan adanya peluang suami
dalam suatu keluarga untuk memiliki isteri lagi. Hal ini mungkin saja
memicu terjadinya konflik dalam rumah tangga. Ditambah lagi dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia pasal 19 Nomor 9 Tahun
1975dipoin (e) atau ayat 5(lima) menyebutkan bahwa perceraian dapat
terjadi apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
Dapat diasumsikan bahwa ketidakmampuan menjalankan fungsi dan
kewajiban penuh sebagai suami/isteri mengacu pada tidak dapat
memberikan keturunan. Berarti perceraian antara pasangan suami-isteri
karena alasan tidak memiliki anak dapat terjadi (PP RI pasal 19 Nomor 9
Tahun 1975).
Namun pada observasi yang telah dilakukan oleh peneliti, pasangan
anak cenderung tidak melakukan poligami atau menikah kembali dengan
orang lain karena alasan tersebut. Keadaan tidak memiliki anak juga tidak
menyebabkan pasangan tersebut bercerai. Bahkah ada pasangan
suami-isteri yang tetap bersama sampai usia senja.
Hal ini menyebabkan penulis ingin melihat bagaimana pasangan
suami isteri yang tidak memiliki anak dapat mempertahankan ikatan
perkawinannya, ketika mereka ingin memiliki anak dan ada beberapa cara
seperti poligami atau bercerai dibenarkan dari beberapa sudut pandang.
Salah satunya dari segi peraturan pemerintah yang mengatur tentang
perkawinan. Dalam hal ini, penulis ingin melihat seberapa kuatkah
integrasi sosial mengikat pasangan suami-isteri tersebut, sehingga
keadaan tidak memiliki anak dalam keluarga tidak menyebabkan
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana strategi
pasangan suami-isteri yang tidak memiliki anak dalam mempertahankan
ikatan perkawinannya di Kota Gunung Sitoli, Nias?
1.3. Tujuan Penelitian
Menurut Bungin (2007:77) tujuan penelitian dibuat untuk
mengungkapkan keinginan peneliti dalam suatu penelitian. Sehingga
Adapun tujuan penelitian ini dilakukan antara lain:
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini dilakukan adalah untuk dapat
memahamistrategipasangan suami-isteri yang tidak memiliki anak dalam
mempertahankan ikatan perkawinan di Kota Gunung Sitoli, Nias.
b. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah mendepskripsikan secara kualitatif
kepada masyarakat tentang pandangan-pandangan orang terhadap
pasangan suami-isteri yang tidak memiliki anak.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang
kondisi keluarga yang tidak memiliki anak.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi disiplin ilmu sosiologi,
terkhusus dalam sosiologi keluarga.
b. Manfaat praktis
1. Memberikan informasi atau gambaran pada masyarakat tentang
strategi pasangan suami-isteri yang tidak memiliki anak dalam
mempertahankan ikatan perkawinan
2. Sebagai bahan rujukan atau pertimbangan dan masukan untuk
penelitian sejenis yang akan dilaksanakan.
1.5. Defenisi Konsep.
a. Strategi
Strategi merupakan cara atau upaya yang digunakan untuk
mencapai suatu tujuan berdasarkan analisa terhadap faktor internal
dan faktor eksternal yang terjadi. Strategi dapat diterapkan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
b. Perceraian
Perceraian adalah berakhirnya suatu ikatan pernikahan atau
pekawinan. Kedua belah pihak tidak lagi melanjukan hubungan
suami-isteri setelah cerai. Perceraian dalam penelitian ini mengacu pada cerai
hidup.
c. Poligami
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari
seorang suami atau lebih dari satu orang isteri. Alasan untuk
memperoleh keturunan dapat menyebabkan pasangan melakukan
poligami, khususnya poligami yang dilakukan oleh suami (poligini).
d. Integrasi Sosial
Integrasi sosial secara sosiologis adalah proses penyesuaian
diantara unsur-unsur sosial yang saling berbeda seperti norma, nilai,
pranata, sistem religi, peranan sosial, lembaga sosial dan lain
sebagainya yang menghasilkan pola kehidupan yang sesuai dan serasi
yang fungsinya bagi masyarakat.
Integrasi Sosial Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
disebutkan bahwa integrasi adalah pembauran sesuatu yang tertentu
hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Istilah pembauran
tersebut mengandung arti masuk ke dalam, menyesuaikan, menyatu,
atau melebur sehingga menjadi seperti satu.
Dengan demikian, integrasi merujuk pada masuk, menyesuaikan,
atau meleburnya dua atau lebih hal yang berbeda sehingga menjadi
seperti satu. Dari uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang
berbeda tersebut dapat meliputi perbedaan kedudukan sosial, ras,
etnik, agama, bahasa, kebisaaan, sistem nilai, dan norma.
e. Infertilitas/Kemandulan
Infertilitas adalah kondisi atau keadaan dimana pasangan
suami-isteri yang telah melakukan hubungan seksual mengalami kegagalan
untuk hamil yang berarti tidak dapat memiliki anak. Infertilitas juga
dapat disebut dengan kemandulan.
f. Keluarga
keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri dari dua
orang atau lebih yang memiliki hubungan yang berdasarkan ikatan
perkawinan atau pertalian darah, dan juga pengangkatan atau adopsi.
Mereka hidup dalam suatu rumah tangga dibawah asuhan seorang
kepala rumah tangga dan berinteraksi satu sama lain. Setiap anggota
keluarga menjalankan peranannya masing-masing.
g. Anak
Anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara
seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Status anak tetap
melekat pada seseorang ketika dilahirkan oleh seorang perempuan
baik memalui pernikahan maupun tanpa pernikahan. Namun dalam
penelitian ini, status anak yang dimaksud adalah anak kandung yang
h. Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan antara seorang perempuan dan
seorang laki-laki dalam masyarakat untuk membentuk suatu keluarga
dan akan melaksanakan fungsi dan peran masing-msing.
i. Masyarakat Nias
MasyarakatNias adalah suku bangsa atau kelompok masyarakat
yang mendiami pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Gugusan
pulau-pulau yang membujur di lepas pantai barat Sumatera yang berbatas
Samudra Hindia. Namun saat ini masyarakat etnis Nias saat ini juga
telah ada di daerah luar pulau Nias, mereka merantau tinggal dan
menetap di daerah tersebut.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat
dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum
disebut fondrakö (norma adat Nias) yang mengatur segala segi