BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini mengambil topik mengenai ekonomi moral usaha pengolahan mie rajang yang dijalankan oleh orang Jawa di Desa Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai. Moral dijelaskan oleh Wilk (Ahimsa-Putra, 2003:29) sebagai
sesuatu yang menentukan atau berpengaruh terhadap perilaku dan pilihan-pilihan yang dijatuhkannya. Lebih lanjut lagi Wilk menjelaskan bahwa moral ekonomi
menjadi sesuatu yang dianggap penting karena di dalamnya terdapat motivasi-motivasi seseorang yang dibentuk oleh nilai dan kepercayaan (culturally specific belief system and values). Motivasi yang dimiliki oleh pelaku ekonomi salah
satunya dibentuk oleh nilai. Nilai budaya didefenisikan oleh Koentjaraningrat (1987:85) terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebagian
besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap mulia. Sistem nilai itu sendiri dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Setiap budaya memiliki nilai-nilainya sendiri, dan nilai tersebut yang mereka ikuti dan jalankan dalam
kehidupan mereka.
Ekonomi pengolahan mie rajang di Pegajahan dilakukan oleh suku bangsa
Jawa. Nilai-nilai kebudayaan Jawa sedikit banyaknya ada dalam tindakan-tindakan ekonomi yang mereka lakukan. Seperti halnya orang Cina yang menggunakan kebudayaan mereka dalam mengolah usaha mereka, nilai-nilai yang
kebudayaan yang mereka miliki. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Hefner (1999: 179-184) yang menerangkan bahwa orang cina tetap membawa nilai-nilai
budaya mereka dimana mereka berusaha, bahkan mereka sukses di negeri orang dalam menjalankan usaha dengan membawa nilai-nilai yang menjadi ciri khas
orang Cina seperti tekun, hemat, tahan menderita, percaya akan kemampuan sendiri dan berani mengambil resiko. Lantas apakah nilai-nilai Jawa ada dalam usaha mie rajang serta nilai-nilai budaya Jawa yang seperti apa yang diberlakukan
oleh pelaku usaha mie rajang untuk menjalankan usaha mereka.
Nilai berekonomi yang tidak sepenuhnya mencari keuntungan sangat
berbeda dengan pola ekonomi yang kebanyakan diterapkan di negara berkembang yaitu pola ekonomi kapital atau kapitalisme (Suseno, 2005: 4). Kapitalisme sangat mementingkan keuntungan dari sebuah usaha. Dengan begitu, sistem yang
bekerja hanya dibuat dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan, maka ekonomi kapitalisme erat kaitannya dengan eksploitasi. Ekonomi kapitalisme ini
banyak diterapkan terutama dinegara-negara berkembang (Suseno, 2005:4). Namun berbeda dengan ekonomi kebanyakan, ekonomi yang diberlakukan oleh para pengusaha pengolahan ubi di Pegajahan lebih mengarah kepada ekonomi
moral, yang memiliki nilai moral tersendiri dalam menjalankan dan mengembangkan usaha.
Dalam perekonomian yang umum, pola bekerja diatur sedemikian rupa dengan pola yang tetap dan juga aturan yang jelas. Pengaturan tersebut dilakukan untuk mendudukkan apa-apa saja kewajiban serta hak yang diperoleh pekerja
mereka juga diatur dengan jelas. Dengan begitu pelaku-pelaku usaha yang ada dalam perekonomian seperti itu bekerja dengan mengikuti aturan yang ada.
Contoh perekonomian yang seperti itu adalah usaha yang sudah berbadan hukum, seperti pabrik pembuatan minyak makan, maupun pabrik pembuatan jajan
anak-anak.
Perekonomian yang terjadi di usaha mie rajang yang saya tulis ini juga memiliki aturan-aturan untuk mengatur apa hak dan kewajiban pekerja dan
pemilik usaha. Namun aturan tersebut tidak tertulis dan tidak bersifat kaku. Tidak bersifat kaku maksudnya adalah dapat berubah dan berganti tergantung kepada
situasi yang sedang terjadi. Dengan kata lain aturan yang ada di sana adalah fleksibel.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa usaha pengolahan mie rajang tidak
menggunakan pola kapitalisme, sementara itu banyak usaha lain yang menggunakan pola tersebut. Dikelilinginya usaha olahan mie rajang dengan usaha
kapitalisme ternyata tidak membuat usaha pengolahan mie rajang menjadi tidak bertahan. Mereka tetap eksis dan tetap bisa menjalankan usaha mereka. Bahkan usaha tersebut dijadikan sebagai sumber mata pencaharian utama bagi beberapa
pemilik usaha.
Sementara itu industri olahan ubi kayu di Desa Pegajahan masih tergolong
industri rumahan, apabila mengacu kepada jumlah tenaga kerjanya. Jumlah tenaga kerja dari industri ubi kayu ini paling banyak yaitu 5 orang. Dalam konsep Foster industri seperti ini disebut sebagai industri peasant. Perajin ubi juga memiliki
kompleks karena melibatkan banyak pihak, telah mengenal uang dan menggunakan pasar untuk menukarkan hasil produksinya (Foster, dalam
Ahimsa-Putra, 2003:73). Lebih dipertegas lagi dengan pernyataan yang diberikan oleh Suseno (2005:3) bahwa usaha mikro dan kecil dan menengah ternyata lebih
mampu bertahan ditengah krisis, bila dibandingkan dengan usaha besar yang terpuruk ketika krisis terjadi. Lebih lanjut Suseno menjelaskan bahwa usaha mikro kecil dan menengah memiliki daya tahan terhadap krisis dikarenakan tiga
hal, pertama UMKM menghasilkan barang konsumsi dan Jasa yang dekat dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, pelaku usaha UMKM umumnya memanfaatkan
sumber daya lokal, baik itu sumber daya manusia, peralatan, bahan baku hingga modal. Ketiga, bisnis UMKM tidak ditopang dana pinjaman dari bank, melainkan dana sendiri. Artinya usaha kecil seperti usaha mie rajang memiliki kemampuan
bertahan lebih baik jika dibandingkan dengan usaha besar.
Wilayah Desa Pegajahan tempat para pemilik usaha mie rajang berada
dikelilingi oleh wilayah perkebunan seperti PTPN II Kebun Melati, PT Lonsum Rambung Sialang dan PT Charoen Pokphand, selain itu banyak wilayah pertanian baik itu padi maupun ubi kayu. Dengan keadaan wilayah seperti itu banyak
pekerjaan yang bisa mereka kerjakan selain mengolah ubi kayu menjadi mie rajang. Namun kenyataanya banyak masyarakat Pegajahan yang memilih untuk
mengolah ubi kayu menjadi mie rajang maupun olahan lainnya. Suku Bangsa Jawa terkenal dengan motto mereka yaitu “dahulukan selamat”, seperti penelitian Scott mengenai petani di jawa (1976:53). Orang Jawa yang mementingkan
hal. Lantas apakah pekerjaan mengolah ubi kayu mampu memberikan jaminan bagi mereka.
Dalam tulisan ini saya menjelaskan mengenai moral pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Siapa-siapa saja yang mempengaruhi berjalannya usaha
mereka, serta bagaimana peran mereka. Kesemuanya itu diharapkan agar dapat mengetahui apa strategi yang mereka gunakan dalam usaha yang mereka lakukan terutama dalam kaitannya dengan suku bangsa yang mereka miliki yaitu suku
bangsa Jawa.
1.2. Tinjauan Pustaka
Industri opak ubi merupakan kegiatan perekonomian masyarakat di Pegajahan. Dalam ilmu antropologi ekonomi memiliki beberapa pengertian. Kaum formalis menjelaskan bahwa ekonomi diartikan sebagai proses
maksimalisasi. Kaum formalis mengartikan bahwa ekonomi sebagai tindakan memilih diantara tujuan-tujuan yang tidak terbatas jumlahnya, dengan sarana yang
terbatas (Barlett, dalam Ahimsa Putra:2003:17). Sementara itu kaum substantivis mengartikan ekonomi secara substansial diartikan sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup ditengah lingkungan alam dan sosialnya. Kelompok
substantivis melihat ekonomi sebagai cara bagaimana manusia memenuhi kebutuhan mereka akan barang dan jasa. Pendekatan ini berbicara mengenai apa
yang sebenarnya, bukan apa yang seharusnya (Sairin, dkk:2002:104). Ekonomi substantivis yang digunakan untuk menjelaskan perekonomian masyarakat sederhana selanjutnya dijelaskan oleh Firth (Ahimsa Putra:2003:25) bahwa
menyatu dengan bentuk-bentuk aktifitas sosial lainnya. Sependapat dengan pernyataan Firth, Polanyi (Sairin:2002: 113) mengatakan bahwa ekonomi adalah
gejala yang menyatu dengan sistem sosial. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat berdampingan dengan
aktivitas sosial bahkan menyatu dengan sistem sosial masyarakat.
Dalam konteks jenis kegiatan ekonomi masyarakat, kegiatan ekonomi para perajin ubi di Pegajahan dikatakan sebagai kegiatan industri. Kegiatan industri itu
sendiri diartikan sebagai aktivitas manusia dibidang ekonomi produktif untuk mengolah bahan mentah menjadi barang yang lebih bernilai untuk dijual. Sebagai
bagian dari sistem perekonomian, kegiatan industri identik dengan proses produksi yang untuk keberlangsungannya perlu ditunjang dengan pengelolahan serta pemasaran hasil-hasil produksi. Sebuah sistem industri terdiri dari
unsur-unsur fisik dan unsur-unsur perilaku manusia. Unsur pertama berupa tempat yang meliputi kondisi, peralatan, dan bahan mentah, sedang unsur perilaku manusia
meliputi komponen tenaga kerja, keterampilan, tradisi, transportasi, dan komunikasi, serta keadaan pasar dan politik. Perpaduan antara unsur fisik dan perilaku manusia membuat aktivitas industri harus melibatkan berbagai faktor
(Sari, JurnalTeknik PWK 3 Nomor 1: 2014).
Dalam konteks yang lebih kecil yaitu wilayah pedesaan, Soedjito (1987:
102) menjelaskan bahwa di daerah pedesaan terdapat dua kategori industri. Pertama, industri yang labour intensive, yakni yang modal utamanya adalah tenaga kerja dan bahan mentahnya diperoleh dari pekarangan sendiri atau tempat
memerlukan bahan baku dari luar, baik dari luar daerah ataupun luar negeri. Pada jenis industri yang pertama, yakni labour intensive, sederetan rumah tangga yang
berdekatan melakukan jenis pekerjaan yang sama secara bersama-sama. kecenderungan yang bersifat sama pada labour intensive ini adalah berada dalam
suatu kawasan yang saling berdekatan, mengerjakan jenis pekerjaan yang sama secara bersama-sama serta tidak mengenal spesialisasi. Satu hal yang menarik dari jenis industri pedesaan baik yang labour intensive maupun capital intensive
adalah bahwa industri-industri ini terkumpul dan terpusat di suatu dusun atau bagian dari pedusunan. Berdasarkan penjelasan Soedjito industri pengolahan ubi
di Pegajahan termasuk kedalam labour intensive.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa industri pengolahan ubi di Pegajahan termasuk kedalam industri rumah tangga. Widyastuti (Ahimsa-Putra
2003:65), menjelaskan bahwa industri rumah tangga dikelompokkan kedalam industri kecil. Ia menerangkan pula beberapa ciri umum dari industri kecil yakni:
a) merupakan industri rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja kurang dari lima orang; b) menggunakan teknologi yang sederhana, tidak banyak menggunakan mesin; c) bahan baku yang digunakan umumnya berasal dari Desa setempat atau
Desa-Desa sekitar, dan d) pemasaran lebih banyak dilakukan oleh tengkulak. Produktivitas industri kecil cenderung rendah demikian juga kualitas dan
kapasitasnya. Dengan demikian sangat sulit bagi industri pedesaan untuk bersaing dengan industri modern lainnya. Selain itu, industri kecil juga memiliki karakteristik berupa tempat usaha dirumah-rumah pengusaha, peralatan yang
karya, keterampilan kerja karyawan masih rendah, dan hubungan kerja antara pemilik dengan karyawan bersifat kekeluargaan (Depnaker, dalam Ahimsa
Putra:2003:67).
Ekonomi moral merupakan sebuah sebutan untuk menerangkan dalam
aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat, ada moral yang berlaku di dalamnya. Bagaimana moral menentukan tindakan-tindakan manusia dijelaskan oleh Schejtman (Ahimsa-Putra, 2003: 29). Schejtman menjelaskan bahwa pola
perilaku petani dalam berusaha tidak sama dengan wirausahawan. Wirausahawan memandang pengambilan resiko sebagai sesuatu yang bergandengan dengan
keuntungan sebagai fungsi-fungsi probabilitas. Sementara itu petani tidak menempatkan resiko sebagaimana wirausahawan, petani lebih condong untuk tidak berani mengambil resiko. Pernyataan Schejtman didukung oleh Scott ( 1976:
53 ) yang terkenal dengan hasil penelitiannya mengenai petani di Asia tenggara. Scott mengatakan bahwa petani di Asia Tenggara menggunakan motto “dahulukan selamat”, petani dalam prinsipnya berusaha melimpahkan resiko
ekonomi nya kepada lembaga-lembaga lain agar mereka memiliki keamanan subsistensi dengan penghasilannya.
Lebih lanjut Rahardjo (Ahimsa Putra, 2003:142) menjelaskan bahwa orientasi nilai yang menjadi penghalang kemajuan industri kecil adalah “asal bisa makan besok”, “asal mudah”, “asal bisa selamat”, memikirkan kepentingan
sendiri dan tidak ada keinginan untuk maju, tidak menghargai dan tidak menyadari nilai kreativitas, tidak berambisi untuk tumbuh, puas dengan hasil yang
semacam ini muncul karena perusahaan kecil hanya berfungsi melayani hidup yang sederhana subsisten yang tidak berorientasi pada kemajuan. Semua
persoalan ini pada dasarnya menyangkut kultur usaha yang belum dimiliki oleh setiap calon pengusaha.
Penelitian yang dilakukan oleh Huda (Ahima Putra, 2003:69) mengenai industri kecil tas dan koper di Sidoarjo, Jawa Timur, yang berusaha melihat keterkaitan perkembangan industri kecil dengan etos kerja pengusaha dan
pembinaan yang dilakukan pemerintah. Etos kerja disini tercermin dari istilah
panas gawe, klaim, dicap jikin1, yang merupakan sikap kerja keras, memiliki
pandangan kedepan, kreatif, bertanggung jawab serta memiliki sikap hidup hemat yang mempengaruhi kemajuan usaha ini.
Ekonomi moral yang berlaku pada usaha konfeksi di Mlangi yang diteliti
oleh Destha (Ahimsa-Putra, 2003: 32-34 ). Destha menemukan sebuah strategi yang dilakukan oleh pengusaha dalam mempertahankan usahanya dengan
menggunakan strategi meminjam dan ngalap nyaur (mengambil terlebih dahulu bahan baku yang diperlukan dari pedagang kain agar dapat berproduksi, pinjaman tersebut dibayar ketika pengusaha sudah memiliki modal untuk usaha lagi.
Ekonomi moral juga terlihat pada komunitas Islam di Cina yang diteliti oleh Hefner (1999:146). Penelitian Hefner menerangkan bahwa orang Islam di Cina
berbisnis dengan mengedepankan moral-moral agama mereka. Hal yang mengulik perhatian saya dalam buku Hefner adalah subbab berjudul Menjadi Kaya Tidak Begitu Mulia. Hefner menerangkan bahwa orang Islam di Cina berbisnis secara
1
Panas Gawe: (bersemangat dalam bekerja) maksudnya adalah Kerja keras Klaim: memiliki pandangan ke depan
baik dan lihai. Kaum muslimin di Cina dikenal sebagai pedagang yang mengkhususkan diri dibidang transportasi, perdagangan wol, kerajinan permata,
dan warung-warung makanan. Kaum muslimin di Cina memang memiliki kekayaan, mereka dikatakan berhasil karena memiliki rumah yang bertingkat,
bahkan hingga bertingkat empat. Namun dalam sebuah penjelasan dikatakan bahwa meskipun mereka kaya, tetapi kekayaan mereka tidak untuk mereka pribadi melainkan untuk melayani masyarakat dan keyakinan agamanya, sehingga
kekayaan tidak menjadi mulia bagi mereka jika mereka tidak bersedekah dan memberikan sebagian harta mereka untuk agamanya (Hefner, 1999: 146-163).
Ekonomi moral telah dijelaskan diatas bahwa dimiliki oleh manusia yang memiliki kepercayaan. Kepercayaan yang dimiliki oleh manusia memiliki nilai-nilai mengenai apa yang benar dan apa yang salah seperti apa yang dijelaskan oleh
Hefner.
Selain pengaruh agama dalam moral manusia, kebudayaan yang dimiliki
oleh manusia ternyata memiliki pengaruh terhadap tindakan-tindakan yang akan dilakukan terutama dalam hal tindakan ekonomi. Hefner (1999:285) juga meneliti mengenai pekerja yang diikutsertakan dalam sebuah usaha. Bagi masyarakat Cina,
peranan laki-laki dalam bekerja menjadi penting dan sangat dihormati bagi anggota keluarga yang lain. Namun dalam menjalankan usahanya seorang ayah
mempergunakan tenaga istri dan anak-anak mereka untuk bekerja. Penggunaan anggota keluarga untuk menjalankan usaha dilakukan untuk mempermudah pengaturan serta menghemat biaya keluar. Selain itu hal yang penting adalah
Praktek penggunaan tenaga anggota keluarga dalam usaha juga diteliti oleh Wong (Suwarsono & Alvin, 1994: 62) mengenai industri pemintalan kapas.
Dalam indutri tersebut Wong mendapati adanya praktek manajemen paternalistik2. Dalam usaha tersebut pekerja merupakan keluarga. Wong
mengatakan bahwa metafora keluarga telah cukup memberikan alasan untuk absahnya patron-klien antara pekerja dan pemilik usaha. Manajemen paternalistik memiliki kebajikan dengan membantu usahawan untuk mempertahankan tenaga
kerja yang ada dalam industri yang sangat fluktuatif. Menyikapi mengenai penggunaan keluarga dalam usaha lebih lanjut wong (Suwarsono & Alvin, 1994:
61) menjelaskan di negara Cina dilihat sebagai kekuatan dahsyat tradisional yang menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin kerja, menghalangi proses seleksi tenaga kerja dipasar bebas, mengurangi insentif individual untuk investasi,
menghalangi tumbuhnya proses berpikir rasional, dan merintangi tumbuhnya norma-norma bisnis universal.
Penggunaan keluarga sebagai tenaga kerja dalam usaha juga berlaku bagi masyarakat di Kalimantan Barat yaitu masyarakat Kantu dalam bekerja di ladangnya. Penelitian yang dilakukan oleh Dove (1988:65) ini menjelaskan
adanya parisipasi keluarga terhadap kegiatan perladangan. Semua anggota keluarga ikut berpartisipasi dalam pekerjaan perladangan, namun bagi perempuan
2
dan remaja melakukan pekerjaan yang ringan, sementara lelaki dewasa melakukan pekerjaan yang sulit.
Berbicara mengenai ekonomi moral sepertinya dalam realitasnya mengandung konsep lain yaitu konsep modal sosial. Modal sosial yang saya
maksud adalah modal sosial yang didefenisikan oleh Bourdieu. Bourdieu (1986) menjelaskan bahwa ada 3 dimensi modal yang erat kaitannya dengan kelas sosial, yaitu yang pertama adalah modal ekonomi, modal kultural dan modal sosial.
Modal sosial yang dimaksud adalah relasi sosial yang dapat dimanfaatkanseseorang dalam mengejar kepentingannya. Maksudnya adalah
seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan jaringan atau hubungan untuk mendapatkan kepentingannya atau memperlancar keperluannya.
Ekonomi moral muncul sebagai sebuah kritik terhadap ekonomi kapital
yang diperkenalkan oleh Marx. Dalam hal ini ada ekonomi kapital dikritik oleh ekonomi liberal, sementara ekonomi moral muncul dari paradigma yang
diperkenalkan oleh ekonomi liberal. Meillassoux (Mulyanto & Khu, 2014:109) seorang antropolog Prancis memberi penjelasan ekonomi liberal menolak pengertian “yang ekonomi” sebagai tindak perhitungan untung rugi individu
didasarkan kepada rasionalitas tujuan dalam memaksimalkan keuntungan yang bisa diambil dari barang-barang langka pemenuh kebutuhan dengan cara-cara
terbatas pula. Dalam konsep ekonomi diatas pola hidup dalam kolektif irasional, atau bertopang kepada tradisi dan adat-istiadat tidak termasuk kedalam ekonomi.
Sementara itu lanjut Meillassoux (Mulyanto & Khu, 2014:110) kaum
tradisional sebagai “yang ekonomi”. Hal tersebut didasarkan pada pandangan
bahwa semua manusia adalah mahluk berasionalitas tujuan, manusia adalah homo
economicus yang menghitung untung rugi dari tiap tindakannya dalam rangka memaksimalkan keuntungan yang didapat disetiap kesempatan. Pembicaraan
mengenai ekonomi kapital maupun liberal erat kaitannya dengan adanya eksploitasi, Meillasoux sendiri menerangkan bahwa teori ketergantungan menganggap bahwa eksploitasi negeri-negeri pinggiran oleh pusat ialah melalui
ketidaksetaraan pertukaran. Lebih lanjut Ia menjelaskan bahwa pertukaran yang dimaksud merupakan pertukaran yang menciptakan nilai3.
Pengambilan nilai lebih dari tenaga kerja selanjutnya disebut sebagai eksploitasi. Mulyanto dan Ermandara menjelaskan:
“ketika pekerja bekerja selama delapan jam, dia menghasilkan dua jenis nilai. Pertama, nilai yang setara dengan upah yang diterumanya. Sebut saja ini „nilai-perlu‟, nilai yang perlu dihasilkan pekerja untuk menggantikan nilai yang dbayarkan pengusaha kepadanya. Kedua, dia juga menghasilkan nilai yang lebih dari nilai upah yang dibayarkan pengusaha. Sebut saja ini „nilai lebih‟. 5 jam pertama disebut waktu kerja-perlu, maka jam-jam berikutnya setelah jam kelima terpenuhi, pekerja dipaksa harus tetap mencurahkan tenaganya untuk menghasilkan nilai lebih. Pengambilan nilai yang dihasilkan setelah tercapainya proses menghasilkan nilai perlu sepanjang waktu kerja perlu inilah yang disebut dengan eksploitasi” (Mulyanto & Ermandara, 2015: 13).
Dalam kasus ini ada beberapa penelitian sebelumnya mengenai ubi kayu serta pengolahan ubi kayu. Pertama penetilian yang dilakukan oleh Berutu (2010) yang
meneliti mengenai prospek pengembangan usaha keripik ubi di Desa Sukasari Kecamatan Pegajahan Kabupaten Sergei. Penelitian yang menggunakan pendekatan analisis finansial dan agribisnis ini memperoleh hasil bahwa
3
pendapatan pelaku usaha keripik ubi tidak tinggi, pada saat dilakukannya penelitian pendapatan yang diperoleh yaitu 650.000 per bulan. Selain itu usaha
keripik ubi dikatakan layak untuk dilakukan di wilayah tersebut, indikator kelayakan yaitu ratio investasi. Potensi usaha keripik ubi di Desa Sukasari
memiliki prospek yang baik. Dikatakan pula bahwa adanya kekurangan bahan baku pembuatan keripik ubi, namun modal dan tenaga kerja cukup untuk menjalankan usaha keripik ubi.
Orang Jawa bila diartikan adalah orang yang berasal dari pulau Jawa, namun tidak semua daerah di Pulau Jawa merupakan asal orang Jawa. Wilayah
yang merupakan asal orang Jawa adalah seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2007:329). Dikatakan lagi oleh Kodiran pusat kebudayaan Jawa adalah Yogyakarta dan Surakarta.
Asal orang Jawa yang memang dari pulau Jawa, namun orang Jawa tidak hanya dapat dijumpai di pulau Jawa saja. Di Pulau Sumatera sendiri orang Jawa
banyak dijumpai, bahkan komposisi dalam komposisi penduduk orang Jawa memiliki jumlah yang cukup banyak bila dibandingkan dengan penduduk asli Sumatera. Data sensus penduduk tahun 2010 menyatakan bahwa orang Jawa yang
tinggal di Sumatera Utara mencapai 40,02%. Angka yang tinggi bila dibandingkan dengan etnis lain, misalnya etnis melayu sebagai etnis asli Sumatera
Utara yang hanya mencapai 2,27%4.
Banyaknya orang Jawa atau Suku Bangsa Jawa yang ada di Sumatera tentu saja bukan kebetulan. Orang Jawa mulai datang ke Sumatera pada tahun 1880
untuk menjadi koeli yang dibawa oleh calo buruh untuk dijadikan koeli kebun di Sumatera. Alasan mereka kepada orang Jawa yang hendak dibawa untuk bekerja
adalah mereka akan bekerja di Johor Malaysia. Namun kenyataannya mereka dijadikan koeli kebun. Ledakan orang Jawa yang datang ke Sumatera terjadi pada
tahun 1900-an karena ada liberalisasi ekonomi5 yang berpusat di Sumatera Timur. Mulai dari kedatangan orang Jawa ke Sumatera mau tidak mau mereka harus tetap tinggal karena mereka sangat miskin. Dengan begitu mereka menyebar di seluruh
Sumatera serta beranak cucu di Sumatera.
Setiap suku bangsa memiliki ciri khas yang membedakannya dengan suku
bangsa yang lain, begitu pula dengan suku bangsa Jawa. Ciri khas yang dimiliki oleh suku bangsa Jawa seperti yang dijelaskan oleh Kodiran adalah sebagai berikut: bahasa yang dipergunakan oleh suku bangsa Jawa ada dua macam yaitu
bahasa Jawa Ngoko dan Krama6. Selain bahasa yang perlu diketahui dari suku bangsa Jawa adalah sistem kekerabatan mereka berdasarkan prinsip bilateral.
Sistem pemanggilan atau istilah kekerabatannya menunjukkan sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan.
Dalam hal religi atau agama, ada pembagian bagaimana orang Jawa
memainkan peran keagamaan mereka. Pembagian tersebut dilakukan oleh Geertz menjadi tiga yaitu abangan, santri dan priyayi. Abangan, yang menekankan
aspek-aspek animisme sinkretis Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani Desa penduduk; santri, yang menekankan
5
Liberalisasi Ekonomi adalah sebuah sistem ekonomi yang menempatkan swasta sebagai tokoh utama dari pelaku ekonomi.
6
aspek-aspek Islam sinkretik itu dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang (dan juga dengan unsur-unsur tertentu kaum tani), dan priyayi yang
menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi. (Greetz, 1973:6)
Bagaimana pola pikir dan pandangan hidup orang Jawa dapat dilihat dari peribahasa yang mencerminkan pola pikir mereka, penelitian mengenai peribahasa yang dapat mencerminkan pola pikir orang Jawa dilakukan oleh Ni Wayan Sartini
(2009). Ia mengatakan bahwa Masyarakat Jawa sangat memperhatikan sikap-sikap hidup yang sederhana, penuh tanggung jawab, sangat menghargai perasaan
orang lain, berbudi bawa leksana serta selalu rendah hati. Lebih lanjut Sartini menjelaskan peribahasa orang Jawa yang mencerminkan pola pikir orang Jawa beberapa diantaranya adalah luwih becik alon-alon waton kelakon, tinimbang
kebat kliwat7 mengandung nilai bahwa salah satu sikap hidup orang Jawa yang
tidak ingin gagal dalam meraih apa yang diinginkan. Serta Sepi ing pamrih rame ing gawe ‟orang yang bekerja sungguh-sungguh tanpa menginginkan imbalan‟.
1.3. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah saya jelaskan diatas, maka rumusan
masalah yang saya angkat yaitu bagaimana terbentuknya ekonomi moral dalam usaha mie rajang yang dimiliki dan dijalankan oleh Orang Jawa ditengah ekonomi
uang yang mengelilinginya.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
7
pelan-1.4.1. Tujuan Penelitian
Secara langsung tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu
memperoleh gambaran mengenai ekonomi ubi kayu di Pegajahan, serta mengetahui bagaimana ekonomi moral mereka yang mempengaruhi pelaku
ekonomi dalam menentukan keputusan serta membuat strategi-strategi dalam untuk memajukan usaha.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mencoba memberikan gambaran utuh tentang kehidupan sosial dan budaya komunitas memalui aktifitas pengolahan ubi sebagai sumber
perekonomian komunitas. Maka manfaat yang diharapkan akan diperoleh yaitu: 1. Penelitian ini akan bisa memberi pemahaman alternative tentang memahami
kegiatan produksi olahan ubi sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang
juga memiliki keterkaitan dengan dimensi sosial dan budaya masyarakat 2. Hasil dari penelitian ini akan bisa dimanfaatkan sebagai bahan dalam
menyusun strategi penguatan ekonomi kerakyatan dengan menggunakan usaha produksi olahan ubi sebagai rujukannya.
3. Secara keilmuan, kajian ini akan bisa menjadi sebuah model pengaplikasian
pendekatan dan metode etnografi dalam melihat sebuah proses produksi yang dalam hal ini adalah produksi olahan opak ubi sebagai sebuah proses
yang tidak bisa dipisahkan dengan proses sosial dan budaya lainnya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif dalam kajian etnografis. Antropologi deskriptif
diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada upaya untuk menggambarkan cara-cara hidup umat manusia dan etnografis mengacu kepada
deskripsi ilmiah sosial tentang manusia dan landasan budaya kemanusiaannya (Peacock, dalam Denzin dan Lincoln, 2009:30). Penelitian ini bersifat holistik8.
Data penelitian kualitatif berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat,
ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan menganai hubungan antara sesuatu dengan sesuatu lainnya. Ada dua jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi. Data sekunder diperoleh melalui literatur ilmiah yang telah diterbitkan sebelumnya seperti buku dan jurnal, adapula data sekunder yang
diperoleh melalui media massa yaitu internet. Teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah wawancara, observasi (observasi partisipasi).
Sementara dalam menganalisis data yang diperoleh peneliti membekali diri dengan teori-teori terkait dari buku antropologi maupun buku umum. Penelitian kualitatif mencakup serangkian teknik, namun yang paling pokok digunakan
adalah observasi, wawancara, dan analisis dokumenter (Denzin dan Lincoln, 2009:104).
Proses yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini yaitu:
8
1. Kepustakaan
Metode penelitian kepustakaan adalah cara penelitian bibliografi secara
sistematis ilmiah, yang meliputi pengumpulan, bahan-bahan bibliografi secara sistematis ilmiah, yang meliputi pengumpulan bahan-bahan bibliografi, yang
berkaitan dengan sasaran penelitian, teknik pengumpulan dengan metode kepustakaan dan pengorganisasian serta penyajian data-data (James Danandjaja: 83).
Dalam membekali diri untuk mencari data dilapangan, terlebih dahulu peneliti mencaritahu konsep serta teori yang berkenaan dengan objek yang akan
diteliti sehingga peneliti tidak mengalami kebingungan dalam menentukan data apa yang akan dicari. Seorang peneliti tidak mungkin begitu saja pergi ke lapangan untuk meneliti dengan pikiran kosong, pengetahuan teori dan
konsep-konsep yang relevan diperlukan untuk memahami, mempertanyakan, dan mengembangkannya menjadi hipotesa-hipotesa untuk ditemukan buku buktinya
dalam penelitian di lapangan. Proses ini berulang dan berlanjut secara terus menerus dalam penelitian kualitataif, dan berakhir pada waktu si peneliti telah merasa hasil penelitiannya itu telah cukup untuk digunakan sebagai bukti-bukti.
Selain mengetahui konsep dan teori peneliti juga mencaritahu mengenai penelitian yang meneliti mengenai objek yang sama dengan peneliti agar tidak
untuk mencegah terjadinya duplikasi serta pemborosan waktu karena mengulang penelitian yang telah dilakukan.
2. Wawancara
Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara. Wawancara
dalam kamus besar bahasa indonesia adalah proses tanya jawab yang dilakukan secara untuk mendapatkan informasi. Sementara wawancara yang diusung oleh penelitian kualitatif adalah wawancara yang mendalam atau dept interview.
Wawancara mendalam berarti proses tanya jawab yang dilakukan antara peneliti dengan informan dengan langsung bertatap muka yang dilakukan berkali-kali
untuk memahami objek tertentu.
Teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi partisipasi, dan juga wawancara terbuka dan mendalam yang dilakukan dalam jangka waktu yang
relatif, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan yang terstruktur seperti pada penelitian survai. (Spradley,2007:ix)
Dalam memperlancar proses wawancara maka peneliti harus memperhatikan rapport9 . Seperti dikatakan oleh Spradley (2007:108) Etnografer harus memberi perhatian khusus pada hubungan persahabatan dimasing-masing
suasana budaya untuk mempelajari berbagai segi yang bersifat lokal, segi-segi yang terikat pada budaya yang membangun hubungan.
Hal ini akan mengurangi kecurigaan informan terhadap peneliti, sehingga dengan kedekatan tersebut diharapkan informan dapat memberikan informasi berupa data terkait dengan masalah penelitian. Peneliti memposisikan diri sebagai
orang yang tidak mengetahui mengenai perihal olahan ubi pada komunitas Jawa di Pegajahan tersebut dan menunjukkan rasa ketertarikan akan hal tersebut,
sehingga mereka menjadi bersemangat untuk menceritakan apa saja pengetahuan yang dimiliki tanpa adanya rasa takut pendapat tersebut benar atau salah. Untuk
menjalin rapport ini merupakan suatu keterampilan yang perlu dilatih. Cara-cara yang saya lakukan dalam menjalin hubungan baik dengan informan ini yaitu dengan terlebih dahulu memperkenalkan diri dan sering-sering berkunjung.
Setelah kehadiran peneliti mulai dapat diterima oleh informan, maka dilakukanlah tahap pendekatan dengan bertanya tentang pertanyaan yang ringan. Untuk lebih
menjalin kerjasama dengan informan, saya akan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam dan menjurus sehingga informan merasa bahwa saya memiliki kemauan yang serius untuk mengetahui aktifitas kerjanya, saya
tidak ragu-ragu untuk menawarkan diri ikut membantu pekerjaan informan. Pada tahapan berikut akan terjadi suatu partisipasi, dimana informan memberikan
informasi penting yang belum saya sadari sebelumnya untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Dengan adanya partisipasi saya dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh informan akan membuat pertemuan
lebih intens yang secara tidak langsung hal tersebut akan memberikan peluang kepada saya untuk mendapatkan informasi-informasi penting sebagai kelengkapan
Dalam proses wawancara saya membutuhkan tape recorder untuk membantu merekam wawancara yang berlangsung sebagai bentuk kehati-hatian
saya akan terbatasnya daya ingat. Saya akan sulit mengingat setiap kata per kata yang diucapkan oleh informan karena keterbatasan daya ingat. Hasil wawancara
tersebut kemudian dibuatkan transkripnya. 3. Observasi Partisipasi
Penelitian kualitatif bergantung pada persepsi seseorang/peneliti terhadap
situasi lapangan pada waktu tertentu, bahwa persepsi tersebut dibentuk oleh kepribadian sekaligus oleh sifat dasar interaksi dengan subjek yang diteliti, dan bahwa kenyataan tersebut membuat peneliti menjadi “instrumen penelitiannya”.
Dengan kenyataan seperti itu maka penerapan observasi partisipasi merupakan metode yang pas untuk dilakukan dengan asumsi peneliti akan berbaur
dengan kehidupan masyarakat dalam waktu yang relatif lama agar mampu memahami kebiasaan dan pemikiran manusia sekaligus menyingkap rahasia
struktur sosial yang mengikatnya (McCall &sSimmons dalam Denzin dan Lincoln, 2009:190).
Dalam penelitian ini saya akan ikut dalam proses pengolahan ubi kayu, dari
awal pengolahan sampai akhir pengolahan kemudian turut serta mengepak hasil olahan untuk diberikan kepada agen yang akan mengambil hasil olahan tersebut.
Sembari memperhatikan bagaimana relasi yang terjalin diantara pelaku ekonomi ubi kayu tersebut.
Dengan keterbatasan kemampuan daya ingat, maka perlu dilakukan
samping itu, juga akan dihasilkan karya-karya visual etnografi dalam bentuk rekaman video dan foto. Data-data ini nantinya dapat membantu untuk
memperjelas data-data yang didapatkan melalui wawancara, serta sebagai bukti otentik keberadaan penulis di lapangan. Penggunaan alat-alat tersebut terlebih
dahulu telah mendapat persetujuan dari informan.
1.6. Pengalaman Lapangan
Pengalaman merupakan guru terbaik, begitulah pepatah lama yang baik
untuk dijadikan pedoman. Dalam pepatah tersebut dikatakan bahwa pengalaman merupakan sumber pelajaran yang paling baik, untuk itu saya akan
mengungkapkan pengalaman yang saya dapat selama berada dalam lingkungan penelitian. Pengalaman yang sulit dilupakan dan merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi saya, untuk itu saya akan menguraikan sedikit pengalaman
yang saya peroleh dari penelitian yang saya lakukan ini.
Ketertarikan untuk meneliti mengenai produksi pengolahan ubi yang ada di
Kecamatan Pegajahan di mulai pada tahun 2014. Orang tua saya memang tidak tinggal di Pegajahan, namun Pegajahan merupakan kampung halaman mereka, semua sanak saudara ada di Kecamatan Pegajahan. Dengan begitu saya sering
pergi ke sana. Beberapa kali saya ke sana aktivitas pengolahan ubi belum menjadi ketertarikan saya. Namun ketika suatu saat saya diperintahkan oleh ibu saya untuk
membeli opak sebagai oleh-oleh membuat saya menyadari bahwa olahan ubi yang di produksi di sana menjadi ciri khas masyarakat di sana. Selain itu banyaknya jenis olahan yang ada di sana, dan tersebar dibeberapa daerah membuat saya lebih
Penelitian mengenai pengolah ubi kayu saya lakukan dalam dua tahap, tahap yang pertama yaitu tahap mengetahui secara umum keadaan lingkungan di
Kecamatan Pegajahan khususnya di Desa Pegajahan. Saya lakukan pertama kali pada tanggal 17 Desember 2015. Hari itu merupakan hari pertama saya langsung
menemui orang yang terlibat langsung dengan produksi mie rajang. Tidak ada orang yang memperkenalkan saya dengan mereka, saya mendatangi mereka sendiri dengan modal keberanian untuk berkenalan.
Beuntungnya saya hari itu saya berhasil bertemu dengan keluarga Pak Tupon dan orang-orang yang bekerja dengannya, kemudian saya mengungkapkan
tujuan saya kepada mereka. Perasaan khawatir bahwa mereka tidak mau menerima saya membuat saya gugup. Banyak pertanyaan mereka mengenai jati diri saya. Saya menjawab pertanyaan mereka dengan jujur, dengan harapan
mereka dapat menerima saya. Dalam hati saya berkata jika keluarga ini mau menerima saya, saya akan menjadikan mereka sebagai informan kunci saya utnuk
mencari tahu siapa yang bisa saya mintai keterangan mengenai seluk beluk pengolahan ubi.
Saya sangat bersyukur karena mereka menerima saya dengan baik.
Meskipun ada pertanyaan-pertanyaan yang mereka tanyakan karena kekhawatiran mereka bahwa saya akan memberi janji-janji akan memberikan bantuan namun
Pada tahap awal saya meneliti saya tidak menginap dirumah informan, saya tinggal dirumah family yang tidak jauh dari tempat penelitian. Selain menemui
pembuat mie rajang, saya juga menemui pembuat opak dan pembuat rengginang di Desa Sukasari. Pembuat opak dan rengginang merupakan orang yang sudah
saya kenal sebelumnya, jadi tidak ada kesulitan yang saya dapati untuk bertemu dan mewawancarai mereka.
Tahap awal tersebut saya lakukan selama satu minggu, saya bergilir
menjumpai mereka selama seminggu, saya mencari data dengan mewawancarai mereka serta memperhatikan apa yang terjadi di sana. Pada penelitian awal ini
saya tidak menemui kesulitan, karena saya hanya bertanya mengenai aktivitas mereka secara umum. Mereka pun menjelaskan dengan semangat dan secara detail. Pada tahap awal ini saya merasa mereka menerima saya untuk meneliti di
sana, sehingga hubungan kami semakin hari semakin baik.
Penelitian tahap kedua saya lakukan pada bulan Maret dimulai dari tanggal
7. Penelitian yang kedua ini saya tinggal dirumah Pak Tupon selama satu minggu, saya memutuskan untuk tinggal dirumah Pak Tupon hanya satu minggu untuk bisa mengetahui aktivitas mereka sehari-hari dan mengetahui apa yang mereka
rasakan, saya merasa akan menyulitkan mereka jika saya tinggal di sana selama lebih dari seminggu. Hal tersebut dikarenakan mereka sangat baik sekali, mereka
selalu menemani saya, sehingga mereka tidak melakukan aktivitas mereka seperti biasanya.
Dalam penelitian ini saya lakukan dengan menambah satu metode yaitu
untuk menghasilkan mie rajang. Hampir semua aktivitas tersebut saya lakukan untuk mengetahui bagaimana mereka melakukannya, saya ikut mengupas ubi,
saya belajar mencetak, ikut menjemur, ikut membalik mie ubi, serta ikut mengangkat ubi. Namun saya tidak diperbolehkan untuk ikut menggiling ubi dan
mengampia mie, hal tersebut dikarenakan aktivitas tersebut dilakukan dengan menggunakan mesin, jadi mereka harus mengikuti kecepatan mesin. Saya sebagai orang baru tidak diperbolehkan untuk melakukannya karena saya belum bisa
melakukan dengan cepat. Selain itu mesin yang menggunakan benda tajam tentu mengandung bahaya, mereka tidak ingin saya terluka karenanya. Dengan
mengikuti pekerjaan yang mereka kerjakan, saya akui hal tersebut sangat melelahkan. Tangan saya sempat terkilir karena membantu mengupas ubi yang begitu banyaknya. Kalau dilihat memang mudah sekali untuk mengupasnya,
namun apabila dilakukan sendiri hal tersebut sangat melelahkan.
Selama saya berada dirumah informan, banyak sekali orang yang saya
temui, mereka semua bertanya siapa saya. Tentu bosan sekali menjawab pertanyaan yang sama setiap hari, saya harus memperkenalkan diri saya dan memberitahu apa tujuan saya. Hal tersebut sepertinya mengusik Pak Tupon,
mungkin Ia merasa bosan mendengar pertanyaan itu, sehingga kalau ada yang bertanya siapa saya, Ia mengatakan bahwa saya merupakan calon menantunya.
Kebetulan Pak Tupon mempunyai satu orang anak laki-laki yang sedikit lebih tua dari saya.
Selain dengan keluarga Pak Tupon, saya juga membina rapport dengan
dan mau berbagi informasi. Satu kekhasan yang saya dapati dikehidupan mereka. Mereka selalu memberi makanan dan minuman kepada siapa saja yang datang
kerumah mereka. Meskipun itu tamu tidak diundang seperti saya.
Seperti yang saya alami ketika saya bertamu ke rumah Buk Santi untuk
melihat bagaimana kerja mereka. Ketika itu Buk Santi baru selesai masak kepiting di gulai. Tanpa sepengetahuan saya, Buk Santi mengambilkan saya nasi dan piring serta lauknya. Saya yang sebenarnya alergi terhadap kepiting, mau tidak
mau harus memakan kepiting tersebut. Segan rasanya untuk menolak pemberian Buk Santi. Hasilnya malam hari alergi saya datang, Istri Pak Tupon merasa
kasihan dan membelikan saya obat alergi.
Setelah saya tidak lagi tinggal bersama dengan Pak Tupon dan keluarga, saya tinggal bersama abang saya di Desa yang sama namun Dusun yang berbeda.
Saya datang ke rumah pak Tupon setiap hari, dimulai pada pukul 9 pagi sampai dengan jam 5 sore. Setiap hari saya kesana mengendarai sepeda motor.
Bahagianya saya setiap saya datang dan memarkirkan sepeda motor saya, Buk Lasmiem menyambut saya dengan mengucapkan “anak wedokku udah datang”
artinya adalah anak perempuanku sudah datang. Istri Pak Tupon sudah
menganggap saya seperti anak sendiri, Ia sudah mempercayakan saya untuk mengambil kebutuhan saya sendiri, selain itu saya tidak mau mengganggu mereka
untuk melakukan aktivitas mereka, jadi saya mengambil makan dan minum saya sendiri.
Saya memang tidak tinggal dengan Buk Santi, namun tempat tinggal Buk
ke rumah Buk Santi. Buk Santi yang awalnya tidak nyaman dengan keberadaan saya seiring dengan berjalannya waktu semakin baik dengan saya. Pertama sekali
saya mewawancarai Buk Santi, Ia selalu menolak saya. Ia tidak nyaman dengan keberadaan saya, mungkin beliau merasa bahwa saya akan merepotkan mereka.
Namun keadaan tersebut tidak membuat saya turun semangat, saya menunjukkan kepada Buk Santi bahwa saya tidak akan merepotkan mereka. Justru saya akan membantu mereka sebisa saya, dan hal tersebut saya lakukan
setiap hari. Saya membantu Pak Tupon untuk melakukan pekerjaannya, setelah selesai saya pindah ke rumah Buk Santi untuk melihat apa ada yang perlu saya
bantu lagi, saya mencoba membantu mereka sebisa saya. Sepertinya hal tersebut membuahkan hasil, karena mereka mau berbincang dengan saya dan mau menjawab apa yang saya tanyakan. Memang benar kiranya seorang peneliti harus
membangun rapport dengan informannya, hal tersebut sangat mempengaruhi informasi yang diberikan oleh mereka.
Hingga saya selesai melakukan wawancara ada seorang informan yang tidak leluasa memberikan informasinya kepada saya. Saya tidak tahu mengapa Ia tidak nyaman dengan saya setelah kurang lebih sebulan saya bersama mereka. Mungkin
jika saya lebih lama di sana maka Ia bisa merasa nyaman dengan keberadaan saya. Namun hal tersebut tidak menyulitkan saya untuk memperoleh informasi, karena
ada orang lain yang memiliki posisi yang sama seperti beliau. Informan tersebut mau bekerja sama dengan baik, sehingga saya tidak kerepotan untuk mencari data-data yang saya perlukan. Sebenarnya saya tidak pernah benar-benar