• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Rotavirus dan Karakterisasi Gen Nonstruktural NSP4 Rotavirus Sebagai Enterotoksin Virus Yang Menginduksi Terjadinya Invaginasi Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Rotavirus dan Karakterisasi Gen Nonstruktural NSP4 Rotavirus Sebagai Enterotoksin Virus Yang Menginduksi Terjadinya Invaginasi Pada Anak"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Invaginasi

2.1.1. Definisi

Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya obstruksi ataupun strangulasi. Invaginasi sering disebut juga sebagai intussusepsi. Umumnya bagian yang proximal (intussuseptum) masuk ke bagian distal (intususepien) (Syamsuhidayat, 2005).

Gambar 1. Intususepsi usus halus yang masuk ke usus besar (Mckee, jawetz 1996)

2.1.2. Insiden

Insiden penyakit ini tidak diketahui secara pasti, masing-masing penulis mengajukan jumlah penderita yang berbeda-beda. Kelainan ini umumnya ditemukan pada anak-anak dibawah 1 tahun dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia. Umumnya invaginasi ditemukan lebih

(2)

sering pada laki-laki dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2 (Sapan, 2007).

Insiden invaginasi pada bulan Maret – Juni, September – Oktober menunjukkan angka yang tinggi. Hal ini mungkin berhubungan dengan musim kemarau dan musim penghujan dimana pada musim-musim tersebut insiden infeksi saluran dan gastroenteritis meninggi. Sehingga banyak ahli yang menganggap bahwa motilitas usus yang meningkat merupakan salah satu faktor penyebab (Wood, 2012).

Invaginasi yang terjadi pada bayi prematur, sering menimbulkan salah diagnosa dengan Necrotizing Entero Colitis (NEC), sehingga menyebabkan salah atau tertundanya didalam penanganan intervensi bedah (Jeffrey,2003).

2.1.3. Etiologi

Invaginasi terbagi atas Idiopatik dan Kausatif:

1. Idiopatik: Pada kepustakaan 95% invaginasi pada anak umur 1 bulan sampai 3 tahun sering tidak dijumpai penyebab yang jelas, sehingga digolongkan ”Infatil idiophatic intususseption”. Pada saat operasi hanya ditemukan penebalan dari dinding ileum terminal berupa hyperplasia jaringan follikel submukosa yang diduga sebagai infeksi rotavirus. Penebalan ini merupakan titik awal (lead point) terjadinya invaginasi (Stringer,1992).

(3)

Ein’s dan Raffensperger (2003), pada pengamatannya mendapatkan “Specific

leading points” berupa eosinophilik, granuloma dari ileum, papillary lymphoid hyperplasia dari ileum hemangioma dan perdarahan submukosa karena hemophilia atau Henoch’s purpura.

Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab invaginasi pada anak yang berusia

diatas 6 tahun.

Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi yang biasanya timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal (Ravitch, 2007).

2.1.4. Jenis Invaginasi

Invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya yaitu pada bagian usus mana yang terlibat (Pickering, 2000):

1. Ileo-ileal, adalah bagian ileum masuk ke bagian ileum.

2. Ileo-colica, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian kolon.

3. Ileo-caecal, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian apex dari invaginasi. 4. Appedicial-colica, adalah bagian caput dari caecum terinvaginasi.

5. Colo-colica, adalah bagian colon masuk ke bagian kolon.

Pada kolon dikenal dengan jenis colo colica dan sekitar ileo caecal dan ileo colica, jenis-jenis yang disebutkan di atas dikenal dengan invaginasi tunggal dimana dindingnya terdiri dari tiga lapisan. Jika dijumpai dindingnya terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada keadaan yang lebih lanjut disebut tipe invaginasi ganda, sebagai contoh adalah tipe invaginasi ileo-ileo colica atau colo colica (Sabiston,2010).

2.1.5. Patologi

(4)

menjadi udem dan kaku, jika hal ini telah terjadi maka tidak mungkin bagian usus yang tidak viabel tersebut dapat kembali normal secara spontan (Winset, 2004).

Gambar 2. Gambaran Invaginasi melalui laparaskopi (Winset, 2004)

Gambar 3. Invaginasi tipe ileocaecal (Sudiyatmo, 2012)

Pada sebagian besar kasus invaginasi obstruksi usus terjadi pada daerah ileo – caecal. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat dari penyakit

(5)

Gambar 4. Usus yang sudah rusak dan Perforasi (Nasution, 2013). Pada gambar diatas dapat terlihat usus yang sudah rusak dan telah terjadi perforasi.

2.1.6. Gambaran Klinis

Secara klasik perjalanan invaginasi memperlihatkan gambaran sebagai berikut : Anak atau bayi yang biasanya dengan keadaan gizi yang baik, tiba-tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas, penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan sakit, serangan nyeri perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Diluar serangan anak atau bayi kelihatan seperti normal kembali, pada waktu itu sudah terjadi proses invaginasi (Thomson, 1992).

(6)

bawah. Tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut “dance’s sign” ini akibat caecum dan kolon terdorong ke distal, ikut proses invaginasi (Ravitch, 2007).

Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit meng-akibatkan gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, edem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa

usus, ini memperlihatkan gejala buang air besar darah dan lendir, tanda ini baru dijumpai sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama kali, kadang – kadang sesudah 12 jam. Buang air besar darah lendir ini bervariasi jumlahnya dari kasus ke kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur. Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya tersumbat partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses edem yang semakin bertambah, sehingga pasien dijumpai dengan tanda-tanda obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi (Ravitch, 2007).

Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya aliran pembuluh darah arteri, pada segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis usus, ganggren, perforasi, peritonitis umum, syok dan kematian (Lucian,1987).

(7)

Pemeriksaan colok dubur didapatkan:

- Tonus sfingter melemah, mungkin invaginasi dapat diraba berupa massa seperti portio.

- Bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.

Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi gejala-gejala invaginasi tidak khas, tanda-tanda obstruksi usus berhari-hari baru timbul, pada penderita ini tidak jelas tanda-tanda adanya sakit berat, defekasi tidak ada darah, invaginasi dapat mengalami prolaps melewati anus, hal ini mungkin disebabkan pada pasien malnutrisi tonus yang melemah, sehingga obstruksi tidak cepat timbul (Ravitch, 2007).

Suatu keadaan disebut dengan invaginasi atypical, bila kasus itu gagal dibuat diagnosis yang tepat oleh seorang ahli bedah, meskipun keadaan ini kebanyakan terjadi karena ketidaktahuan dokter dibandingkan dengan gejala tidak lazim pada penderita (Irish, 2012).

2.1.7 Diagnosis

2.1.7.1. Diagnosis Klinis

Untuk menegakkan diagnosis invaginasi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi, tetapi diagnosis pasti dari suatu invaginasi adalah ditemukannya suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya, pada saat dilakukan operasi laparotomi (Stringer, 1992).

Gejala klinis yang menonjol dari invaginasi dikenal dengan “Trias Invaginasi”, yang terdiri dari (Mac Mohan 1991):

1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat serang serangan, nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan (colicky abdominal pain).

(8)

3. Buang air besar campur darah dan lendir ataupun terjadi diare (red currant jelly stools).

Bila penderita terlambat datang ke rumah sakit, sumbatan atau obstruksi pada usus yang disebabkan oleh invaginasi dapat menyebabkan perut sangat menggembung atau distensi sehingga pada saat pemeriksaan sukar untuk meraba adanya massa tumor, oleh karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias invaginasi yang lainnya (Mac Mohan, 1991).

Mengingat invaginasi sering terjadi pada anak berumur di bawah 1 tahun, sedangkan penyakit diare umumnya juga terjadi pada anak usia di bawah 1 tahun maka apabila ada pasien datang berumur di bawah satu tahun dengan keluhan sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak menjadi rewel sepanjang hari atau malam, ada muntah, buang air besar campur darah dan lendir maka dapat dipikirkan kemungkinan terjadinya invaginasi (Ravitch, 2007).

2.1.7.2. Diagnosis Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan peningkatan jumlah neutrofil segmen (>70%) (Ravitch, 2007).

2. Pemeriksaan Radiologi

(9)

Gambar 6. Foto Polos Abdomen yang menunjukkan dilatasi dari usus halus dan terkumpulnya gas kuadran kanan bawah dan kuadran atas (Stringer, 1990)

Gambar 7. Foto Polos Abdomen yang Menunjukkan Gambaran Obstruksi Usus dengan “Air Fluid Level” (Nasution, 2013)

(10)

Gambar 8.Barium enema dengan kontras udara menunjukkan

intususepsi di caecum (Gabriel, 2011)

Gambar 9. Barium enema menunjukkan intussusepsi di colon desenden (Gabriel, 2011)

Ultrasonografi: pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan gam-baran target sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan longitudinal invaginasi (Saxton, 1994).

(11)

Gambar 10. Gambaran USG Abdomen menunjukkan tanda klasik dari intussusepsi di dalam intussupien (Saxton, 1994)

2.1.7.3. Diagnosis Banding

 Gastro – enteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika dijumpai

perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.

Diverticulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.

 Disentri amoeba, pada keadaan ini diare mengandung lendir dan darah, serta

adanya obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.

 Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.

 Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali. Pada

colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada invaginasi didapati adanya celah (Ravitch, 2007).

2.1.7. Penatalaksanaan

(12)

Penatalaksanaan dari invaginasi pada umumnya meliputi resusitasi, kofirmasi diagnostik melalui ultrasonografi, reduksi hidrostasis, reduksi dengan barium enema (kecuali anak mengalami tanda-tanda peritonitis), dengan intervensi bedah merupakan pilihan terakhir kecuali pada kasus khusus (Francis R, 2001).

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua tindakan penanganan yang dinilai berhasil dengan baik yaitu:

1. Reduksi dengan barium enema

Reduksi dengan barium enema merupakan terapi awal pada invaginasi pada anak, namun kontroversi terhadap terapi ini masih terus diperdebatkan (Catarina, 2007).

Sebelum dilakukan tindakan reduksi, maka terhadap penderita: dipuasakan, resusitasi cairan, dekompresi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah dijumpai tanda gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah leukosit dan neutrofil segmen maka antibiotika berspektrum luas dapat diberikan. Narkotik seperti Demerol dapat diberikan (1mg/kg BB) untuk menghilangkan rasa sakit (Saxton, 1994).

Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema berfungsi dalam diagnostik dan terapi (Saxton, 1994). Reduksi invaginasi dengan nonoperatif telah menunjukkan lama rawat inap, pemulihan yang lebih cepat, mengurangi biaya rumah sakit, dan mengurangi kompilkasi yang berhubungan dengan operasi abdomen (Somme, 2006).

Telah dilaporkan bahwa reduksi hidrostatis kurang berguna bagi pasien dengan gejala invaginasi lebih dari 48 jam, dan khususnya pasien dengan keadaan umum yang jelek dan membutuhkan operasi reduksi sebagai penanganannya (Van den Ende, 2005).

Menurut Syamsuhidayat tahun 2005 barium enema dapat diberikan bila tidak dijumpai kontra indikasi seperti:

- Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun pada foto abdomen.

(13)

- Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam. - Dijumpai tanda tanda dehidrasi berat. - Usia penderita dibawah 1 tahun.

Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak menangis atau gelisah karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat membantu (Gabriel, 2011). Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi dengan plester, melalui kateter bubur barium dialirkan dari kontainer yang terletak 3 kaki di atas meja penderita dan aliran bubur barium dideteksi dengan alat fluoroskopi sampai meniskus intussusepsi dapat di identifikasi dan dibuat foto. Meniskus sering dijumpai pada kolon transversum dan bagian proksimal kolon descendens (Saxton, 1994). Bila kolom bubur barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi bila kolom bubur barium berhenti dapat diulangi 2-3 kali dengan jarak waktu 3-5 menit. Reduksi dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10-15 menit tetapi tidak dijumpai kemajuan. Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, bubur barium dievakuasi terlebih dahulu (Saxton, 1994).

Reduksi barium enema dinyatakan berhasil, apabila:

- Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan disertai massa feses dan udara.

- Pada fluoroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus halus, jadi adanya refluks ke dalam ileum.

- Hilangnya massa tumor di abdomen.

- Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur serta norit test positif.

(14)

pelaksanaan-nya (Ravitch, 2007). Jika reduksi dengan enema gagal untuk mengatasi keadaan ini, intervensi bedah dapat dilakukan (Zuo, 2008).

2. Reduksi dengan tindakan operasi a. Memperbaiki keadaan umum

Tindakan ini sangat menentukan prognosis, jangan melakukan tindakan operasi sebelum mengoptimalkan keadaan umum pasien (pasien baru dapat dioperasi apabila sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik, hal ini ditandai apabila produksi urine sekitar 0,5-1 cc/kg BB/jam). Nadi kurang dari 120x/menit, pernafasan tidak melebihi 40x/menit, akral yang tadinya dingin dan lembab telah berubah menjadi hangat dan kering, turgor kulit mulai membaik dan temperatur badan tidak lebih dari 38°C. Biasanya perfusi jaringan akan baik apabila setengah dari perhitungan dehidrasi telah masuk, sisanya dapat diberikan sambil operasi berjalan dan pasca bedah (Ashcraft,1994).

Yang dilakukan dalam usaha memperbaiki keadaan umum adalah: a. Pemberian cairan dan elektrolit untuk rehidrasi (resusitasi).

b. Tindakan dekompresi abdomen dengan pemasangan sonde lambung. c. Pemberian antibiotik dan sedatif.

Suatu kesalahan besar apabila langsung melakukan operasi karena usus dapat menjadi nekrosis karena perfusi jaringan masih buruk (Ashcraft, 1994).

(15)

Harus diingat bahwa obat anestesi dan stress operasi akan memperberat keadaan umum penderita serta perfusi jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya hasil metabolik di jaringan yang seharusnya dibuang lewat ginjal dan pernafasan, begitu pula perfusi jaringan yang belum baik akan mengakibatkan oksigenasi jaringan akan buruk pula. Bila dipaksakan kelainan tersebut akan irreversible (Ravitch, 2007).

b. Tindakan reposisi usus

Tindakan selama operasi tergantung kepada temuan keadaan usus, reposisi manual dengan cara “milking” dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung pada

keterampilan dan pengalaman operator. Insisi operasi untuk tindakan ini dilakukan secara transversal (melintang), pada anak-anak dibawah umur 2 tahun dianjurkan insisi transversal supraumbilikal oleh karena letaknya relatif lebih tinggi. Ada juga yang menganjurkan insisi transversal infraumbilikal dengan alasan lebih mudah untuk eksplorasi usus, mereduksi intusussepsi dan tindakan appendektomi bila dibutuhkan. Tidak ada batasan yang tegas kapan kita harus berhenti mencoba reposisi manual itu. Reseksi usus dilakukan apabila: pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan anastomosis ”end to end”, apabila hal ini memungkinkan tetapi bila tidak mungkin maka dilakukan “exteriorisasi” atau enterostomi (Ashcraft, 1994).

(16)

2.1.8. Komplikasi

Bila tidak ditangani dengan baik maka invaginasi dapat menyebabkan perforasi usus dan berlanjut menjadi peritonitis (Ravitch, 2007).

2.2. Hubungan Protein Enteroktoksin NSP4 dengan kasus Invaginasi pada anak

Invaginasi juga sering terjadi pada anak umur 4-12 bulan, dimana pada usia tersebut terjadi perubahan pola diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan ini dicurigai sebagai penyebab terjadi invaginasi tetapi hal ini tidak terbukti secara ilmiah. Invaginasi sering juga terjadi setelah atau selama enteritis akut, sehingga dicurigai invaginasi terjadi akibat dari peningkatan peristaltik usus. Sebanyak 37% dari 30 kasus invaginasi yang terjadi pada bayi ditemukan rotavirus didalam fesesnya, dimana dari 30 kasus tersebut didahului dengan gastroenteritris akut (Ravitch, 2007).

Diantara Protein Nonstruktural pada rotavirus, protein NSP4 merupakan protein enterotoksin yang dihasilkan rotavirus (Chan, 2000; Harper, 2008; Murray dkk, 2007). Bahan toksik alami dari NSP4 dan protein antigen, dimana protein NSP4 ini merupakan protein yang paling memungkinkan terlibat dalam perkembangan terjadinya invaginasi, dengan tambahan interaksi faktor host yang belum diketahui. NSP4 adalah sebuah glikoprotein transmembran retikulum endoplasma (Chan, 2000). Pada rotavirus Nonstructural Protein 4 (NSP4) berfungsi sebagai reseptor intraseluler di retikulum endoplasma yang penting untuk morfogenesis virus dan ditandai sebagai enteroktoksin virus yang pertama (Parr, 2006).

(17)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa invaginasi lebih sering terjadi pada anak laki-laki yaitu 63,6% dan 36,4% pada anak perempuan. Pada bayi yang kurang gizi memiliki resiko yang lebih kecil untuk mendapat invaginasi dibandingkan dengan bayi yang bergizi baik. Resiko invaginasi dipercayai berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid pada regio ileo caecal pada bayi dan anak kecil. Jaringan limfoid saluran cerna jumlahnya lebih sedikit

pada bayi dan anak kecil yang kurang gizi, oleh karenanya memiliki resiko yang lebih rendah untuk menimbulkan pembesaran kelenjar limfe dan Peyer Patch yang dapat menyebabkan invaginasi pada ileum terminal dan caecum (Kombo,2001).

Patogenesis dari intususepsi dipercayai sebagai penyebab sekunder dari gangguan tekanan longitudinal sepanjang dinding usus. Gangguan ini dapat juga disebabkan sebuah massa yang bertindak sebagai lead point. Gangguan elektrolit berhubungan juga dengan motilitas usus, mencetuskan invaginasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelepasan nitrit oksida menyebabkan relaksasi dari katup ileosaecal sehingga menyebabkan

intususepsi ileosaekal (Blanco,2010).

Pada beberapa penelitian terakhir ini didapati peninggian insidensi adenovirus

dalam feses penderita invaginasi (Philip, 2007).

2.3. Rotavirus

2.3.1. Definisi

(18)

2.3.2. Epidemiologi

Rotavirus merupakan penyebab salah satu gastroenteritis pada anak kecil yang terpenting di seluruh dunia. Khasnya sampai 50% kasus gastroenteritis akut pada anak yang dirawat di seluruh dunia disebabkan rotavirus. Infeksi rotavirus biasanya meningkat selama musim dingin. Infeksi paling sering terjadi pada anak berusia antara 6 bulan hingga 2 tahun dan penyebaran tampaknya melalui rute oral fekal. Sering pada infeksi nosokomial (Harper, 2008).

Jumlah rotavirus hingga 60% dan 40% dari semua episode diare pada negara berkembang dan negara maju, dengan jumlah kematian 870.000 kematian anak setiap tahunnya (Thapar, 2004).

Penyebab utama dari diare berhubungan dengan penyebaran luas dari bakteri (seperti Campylobacter jejuni, Eschericia coli, Salmonella spp, Vibri, mlo cholera, Yersinia enterocolica dan Aeromonas spp), enteroparasit (Giardia spp, Criptosporidium spp dan Entamuba histolitica) dan virus (adenovirus, Norwalk virus, dan rotavirus ) (Vargas, 2004).

Setiap anak terinfeksi sedikitnya sekali dalam lima tahun dan 82% dari total kematian terjadi di negara berkembang, kontrol terhadap diare rotavirus merupakan proporsi yang penting dari penilaian kesehatan masyarakat (Naik, 2004).

Kira–kira sepertiga dari anak yang imunokompeten dengan infeksi rotavirus primer yang berat dapat terus mengekskresikan partikel rotavirus selama lebih dari 21 hari sampai dengan 57 hari setelah dirawat di rumah sakit (Richardson, 1998).

Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa 1 diantara 78 anak-anak dirawat oleh karena diare yang disebabkan rotavirus, dan diperkirakan sekitar 264 juta dollar telah digunakan untuk biaya medis (Nelson, 2005).

2.3.3. Klasifikasi

(19)

pada manusia dan secara dominan menyebabkan kasus diare pada anak-anak (Harper, 2008; Lintao, 2013).

Protein VP6 yang dikode segmen RNA keenam digunakan untuk klasifikasi grup pada rotavirus. Hal tersebut disebabkan VP6 membawa antigen non-netralisasi (non neutralization agent) yang spesifik terhadap grup. Berdasarkan reaksi terhadap antigen

tersebut, rotavirus dapat diklasifikasikan menjadi tujuh grup, yaitu rotavirus A, B, C, D, E, F, dan G. Masing-masing grup mempunyai antigen grup yang sama (common group antigen) pada protein VP6 nya. Beberapa peneliti juga menyebut grup dengan istilah spesies (Kobayashi et al, 2007).

Grup A, B, dan C rotavirus ditemukan pada manusia dan hewan, sedangkan virus dalam kelompok D, E, F, dan G ditemukan hanya pada hewan sampai saat ini. Virus dalam setiap kelompok mampu me-reassortment, tetapi tidak terjadi di antara virus dalam kelompok yang berbeda (Fields, 2001).

Rotavirus grup A telah jelas ditetapkan sebagai penyebab penyakit diare yang signifikan pada anak. Rotavirus grup B telah dikaitkan dengan epidemi tahunan diare berat terutama pada orang dewasa di Cina. Grup C virus telah dilaporkan terdapat spesimen feses dari anak-anak dengan diare dan beberapa wabah. Strain rotavirus non-grup A (grup C pada babi, grup C virus pada manusia, dan grup B virus pada babi) sangat sedikit berhasil untuk dikultur. Uji diagnosa cepat (ELISA) dan MAbs untuk mendeteksi rotavirus non-grup A telah ditetapkan, dan mulai difasilitasi untuk kepentingan klinis virus ini (Offit, 2001).

(20)

Setidaknya ada 15 serotipe berbeda dari rotavirus. Empat belas serotipe G didasarkan pada perbedaan protein G (GP7). Lima strain predominan di Amerika Serikat (G1,G2,G3,G4,G9) jumlahnya kira-kira 90% dari strain G1 yang terisolasi dari 73% infeksi. Ada serotipe 20 P berdasarkan protein P (VP4) dengan P4 dan P8 predominan. Kombinasi P/G adalah P8G1, P8G2, P4G2 dan P8G4 (Kobayashi, dkk, 2007) dan pada manusia yang terbanyak adalah tipe G1P(8), G4P(8), G2P(4), dan G3P(8) (Rahman, 2003).

Dalam setiap kelompok, rotavirus diklasifikasikan menjadi serotipe yang didefinisikan sebagai reaktivitas virus dalam pengurangan plak pada uji netralisasi menggunakan dengan hyperimmune serum disiapkan pada hewan antibodi-negatif. Dengan menggunakan uji tersebut, 14 serotipe VP7 telah diidentifikasi dan strain hewan serta manusia berada dalam serotipe yang sama. Uji netralisasi dapat mengukur reaktivitas antibodi dengan antigen VP4 dan VP7. Namun, dalam banyak kasus, reaktivitas dominan diukur dengan glikoprotein VP7. Ini mungkin karena VP7 menyusun persentase yang lebih besar dari virion kapsid luar atau alternatif, dengan hyperimmunization, VP7 selektif

menginduksi antibodi yang sangat spesifik (Bridger, 1994).

2.3.4. Struktur dan Komposisi

(21)

Gambar 13. Komponen Virion dari Rotavirus. Hanya 4 dari 60 spikes VP4 yang diperlihatkan dan 1 dari 11 segmen dsRNA. (Carter, 2009)

Gambar 14. Virion Rotavirus dilihat dengan migrograph electron. DLP: double-layered particle, TLP : triple-layered particle. (Carter, 2009)

Virion memiliki simetri ikosahedral, juga dikenal sebagai partikel tiga lapis. Kapsid memiliki tiga lapisan, masing-masing disusun dari protein virus yang berbeda (VP/Viral Protein). Lapisan dalam dan tengah, disusun dari VP2 dan VP6, yang terhubung oleh

(22)

rotavirus: VP1 dan VP3 di inti, dan VP4, yang membentuk 60 spikes di permukaan (Patton, 2000).

Genom rotavirus berupa asam ribonukleat beruntai ganda atau double stranded ribonucleic acid (dsRNA). Molekul RNA berbentuk linear dan terdiri atas sebelas segmen

dengan ukuran bervariasi (Murray, 2007). Salah satu untai RNA rotavirus bermuatan positif, sedangkan untai lainnya bermuatan negatif. Untai RNA negatif berperan sebagai cetakan untuk sintesis mRNA yang bermuatan positif (Lodish et al, 1995).

(23)

Gambar 15. Genome Rotavirus dan produk gennya. ORF = open reading frame, VP = viral protein, NSP = non-structural protein

(Carter, 2009).

(24)

Bagian terluar dari permukaan ganda dari partikel rotavirus dibentuk dari dua protein viral. Bagian yang terbanyak adalah VP7, sebuah glikoprotein 9-kDa dengan antigen tipe spesifik. VP7 adalah produk translasi dari segmen genom. Protein kedua, VP4 (88 kDa), dimana yang di kodekan oleh segmen genom 4 dan hemagglutinin, sebuah protein yang juga mengkhususkan pada tropisme sel. Kedua protein VP7 dan VP4 dibentuk pada permukaan partikel rotavirus berkapsul tunggal pada saat pematangan di lumen retikulum endoplasma kasar. Bagaimanapun, saat tripsin bersatu masuk ke dalam media kultur, VP4 membelah secara proteolitik untuk menghasilkan VP5 (60 kDa) dan VP8 (28 kDa) sebuah kejadian yang mempengaruhi infektifitas pada invitro. Tempat pembelahan mungkin terletak pada Arg-241 dan Arg-247, dimana sisa pembelahan dilestarikan oleh kebanyakan strain rotavirus dimana cDNAs nya telah disekuensi. Hal ini dapat terlihat pada gambar 15 (Anthony, 1991; Kobayashi et al, 2007).

Gambar 17. Struktur Inti rotavirus (Anthony, 1991)

2.3.4.1. Non Structural Protein/ NSP (NSP 1,2,3,4,5,6)

(25)

esensial untuk replikasi rotavirus pada kultur sel, namun studi saat ini menjelaskan NSP 1 pada restriksi host range, terlibat dalam perlawanan terhadap respon antiviral inang, untuk mem-promosikan pertumbuhan virus (Desselberger, 2014).

NSP 2 berperan penting dalam pembentukan viroplasma dan pada replikasi genom. Selain, interaksinya dengan NSP5 dalam pembentukan dari viroplasma, NSP2 juga berinteraksi secara langsung atau tidak langsung dengan struktural lainnya protein yang terdapat dalam viroplasma, seperti VP2, yang membentuk lapisan terdalam kapsid dari virion, dan VP1, polimerase dari virus (Matthijsen et al, 2008).

NSP2 memiliki dua domain yang berbeda yang

dipisahkan oleh celah yang mendalam untuk nukleotida mengikat dan menghidrolisis fosfat. Di dalam celah tersebut, yang sangat lestari H225 berfungsi sebagai residu katalitik untuk aktivitas enzimatik. Salah satu fungsi NSP5 adalah untuk mengatur interaksi NSP2-RNA selama replikasi genom. Baru-baru ini, telah ditunjukkan secara in vitro bahwa tubulin langsung berinteraksi dengan NSP2, yang mungkin berperan dalam pembentukan viroplasma selama infeksi rotavirus

mengganggu jaringan mikrotubulus (Matthijsen et al, 2008).

NSP3 merupakan protein dasar yang berukuran 36,4 kDa, yang dikode oleh segmen 7 dari rotavirus berperan dalam proses translasi dari transkrip mRNA rotavirus dan untuk menekan sintesis protein tuan rumah melalui antagonisme dari poli A binding protein (PABP) (Montero et al, 2006).

Rotavirus mengandalkan perangkat translasi inang untuk menghasilkan protein virus yang dikodekan oleh genomnya. Dalam sel inang, hanya mRNA capped dan polyadenylated yang di-terjemahkan secara efisien. Proses ini

(26)

menghubungkan PABP dan eIF4E, untuk memfasilitasi penyebaran ini dari mRNA seluler, yang penting untuk inisiasi efisien terjemahan. Meskipun transkrip dibatasi selama transkripsi endogen oleh protein struktural VP3, rotavirus mengatasi kekurangan dari ekor poli-A pada mRNA mereka dengan menggunakan urutan konsensus (5'-GUGACC-3') untuk rotavirus grup A pada ujung 3' (Montero et al, 2006).

NSP4, dikodekan oleh gen segmen 10, merupakan protein dengan 175 asam amino, multifungsi dan banyak fungsi NSP4 telah dipetakan ke domain yang berbeda dalam protein (Gambar 17). NSP4 sangat penting untuk replikasi, transkripsi, dan morfogenesis rotavirus namun bagaimana NSP4 kontribusi untuk proses tersebut masih kurang dipahami. Kemampuan NSP4 berinteraksi secara berbeda dengan beberapa protein virus dan seluler protein, termasuk calnexin, laminin-3, fibronektin, caveolin, domain integrin, dan tubulin (Hu et al, 2013). NSP4 disintesis sebagai glikoprotein transmembran retikulum endoplasma (RE) dan terdiri dari tiga domain hidrofobik (H1-H3) dengan dua situs glikosilasi mannose N-linked berorientasi ke sisi luminal RE di H1 domain, domain transmembran H2 dan berfungsi sebagai urutan sinyal untuk tidak memecah, domain viroporin dibentuk oleh sekelompok residu bermuatan positif dan amphipathic α-helix (H3) diikuti oleh domain sitoplasmik yang mengandung daerah melingkar-coil dan C-terminus. Relatif sedikit yang diketahui tentang N-terminus, mungkin karena bersifat hidrofobik (Groft et al, 2002).

(27)

NSP 5 beberapa isoform, dari 28-kDa membentuk hipofosforilasi ke hiperfosforilasi 32-kDa, selama replikasi rotavirus. Peran untuk protein ini adalah sebagai mitra mengikat NSP2 dalam formasi dari viroplasma. Studi-studi telah meng-ungkapkan NSP5 terlibat dalam banyak proses seperti dinamika dan regulasi viroplasma dan adaptor untuk mengintegrasikan berbagai sifat fungsional NSP2 dengan protein rotavirus lainnya selama replikasi atau encapsidasi genom virus (Campagna et al, 2007).

Tidak seperti NSP lainnya, NSP 6 tidak dikode oleh semua strain rotavirus. NSP 6 ditransalasi dari open reading frame (ORF) di luar fase dengan NSP 5 pada segmen 11. Walaupun beberapa studi menjelaskan bahwa protein ini berlokasi pada sitoplasma, peran yang tepat dari NSP 6 pada replikasi rotavirus masih belum

terkarakterisai (Rainsford et al, 2007).

2.3.4.2. Viral Protein/VP (VP1,2,3,4,5,6)

Kapsid rotavirus memiliki tiga lapisan, masing-masing disusun dari protein virus yang berbeda (VP/Viral Protein). Lapisan dalam dan tengah, disusun dari VP2 dan VP6, yang terhubung oleh saluran. Lapisan luar dibangun dari VP7, yang terglikolisasi. Hal ini tidak biasa terdapat glikoprotein dalam naked virus, namun VP7 pada rotavirus berhubungan dengan membran dalam sel sebelum masuk ke bagian dalam virion. Tiga protein lainnya ditemukan dalam virion rotavirus: VP1 dan VP3 di inti, dan VP4, yang membentuk 60 spikes di permukaan (Patton, 2000).

(28)

partikel rotavirus berkapsul tunggal pada saat pematangan di lumen retikulum endoplasma kasar. Bagaimanapun, saat tripsin bersatu masuk ke dalam media kultur, VP4 membelah secara proteolitik untuk menghasilkan VP5 (60 kDa) dan VP8 (28 kDa) sebuah kejadian yang mempengaruhi infektifitas pada invitro. Tempat pembelahan mungkin terletak pada Arg-241 dan Arg-247, dimana sisa pembelahan dilestarikan oleh kebanyakan strain rotavirus dimana cDNAs nya telah disekuensi (Anthony, 1991).

Protein VP4 mempunyai berat molekul sebesar 84 kDa. Protein ini bersifat sensitif terhadap protease. Oleh karena itu serotipe yang ditentukan berdasarkan VP4 disebut sebagai serotipe P (Gouve et al, 1990).

Salah satu karakter antigenic untuk klasifikasi adalah VP6. Protein VP6 yang dikode oleh segmen RNA keenam digunakan untuk klasifikasi grup pada rotavirus. Hal tersebut disebabkan VP6 membawa antigen non-netralisasi yang spesifik terhadap grup. Berdasarkan reaksi terhadap antigen terhadap antigen tersebut, rotavirus dapat dikelompokkan menjadi tujuh grup, yaitu rotavirus A, B, C, D, E, F dan G (Murray et al,

2007).

Protein VP7 mempunyai berat molekul sebesar 34 kDa. Protein ini merupakan glikoprotein utama penyusun lapisan kapsid luar. Oleh karena itu, serotipe yang ditentukan berdasarkan VP7 disebut sebagai serotipe G (Murray et al, 2007).

(29)

2.3.4.3. Perlekatan dan Replikasi Rotavirus pada Sel Penjamu

Ada dua cara yang mungkin yang virion dapat masuk ke dalam sel: penetrasi langsung virion di membran plasma dan endositosis (Carlos, dkk, 2005). Diperkirakan bahwa penetrasi langsung dimediasi oleh daerah hidrofobik VP5. Daerah ini tersembunyi dalam VP4 yang belum dipecah, sehingga virion dengan protein spike VP4 yang belum dipecah tidak dapat masuk dengan mekanisme ini. Lapisan luar dari virion akan hilang, meninggalkan partikel berlapis ganda dan proses transkripsi diaktifkan. Masing-masing segmen genom berhubungan dengan molekul VP1, yang mensintesis salinan baru untai RNA (+) (Easton, 2000).

Gambar 18. Siklus Replikasi Rotavirus (Desselberger, 2013)

(30)

endositosis termediasi reseptor. Penghilangan lapisan luar, dipicu oleh kalsium yang rendah dari endosom, menghasilkan pelepasan dari double layered particles (DLPs) ke dalam sitoplasma (Desselberger, 2013).

DLP memulai trankripsi mRNA dan mRNA ini digunakan untuk menterjemahkan protein virus. Sekali protein virus cukup dibentuk, genom RNA direplikasi dan disusun ke dalam DLP yang baru terbentuk pada struktur yang disebut viroplasma, yang berinteraksi dengan droplet lipid. DLP yang baru terbentuk mengikat NSP 4 yang berperan sebagai reseptor reticulum endoplasma (RE) dan masuk ke dalam RE. NSP 4 juga berpesan sebagai viroporin untuk melepas Ca 2+ dari penyimpanan intraseluler. Partikel envelop akan terdapat pada RE (Desselberger, 2013).

Membran sementara dihilangkan sebagai susunan protein kapsid luar VP4 dan VP7, yang menghasilkan TLP yang matur. Progeni virion dilepaskan melalui lisis sel pad sel epitel terpolarisasi, partikel dilepaskan dengan mekanisme transport vesicular (Desselberger,

2013).

Beberapa protein virus mengalami modifikasi pasca translasi. Protein virus menumpuk dalam sitoplasma di daerah dikenal sebagai viroplasma. Ada bukti bahwa NSP2 dan NSP5 memainkan peran dalam pembentukan viroplasma (Bridgen dan Elliot, 2000).

(31)

2.3.5. Sistem Imunitas

Untuk sistem Saluran cerna yang paling berperan sebagai sistem imunitas adalah neutrofil. Neutrofil merupakan leukosit granular yang memiliki nukleus dengan tiga hingga lima lobus yang dihubungkan oleh benang kromatin, dan sitoplasma yang mengandung granula yang sangat halus (Dorland, 1998). Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis. Neutrofil yang bermigrasi pertama dari sirkulasi ke jaringan terinfeksi dengan cepat dilengkapi dengan berbagai reseptor sepert Toll like Receptor (TLR) 2 dan TLR4 dan reseptor dengan pola lain. Neutrofil dapat mengenal patogen secara langsung. Ikatan dengan patogen dan fagositosis dapat meningkat bila antibodi atau komplemen yang berfungsi sebagai opsonin diikatnya. Tanpa bantuan antibodi spesifik, komplemen dalam serum dapat mengendapkan fragmen protein dipermukaan patogen sehingga memudahkan untuk diikat oleh neutrofil dan fagositosis. Netrofil segmen merupakan sel aktif dengan kapasitas penuh yang mengandung granuloma sitoplasmik (primer, sekunder atau spesifik) dan inti sel berongga yang kaya kromatin. Netrofil segmen berhubungan dengan pertahanan tubuh terhadap infeksi dan proses peradangan serta menjadi sel pertama yang hadir ketika terjadi infeksi (Bratawidjaja, 2009).

Dengan sifat fagositik yang mirip dengan makrofag, netrofil segmen menyerang patogen dengan serangan respiratorik dengan substitusi beracun yang mengandung bahan pengoksidasi kuat, termasuk Hidrogen peroksida, yang mengandung bahan pengoksidasi kuat, termasuk Hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas dan hipoklorit.

1.5.1 Patogenesis

(32)

1982). Ekskresi virus biasanya berakhir 2 sampai 12 hari dengan kata lain pasien sehat, tetapi bisa berkepanjangan pada pasien dengan nutrisi buruk (Jawetz, 2005).

Meskipun infeksi rotavirus dapat muncul disetiap umur, gejala yang berat muncul hampir secara eksklusif pada anak berusia 3 sampai 24 bulan, dengan infeksi yang mengarah kepada diare akut yang sembuh sendiri (self limited). Diare terjadi karena absorbsi natrium dan glukosa rusak karena sel pada vili digantikan sel kripta imatur yang tidak melaksanakan fungsi absorbsi. Butuh waktu 3 sampai 8 minggu agar fungsi normal dapat kembali. Perubahan patologi yang paling utama terbatas pada usus halus dan diare terjadi dari beberapa mekanisme yang mengganggu fungsi epitel usus halus. Virus menginduksi kematian sel yang mengakibatkan semakin landainya vili dan proliferasi sel kripta sebagai responnya. Kapasitas absorbsi usus menurun, sementara cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus. Sementara enterosit juga terinfeksi, enzim-enzim pencernaan seperti sukrase dan isomaltase juga menurun. Ketika gula terakumulasi, gradien osmotik lebih semakin meningkatkan sekresi cairan kedalam lumen. Diare juga terjadi dari aktivitas enterotoksin virus, nonstruktural protein 4 (NSP4) (Jawetz, 2003). Pada tikus NSP 4 menginduksi diare yang tergantung dosis dan usia dengan cara memicu sinyal sel dan mobilisasi kalsium yang akhirnya mengakibatkan diare sekretori. Pada model binatang, NSP4 menginisiasi diare sekretori selama tahap awal infeksi, jadi mendahului terjadinya inflamasi atau kerusakan seluler. Akhirnya sistem saraf enterik berkontribusi dalam mempertahankan diare, menstimulasi sekresi cairan dan zat-zat (Brooks, 2007; Staat, 2005; halaihel, 2000).

(33)

morfogenesis virus, ekor dari terminal-C NSP4 memindahkan partikel dua lapis ke retikulum endoplasma, dimana VP4 dan VP7 bersatu dengan partikel-partikel ini membentuk tiga lapis keturunan virion. Penelitian terhadap NSP4 pada bayi kucing dan tikus menunjukkan bahwa daerah terminal-C bertindak sebagai enterotoksin. Dalam proses melemahkan rotavirus manusia, mutasi dari NSP4 terbatas pada daerah terminal-N. Observasi ini menunjukkan bahwa bahkan pada saat rotavirus manusia dilemahkan daerah toksik terminal-C kelihatannya selamat dari mutasi dan mempertahankan potensial enterotoksiknya. Sebagai tambahan untuk domain NSP4 yang selamat, virus yang virulen dan yang dilemahkan juga memiliki domain variabel yang berdekatan dengan domain enterotoksin. Proses patogen spesifik dimulai oleh interaksi rotavirus yang ditentukan oleh interaksi dari spesifik faktor host dengan enterotoksi NSP4. Pada kasus yang ekstrim, interaksi dengan tipe yang liar atau strain vaksin dapat menyebabkan terjadinya invaginasi (Parr, 2006; Golantsova, 2004; Kombo, 2001; Ball, 1996).

Rotavirus menyebabkan diare ketika NSP4 bertindak sebagai viral enterotoksin yang memacu sinyal jalut transduksi. NSP4 sebagai reseptor intraseluler yang memperantarai akuisisi membran envelope transien sebagai partikel kedalam retikulum endoplasma. Penelitian yang dilakukan pada tikus menunjukkan adanya peran NSP4 yang menyebabkan diare. Tetapi hubungan antara NSP4 dengan kejadian intussusepsi masih belum diketahui (Kombo, 2001).

(34)

Infeksi virus biasanya berlangsung selama 2 sampai 12 hari pada manusia yang sehat tetapi bisa lebih lama pada manusia yang kurang gizi (Puspita, 2007).

2.5.1 Temuan Klinis dan Diagnosis Laboratorium

Beberapa infeksi rotavirus adalah asimptomatis, yang me-nunjukkan kedua faktor host dan virus dapat mempengaruhi keparahan dari penyakit ini (Ramig, 2004). Infeksi

rotavirus yang simptomatik ditandai dengan isolasi dari rotavirus pada bayi dengan penyakit gastrointestinal (Moulton, 1998). Infeksi rotavirus menyebabkan lymphadenopathy dan penebalan dinding ileum distal yang dapat menjadi lead point terjadinya invaginasi (Julie, 2005).

Gejala yang khas dari infeksi rotavirus antara lain adalah diare encer, demam, nyeri abdomen dan muntah yang menimbulkan dehidrasi. Pada tahun 2007 dilakukan penelitian di Yogyakarta tentang diare dan hasilnya didapat 60% diare disebabkan oleh rotavirus (Soenarto, 2009).

Anak dengan imunodefisiensi, rotavirus dapat menyebabkan penyakit yang berat dan lama. Diagnosis laboratorium berupa adanya rotavirus dapat dilihat didalam feses dan darah pada saat titer antibodi meningkat. Virus didalam feses dapat dilihat dengan menggunakan IEM, uji aglutinasi lateks atau ELISA dan juga dapat dilihat dengan Rotavirus Rapid Test Kit (Biomeroux). Ekskresi virus didalam feces dapat menetap hingga 50 hari setelah awitan diare, sedangkan pemeriksaan antibodi rotavirus dilakukan dengan Uji Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus yang diisolasi dari penderita diare akut (Harper, 2008).

(35)

membutuhkan biaya yang besar, reagen dan SDM yang terlatih yang tidak dapat dikerjakan pada laboratorium rutin sederhana (Naik, 2004 ).

3.5.1 Pengobatan

Pengobatan gastroenteritis adalah pengobatan suportif untuk mengoreksi kehilangan cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, syok dan kematian. Penatalaksanaan terdiri dari penggantian cairan, pengembalian keseimbangan elektrolit baik secara intravena maupun oral, bila memungkinkan. Berdasarkan cara penularan melalui rute oral fekal pengolahan limbah cair dan sanitasi merupakan tindakan pengendalian yang penting. Pembuatan vaksin yang aman dan efektif sangat diharapkan untuk mengurangi penyakit yang ditimbulkan oleh rotavirus (Tanod, 2011).

2.4. Diare

Diare adalah buang air besar yang terjadi pada bayi dan anak yang sebelumnya nampak sehat, dengan frekuensi tiga kali atau lebih per hari, disertai perubahan tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah (Markum, 2009). Apabila pada diare pengeluaran cairan melebihi pemasukan maka akan terjadi defisit cairan tubuh, maka akan terjadi dehidrasi. Berdasarkan derajat dehidrasi maka diare dapat dibagi menjadi diare tanpa dehidrasi, diare dehidrasi ringan sedang dan diare dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat terjadi defisit cairan sama dengan atau lebih dari 10% berat badan. Anak dan terutama bayi

memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita dehidrasi dibandingkan orang dewasa

(Rudolph, 2004; Estes, 2001; Michelangeli, 2003).

Klasifikasi Diare Menurut WHO (2005):

1. Diare akut : Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. 2. Disentri : Diare yang disertai darah.

(36)

4. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat.

2.5. Uji PCR dan DNA Skuensing 2.5.1. Uji PCR

PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini merupakan teknik perbanyakan DNA secara in vitro. Teknik ini me-mungkinkan adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Dalam sistem kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA. Dalam keadaan nativenya, DNA merupakan double helix, yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan antiparalel antara satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Thymine (T), dan Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula, deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfat (Innis, 1990).

Tahapan PCR terdiri atas tiga yaitu (Innis, 1990): 1. Denaturasi

Selama proses denaturasi, double stranded DNA akan membuka menjadi single stranded DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya.

2. Annealing

Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 720C.

(37)

Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 720C. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan dengan dNTP yang komplemen pada sisi 3’nya. Jadi, seandainya ada 1 copy gene sebelum siklus berlangsung,

setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 kopi dan seterusnya. Sehingga perubahan ini akan berlangsung secara eksponensial.

2.5.2. DNA Sekuensing

Sekuensing DNA atau pengurutan DNA adalah proses atau teknik penentuan urutan

basa nukleotida pada suatu molekul DNA. Urutan tersebut dikenal sebagai sekuens DNA, yang merupakan informasi paling mendasar suatu gen atau genom karena mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk pembentukan tubuh makhluk hidup (Roger, 2011). Sekuensing DNA dapat dimanfaatkan untuk menentukan identitas maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya dengan cara membandingkan sekuens-nya dengan sekuens DNA lain yang sudah diketahui (Glick, 2010).

(38)

2.6. Kerangka Teori

Usia

Jenis kelamin

Status Gizi

Suku

Infeksi Rotavirus Rotavirus Mengikat Enterosit

Internalisasi Virus (Mekanisme Yang Tidak Diketahui)

Aktifasi Virion-Associated Transcriptase &

Sintesis Makromelekul Virus

rotein Virus & RNA Mengalami Konsentrasi

Dalam struktur Sitoplasma

Neutrofil

Sel Tidak Terinfeksi Viroplasm  Sel Terinfeksi(Replikasi RNA)

Sembuh Dilepaskan NSP 4

Memicu Rangkaian Reaksi

Phospholipase C- inositol1,3,

Triphosphat( PLC- IP3 )

Ca2+dilepaskandari

(39)

Ca2+ intraselluler meningkat

- Kerusakan Jaringan Cytoskeletal Mikrovili

- Penurunan Expresi / Aspek Disakarida Pada Ujung Vili

- Hambatan Sistem Transportasi Na+

- Nekrosis

Pelepasan nitrik oksida, sebuah inhibitor neurotransmitter

Peningkatan Permeabilitas Paraselluler

Malabsorbsi

Rangsangan Sistem Saraf Enterik

Rotavirus menyebar keluar dari usus

Lymphadenopati;Penebalan dinding usus

Lead Point

Peningkatan gerakan peristaltik usus ( Rush peristaltic )

-Ketidakseimbangan tekanan longitudinal sepanjang dinding usus

-Relaksasi valvula ileocaecal

(40)

2.7. Kerangka Konsep

Rotavirus Protein Enterotoksin NSP4 Invaginasi

Usia

Jenis Kelamin

Status Gizi

Suku

Neutrofil

Defenisi Operasional Variabel yang Diteliti

Anak Suspek Invaginasi: Anak yang berumur dibawah 3 tahun yang secara klinis dinilai mengalami invaginasi.

Anak dengan diare : Anak yang berumur dibawah 3 tahun yang secara klinis dinilai mengalami diare.

Invaginasi: Suatu keadaan dimana segmen usus masuk kedalam segmen usus lainnnya yang ditegakkan berdasarkan temuan durante operasi explorasi laparotomy pada anak suspek invaginasi. Temuan durante operasi akan menunjukkan hasil ditemukan invaginasi atau tidak ditemukan invaginasi. Bila ditemukan invaginasi maka dilihat tipe dari invaginasi yang terjadi yaitu: ileo-ileal, ileo-colica, ileo-ileocolica, colo-colica dan appendicial-colica.

1. Rotavirus

(41)

b. Cara ukur: : Invasi dan pembiakan Rotavirus pada anak yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan feces.

c. Alat ukur : PCR dan dilanjutkan dengan resekuencing DNA.

2. Protein Enterotoksin NSP4 merupakan Nonstructural Protein 4 pada rotavirus yang tersering menyebabkan terjadinya diare. NSP4 adalah salah satu dari lima protein nonstruktur rotavirus dimana bahan toksik alami dari NSP4 dan properti antigen dari VP4 dan VP7 membuat protein ini paling memungkinkan sebagai penyebab faktor virus yang terlibat dalam perkembangan terjadinya invaginasi, dengan tambahan interaksi faktor host yang belum diketahui.

3. Usia atau umur adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu

benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal, umur manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung. Oleh yang demikian, umur itu diukur dari sejak lahir hingga tarikh semasa (masa kini). Manakala usia pula diukur dari tarikh kejadian itu bermula sehinggalah tarikh semasa (masa kini). Pada penelitian ini usia menjadi salah satu karakteristik pada individu yang menjadi bahan pertimbangan. Usia anak suspek invaginasi dan anak dengan diare pada saat pemeriksaan dilakukan yang dinyatakan dalam hari, bulan dan tahun. Umur subyek penelitian dibatasi yaitu dari umur 1 bulan sampai 3 tahun.

4. Jenis kelamin: kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies

sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu. Jenis kelamin dikaitkan pula dengan aspek

(42)

5. Status gizi: status gizi memiliki peranan penting dalam sistem imunitas, sehingga status gizi diambil untuk menjadi tolak ukur perbandingan pada penelitian ini. Keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif (Supariasa, 2004).

Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut reference. Baku antropometri yang sering digunakan di Indonesia adalah World Health Organization–National Centre for Health Statistik (WHONCHS). Berdasarkan baku

WHO-NCHS status gizi dibagi menjadi empat: Pertama, gizi lebih untuk over weight, termasuk kegemukan dan obesitas. Kedua, Gizi baik untuk well nourished. Ketiga, gizi kurang untuk underweight yang mencakup mild dan moderat, PCM (Protein Calori Malnutrition). Keempat, gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus,

marasmik-kwasiorkor dan kwashiorkor (Supariasa, 2004).

Keadaan gizi anak suspek invaginasi dan anak dengan diare dimana dibedakan dengan gizi baik dan gizi buruk yang ditentukan dengan berat badan dan umur kemudian dengan menggunakan Tabel CDC dari WHO ditentukan anak tersebut gizi baik atau gizi buruk.

Standar (baku) rujukan CDC-NCHS 2000 ditetapkan sebagai pembanding dalam status gizi dan pertumbuhan perorangan maupun masyarakat di Indonesia. Standar ini dipaparkan dalam persentil dan ketentuan indeks dari BB/TB. Hasil pengukuran status gizi berdasarkan indeks dapat digolongkan dalam persentase malnutrisi berat (< 70%), malnutrisi sedang ( ≥ 70% -80%), malnutrisi ringan (≥ 80%-90%), gizi baik (≥ 90%-110%),

(43)

Menurut Kemenkes (2010) mengenai penggunaan Standar Antropometri WHO 2005 adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 Standar Antropometri (WHO) 2005

6. Suku: Indonesia merupakan negara terkaya dengan beragam suku. Suku anak suspek invaginasi dan anak dengan diare pada saat pemeriksaan dilihat dari identitas suku orang tua. Penelitian ini melihat apakah terdapat perbadaaan yang bermakna untuk tingkat kejadian invaginasi yang didahului diare dengan penyebab rotavirus.

Gambar

Gambar 1. Intususepsi usus halus yang masuk ke usus besar (Mckee, jawetz 1996)
Gambar 2. Gambaran Invaginasi melalui laparaskopi (Winset, 2004)
Gambar 4. Usus yang sudah rusak dan Perforasi (Nasution, 2013). Pada gambar
Gambar 5.Usus yang rusak (Nasution, 2013). Pada gambar dapat terlihat keadaan usus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lama penyinaran matahari terhadap produksi padi di Kabupaten Banyuwangi hanya sebesar 40% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain

Namun disebutkan bahwa gambaran dalam bentuk 3D baik digunakan pada kasus-kasus tertentu seperti untuk merepresentasikan objek yang bergerak, merepresentasikan gambar

Berdasarkan hasil observasi kelas II SDN Sungai Kupang 1 dimana pada pra siklus diketahui bahwa diperhatian siswa masih belum fokus terhadap materi pelajaran

kemudian dilakukan proses disagregasi untuk mengubah rencana produksi agregat menjadi jumlah yang harus diproduksi setiap produk yaitu dengan metode family set-up untuk

[r]

Emosi negatif adalah perasaan individu yang dirasakan kurang menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian, kemarahan) yang berlebihan yang dapat