BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Wilayah Kota
Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang matrealistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk daerah belakangnya. Beberapa aspek kehidupan di kota antara lain aspek sosial sebagai pusat pendidikan, pusat kegiatan ekonomi , dan pusat pemerintahan. Ditinjau dari hirarki tempat, kota itu memiliki tingkat atau rangking yang tertinggi, walaupun demikian menurut sejarah perkembangannya kota itu berasal dari tempat-tempat pemukiman sederhana.
Kota juga memiliki banyak ikon yang memungkinkan terjadinya perubahan dan perkembangan, sehingga kita dapat menemukan pola yang pasti untuk menentukan perencanaan pembangunan yang lebih terarah. Sehingga sudah semestinya jika perbedaan-perbedaan yang penting antara satu kota dengan kota lainnya akan menarik perhatian untuk dikaji lebih jauh. Misalnya ada perbedaan mengenai penulisan tema kota diharapkan akan memperkaya pengetahuan dan wawasan kita tentang keadaan kota yang dikaji itu secara lebih kompleks.
kebutuhan fasilitasnya pun berbeda. Pada dasarnya untuk melihat apakah daerah itu sebagai kota atau tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Menurut Robinson Tarigan (2005:158-159) fasilitas perkotaan atau fungsi perkotaan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pusat perdagangan, yang digunakan untuk melayani masyarakat kota itu sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran, melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat provinsi dan pusat beberapa provinsi sekaligus
2. Pusat pelayanan jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan
3. Tersedianya prasarana perkotaan, seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem drainase, taman kota, atau pasar
4. Pusat penyediaan fasilitas sosial atau seperti prasarana pendidikan (universitas, akademi, SLTP, SD), prasarana kesehatan, tempat ibadah, prasarana olahraga, prasarana sosial seperti gedung pertemuan, dan lain-lain
5. Pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya suatu kota karena banyak masyarakat yang perlu datang ke tempat itu untuk urusan pemerintahan
6. Pusat komunikasi dan transportasi 7. Lokasi pemukiman yang tertata
interaksi antarsistem ekonomi (economic system), manusia atau masyarakat lingkungan hidup dan sember daya alam. Kondisi ini dapat diterjemahkan dalam bentuk pengembangan ekonomi, sosial, politik, budaya maupun pertahanan keamanan yang seharusnya berada dalam konteks keseimbangan, kselerasan dan kesesuaian.
Menurut Sirojuzilam (2005), pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai manfaat bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu menampung lebih banyak penghuni dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata membaik, disamping menunjukkan lebih banyak sarana/prasana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.
Teori-teori pengembangan wilayah menganut berbagai azas/dasar berdasarkan tujuan penerapan masing-masing teori. Berbagai paradigma teori pengambangan wilayah dapat dirangkum sebagai berikut (Purboyo, 2001),
1. Teori yang memberi penekanan kepada kemakmuran wilayah (local prosperity)
2. Teori yang menekankan pada sumber daya lingkungan dan faktor alam yang dinilai dapat mempengaruhi keberlanjutan sistem kegiatan produksi di suatu daerah (sustainable production activity). Kelompok penganut teori ini sering disebut sangat peduli dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
terfokus kepada good governance yang bisa bertanggungjawab dan berkinerja bagus
4. Teori yang perhatiannya tertuju kepada kesejahteraan masyarakat yang tinggal di suatu lokasi (people prosperity)
Menurut Misra (1977), pengembangan wilayah ditopang oleh empat pilar (tetraploid discipline) yaitu geografi, ekonomi, perencanaan kota dan teori lokasi. Namun pendapat Misra mengenai pengembangan wilayah ini terlalu sederhana dimana aspek biogeofisik tidak hanya direpresentasikan dengan teori geografi maupun teori lokasi. Oleh karena itu, menurut Budiharsono (2005), pengembangan wilayah setidak-tidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar, yaitu (1) aspek biogeofisik; (2) aspek ekonomi; (3) aspek sosial budaya; (4) aspek
kelembagaan; (5) aspek lokasi dan (6) aspek lingkungan.
Gambar 2.1 Pilar-Pilar Pengembangan Wilayah (Budiharsono, 2005) Dari gambar diatas dapat dilihat berbagai analisis yang dapat dilakukan terhadap pengembangan wilayah yaitu aspek biogeofisik melindungi kandungan sumber daya hayati, sumber daya nirhayati, jasa-jasa maupun sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut. Sedangkan aspek ekonomi meliputi
kegiatan ekonomi yang terjadi di sekitar wilayah. Aspek sosial meliputi budaya, polotik dan hankam yang merupakan pembinaan kualitas sumber daya manusia, budaya masyarakat serta pertahanan dan keamanan. Aspek lokasi menunjukkan keterkaitan antar wilayah yang satu dengan yang lainnya yang berhubungan dengan sarana produksi, pengelolaan maupun pemasaran. Aspek lingkungan meliputi kajian mengenai bagaimana proses produksi mengambil input apakah merusak atau tidak. Aspek kelembagaan meliputi kelembagaan masyarakat yang ada dalam pengelolaan suatu wilayah apakah kondusif atau tidak.
Aspek pengembangan wilayah yang dilakukan dalam penelitian ini dilihat dari aspek ekonomi dan aspek lokasinya. Di dalam aspek ekonomi ini terdapat unsur pendapatan masyarakat sekitar dan didalam aspek lokasi terdapat unsur keterkaitan antara keberadaan lokasi kegiatan jasa pendidikan dengan wilayah sekitarnya.
2.2. Institusi Pendidikan Sebagai Bagian Ruang Kota
Sebuah perguruan tinggi yang berdiri di suatu kota mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap kota secara fisik dan juga secara non fisik. Dampak kota secara non fisik adalah perekonomian khususnya harga perumahan, sosial (kelompok-kelompok perumahan permanen berganti fungsi menjadi pemondokan sementara), jumlah penduduk kelas menengah, budaya (selera yang seragam serta penyediaan layanan). Dampak secara fisik adalah alih fungsi bangunan (Allison, 2006).
Perguruan tinggi sering didefinisikan sebagai mesin pembangunan ekonomi. Perguruan tinggi merupakan suatu bisnis yang menguntungkan bagi pemerintah setempat. Dengan adanya perguruan tinggi, suatu kota dapat menarik minat siswa untuk datang dan pada akhirnya mendatangkan pendapatan bagi kota tersebut. Ada multiplier effect dari perguruan tinggi terhadap kawasan sekitar, disamping peluang bisnis yang menguntungkan juga prestige yang didapatkan jika memiliki Pendidikan Tinggi yang prestige (Bromley, 2006).
Adanya pendidikan tinggi juga mempengaruhi kota, dalam hal ini daya tarik kota sebagai kawasan perguruan tinngi. Hal ini akan mengakibatkan adanya migrasi yang masuk bukan saja melanjutkan studi tetapi juga mencari kesempatan dan peluang kerja. Selain itu juga akan memberi dampak terhadap pelayanan infrastruktur yang ada seperti jaringan air bersih, jalan dan drainase (Purcahyono, 2002).
Keberadaan perguruan tinggi memberi pengaruh pada kawasan sekitarnya khususnya kawasan yang berbatasan langsung dengan perguruan tinggi tersebut. Hal ini akan memberi dampak peningkatan kepadatan bangunan dan jumlah penduduk. Perubahan ini akan mempengaruhi pola penggunaan lahan dan fungsi rumah sebagai kegiatan sosial. Adanya alih fungsi rumah tinggal menjadi rumah dengan kegiatan ekonomi (sewa/kontrak kamar), perubahan/penambahan ruang dan bangunan guna menambah kapasitas (Riyanto, 2002).
Menurut Krier dan Trancik (Zahnd, 2002) ruang perkotaan atau urban space
keseluruhan. Secara lebih rinci deskripsi tentang ruang kota dapat dilihat dari sisi fisik morfologis, fungsi dan kepemilikan. Dari sisi fisik morfologis kota dipandang sebagai susunan dari street dan square. Secara fungsi, aktifitas yang berlangsung di ruang perkotaan adalag aktifitas sosial, aktifitas pergerakan dan aktifitas ekonomi. Dari segi kepemilikan, suatu ruang perkotaan dapat secara penuh dimiliki suatu publik, yangmana dalam hal ini adalah pemerintah daerah setempat.
Dalam pandangan Zahnd, kota dapat dianalisis sebagai suatu produk fisik yang terdiri atas street dan square dimana secara teoritis dapat dipahami sebagai berikut:
a. Teori Figure/Ground
Teori ini dipahami melalui pola perkotaan dengan hubungan antara bentuk yang dibangun dan ruang terbuka.
b. Teori Linkage
Teori ini dipahami dari segi dinamika rupa perkotaan yang dianggap sebagai generator kota.
c. Teori Place
Teori ini dipahami dari segi seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya.
Dalam pandangannya, Zahnd (1999) menyimpulkan bahwa pola perkembangan dasar fisik kota dikenal dengan tiga istilah teknis yaitu :
sering terjadi di pinggir kota dimana lahan masih lebih murah dan dekat jalan raya yang mengarah ke kota.
2. Perkembangan Vertikal dimana cara perkembangannya mengarah keatas, artinya daerah pembangunan dan kuantitas lahan terbangun tetap sama sedangkan ketinggian bangunan bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota dan di pusat-pusat perdagangan yang memiliki potensi ekonomi.
3. Perkembangan Interstisial dimana cara perkembangannya dilangsungkan kedalam, artinya daerah dan ketinggian bangunan rata-rata tetap sama sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota dan antara pusat dan pinggir kota yang kawasannya sudah dibatasi dan hanya dapat dipadatkan.
Gambar 2.2 Pola Perkembangan Dasar Dalam Kota (Zahnd,1999) Proses perkembangan fisik kota akan membentuk skala perkotaan yang akan menciptakan kesan terhadap konteks suatu kota. Skala perkotaan merupakan perbandingan hubungan antara lebar/panjang dan tinggi ruang pada suatu tempat dan McClusky dalam Zahnd (1999) memberikan suatu standar umum skala
Perkembangan Interstisial
Perkembangan Horizontal
perkotaan yang dapat menciptakan 3 kategori kesan, yaitu kesan sempit, kesan netral atau harmonis dan kesan luas atau sunyi.
Gambar 2.3 Standar Skala Perkotaan Dengan Memperhatikan Pembatas Place Secara Vertikal (Zahnd,1999)
wilayah, sedang keberadaan dan ketersediaan ruang bersifat bebas. Dalam menyeimbangkan kebutuhan (demand) dan ketersedian (supply) lahan agar mendekati kondisi optimal, maka perlu dilakukan perencanaan pemanfaatan ruang yang komprehensif melalui perpaduan pendekatan sektoral dan pendekatan regional.
2.3. Pola dan Struktur Ruang Perkotaan
Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni :
a. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata
ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability)
b. Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi
rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri
c. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah. Chapin (dalam Soekonjono, 1998) mengemukakan ada 2 hal yang mempengaruhi tuntutan kebutuhan ruang yang selanjutnva menyebabkan perubahan penggunaan lahan yaitu adanya perkembangan penduduk dan perekonomian serta pengaruh sistem aktivitas, sistem pengembangan, dan sistem lingkungan.
Rencana pola ruang merupakan elemen penting dalam rencana tata ruang wilayah kota, dimana didalamnya ditunjukkan alokasi ruang bagi berbagai kegiatan perkotaan. Rencana pola ruang ini dirumuskan sesuai dengan hasil analisis serta dengan mempertimbangkan arahan kebijakan dari stakeholders Kota.
Sesuai Permen PU No. 17/PRT/M/2009, rencana sistem pusat kegiatan dirumuskan dengan kriteria:
a. Memperhatikan rencana struktur ruang wilayah kabupaten/kota yang berbatasan
b. Jelas, realistis dan dapat diimplementasikan dalam jangka waktu perencanaan pada wilayah kabupaten bersangkutan
c. Penentuan pusat-pusat pelayanan di dalam struktur ruang kota harus berhirarki dan tersebar secara proporsional di dalam ruang kota serta saling terkait menjadi satu kesatuan sistem
Gambar 2.4 Diagram Sistem Pusat-Pusat Kegiatan
2.4. Tata Guna Lahan Perkotaan
Perkembangan suatu kota oleh jaringan transportasi otomatis akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mencapai lokasi di pusat kota. Pusat kota akan semakin padat dengan bertambahnya manusia yang menempati lokasi tersebut. Dan ketika manusia sudah tidak memperoleh tempat lagi di pusat kota, maka mereka akan menempati lokasi-lokasi di dekat pusat kota agar tetap
Gambar. 6.4.
1. Central Business District (CBD) 2. Wholesale light manufacturing 3. Low-class residential 4. Medium-class residential 5. High-class residential 6. Heavy manufacturing 7. Outlying business district 8. Residential sub-urban 9. Industrial sub-urban 10. Commuters zone
bisa mencapai pusat kota dengan mudah. Selanjutnya perkembangan ini akan menimbulkan dampak dalam penggunaan lahannya. Lokasi di sepanjang tepi jalan merupakan lokasi yang strategis untuk melakukan aktivitas. Lokasi tersebut memiliki aksesibilitas yang tinggi karena mudah dijangkau. Dengan semakin banyaknya aktivitas di tempat tersebut, maka lahan yang jumlahnya terbatas akan diperebutkan agar manusia tetap bisa memperoleh keuntungan yang maksimal. Persaingan tersebut secara langsung akan menjadikan nilai lahan perkotaan menjadi meningkat. Nilai lahan adalah suatu penilaian atas lahan yang didasarkan pada kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan strategi ekonominya (Drabkin dalam Yunus, 2000 : 89). Nilai lahan merupakan nilai ruang secara horizontal (distance decay principle from the center) berdasarkan Urban Growth Model (Brotosunaryo, 2005 : 6).
Teori mengenai nilai lahan sudah ada sejak abad 19. Tokoh yang pertama kali mencetuskan teori mengenai nilai lahan adalah David Ricardo (1821) dalam bukunya “Principle of Political Economy and Taxation”. Teori Ricardo merujuk pada sewa lahan (land rent) yang dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah dan mengabaikan faktor lokasi dari pusat kota. Selanjutnya teori nilai lahan dikembangkan oleh Von Thunen (1826). Von Thunen menyatakan bahwa pola penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya transportasi yang dikaitkan dengan jarak dan sifat barang dagangan khususnya hasil pertanian. Von Thunen mengkondisikan ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu : (1) isolated state; (2)
uniform plain; (3) “transportation costs” berbanding lurus dengan jarak; dan (4)
lain bahwa semua kota tidak memiliki kondisi fisik lingkungan yang sama
(uniform plain). Sehingga kota akan memiliki pola penggunaan lahan yang
berbeda-beda sesuai dengan karakteristik wilayahnya.
Menurut Kurdinanto, (Cholis 1995, dalam Luky 1997) nilai tanah terbentuk oleh faktor - faktor yang mempunyai hubungan, pengaruh serta daya tarik yang kuat terhadapnya yang diklasifikasikan menjadi dua faktor, yaitu :
1. Faktor - faktor terukur (tangible factors)
Faktor terukur adalah faktor pembentuk harga tanah yang bisa diolah secara ilmiah menggunakan logika – logika akademik. Faktor ini kemunculannya terencana dan bentuk fisiknya ada di lapangan, misalnya aksesbilitas (jarak dan transportasi) dan jaringan infrastruktur (sarana dan prasarana kota seperti jalan, listrik, perkantoran dan perumahan).
2. Faktor - faktor tak terukur (intangible factors)
Faktor tak terukur adalah faktor pembentuk harga tanah yang muncul tiba – tiba/dengan sendirinya dan tidak bisa dikendalikan di lapangan. Oleh Wilcox (1983) dalam Luky (1997), faktor tak terukur ini dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Faktor adat kebiasaan (custom) dan pengaruh kelembagaan
(institutional factors)
b. Faktor estetika, kenikmatan dan kesenangan (esthetic amenity factors)
seperti tipe tetangga dan kesenangan
2.5. Peran Institusi Pendidikan Sebagai Sektor Penggerak Ekonomi
Jasa pelayanan pendidikan skala regional merupakan pasar potensial bagi kegiatan sektor ekonomi lain yang terkait dengannya. Peningkatan jumlah populasi sebagai akibat migrasi karena pendidikan berarti peningkatan akan permintaan barang-barang kebutuhan. Menurut Pappas dan Hirschey (1995), permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang mampu dibeli oleh para pelanggan selama periode tertentu berdasarkan sekelompok kondisi tertentu. Dengan kata lain, permintaaan adalah jumlah total yang mampu dibeli oleh para pelanggan.
Untuk kegiatan ekonomi lainnya yang berorientasi pasar fokus utamanya adalah pada permintaan pasar, tetapi semata-mata merupakan gabungan dari permintaan individu atau pribadi dan gagasan tentang hubungan permintaan pasar yang diperoleh dengan memahami sifat permintaan individual. Terdapat dua model dasar untuk permintaan individual yaitu, pertama, yang dikenal sebagai tokoh perilaku konsumen yang berkaitan dengan permintaan langsung untuk produk-produk konsumsi pribadi.
2.6. Sektor Kegiatan Pendidikan Dalam Pandangan Teori Lokasi
Teori Ekonomi Wilayah mencakup didalamnya teori lokasi sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang kegiatan ekonomi atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (Tarigan, 2006). Dalam pandangan teori ekonomi wilayah, suatu institusi pendidikan dikategorikan sebagai salah satu aktivitas ekonomi sektor jasa yang memiliki kontribusi terhadap penyediaan tenaga kerja terdidik sebagai produknya dan juga sekaligus sebagai pasar potensial bagi kegiatan ekonomi lainnya apabila suatu institusi pendidikan memiliki jumlah populasi yang cukup besar.
Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang turut mempengaruhi apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas merupakan tingkat menudahan di dalam mencapai dan menuju arah suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain disekitarnya (Tarigan, 2006). Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.
Institusi pendidikan adalah pasar, dengan keberadaannya maka wilayah sekitarnya merupakan lokasi produksi dimana mahasiswa datang ke “pasar” untuk memenuhi kebutuhannya seperti makan minum, tempat kos, fotocopy, warnet, wartel dan bahkan membeli segala kebutuhan kuliahnya. Untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa, masyarakat membuka usaha di sekitar institusi pendidikan agar mahasiswa dapat lebih mudah mendapatkan segala kebutuhannya.
Selain hal tersebut diatas, dalam pandangan teori basis ekonomi secara umum dan sederhana dijelaskan oleh Bendavid-Vall bahwa basis ekonomi daerah diartikan sebagai sektor atau sektor-sektor ekonomi yang aktivitasnya menyebabkan suatu daerah itu tetap hidup, tumbuh dan berkembang, atau sektor ekonomi yang pokok di suatu daerah yang dapat menghidupi daerah tersebut beserta masyarakatnya.
Teori basis ekonomi (economic base theory) adalah suatu teori atau pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan perkembangan dan pertumbuhan daerah. Ide pokoknya adalah beberapa aktivitas ekonomi di dalam suatu daerah secara khusus merupakan aktivitas-aktivitas basis ekonomi, yaitu dalam arti pertumbuhannya memimpin dan menentukan perkembangan daerah secara keseluruhan, sementara aktivitas-aktivitas lainnya yang non-basis adalah secara sederhana merupakan konsekuensi dari keseluruhan perkembangan daerah tersebut menurut Hoover and Giarratni dalam Sirojuzilam (2006). Dengan demikian perekonomian daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu aktivitas-aktivitas basis dan aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas non-basis.
(demand) dari luar terhadap produk-produknya, Suatu daerah tumbuh dan menurun serta tingkat perkembangannya ditentukan oleh aktivitas basisnya sebagai pengekspor terhadap daerah-daerah lain. Produk-produk daerah yang diekspor ke daerah-daerah lain bisa berbentuk barang-barang dan jasa-jasa, termasuk tenaga kerja mengalir ke luar daerah, atau dalam bentuk bahan-bahan dagangan yang dibeli oleh orang-orang di luar daerah yang bersangkutan.
Dari pembahasan diatas, maka terkait dengan penelitian yang sedang dilakukan menunjukkan bahwa keberadaan suatu institusi pendidikan yang memiliki skala pelayanan regional dapat menjadi sektor basis bagi pertumbuhan wilayah sekitarnya dimana produk yang dihasilkan adalah sumber daya manusia yang terdidik yang nantinya akan dikirim ke daerah lain. Dalam proses memproduksi sumber daya manusia terdidik tersebut membawa pengaruh kepada munculnya sektor kegiatan ekonomi ikutan sebagai pendukung dalam proses pendidikan pada suatu instansi pendidikan. Dengan adanya ketergantungan sektor kegiatan ikutan terhadap sektor basis juga menimbulkan multiplier effect bagi sektor kegiatan ekonomi lainnya.
ekonomi regional. Adanya uang yang mengalir keluar masuk wilayah dengan bebas turut mempengaruhi besarnya kebocoran ini.
Ada tiga efek multiplier yang dihasilkan dalam suatu sistem perekonomian yaitu pengaruh langsung (direct multiplier), pengaruh tidak langsung (indirect multiplier), dan total effect. Yang dimaksud dengan pengaruh langsung yaitu pengaruh yang ditimbulkan terhadap suatu sektor secara langsung yaitu pengaruh kenaikan permintaan terhadap sektor itu sendiri. Pengaruh tidak langsung yaitu pengaruh yang ditimbulkan terhadap sektor lain akibat kenaikan permintaan di suatu sektor. Jumlah dari pengaruh ini dinamakan pengaruh total (Herawati, 1993).
Kegiatan basis merupakan kegiatan yang pertumbuhannya akan mendorong dan menetukan pola pembangunan daerah secara keseluruhan, sedangkan kegiatan non-basis merupakan kegiatan yang perkembangannya diakibatkan oleh pembangunan daerah secara keseluruhan. Menurutnya teori ekonomi basis dapat berfungsi untuk melihat peranan suatu sektor di dalam efek tenaga kerja maupun efek pendapatan, yaitu dengan cara menentukan apakah sektor itu merupakan sektor basis atau bukan (Sirojuzilam, 2008). Disamping itu, ekonomi basis dapat digunakan untuk :
1. Mengindentifikasi kegiatan daerah yang bersifat ekspor
2. Meramal pertumbuhan yang mungkin terjadi dalam aktivitas basis
2.7. Pengertian Pendapatan, Usaha Kecil dan Mikro
Menurut Maryatmo dan Susilo (1996), pendapatan merupakan jumlah seluruh uang yang diterima oleh keluarga atau seseorang selama jangka waktu tertentu dan biasanya dalam satu tahun. Pendapatan masyarakat dengan demikian adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima pada satu tahun tertentu baik itu dari hasil produksi pertanian maupun dari hasil produksi industri dan perdagangan serta sektor-sektor lainnya.
Tingkat pendapatan rumah tangga tergantung kepada jenis-jenis kegiatan yang dilakukan. Jenis kegiatan yang mengikutsertakan modal atau keterampilan yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi, pada akhirnya akan mampu memberikan pendapatan yang lebih besar (Kasasyono, 1988).
Menurut Djojohadikusumo (1960), bila pendapatan ditinjau dari sudut penerimaan, maka yang termasuk pendapatan adalah (a) upah/gaji, (b) sewa rumah dan sewa tanah, (c) laba perusahaan, (d) bunga yang diterima dari pinjaman, saham, obligasi. Sedangkan menurut Todaro (1998), yang termasuk dala pendapatan adalah gaji, bunga simpanan atau tabungan, laba usaha, utang, hadiah atau warisan.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah defenisi dari Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro, yaitu
b. memiliki hasi penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
Sedangkan Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha ; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah)
2.8. Penelitian Sebelumnya
Hariyani (2006), dengan judul Tesis “Pengaruh Kampus Terhadap Ruang Urban: Kasus Ruang Urban Pada Akses Masuk Kampus Universitas Gajah
Mada”. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah keberadaan kampus UGM berpengaruh terhadap terbentuknya ruang urban oleh deretan bangunan yang mengapit akses-aksesnya, tetapi tidak menciptakan karakter enclosure. Rasio ruang yang terbentuk oleh lebar bangunan terhadap tinggi bangunan adalah 1,6 : 1 hingga 2,5 : 1. Ruang urban yang terbentuk di sekitar kampus UGM memiliki grain halus karena pengguna ruang urban didominasi oleh mahasiswa yang memiliki keterbatasan pendapatan. Skala perkotaan yang terbentuk masih memiliki skala yang manusiawi dengan dibuktikan oleh lebar jarak antarbangunan dan tinggi bangunan yang rata-rata memiliki rasio 1,9 : 1 atau 23m : 12m.
Suharyanto (2007), dengan judul Tesis “Dampak Keberadaan IPB Terhadap Ekonomi Masyarakat Sekitar Kampus dan Kontribusinya Terhadap
Perekonomian Kabupaten Bogor”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kontribusi keberadaan kampus IPB, khususnya kampus Darmaga dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dan Kabupaten Bogor sangat dirasakan. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perlu dikelola secara terpadu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan terutama masyarakat sekitar kampus, institusi IPB dan Pemerintah Kabupaten Bogor.
John Ester Lase (2010), dengan judul Tesis “Dampak Keberadaan Kampus Universitas Sumatera Utara Terhadap Pendapatan Usaha Kecil dan Warung
usaha dan warung kecil disekitarnya dimana pendapatan rata-rata usaha yang ada
kurang lebih Rp.714.666 per hari atau sekitar Rp. 260.853.090 per tahun.
2.9. Kerangka Pemikiran
Berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar kampus (dalam penelitian ini dibatasi pada kegiatan jasa usaha kecil) bila ditinjau dari teori pendekatan pasar disebabkan karena letak lokasinya yang berada dalam daerah jangkauan pasar yaitu kampus UHN. Jangkauan pasar (range) adalah jarak yang diperlukan seseorang untuk mendapatkan jasa yang bersangkutan. Lebih jauh lagi dari jarak standar yang ditentukan maka orang akan mencari wilayah lain yang lokasinya lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan akan jasa yang sama.
Gambar 2.5 Bagan Alir Kerangka Pemikiran KEBERADAAN KAMPUS UHN
TUMBUHNYA AKTIVITAS EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR KAMPUS
PENDAPATAN USAHA KECIL POLA TATA RUANG
Uji Dua Sampel Berpasangan
(Paired Sample T Test)
Analisis Deskriptif Pendapatan pada masa aktif
perkuliahan
Pendapatan pada masa libur semester
Dampak Keberadaan Kampus UHN Terhadap Wilayah