BAB II
PERJANJIAN MENURUT KUH PERDATA
A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit
Perjanjian adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terdapat di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Hukum perjanjian diatur dalam buku ke III KUH Perdata dimana KUH Perdata digunakan kata “persetujuan untuk menyatakan perjanjian”.
Pengertian perjanjian menurut Burgerlijk Wetboek atau yang biasa dikenal
di Indonesia dengan KUH Perdata yang diterjemahkan oleh Subekti disebutkan dengan persetujuan, yang diatur dalam Pasal 1313. Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”.
Dari uraian di atas sesungguhnya persetujuan dan perjanjian mempunyai pengertian yang sama, yaitu melakukan persetujuan atau perjanjian agar dapat melaksanakan apa yang mereka janjikan atau mereka setujuai.
Untuk lebih menguatkan, Subekti menyatakan suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (persetujuan dan perjanjian) itu adalah sama artinya.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian perjanjian adalah diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan,
antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu, sedang pihak lain menuntut
pelaksanaan janji itu.6
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak kepada pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati, maka kreditur berhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan penggatian berupa bunga kerugian dan biaya yang telah
dikeluarkan oleh kreditur.7
Rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah suatu kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1979,hal 49
7
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 91
hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.
Pada rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 dan Pasal 1314 KUH Perdata tersebut dikembangkan lebih jauh, dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban tersebut dapat meminta dilakukannnya kontra-prestasi dari lawan pihaknya tersebut. Kedua rumusan tersebut memberikan banyak arti bagi ilmu hukum. Dengan adanya kedua rumusan yang saling melengkapi tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Pada saat yang bersamaan, debitur pada satu sisi menjadi kreditur pada sisi yang lain. Ini adalah karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari perjanjian. Pada perikatan yang lahir dari undang-undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitur dan pihak lain yang menjadi kreditur yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitur.
Perjanjian juga mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu
pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.
Dari pengertian singkat di atas dapat dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberikan wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya tentang suatu prestasi.
Kalau demikian perjanjian adalah hubungan hukum oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu, perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian bukan suatu hubungan yang bias timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan.
Dimana dalam perjanjian hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bias timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum”. Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk
memenuhi prestasi.8
Dapat dikatakan bahwa perikatan merupakan pengertian yang abstrak. Sebab tidak dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam alam pikiran kita,
8
sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa atau kejadian yang konkrit karena
kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian.9
Dalam pemberian kredit, Bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang dipinjamkan. Pada hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercyaan yang berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh Bank sebagai pemberi, dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan
Perjanjian mempunya sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi “dilindungi” oleh hukum berupa “sanksi”. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa debitur untuk menyelesaikan pelaksanaan kewajiban atau prestasi yang mereka perjanjikan.
Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada pengadilan untuk melaksanakan sanksi hukum, baik berupa eksekusi, ganti rugi, dan uang paksa. tetapi tidak seluruhnya perjanjian punya sifat yang dapat dipaksa.
Di dalam perjanjian pihak-pihak kreditur dan debitur itu dapat diganti. Penggantian debitur harus diketahui atau disetujui oleh kreditur , sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak. Bahkan untuk hal-hal tersebut pada saat sesuatu perikatan lahir antara pihak-pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantin kreditur itu.
9
dapat dibayar kembali oleh si penerima kredit sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit.
Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perjanjian kredit tidak ada pengaturannya. Istilah perjanjian kredit terdapat di dalam Instruksi Pemerintah yang ditujukan kepada kalangan perbankan yang menyatakan bahwa, untuk pemberian kredit bank wajib menggunakan akad perjanjian. Instruksi ini terdapat di dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/E/In/1996 tanggal 3 Oktober 1996, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 Nomor 2/649/UPK/Pem,b, tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/In/1966 tanggal 6 Februari 1967.
Dalam pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 dikatakan bahwa:
“Kredit adalah penyediaan utang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.
Berdasarkan batasan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, bahwa dalam pengertian kredit terkandung perkataan perjanjian pinjam meminjam sebagai dasar diadakannya perjanjian kredit. Atas hal itu pula, dapat dikatakan bahwa kredit merupakan suatu perjanjian yang lahir dari persetujuan.
Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam KUH Perdata pada Pasal1754-1759. Dengan demikian pembuatan suatu perjanjian kredit dapat berdasarkan ketentuan-ketentuan KUH Perdata, tetapi dapat pula berdasarkan
kesepakatan diantara para pihak, artinya dalam hal tertentu yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata, sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan kepada para pihak. Pasal 1754 KUH Perdata meyatakan bahwa:
“Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang akan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Sebaagai suatu perjanjian, maka pengertian perjanjian kredit itu tidak dapat terlepas dari KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan. Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan, bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian
pendahuluan (voorovereenkomst), dalam hal ini yang dimaksudkan adalah
perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Dimana apabila kedua belah pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti ini, maka tidak berarti bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti akan telah
terjadi, perjanjian tersebut adalah bersifat konsensuil obligator yang dikuasai oleh
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 dan bagian umum KUH Perdata, bila uang
telah diserahkan (bersifat riil atau nyata) kepada peminjam, maka lahirlah
perjanjian pinjam mengganti.
Dalam pelaksanaanya, pengertian perjanjian kredit ini selalu dikaitkan dengan bentuk perjanjian yang ditegaskan dalam model-model formulir bank dari masing-masing bank. Bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank yang lain tidaklah sama karena harus disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian perjanjian kredit tersebut
belum mempunyai bentuk yang tertentu (tetap), hanya saja dalam prakteknya banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya defenisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian ini terutama dalam perjanjian dengan pihak asing, jumlah dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran pinjaman, penetapan bunga pinajaman dan denda bila debitur lalai membayar bunga dan lain sebagainya.
Selain itu pula si peminjam diminta memberikan representation,
warranties, dan convenants. Yang dimaksud dengan representation adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh debitur guna pemrosesan pemberian
kredit. Warranties dapat diartikan sebagai suatu janji, misalnya perjanjian bahwa
si debitur akan melindungi kekayaan perusahaannya atau asset yang telah
dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit tersebut. Covenants adalah
perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu misalnya, janji bahwa si debitur tidak
akan melakukan marger dengan perusahan lain atau menjual seluruh maupun
sebagian assetnya tanpa seizin kreditur (bank). Walaupun bentuk dan materi
perjanjian kredit belum mempunyai bentuk yang tertentu (tetap), tetapi materi perjanjian kredit itu haruslah lahir dari kesepakatan kedua belah pihak.
Perjanjian kredit perlu mendapatkan perhatian yang khusus, baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan
maupun pelaksanaan kredit itu.10
10
B. Syarat Sah Perjanjian
Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUH Perdata, tetapi kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhui syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak adalah bebas untuk menentukan atau menetapkan isi dan macam perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 dan Pasal 1338 KUH Perdata). Dengan kata lain, para pihak pembuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas, tetapi bebas dalam arti tetap selalu berada dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah diatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang berbunyi: “untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir
disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai objek yang diperjanjikan.11
Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan cara tertulis maupun dengan cara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang
tidak secara lisan.12
Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunya kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.
13
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima
tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).14
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim yang dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan
11
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,hal.73
12
Ahmadi Miru, dkk, Hukum perikatan:Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.68
13
Op.Cit, hal.73
14
pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasannya mungkin ia tidak membaca surat itu, hal itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca
surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.15
Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, maka Asser membedakan
bagian perjanjian ini, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan
inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebut esensialia, bagian non-inti terdiri
dari naturalia dan aksidentialia.16
Sementara itu, mengenai cakap (bekwaam) yang dimaksud dalam pasal ini
adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. Khusus untuk orang yang Esensialia: bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian.
Sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve
oordeel). Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian.
Naturalia: bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga
secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat
dalam benda yang dijual (vrijwarning).
Aksidentialia: bagian ini merupakan sifat yang melekat dalam perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.
15
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1979, hal 13
16
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 74
menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum mencapai usia 21 tahun. Jadi, janda atau duda tetap dianggap
cakap walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.17
Walaupun ukuran kecaakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, tidak semua orang yang mencapai usia 21 tahun dan telah menikah secara otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum karena berada dibawah
pengampunan, misalnya karena gila, atau bahkan karena boros.18
Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampunan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada di dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakan di bawah pengampunan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya
masing-masing adalah orang tua dan pengampunnya.19
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu” (tidak tertentu) dengan harga seribu rupiah misalnya karena
kata sesuatu itu tidak menunjukan hal tertentu, tetapi hal yang tidak tertentu.20
17
Ahmadi Miru, dkk, Hukum perikatan:Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 68
18
Ibid, hal. 68
19
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.78
20
Pada Pasal 1333 KUH Perdata mempertegas tentang apa yang dimaksud dengan “hal tertentu” sebagai syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian yakni barang yang sudah ditentukan minimal sudah ditentukan jenisnya, termasuk juga barang yang baru dapat ditentukan atau dihitung kemudian, walaupun pada saat perjanjian dibuat belum ditentukan.
Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Kata halal di sini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan
dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.21
C. Asas-asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian
Pada Pasal 1335 KUH Perdata mempertegas kembali tentang salah satu syarat objektif dari keabsahan perjanjian, yaitu mengenai sebab yang halal, dimana kalau suatu perjanjian bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan atau yang lazim disebut batal demi hukum. Sedangkan pada Pasal 1336 KUH Perdata menjelaskan tentang keabsahan suatu perjanjian digantungkan pada sebab yang halal, walaupun hal itu tidak dicantumkan secara jelas dalam perjanjian.
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh kitab undang-undang hukum perdata diberikan
21
berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Berikut di bawah ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata.
1. Asas Personalia
Menurut asas personalia, seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan diri untuk kepentingan dirinya sendiri dalam suatu perjanjian. Asas tersebut terdapat pula dalam pasal 1315 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap tindakan, perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan, mengikat seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadi.
Pihak ketiga tidak dapat diperjanjikan oleh pihak yang mengadakan perjanjian, karena salah satu syarat sahnya perjanjian harus ada kata sepakat, yang berarti dalam perjanjian itu pihak ketiga tidak memberikan kata sepakat.
Logikanya kalau dalam suatu perjanjian ditetapkan suatu janji untuk pihak ketiga, maka akan merugikan pihak ketiga yang tidak tahu apa-apa dan tidak mengikatkan dirinya. Namun demikian undang-undang memberikan pengecualian terhadap asas ini sebagai mana ditetapkan dalam Pasal 1316 KUH Perdata. Pihak yang mengadakan perjanjian, diperbolehkan menetapkan janji untuk pihak ketiga sebagai penanggung akan berbuat sesuatu.
Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam Pasal 1315 KUH Perdata, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat kita bedakan ke dalam:
1. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri.
Dalam hal ini maka ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berlaku baginya secara pribadi;
2. Sebagai wakil dari pihak tertentu mengenai perwakilan ini, dapat kita
bedakan kedalam:
a. Yang merupakan suatu badan hukum dimana orang perorangan
tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai perwakilan yang diatur dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut, yang akan menentukan sampai sebarapa jauh kewenangan yang dimilikinya untuk mengikat badan hukum tersebut serta batasan-batasannya.
b. Yang merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dari anak di bawah umur, kewenangan curator untuk mengurus harta pailit. Dalam hal ini berlakulah ketentuan umum yang diatur dalam buku I KUH Perdata dan undang-undang kepailitan.
3. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
Dalam hal ini berlakulah ketentuan yang diatur dalam Bab XVI buku III KUH Perdata, mulai dari Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUH Perdata.
2. Asas Konsensualitas
Asas ini dapat ditemukan di dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap
orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya
baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas
kebebasan mengadakan perjanjian.22
22
Mariam DarusBadrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 87
Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera
setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun
prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan yang nyata.
Asas konsensualiatas adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil. Sebagai pengecualian dikenalah perjanjian formil dan perjanjian riil, oleh karena dalam kedua jenis perjanjian yang disebut terakhir ini kesepakatan saja belum mengikat pada pihak yang berjanji.
3. Asas Kebebasan Berkontrak
Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya pada ketentuan angka 1 (satu) dari Pasal 1320 KUH Perdata maka asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka 4 (empat) Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja. Selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang atau diterlarang. Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Hal ini memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.
Hukum perjanjian bersifat mengatur. Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1. Hukum memaksa;
2. Hukum mengatur.
Maka hukum tentang perjanjian pada perinsipnya tergolong ke dalam hukum mengatur. Artinya adalah bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak dalam perjanjian mengaturnya secara lain dari yang diatur dalam hukum perjanjian, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut. Kecuali undang-undang menentukan lain.
Di dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak ini semakin
sempit dilihat dari beberapa segi, yaitu:23
- Dari segi kepentingan umum
- Dari segi perjanjian baku (standard)
- Dari segi perjanjian dengan pemerintah
4. Asas pacta sunt servanda
23
Asas ini mengajarkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUH Perdata kita juga menganut prinsip ini dengan melukiskan bahwa suatu perjanjian berlaku seperti undang-undang bagi para pihak (Pasal 1338 KUH Perdata).
5. Asas Obligatoir dari suatu perjanjian
Menurut hukum perjanjian, suatu perjanjian bersifat obligator, maksudnya adalah setelah sahnya suatu perjanjian maka perjanjian tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah kepihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik, diperlukan perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian kebendaan yang sering disebut dengan “penyerahan”.
D. Pengertian Akta Menurut KUH Perdata
Akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani oleh pembuatnya. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan tersebut. Yang dimaksud dengan tanganan ialah membubuhkan nama si penanda-tangan, sehingga membubuhkan paraf (singkatan tanda tangan) dianggap belum
cukup. Nama itu harus ditulis tangan oleh penanda-tangan sendiri atas
kehendaknya sendiri.24
Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan ialah sidik jari (cap jempol atau cap jari) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk (Stb. 1867 Nomor 29 Pasal 1, 286 RBg). Tanda tangan juga disamakan dengan stempel atau cap tanda tangan asal dibubuhkan oleh yang berwenang atau diberi wewenang.
Tanda tangan dengan nama orang lain tidak sah atau batal.
25
E. Jenis-jenis Akta Menurut KUH Perdata
Akta dapat dibedakan menurut bentuknya menjadi 2 (dua) macam yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan.
1. Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang
dilakukannya dan dilihat di hadapannya. Akta-akta tersebut harus selalu dianggap
benar, kecuali jika dibuktikan sebaliknya di muka pengadilan. Di dalam HIR Pasal 165, akta otentik disebutkan bahwa : “Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan
24
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979, hal. 106
25
bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bukan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta”.
Sedangkan akta otentik juga diatur di dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan di dalam undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuat”.
Maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Bentuknya sesuai Undang-Undang Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran, dan lain-lain sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Sebuah akta otentik memiliki bentuk pola sendiri. Jadi, seseorang yang ingin membuat akta otentik di hadapan notaris tidak dapat membuat dengan format sembarangan. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.
2. Akta otentik dibuat di hadapan pejabat umum yang diangkat Negara. Notaris adalah salah satu pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik.
4. Akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang atau notaris yang berhak. Seorang notaris yang sedang cuti atau sedang bermasalah tidak berwenang untuk membuat akta otentik. Seorang notaris yang sedang dibekukan izinnya atau yang belum memiliki izin, tidak dapat
membuat sebuah akta otentik.
5. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan mengenai ketidakbenarannya.
Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya. Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh dan di hadapan pejabat saja. Di samping itu caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak - pihak yang bersangkutan.
Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta otentik itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa yang terjadi di hadapnnya saja.
Oleh karena dalam hal akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayakannya pejabat tersebut, maka isi dari pada akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.
Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang
atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata:26
1. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta
otentik atau disebut juga sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.
2. Namun akta yang demikian, mempunya nilai kekuatan sebagai akta di
bawah tangan, dengan syarat apabila akta tersebut ditandatangani para pihak.
2. Akta di Bawah Tangan
A. Pengertian Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum. Akta di bawah tangan ini tidak ada diatur dalam HIR (untuk Jawa dan Madura), tetapi diatur dalam peraturan yang termuat dalam Stb. 1867 Nomor 29, karena pada waktu HIR dibuat (sebelum 1848) akta dibawah tangan tersebut tidak ada diatur di dalamnya, melainkan
26
diatur Secara khusus dala suatu ordonasi tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan yang termuat dalam Stb. 1867 Nomor 29 tersebut.
Akta di bawah tangan dirumuskan dalam pasal 1874 KUH Perdata, Pasal 286 RBg. Menurut pasal diatas, akta di bawah tangan:
a. Tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan,
b. Tidak dibuat dan ditanda tangani di hadapan pejabat yang berwenang
(pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak,
c. Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh
atau di hadapan pejabat, meliputi:
1. Surat-surat,
2. Register-register,
3. Surat-surat urusan rumah tangga,
4. Lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat umum.
d. Secara khusus ada akta di bawah tangan yang bersifat partai yang
dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Sehingga segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah tangan atau dengan kata lain, segala jenis akta yang tidak dibuat
oleh atau dihadapan pejabat umum, termasuk rumpun akta di bawah tangan.27
1. Surat atau tulisan itu ditanda tangani,
Akan tetapi, dari segi hukum pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta di bawah tangan, diperlukan persyaratan pokok:
27
2. Isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum (reschtshandeling) atau hubungan hukum (reschts bettrekking),
3. Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut di
dalamnya.28
B. Syarat Akta di Bawah Tangan
Syarat yang dimaksud di dalam akta di bawah tangan pada dasrnya keabsahan akta di bawah tangan bertumpu pada dipenuhi atau tidak syarat formil dan materiil.
1. Syarat formil akta di bawah tangan
Syarat formilnya, terdiri dari:
a. Berbentuk tertulis atau tulisan,
b. Dibuat Secara partai (dua pihak atau lebih) tanpa bantuan atau di
hadapan seorang pejabat umum,
c. Ditanda tangani oleh para pihak,
d. Mencantumkan tanggal dan tempat penandatanganan.
Inilah syarat formil pokok akta di bawah tangan yang digariskan Pasal 1874 KUH Perdata, Pasal 286 RBg. Syarat tersebut bersifat kumulatif tidak boleh kurang dari itu. Sekiranya akta di bawah tangan itu bersifat partai, tidak sah
28
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya paramita, Jakarta, 1993, hal 78
apabila hanya ditanda tangani satu pihak saja. Apabila tidak ditanda tangani para pihak, mengakibatkan akta di bawah tangan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil maupun materiil.
Apabila akta di bawah tangan itu bersifat sepihak, syarat formilnya itu terdiri dari:
a. Dibuat sendiri oleh yang bersangkutan,
b. Ditanda tangani oleh pembuatnya.
2. Syarat materiil akta di bawah tangan
Mengenai syarat materiil dapat dijelaskan dengan ringkas hal-hal berikut:
a. Keterangan yang tercantum dalam akta di bawah tangan berisi
persetujuan tentang perbuatan hukum (reschts handeling) atau
hubungan hukum (reschts betterkking).
Suatu akta yang dibuat oleh para pihak, tetapi keterangan yang termuat di dalamnya hanya penuturan tentang cuaca atau peristiwa alam, kisah perjalanan dan sejenisnya, tidak memenuhi syarat materiil, karena keterangan yang demikian bukan merupakan perbuatan maupun hubungan hukum. Sekiranya akta di bawah tangan itu bersifat sepihak, sama syarat materiilnya. Mesti berisi keterangan yang
berkenaan dengan perbuatan atau hubungan hukum dengan pihak lain.29
b. Sengaja dibuat sebagai alat bukti
29
Syarat materiil yang kedua, pembuatan akta di bawah tangan oleh pembuat atau para pembuat disengaja sebagai alat bukti untuk membuktikan kebenaran perbuatan atau hubungan hukum yang diterangkan dalam akta. Jadi pembuatan
akat di bawah tangan merupakan tindakan preventif atas kemungkinan terjadinya
sengketa dikemudian hari. Sejak semula telah ada kepastian mengenai kebenaran perbuatan atau hubungn hukum yang terjadi sebagai yang diterangkan dalam akta.
c. Daya Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan
Daya kekuatan pembuktian akta di bwah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Seperti yang dijelaskan, akta otentik memiliki tiga jenis daya kekuatan yang melekat padanya, yang terdiri dari daya pembuktian luar, formil dan materiil. Tidak Demikian halnya dengan akta di bawah tangan. Pada dasrnya tidak melekat daya kekuatan pembuktian luar, Tetapi hanya terbatas pada daya kekuatan pembuktian formil dan materiil dengan bobot kualitas yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan akta otentik.
1. Daya kekuatan pembuktian formil
Sejauh mana daya kekuatan pembuktian formil akta di bawah tangan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang
tercantum dalam akta
Berdasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui, siapa saja atau orang yang menanda tangani akta dibwah tangan:
b) Berdasarkan kekuatan formil yang demikian, mesti dianggap terbukti tentang adanya pernyataan dari penanda tangan: surat keterangan yang saya tanda tangani benar berisi keterangan saya,
c) Dengan demikian daya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan
tersebut, meliputi:
- Kebenaran identitas penanda tangan,
- Menyangkut kebenaran identitas orang yang memberi keterangan
Berarti, Setiap ada tulisan yang ditanda tangani seseorang yang berisi perbuatan hukum, secara formil identitas orang yang bertanda tangan dan yang membuat keterangan, sama dengan identitas penanda tangan tersebut. Kebenaran identitas penanda tangan dan yang meberi keterangan identik dengan identitas penanda tangan, dan mengenai kebenaran itu tidak diperlukan lagi syarat dan kekuatan lain.
b. Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain
Pada akta otentik penanda tanganan akta, bersifat mutlak untuk keuntungan pihak lain, karenan penanda tanganan dilakukan dan disahkan oleh pejabat umum. Tidak demikian dengan akta di bawah tangan. Daya pembuktian formilnya, tidak bersifat mutlak, karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat dihadapan pejabat umum. Dengan demikian, keterangan yang tercantum di dalamnya tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Kemungkinan dapat menguntungkan dan merugikan para pihak, atas alasan:
- Karena isi keterangan yang tercantum di dalam akta dibawah tangan belum pasti merupakan persesuaian keterangan para pihak,
- Sebab tanpa melalaui bantahan atas kepalsuan akta di bawah tangan,
masing-masing pihak berhak dan dibenarkan hukum untuk mengingkari isi dan tanda tangan.
Kebolehan mengingkari isi dan tanda tangan, diatur dalam Pasal 1876 KUH Perdata atau Pasal 189 RBg yang menegaskan, barang siapa yang terhadapnya diajukan akta di bawah tangan diwajibkan Secara tegas mengakui atau mengingkari tanda tangannya. Berarti kalau diakui oleh pihak lawan, maka penanda tangangan akta di bawah tangan dapat dikatakan untuk keuntungan pihak lain, akan tetapi apabila dimungkiri, yang terjadi bukan menguntungkan, bahkan dapat mendapatkan kerugian. Itu sebabnya dapat dikatakan, akta di bawah tangan pada dasrnya:
- Sering mengandung kerawanan dan ketidakpastian,
- Selama tidak ada pengingkaran, eksistensinya sebagai akta dan alat
bukti, dpat dikatakan aman, tetapi apabila isi dan tanda tangan dimungkiri, hilang kepastian dan keamanannya sebagai akta dan alat bukti.
2. Daya kekuatan pembuktian materiil
Jika pada daya pembuktian formil titik permasalahannya menyangkut kebenran identitas tanda tangan dan penanda tangan, maka pada daya pembuktian materiil, fokus permasalahannya berkenaan dengan kebanaran isi keterangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan.
a. Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar
Prinsip yang harus ditegakkan menghadapi penerapan daya pembuktian materiil adalah:
- Secara materiil isi keterangan yang tercantum di dalam akta di bawah
tangan, harus dianggap benar,
- Dalam arti, apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan,
dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendakinya,
- Dengan demikian Secara materiil, isi yang tercantul dalam akta di
bawah tangan mengikat kepada diri menanda tangan.
b. Memiliki daya mengikat kepada ahli waris dan orang yang mendapat
hak dari padanya
Hal ini diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata dan Pasal 288 RBg. Suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan atau akta itu hendak dipakai, dianggap sebagai diakui sehingga akta di bawah tangan tersebut mempunyai daya kekuatan yang sempurna dan mengikat. Seperti akta otentik:
- Kepada orangorang yang menanda tanganinya,
- Serta kepada ahli waris orang-orang itu dan kepada orang yang
mendapat hak dari mereka.
Jika daya pembuktian formil yang mengajarkan harus dianggap terbukti dan benar pernyataan penanda tangan, bahwa surat yang ditanda tanganinya berisi keterangan dihubungkan dengan daya kekuatan pembuktian materiil yang dikemukakan diatas, ahli waris dan orang yang mendapat hak dari penanda tangan
mempunya hak dan kewajiban yang persis sama dengan penanda tangan sesuai dengan keterangan yang tercantum didalamnya.
Dengan demikian anggapan kebenaran isi akta di bawah tangan mempunya daya kekuatan mengikat bukan hanya kepada diri mereka, tetapi juga kepada ahli waris dan orang yang mendapat hak dari mereka. Ahli waris adalah orang yang mendapatkan hak berdasarkan title umum yang digariskan Pasal 833 ayat 1 KUH Perdata, yang mengatakan, sekalian ahli waris dengan sendirinya menurut hukum memperoleh piutang pewaris. Sedangkan orang yang mendapat hak dari mereka diluar pewarisan, diperoleh melalui title khusus, bias jadi untuk keseluruhan atau sebagaian dari hak yang disebut dalam akta di bawah tangan
yang brsangkutan.30
30
Pitlo, Pembuktian Dan Daluwarsa, Inter Masa, Jakarta, 1999, hal 66
Jika yang diperoleh hanya sebagaian, daya kekuatan mengikat pembuktian materiilnya juga, hanya untuk sebagian yakni sebesar hak yang diperolehnya dari penanda tangan semula.